Yasa, bukan nama sebenarnya, sudah enam tahun bergiat di Rumah Berdaya, komunitas rehabilitasi psikososial yang sejak beberapa tahun lalu berada di bawah naungan Dinas Sosial Kota Denpasar. Para warga Rumah Berdaya adalah pengidap gangguan jiwa khususnya skizofrenia. Penyakit ini ditandai adanya delusi dan halusinasi serta pola pikir kacau, yang menyebabkan terganggunya fungsi kognitif dan pola hidup keseharian.
Di Rumah Berdaya, Yasa menekuni usaha sablon dan kerajinan. Baju kaos yang dibuat dijual dan hasilnya dibagi, sebagian digunakan untuk biaya operasional komunitas tersebut. Dia juga berkesenian, membuat lagu. Bersama dua teman penyintas skizofrenia, mereka membuat grup musik Arusaji, akronim dari Alumni Rumah Sakit Jiwa. Nama yang merupakan identitas dan “perlawanan”.
Didukung seorang psikiater, mereka meluncurkan album perdana Februari 2022 lalu dan mendapat sambutan antusias, tak hanya oleh masyarakat umum tetapi juga seniman musik di Bali. Kini mereka makin dikenal. Stigma masyarakat awam kepada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) ingin mereka hilangkan dengan terus menghasilkan karya.
Stigma ODGJ
Dokter Putu Krisna Aji, Sp,KJ, psikiater dan dosen Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Udayana menyebut, stigma terhadap OGDJ terjadi karena kurangnya pemahaman pada masyarakat awam. Mengenai gangguan mental yang juga merupakan gangguan otak, sama halnya dengan gangguan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala perilaku pada OGDJ dengan hendaya dalam menilai realita yang tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial.
“Saat penilaian masyarakat terhadap gangguan mental berubah seperti melihat pasien stroke dan gula darah, bisa saja sikap menerima akan dapat muncul dengan sendirinya. Walaupun demikian, masih banyak sekali penyebab dari stigma yang muncul di masyarakat di luar hal tersebut,” katanya.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Denpasar, jumlah ODGJ yang terdaftar di Kota Denpasar pada tahun 2021 sebanyak 746 orang. Dari data tersebut, ada yang sedang berobat, baik di Puskesmas maupun rumah sakit, ada yang sedang dalam pengawasan keluarga, ada yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali di Kabupaten Bangli. Ada pula yang diberdayakan di Rumah Berdaya yang beralamat di Jalan Raya Sesetan No. 280, Pegok, Sesetan.
“Untuk penemuan kasus baru, selama keluarga kooperatif untuk melaporkan anggota keluarganya yang mengidap gangguan jiwa ke desa/kelurahan maupun ke puskesmas yang mewilayahi atau berobat ke rumah sakit, pengobatan tentunya akan berjalan dengan baik,” jelas Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kota Denpasar Tri Indarti, SKM. Selama pandemi sejak dua tahun lalu, Tri menjelaskan, belum ada ODGJ di Kota Denpasar yang dilaporkan meninggal akibat Covid-19.
Vaksinasi ODGJ
ODGJ yang merupakan kelompok rentan diikutsertakan dalam program vaksinasi Covid-19 oleh pemerintah, tak terkecuali di Provinsi Bali. Anggapan awam tentang ODGJ tak normal, berbahaya dan susah diatur sehingga tak mungkin bisa divaksinasi tampaknya salah. Buktinya, vaksinasi yang menyasar ODGJ di Kota Denpasar berjalan dengan baik dan lancar.
Tri Indarti mengatakan, syarat ODGJ yang bisa menerima vaksinasi Covid-19 adalah ODGJ yang sudah dalam keadaan stabil atau dalam pengobatan teratur. Vaksinasi ODGJ di Kota Denpasar dilakukan di Rumah Berdaya. Selanjutnya, dilakukan bersamaan dengan vaksinasi untuk semua ragam disabilitas yang bekerjasama dengan Dinas Sosial Kota Denpasar.
Ditambahkan, syarat terbentuknya Herd Immunity atau Kekebalan Kelompok adalah minimal 80% dari sasaran sudah mendapatkan vaksinasi Covid-19, sesuai rekomendasi dari Komite Penasehat Ahli Imunisasi Nasional atau Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI). Capaikan vaksinasi di Kota Denpasar sudah melebihi 100%, dan di dalamnya sudah termasuk vaksinasi Covid-19 untuk penyandang disabilitas termasuk untuk ODGJ.
Kata Tri Indarti, dari jumlah total 746 ODGJ di Kota Denpasar, yang telah mengikuti vaksinasi tahap I dan II sebanyak 350 orang, sisanya 396 belum tervaksinasi. Kendala yang dihadapi petugas kesehatan di lapangan di antaranya, terdapat ODGJ yang memiliki komorbid sehingga menunggu penyakitnya terkelola dulu. Ada yang keluarganya menolak, selain ODGJ yang kurang kooperatif dengan alasan usia sudah tua, tak pernah keluar dan hanya berada di dalam rumah sehingga merasa tak mungkin terpapar Covid-19. Ada pula ODGJ yang takut akan efek samping vaksinasi Covid-19
“Itu kami evaluasi lagi, setiap puskesmas kan ada yang mewilayahi jadi perlu dilakukan pendekatan lebih lanjut. Jika ODGJ susah diberi pemahaman, kami ajak bicara keluarganya. Di lapangan, berdasarkan pengalaman kami ada ODGJ yang mau divaksin dan ada yang tidak. Bagi yang tidak mau kami tentu tak boleh berputus asa, terus melakukan pendekatan kepada ODGJ maupun keluarga atau pendamping ODGJ,” jelas Tri Indarti.
Vaksinasi Covid-19 kepada ODGJ juga dilakukan dengan sistem jemput bola atau door to door. Ditambah pelaksanaan vaksinasi bersama dan serentak bagi seluruh penyandang disabilitas yang ada di Kota Denpasar. Juga, vaksinasi umum di setiap desa/kelurahan yang juga menyasar disabilitas termasuk ODGJ yang sebelumnya dilakukan pendataan di setiap banjar, komunitas adat yang ada di Bali.
“Pengalaman tenaga kesehatan di lapangan, saat melakukan vaksinasi jemput bola ke rumah-rumah ODGJ, karena kini semua mesti terdaftar secara daring, kendalanya yakni sambungan internet. Bahkan, beberapa tenaga kesehatan mesti memakai data internet pribadi untuk dipinjamkan pada keluarga ODGJ. Selain itu, pada beberapa ODGJ yang kurang kooperatif, tenaga kesehatan mesti bersabar dan merayu ODGJ agar mau divaksin,” tuturnya.
Dokter Krisna Aji menyebut, kondisi ODGJ yang sukar diatur dan “berbahaya” untuk mengikuti vaksinasi sejatinya tidak selalu demikian adanya. Memang benar, perilaku ODGJ pada beberapa kasus tidak bisa diprediksi dan hal tersebut adalah hal yang menyebabkan stigma “berbahaya”. Walaupun demikian, perilaku yang sukar diprediksi tersebut dapat diminimalisir dengan terapi yang optimal dan pengawasan kondisi OGDJ oleh psikiater yang menangani.
“Hal ini berawal pula dari premis bahwa tingkat gangguan ODGJ memang berada pada spektrum yang luas sehingga ODGJ masih berada pada spektrum gangguan yang ringan, dan sudah divalidasi oleh profesional yang memahami, akan dapat divaksin dengan leluasa,” terangnya.
Selain itu, munculnya rumor bahwa vaksin Covid-19 mempunyai efek samping terhadap ODGJ keliru. Dikatakan dr. Krisna Aji, vaksin tidak berpengaruh terhadap kondisi mental pada ODGJ karena vaksin Covid-19 tersebut tidak memengaruhi neurotransmiter secara signifikan yang menjadi dasar adanya gangguan mental. Sama seperti penanganan Covid-19 pada masyarakat yang bukan ODGJ, dengan perbedaan di mana tetap diadakan pengawasan dan terapi terhadap kondisi mental pasien.
“Vaksinasi terhadap ODGJ sangat bagus karena OGDJ adalah kelompok yang rentan terkena Covid-19 akibat gangguan perilaku yang dapat menurunkan proteksi diri terhadap penyebaran wabah Covid-19,” pungkas dr. Krisna Aji.
Bahkan, kata dia, suksesnya vaksinasi terhadap ODGJ memiliki dampak sampingan misalnya promosi kesehatan. Jika ODGJ saja mau divaksin, mengapa masih ada sebagian kelompok masyarakat yang meragukan bahkan tak mau divaksin? Hal ini bisa saja terjadi. Menurut dr. Krisna Aji, karena kerentanan ODGJ terhadap Covid-19 yang akhirnya ditutupi dengan vaksin pada akhirnya dapat memberikan contoh bahwa vaksin Covid-19 memang memiliki potensi proteksi yang cukup signifikan pada masyarakat.
Tri Indarti menekankan soal sertifikasi atau bukti ODGJ telah mengikuti vaksinasi Covid-19 adalah melalui aplikasi PeduliLindungi. Memang, tidak semua ODGJ memiliki ponsel pintar (android). Kendala ini disiasati dengan menggunakan ponsel pintar keluarga atau pendamping ODGJ saat mendaftarkan ODGJ pada aplikasi tersebut.
“Hal terpenting, ODGJ memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang mana terdapat Nomor Induk Kependudukan (NIK). Jadi data ODGJ bisa di-input,” tukasnya.
ODGJ Terlantar
Di tengah kabar kesuksesan vaksinasi ODGJ di Kota Denpasar, masih ada ODGJ yang tak tersentuh vaksinasi Covid-19. Arif MD, relawan Komunitas Sosial dan Kemanusiaan ANOM Peduli memiliki empati dan perhatian besar terhadap kelompok rentan tersebut. Menurutnya, terdapat ODGJ terlantar yang ia dan kawan-kawannya dampingi dan bantu secara rutin dengan memberikan nasi bungkus setiap hari. Rata-rata mereka adalah orang Bali yang berasal dari Karangasem, Badung dan Denpasar.
“Kami mendampingi beberapa ODGJ yang biasanya berkeliaran di Kota Denpasar. Mereka menjadi ODGJ karena KDRT, ada juga karena persoalan asmara dan keluarga,” kata Arif.
Para ODGJ terlantar tersebut tuna wisma. Beberapa tidur di emperan toko di kawasan Jalan Gajah Mada, Denpasar dan sekitarnya. Mereka bertahan hidup dengan makan ala kadarnya seperti memungut di sampah, atau memakan sisa upakara atau sesajen saat ada persembahyangan. Selama Pandemi berlangsung, mereka luput dari pendataan dan perhatian pemerintah. Alih-alih vaksinasi Covid-19, kata Arif, untuk keberlangsungan hidup mereka saja belum ada tindak lanjut dari Pemkot Denpasar.
“Saya pernah melaporkan kondisi tersebut pada Kepala Dinas Sosial Kota Denpasar sebelum sekarang. Namun respon kurang, Alasannya, karena keterbatasan anggaran,” sebut Arif.
Untunglah, saat pandemi banyak merenggut korban jiwa tidak ada ODGJ terlantar di Kota Denpasar terpapar Covid-19. Padahal, mereka tidak pernah memakai masker, apalagi menjalankan protokol kesehatan.
“Bahkan, untuk makan saja sembarangan. Namun hal ini bukan berarti ODGJ kebal terhadap penyakit seperti anggapan banyak orang. Pengabaian terhadap ODGJ terlantar tetap merupakan hal yang perlu dikritisi,” tukas Arif.
Dirinya menyayangkan sikap pemerintah yang dinilainya setengah hati dalam menangani ODGJ terlantar. Padahal menurut Dinas Kesehatan Kota Denpasar, ODGJ memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi Covid-19 dan kemudian menularkannya kepada orang sekitar terutama kelompok rentan. Risiko kematian ODGJ juga meningkat dua kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lain. Oleh karena itu, salah satu cara untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ODGJ adalah dengan cara pemberian vaksinasi Covid-19.
Epidemiolog Universitas Udayana Prof. dr Pande Putu Januraga, M.Kes, Dr.PH menjelaskan, ada dua hal yang berbeda yakni ODGJ yang dirawat di rumah sakit dan yang tinggal serta dirawat di rumah. Mereka mempunyai risiko untuk kontak erat dengan penderita Covid-19 baik dari keluarga, pengunjung, atau dari yang merawat seperti dokter dan perawat. Kelompok ini juga perlu mendapat vaksin termasuk booster. Sedangkan, ODGJ yang berkeliaran di jalan atau tempat terbuka lainnya, risiko kontak erat lebih kecil.
“Mereka biasanya sendiri dan terisolir serta berada di luar gedung, jadi bisa dibilang tidak prioritas. Kelompok yang perlu diprioritaskan adalah mereka yang memiliki risiko kontak erat tinggi misalnya lansia, orang dengan disabilitas dan penderita komorbid,” ujar peraih gelar doktor di bidang kesehatan masyarakat Flinders University Australia tersebut.
Prof Pande menambahkan, dalam konteks vaksinasi Covid-19, jika hampir sebagian besar orang tervaksin maka akan ada semacam proteksi bagi minoritas yang belum tervaksin, ini termasuk ODGJ yang masih berkeliaran. Melihat persentase jumlah ODGJ di Kota Denpasar yang telah divaksin, menurutnya vaksinasi Covid-19 terhadap para ODGJ tersebut bisa dibilang sukses. Alasannya, tingkat kesulitan untuk vaksinasi bagi kelompok rentan dalam hal ini pengidap gangguan jiwa berbeda dengan kelompok lainnya.
“Kita juga harus ingat skala prioritas terkait potensi penularan Covid-19. Angka 40% sudah baik. Jadi, vaksinasi ODGJ harus tetap dilanjutkan terutama pada mereka yang berusia tua dan masih dirawat oleh keluarga atau di tempat perawatan lain. Untuk ODGJ yang berkeliaran, nantinya bisa diamankan untuk kemudian dilakukan perawatan,” ujar Prof Pande.
Menyoal ODGJ terlantar, Tri Indarti menyebut, di Kota Denpasar bila ada laporan dari masyarakat tentang adanya ODGJ terlantar yang gaduh-gelisah atau bahkan mengamuk dan serta menganggu keamanan dan ketertiban masyarakat umum, akan ditindaklanjuti oleh TPKJM (Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat) Kota Denpasar.
TPJKM sendiri telah terbentuk sejak 2006. Teknisnya, jika ada laporan dari masyarakat tentang ODGJ terlantar, Satpol PP Denpasar akan turun ke lokasi. Selanjutnya, dilakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Denpasar untuk memeriksa kondisi kesehatan ODGJ. Jika dirasa perlu untuk dirujuk ke Rumah sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali, maka selanjutnya tanggung jawab tersebut diberikan kepada Dinas Sosial Kota Denpasar.
“Penanganan ODGJ tidak bisa dilakukan sendiri, karena banyak instansi terkait yang terlibat di dalamnya,” sebut Tri Indarti.
Di lain sisi, selama dua tahun mendampingi ODGJ terlantar, Arif MD menuturkan, pihak Dinas Kota Sosial Kota Denpasar hanya menyampaikan kata “salut”, tetapi tak ada action lebih lanjut. Ditanya terkait hal tersebut, Kepala Dinas Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati mengatakan, jika terdapat ODGJ terlantar di Kota Denpasar akan ditangani oleh tim Quick Response yang terdiri dari beberapa OPD seperti Dinas Sosial, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Dinas Kesehatan.
“Apabila ODGJ tersebut mengalami gangguan kesehatan misalnya menunjukkan gejala relapse atau kekambuhan maka akan langsung dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali yang ada di Kabupaten Bangli,” tandas Laxmy.
Ia menambahkan, jika ODGJ tersebut tidak memiliki identitas atau surat pengenal maka Dinas Sosial Kota Denpasar akan mencari dan menghubungi pihak keluarga terlebih dahulu. Jika ia atau mereka adalah warga Kota Denpasar, maka akan diberdayakan di Rumah Berdaya. Dengan syarat, kondisinya telah pulih dan menjalani pengobatan secara teratur.
[Laporan Mendalam I Ketut Angga Wijaya, wartawan Gema Bali (bali.gemapos.id), media daring jaringan Genta Media Network-Jakarta. Tulisan ini merupakan hasil dari Pelatihan & Fellowship “Pers dan Komunikasi Risiko dalam Krisis Kesehatan” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerjasama dengan Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP)]. Pertama kali tayang di Gema Bali dengan judul “Benarkah Vaksinasi ODGJ di Denpasar Sukses?”]