Dari jarak kurang lebih satu kilometer, sebuah pohon berdiri dengan gagah di Banjar Bayan, Marga, Tabanan. Pohon tersebut seolah-olah berdiri sendiri, seandainya saja pohon tersebut lebih pendek, akan terlihat bahwa Banjar Bayan juga memiliki beberapa pohon yang merindangi daerah mereka. Tepat di samping pohon megah tersebut, berdiri pura sebuah pura, menambah kesan mistis dari pohon tersebut. Akan tetapi, tulisan ini tidak akan mengangkat kisah mistis dari pohon dan pura tersebut.
Pohon Kayu Putih, begitu setidaknya warga menyebut pohon ini. Banyak turis lokal maupun mancanegara hadir untuk melihat kemegahan pohon ini. Saya cukup terkejut ketika mendaftarkan diri di loket, “Seikhlasnya,” kata seorang perempuan paruh baya yang menjaga loket tersebut. Kendati melabeli daerah tersebut dengan sebutan ‘obyek wisata’–setidaknya kalimat itu tertulis di jalan masuk Banjar Bayan–tidak ada harga yang dipatok bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan dan kemegahan pohon tersebut.
Para pengurus Pura Babakan–pura yang terletak tepat di sebelah Pohon Kayu Putih–lebih memilih menyebutnya sebagai ‘donasi’. Penyebutan itu bukan tanpa alasan, melainkan sebagai sebuah bentuk tanggung jawab para pengurus pura terhadap keberadaan para turis di lingkungan suci tersebut.
Made Kurna (53), selaku prajuru sekaligus ketua pengurus Pura Babakan menjelaskan bahwa pemilihan kata ‘donasi’ dengan pembayaran seikhlasnya sengaja diberlakukan agar para turis tidak melakukan tindakan sesuka mereka hanya karena mereka telah membayar karcis masuk ke daerah wisata tersebut.
“Kalau pakai karcis, berarti kita jual. Nanti nilai sakralnya akan turun. Kalau nanti kita kenakan tarif, modelnya kalau jual Rp 10 ribu, karena dia udah beli, seenaknya dia. Kalau modelnya donasi, kita tidak memaksa,” ujar pria yang lebih terkenal dengan sebutan Pak Nina karena Nina adalah nama anak pertamanya.
Pria tersebut mengatakan bahwa donasi yang masuk setiap harinya dialokasikan langsung guna membangun Pura Babakan. Made Kurna juga mengakui bahwa keberadaan pura ini juga tidak lepas dari donasi yang masuk setiap harinya, sehingga para pengurus pura dapat melakukan renovasi untuk pura tersebut.
“Adanya seperti ini, itu semua swadaya berkat dana punia, belum ada bantuan,” ujar pria tersebut.
Made Kurna juga menjelaskan bahwa upacara atau piodalan di Pura Babakan dilakukan setiap enam bulan sekali dan 10 tahun sekali. Akan tetapi, upacara 10 tahun sekali belum dapat dilakukan hingga sekarang sejak terakhir dilakukan pada tahun 2005. Made Kurna menjelaskan bahwa biaya adalah salah satu faktor utamanya.
“Dana belum bisa (mencukupi) karena kita pengemponnya (pengurusnya) cuma 18 KK dan ada perbaikan terus di pelinggih. Soalnya masih banyak kepentingan di pelinggih yang harus diselesaikan sebelum kita mengadakan pujawali,” tungkasnya.
Tidak ada yang dapat menebak dengan pasti umur pohon megah ini. Melalui penelusuran sejarah, Made Kurna berasumsi bahwa pohon ini setidaknya telah hidup selama kurang lebih 700 tahun. Perhitungan itu ia dasarkan pada keruntuhan Kerajaan Perean pada tahun 1300, yang mana salah satu utusan dari Kerajaan Perean adalah orang yang sempat memimpin Desa Bayan, I Gusti Ngurah Bayan. Selepas runtuhnya Kerajaan Perean, I Gusti Ngurah Bayan kembali ke Puri Perean dengan meninggalkan beberapa pura di Desa Bayan, salah satunya Pura Babakan, yang terletak tepat di sebelah Pohon Kayu Putih.
“Kita juga tidak berani menentukan, bahwa itu kita ambil dari sejarah desa. Tiang tidak berani bilang 700 tahun, itu ‘kurang lebih’, bahasanya seperti itu karena tiang ambil dari sejarah desa,” tambah Made.
Pohon dengan tinggi 70 meter dan lebar 6 meter ini memiliki buah yang kecil dan cukup mudah ditemukan di sekitar pohon tersebut. Buah sebesar kelereng itu biasanya diburu oleh burung-burung yang beterbangan di sekitar pohon tersebut, sehingga membuat ramai suasana di sekitar pohon megah itu. Sementara itu, tidak ada masyarakat yang mengonsumsi buah dari pohon tersebut. Ini bukan tentang ketakutan dan mistisisme.
Pohon ini nyatanya berhasil membantu beberapa aspek kehidupan masyarakat lokal. Setidaknya melalui dana punia atau donasi yang terus mengalir dari para wisatawan, para penduduk lokal tidak perlu khawatir tentang pujawali yang harus mereka lakukan 6 bulan ke depan atau 10 tahun berikutnya.
Selain itu, kehadiran pohon ini memicu hadirnya warung, cafe, dan entah apa lagi di masa depan.