Dalam perhitungan Badan Pusat Statistik pada data pertumbuhan ekonomi tahunan Provinsi Bali ada beberapa lapangan usaha yang meningkat. Salah satunya lapangan usaha sektor perdagangan mobil dan motor meningkat di tahun 2022 sebanyak 5.72% dibanding 2021. Pemerintah juga menggenjot pendapatan asli daerah dari sektor pajak kendaraan. Bagaimana nasib pengguna jalan di masa depan? Akankah terjadi gridlock?
Berikut hasil diskusi Ni Nyoman Sri Widiyanthi, Ketua Ombudsman Bali, Nyoman Gede Maha Putra, ahli urban planning, Warmadewa Research Center dan beberapa warga. Diskusi publik ini digelar secara online 18 April 2023.
Diawali dengan pertanyaan refleksi “apakah transportasi di Bali lebih baik atau buruk semakin hari menurut teman-teman? Pergerakan kita akan lebih leluasa atau terbatas?” begitu pemantik Luh De Suriyani, Pemimpin Redaksi BaleBengong membuka obrolan.
Gede Maha Putra memberi penjelasan awal mengapa kita menemui situasi penggunaan transportasi di Bali saat ini. Jika dilihat dari sejarah, sebelum 1950 jalan di Bali tidak dirancang untuk sepeda motor. Tata ruang Bali tidak dirancang dengan sistem transportasi publik terintegrasi.
Kendaraan mulai meningkat 1950. Tidak banyak jalan untuk kendaraan. Sejak saat itu, banyak wilayah yang sebelumnya tidak untuk dilewati kendaraan, bisa lewat kendaraan.
Pembangunan semakin berkembang ketika ada pembangunan bandara. Bandara juga menjadi jalur masuk kendaraan lebih mudah.
“Itulah yang membuat banyak kendaraan bisa masuk ke Bali. Termasuk pelabuhan di Buleleng yang jadi salah satu jalur terbesar tempat masuknya orang luar ke Bali,” katanya.
Kolonial Belanda sadar jarak gunung dan laut dekat. Sedangkan di Bali selatan jarak antara gunung dan laut lebih jauh. Sehingga lebih memungkinkan melakukan pembangunan di wilayah selatan.
Dari awalnya pusat pemerintahan ada di utara, dipindah ke selatan. Sejak tahun 1936 sudah ada pembangunan bandara yang memicu meningkatnya kendaraan pribadi dari pariwisata.
“Boom-nya setelah pameran di Paris. Bali mulai dikenal, identitas di Bali lebih konkrit, dibuat rigid. Pada arsitektur juga kena pengaruh, bangunannya identik dengan paras, batu, bata. Akhirnya Bali terlanjur dikenal seperti bangunan yang diperkenalkan di expo Paris,” cerita Mangde, panggilan Gede Maha Putra, seorang peneliti desain urban lulusan Oxford University, Inggris.
Hal ini juga menjawab, kenapa Bali lebih dikenal daripada Indonesia? Sebab Bali dikenalkan tahun 1931, ketika itu Indonesia belum merdeka dan menamai diri sebagai Indonesia.
Sistem sebaran transportasi saat ini sangat terpengaruh dengan gaya pemerintahan zaman dulu. Dulu penyebaran terjadi di banyak tempat. Namun, sistem pemusatan terjadi karena dunia politik. Semuah wilayah harus punya pusat. Sistem ini menyebabkan terjadi penumpukan fasilitas.
“Ini yang mendatangkan banyak orang, mengundang orang untuk datang dan menggunakan kendaraan. Yang awalnya tersebar, sekarang jadi banyak pusat. Sistem ini pengaruh dari zaman Poskolonial/pasca kolonialisme yang mengharuskan ada satu pusat,” katanya.
Begitu juga akibat pandemi Covid-19 yang turut mempengaruhi sebaran masyarakat. Pandemi mengubah sistem sebaran lagi. Akibat Covid 19 pemusatan harus disebar. Namun, menurut Gede penyebaran tidak menyelesaikan kemacetan. Tapi kemacetan justru menyebar.
Pergerakan manusia lebih cepat, tidak terimbangi dengan infrastruktur. Tidak ada tempat yang terhindar dari pariwisata. Kendaraan publik hanya dimiliki pemerintah dan membutuhkan proses yang panjang. Sedangkan pergerakan manusia yang cepat, pengembangan informasinya masih di jalan yang panjang.
Ni Nyoman Sri Widiyanthi, Ketua Ombudsman Bali membludaknya transportasi pribadi terjadi karena semuanya sudah dimudahkan. Dari cara memperolehnya ada keringanan pencicilan untuk pembelian. Mengurus hak kepemilikan, semua itu dimudahkan.
Sayangnya peningkatan kuantitas ini tak sebanding dengan ketersediaan rute jalan. Termasuk keterjangkauan masih menjadi persoalan.
Sri melihat untuk mencari solusi dari peningkatan pengguna transportasi yang tak terkontrol, tak mudah jika menawarkan transportasi publik. Ia melihat masyarakat masih enggan pindah ke transport publik.
“Mindsetnya kendaraan pribadi itu bagi masyarakat Bali adalah jadi kaki mereka,” katanya.
Kejar-kejaran dengan penggunaan transportasi pribadi yang tak terkontrol, infrastruktur di Bali jadi ketimpangan. Tidak semua wailayah punya fasilitas yang sama.
“Apakah transportasi publik bisa mengurai masalah macet ini atau justru jadi sumber macet juga?” sebuah pertanyaan yang menggelitik untuk berpikir.
Menurut Mangde, prasarana transportasi publik itu sendiri di Bali masih terbatas. Ada beberapa transportasi publik belum bisa menjawab kebutuhan di kota dan tempat wisata. Meski sudah ada layanan bus dan trans metro dewata.
“Secara rute masih belum semua mencakup. Haltenya belum banyak. Kendaraan publik belum menjawab tata ruang yang kita miliki, kota yang kecil dan jalan kecil. Transportasi publik tidak bisa menjawab kondisi itu di Bali,” lanjut Mangde.
Belum lagi kondisi transportasi pariwisata saat ini, Sri menambahkan. Wisatawan yang ugal-ugalan jadi tantangan pariwsata untuk mengembangkan kendaraan yang layak. Ia memberi pertimbangan bagaimana hal paling dasar agar terpenuhi dalam transportasi publik. Pelru mempertimbangkan dari sisi keamanan, keselamatan dan kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, kemudahaan dan keteraturan.
Aturan dan teknis sudah diatur di menteri perhubungan. Meski semua sudah ada regulasinya tapi secara praktiknya tidak semudah yang kita bayangkan.
“Kalau perilaku manusia tidak bisa menerima kebiasaan itu, akan menghambat perencanaan. Tata kelola kepariwisataan sudah jelas. Perlu diturunkan ke juknis di lapangan. Moda kendaraan harus memenuhi persyaratan,” jelasnya.
Peserta diskusi ada yang menanyakan dampak pembangunan jalan tol Mengwi-Gilimanuk yang membuat kawasan rumahnya di Mengwi sangat padat. Ada juga pengguna transportasi publik tiap hari yang kecewa dengan kualitas trotoar dan halte.