Mendorong perempuan Bali maju dan terlibat di tingkat legislatif menjadi salah satu siasat Bali Sruti untuk menyambungkan suara perempuan ke muara keputusan. Gerakan yang kecil tapi terus terjaga, kini menggeser semangatnya menjadi pendamping perempuan desa di tengah Kota Denpasar.
Bali Sruti adalah salah satu lembaga pemberdayaan perempuan di Bali. Melalui bantuan pendanaan dari pihak ketiga Bali Sruti dapat menjalankan program-programnya mengawal suara-suara perempuan Bali.
Awal-awal pergerakan Bali Sruti berfokus untuk melakukan advokasi perempuan melalui politik. Seperti untuk mendorong perempuan berpartisipasi dalam politik. Memberikan pelatihan kepada para perempuan yang akan maju sebagai calon legislatif. Serta ikut mendampingi perempuan-perempuan yang maju untuk pemilihan umum. Di tengah minimnya ruang keterlibatan perempuan dalam mengambil keputusan.
Belum lagi perkara konsep adat di Bali yang semakin mendomestikasi ruang gerak perempuan. Ketua Bali Sruti, Luh Riniti Rahayu menyebut politik bisa menjadi salah satu media strategis untuk perempuan menyampaikan suaranya. Sayannya, periode pemilu pada 2004 mencatat partisipasi keterwakilan perempuan di pemilu hanya 4,5 persen. Hal inilah yang dibaca Luh Riniti menggencarkan gerakannya mendukung perempuan-perempuan yang ingin maju ke tingkat legislatif membawa suara-suara perempuan.
Bali Sruti yang juga turut berproses bersama selama 20 tahun mendampingi perempuan Bali menuju dunia perpolitikan bisa menghela rasa syukur. Sebab dari tahun 2004-2019 keterwakilan perempuan di meja legislatif sudah mencapai 21%. Suara-suara baik itu bisa dinikmati saat ini dalam kebijakan pusat yang lebih berpihak perempuan seperti UU KDRT dan TPKS.
Kendati demikian, Luh Riniti masih merasa ada PR lain yang mesti dikerjakan bersama dalam urusan perempuan di dunia politik. Sebab, affirmative action belum cukup berdampak karena angka 21% baru calon saja. “Belum tentu semuanya terpilih,” celetuk Luh Riniti.
Hanya saja sebagai lembaga yang bergantung pada pendonor, ia bersama Bali Sruti menggeser misinya dari dukungan untuk perempuan di dunia politik. Kini memfokuskan gerakannya pada perempuan inklusi. Bersama beberapa anak muda yang bergabung pada 2022, Bali Sruti kini mendedikasikan untuk mendampingi perempuan desa di pinggiran Kota Denpasar.
Program Bali Sruti mulai tahun 2021 mengerjakan program inklusi. Program ini bertujuan untuk mendorong kelompok yang tereksklusi agar terlibat dan menikmati pembangunan. Kelompok inklusif ini adalah kelompok rentan seperti perempuan-perempuan kepala keluarga, perempuan miskin, anak anak, para penyintas kekerasan seksual, KDRT dan HIV/AIDS.
“Mereka tidak terlibat dalam pembangunan, tidak terlibat musyawarah desa, atau bahkan tidak pernah menginjakkan kaki di kantor desa sehingga tidak biasa menyuarakan pendapatnya. Padahal punya hak dan kewajiban yang sama,” jelas Luh Riniti ketika ditemui di kantor Bali Sruti.
Bali Sruti menggarap organisasi yaitu Sekolah Perempuan yang isinya perempuan miskin, perempuan kepala keluarga, disablitas untuk belajar sebagai tempat untuk berbagi. Belajar untuk membiasakan diri bersuara. Dengan menanamkan pemahaman bahwa mereka punya suara. Sehingga bisa saling membantu dan bersuara ke pemerintah desa dan menikmati hasil pembangunan.
Pada tahun 2021 sudah didirikan 2 Sekolah Perempuan di dua desa sekitaran Denpasar sebagai piloting. Yaitu, Desa Dauh Puri Kangin dan Dauh Puri Kaja. Jadi, kegiatan Bali sruti bergeser ke perempuan-perempuan di akar rumput.
“Tahun 2022 kegiatan ini mulai dilaksanakan di Dauh Puri Kangin dan Dauh Puri Kaja khususnya kampung jawa yang ada di sana. Kami mendirikan yang namanya Sekolah Perempuan, dan lewat program ini kami menemukan beberapa masalah,” tutur Luh Riniti.Meski di pinggiran kota, justru persoalan perempuan marjinal masih menggeliat. Belum banyak yang mengenal tentang kesetaraan dan hak-haknya sebagai perempuan.
Melalui pemahaman untuk ikut terlibat dalam musyawarah desa, perempuan di Desa Dauh Puri Kaja dan Kangin untuk terlibat. Termasuk mengenalkan cara untuk bisa membantu warga terdekat yang mengalami kekerasan. Membantu perempuan yang tidak punya KTP atau Akta pernikahan.
Melalui Sekolah Perempuan membantu agar desa bisa mengetahui masalah warganya an membantu mengatasi. Persoalan mendasar masih terjadi di dua desa ini. Seperti masih ada warga yang tidak punya KTP.
“Tidak punya KTP sama dengan tidak bisa mendapatkan hak sebagai warga negara, tidak dapat jaminan sosial, tidak dapat BPJS, tidak dapat bantuan sosial. Sekolah Perempuan bisa menjadi jembatan ke desa dan UPTD Pelayanan kekerasan perempuan dan kantor polisi untuk mendapatkan pelayanan,” katanya. Dulu Bali Sruti bergerak di bidang politik, karena melihat partisipasi perempuan yang sedikit. Bali Sruti melihat diskriminasi pada perempuan dalam ranah politik masih tinggi karena faktor buaya ideologi patriarki, sampe menembus ke sistem atau regulasi yg berlaku.
Partisipasi perempuan diperlukan untuk mengubah sistem agar menjadi lebih adil. Hal ini dapat dilakukan melalui sistem politik dan regulasi. Sama halnya seperti rumah tangga, tidak bisa bapak saja atau ibu saja, harus ada bapak dan ibu supaya saling melengkapi begitu juga di rumah rakyat.
Sekarang kegiatan Bali Sruti berubah karena founding datang dari mitra NGO Kapal Perempuan di Jakarta yang menggarap program inklusif di berbagai provinsi. Bali Sruti terpilih untuk mengembangkan di daerah Bali.