Dunia digital memiliki karakteristik bebas. Namun, perilaku penggunanya sering kali tak inklusif. Hal ini menyebabkan Kai Mata, seorang aktivis LGBTQ lebih waspada mengekspresikan dirinya di media sosial.
Kai Mata yang juga seorang musisi, menyuratkan ekspresinya dalam karya lagunya tentang hak-hak LGBTQ dan kemanusiaan. Dari karya ini, sering sekali ia mendapat intimidasi dari melalui media sosial.
“Akun-akun yang menyerang menanyakan di mana alamat saya dan orang tua saya dan mengancam akan menemui saya. Itu membuat saya takut tapi orang bilang hanya online, katanya sengaja membuat saya takut. Meskipun itu online, konsekuensinya sangat besar dan berat. Ketika itu menyangkut keluarga saya, kalau saya sendiri it’s fine. Saya punya pilihan sebagai aktivis di Indonesia,” ceritanya dalam diskusi Tri Hita Digital dalam Anugerah Jurnalisme Warga 2022.
Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet yang turut menjadi pembahas dalam diskusi Merebut Ruang Digital untuk Merayakan Kebebasan Berekspresi Warga, AJW 2022 menanggapi kejadian digital yang terjadi pada Kai Mata. Kita pernah merasakan masa bertolak belakang ketika masa orde baru kita tidak bebas berekspresi, tidak bisa mendiskusikan topik-topik sensitif di tempat terbuka. Tapi saat ini kita ada di masa berbalik. Kita bisa menulis, berbicara, merayakan Imlek, itu menjadi outlet setelah sekian lama kita tidak bisa berekspresi.
“Kita ingin Indonesia seperti itu dan Bhinneka Tunggal Ika tercapai. Dengan kemajuan teknologi, internet bisa membantu demokratisasi dan kebebasan berekspresi. Ya, kita merasakan itu. Tapi sebentar,” kata Damar.
Sekitar 10 tahun lalu kebebasan itu bisa dirasakan. Tetapi ada momentum teknologi tidak hanya membantu berekspresi. Namun, di satu sisi saat ini ruang digital ini tidak menjadi ruang yang aman untuk berekspresi. Misalnya di media sosial di-bully, didoksing karena hal yang benar menurut pandangan kita.
Teknologi tidak bisa berdiri sendiri tanpa pengawalan ekspresi itu berjalan bebas. Ternyata dalam perjalanannya justru sekarang bisa menyuburkan rasa kebencian terhadap orang yang berbeda dan minoritas. Sehingga semakin mendiskriminasi dan tak inklusif. Hal lain yang juga terjadi di dunia digital Indonesia bahwa apa yang disampaikan di internet diancam hukuman pidana. Kriminalisasi yang muncul berasal dari pasal=pasal karet UU ITE.
Menurut Damar, hal-hal yang mengatur dunia digital kita saat ini berada di persimpangan jalan. “Seharusnya kita mengarah ke arah yang kebih baik lagi. Tapi justru kita berhadapan dengan berbalik ke masa yang dulu. Itu kenapa kita harus peduli jangan sampai semakin menjadi sesuatu otoriter,” ingatnya.
Begitu juga yang dirasakan Puri, alumni organisasi pembela HAM, KontraS, dan seorang praktisi platform media sosial yang juga sebagai pembahas diskui. Meski iklim berekspresi saat ini sudah jauh lebih baik, tapi orang-orang hari ini bertanya-tanya kenapa ketika kita menyampaikan laporan yang menurut kita penting justru dipidanakan. Mudah sekali ekspresi kita dipidanakan, dalam spektrum itu perlu dan penting memeriksa kembali. Kondisi saat ini hukum tidak lagi bisa digunakan secara transparan.
Masukan dan kritikan dalam ekspresi itu hari ini tidak dirasa nyaman oleh pemilik kekuasaan. Seperti hal menimpa teman-teman KontraS yang memastikan bagaimana setiap warga memiliki hak menyampaikan pendapat. Koordinator KontraS, Fatia dan Haris Azhar saat ini sedang menghadapi ancaman pidana karena menyampaikan hasil penelitian terkait Papua. Namun ada pejabat yang terganggu sehingga melaporkan dengan UU ITE.
Pengalaman hidup yang masih dirasakan Kai Mata di dunia digital menjadi pedomannya saat menggunakan media sosial. Kai lebih banyak melakukan tindakan preventif. Seperti tidak posting foto pacar, tidak posting foto keluarga, atau tidak posting lokasi terkini.
“Tindakan ini susah untuk karir saya sebagai musisi, karir saya yang sering diundang ke acara yang mengharuskan berbagi di media sosial, tapi saya berusaha tetap melakukan proteksi diri sendiri,” lanjutnya.
Damar menambahkan tips menghadapi situasi yang intimidatif. Apa yang terjadi pada Kai di sosial media menunjukkan dunia digital memiliki aspek alat untuk merepresi orang lain. Sosial media bisa menyebarkan polarisasi. “Serangan digital banyak ragamnya ada yang pernah terjadi pada Kai dan bisa pemidanaan UU ITE,” tambah Damar.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memproteksi diri sendiri, berusaha membatasi tidak mengekspos situasi saat ini juga. Kedua, mengenal atau mengetahui organisasi tempat untuk melapor/mengadu. Bisa juga melalui platform media untuk melaporkan kekerasan.
“Perlu dorong platform untuk mempromosikan tools mengadukan kejadian serangan digital. Untuk keadaan darurat, SAFEnet dan beberapa kelompok yang fokus di keamanan digital membuat gerakan respon cepat melalui TRACE,” paparnya. Terutama jika korban kekerasan digital adalah aktivis dan jurnalis.
Kalau aduan di platform tidak direspon, maka TRACE akan merespon. Damar bersama SAFEnet juga membuat pelatihan dan kampanye untuk mengurangi ancaman serta kejahatan di media sosial. Sehingga ketika serangan digital ini terjadi, kita bisa tahu harus ke mana.
Begitu juga Puri memberi tanggapan, bahwa apa yang dilakukan Kai adalah tindakan kecil yang mampu dilakukan oleh siapapun yang menghadapi serangan digital. Sebagai pengguna media sosial kita sadar ada ancaman apa yang bisa muncul jika terlalu banyak membagikan aktivitas di dunia digital.
Media sosial memang bisa mobilisasi sebagai media kampanye, tapi ada sisi lain yang bisa mengancam pengguna. Khususnya LGBTQ, terutama saat peristiwa untuk merayakan, mengekspresikan dirinya.
Menurut Puri, membangun koalisi/sinergi itu penting. Setiap platform digital sudah menyediakan cara melaporkan kekerasan. Namun, ketika laporan ini tidak cukup, inilah kenapa penting menjalin komunikasi dengan lembaga yang membantu di dunia digital ini.
Kai Mata berbagi cara nyata yang ia lakukan ketika mendapat serangan digital. Misalnya, ia akan ramai-ramai melakukan report. “Saya berbagi ke teman-teman untuk report akun penyerang. Agar tidak sendiri melawan ancaman digital,” tambahnya.
Di Indonesia masih banyak kejadian serangan digital, doksing, ada akun yang diretas tapi tidak dilaporkan. Maka penting punya akses bantuan, sehingga ketika serangan digital itu terjadi kita tidak tinggal diam, kita bisa lapor langsung ke platformnya.
Menurut Puri yang juga penting adalah edukasi pengguna pemula tentang literasi penggunaan media sosial. Postingan apa yang bisa dibagi, mana postingan yang perlu diawasi informasinya. Misalnya hati-hati mengisi alamat, rumah, aktivitas, lokasi. “Karena kita hidup di masyarakat yang rentan unutk melakukan bentuk serangan digital.”
Damar menjawab pertanyaan sesi diskusi terkait aksi kolektif untuk menghadapi serangan digital. Ada tiga hal untuk mendorong memulihkan rasa aman di internet. Pertama, tidak menggunakan pendekatan keamanan namun berganti ke penyadaran hak-hak digital. Karena kita punya hak, hal ini yang bisa diperjuangkan.
Kedua, mendorong regulasi internet di Indonesia sesuai standar, standar HAM Internasional, dan standar kebijakan yang ada biar tidak ada perbedaan. “Kalau di luar negeri regulasi digunakan untuk menangkap pelaku penipuan, kalau di indonesia malah menangkap pencemar nama baik,” keluhnya.
Ketiga, berorientasi pada manusia, jangan berbicara internet dari teknologi atau ekonominya saja. Menurutnya itu bukan hal paling penting. Namun bagaimana menjadi manusia yang dihargai saat menggunakan internet.