Liputan Mendalam

Oleh: Ni Wayan Yeniari & Kadek Ayun Wardimas

Robi memerlihatkan sedotan plastik dalam genggaman tangannya yang dia kumpulkan dari pantai di Bali. Vokalis dan gitaris band Navicula itu seolah ingin menunjukkan, sampah-sampah plastik yang kita hasilkan sehari-hari akan mengotori lingkungan, termasuk berakhir di pantai.

Namun, ironisnya, kami justru menonton film ini dengan menggenggam gelas plastik dan sedotan plastik di tangan. Pada akhir April itu, kami masuk terakhir. Kaki kami terasa gemetar. Hati berdegup kencang. Ingin rasanya kami menyembunyikan wajah agar tidak ada satu pun penonton lain melihat. Namun, kami tidak bisa. Kami harus tetap melangkah dan menghadapi.

Hati kami merasa semakin bersalah saat melihat Robi dalam film Pulau Plastik. Robi dengan tegas menyampaikan bahwa di Indonesia beredar lebih dari 93 juta sedotan plastik setiap hari. Kami yang sedang menonton film tersebut termasuk dalam mereka yang memproduksi sampah plastik itu.

Gelas plastik dan sedotan di tangan kami memang sedikit. Namun, ketika dijumlahkan dengan sampah plastik dari warga lain, jumlahnya bisa mencapai ribuan ton per hari.

Menurut I Gede Hendrawan, dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, mengungkapkan, setiap hari Bali menghasilkan sampah hingga 4.281 ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 48 persen sampah terkelola dan 52 persen sampah masih belum dikelola dengan baik. Dari sampah yang belum dikelola dengan baik itu, 22 persen terbuang ke sekitarnya, 19 persen masih dibakar, dan 11 persen terbuang ke saluran air setiap harinya.

Penelitian yang menggunakan metode survei dan kajian lapangan ini dilakukan pada Januari hingga Mei 2019. Dalam penemuannya, peneliti menemukan bahwa 60 persen sampah yang mereka temukan adalah sampah organik, 20 persen sampah plastik, 11 persen kertas, 2 persen besi, 2 persen gelas dan lainnya 5 persen.

Hendrawan menambahkan bahwa sampah plastik paling banyak terbuang ke sungai. Sebanyak 20,7 ton tiap km persegi terbuang ke sungai, 3,9 ton terbuang di pantai dan 2,1 ton tiap km persegi terbuang di daratan. Meskipun demikian, Hendrawan mengapresiasi bahwa sudah 48 persen sampah telah ditangani oleh pemerintah ataupun komunitas.

Sampah di TPA Temesi Gianyar

Bali sendiri termasuk salah satu provinsi yang sudah memberikan perhatian terhadap isu plastik sekali pakai. Gubernur Bali Wayan Koster bahkan sudah mengesahkan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Nyatanya, menurut Hendrawan, efektivitas peraturan ini masih perlu dikaji lebih lanjut.

Di masa-masa awal (berlakunya Pergub), mungkin ada perubahan. Namun, walapun minimarket dan supermarket masih menerapkan larangan plastik sekali pakai, saya pikir efektivitasnya perlu diuji setelah dua tahun penerapannya. “Apakah ada perubahan atau tidak? Itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,” Hendrawan bertanya.

Menurut Hendrawan, Pergub Bali tentang sampah plastik sekali pakai perlu dibarengi dengan pengelolaan sampah secara komprehensif oleh pemerintah dan masyarakat. Pengelolaan sampah tidak bisa dilakukan secara parsial. Semua harus disiapkan dan dilakukan bersama-sama.

“Masyarakat perlu dididik, infrastruktur disediakan, dan sistem pengelolaan harus dibangun dengan baik,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar

Tak Cukup

Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar bisa menguatkan pernyataan Hendrawan. Peraturan saja memang tak cukup. Perlu ada penyediaan fasilitas pengolahan yang tidak hanya memadai, tetapi juga terjangkau oleh warga.

Tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi adalah satu-satunya fasilitas pengelolaan sampah di kabupaten seni ini. Toh, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gianyar, pada tahun 2020, TPA Temesi sudah penuh. Banyaknya sampah tercampur antara organik dan anorganik di TPA membuat beban sampah pun menumpuk dan sulit dikelola.

Ketua Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, I Wayan Cakra, membenarkan informasi Bappeda Gianyar. Setiap hari, sekitar 400 ton sampah warga Gianyar masuk TPA Temesi. Rinciannya, sekitar 70 persen adalah sampah organik, 15 persen sampah anorganik, dan sisanya merupakan sampah residu.

Karena TPA sudah penuh, pengelola pun memperluas lahan TPA terbesar di Gianyar itu. Namun, menurut Cakra, perluasan itu pun bukan menjadi solusi jangka panjang.

Cakra menambahkan, jumlah sampah di TPA Temesi sebelum dan selama pandemi COVID-19 cenderung stabil. Artinya, pandemi tetap tidak menjadikan volume sampah menurun. Masih tingginya volume sampah di TPA Temesi itu diperparah dengan belum adanya pemilahan sampah secara optimal dari sumbernya, warga. Akibatnya, masih perlu pengelolaan sampah lebih lanjut di TPA Temesi.

Aplikasi digital Griya Luhu

Pengelolaan sampah di Kabupaten Gianyar bisa menguatkan pernyataan Hendrawan. Peraturan saja memang tak cukup. Perlu ada penyediaan fasilitas pengolahan yang tidak hanya memadai, tetapi juga terjangkau oleh warga.

Tempat pembuangan akhir (TPA) Temesi adalah satu-satunya fasilitas pengelolaan sampah di kabupaten seni ini. Toh, menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Gianyar, pada tahun 2020, TPA Temesi sudah penuh. Banyaknya sampah tercampur antara organik dan anorganik di TPA membuat beban sampah pun menumpuk dan sulit dikelola.

Ketua Yayasan Pemilahan Sampah Temesi, I Wayan Cakra, membenarkan informasi Bappeda Gianyar. Setiap hari, sekitar 400 ton sampah warga Gianyar masuk TPA Temesi. Rinciannya, sekitar 70 persen adalah sampah organik, 15 persen sampah anorganik, dan sisanya merupakan sampah residu.

Karena TPA sudah penuh, pengelola pun memperluas lahan TPA terbesar di Gianyar itu. Namun, menurut Cakra, perluasan itu pun bukan menjadi solusi jangka panjang.

Cakra menambahkan, jumlah sampah di TPA Temesi sebelum dan selama pandemi COVID-19 cenderung stabil. Artinya, pandemi tetap tidak menjadikan volume sampah menurun. Masih tingginya volume sampah di TPA Temesi itu diperparah dengan belum adanya pemilahan sampah secara optimal dari sumbernya, warga. Akibatnya, masih perlu pengelolaan sampah lebih lanjut di TPA Temesi.

Dampak selanjutnya, biaya pengelolaan TPA Temesi pun lebih tinggi. Sebab, menurut Cakra, pemilahan menjadi sumber biaya operasional tertinggi. “Seharusnya, sampah yang dibawa ke TPA Temesi benar-benar sudah dipilah dari sumbernya,” harapnya.

Belum optimalnya pemilahan di tingkat warga itu menunjukkan masih rendahnya kesadaran warga. Untuk itulah, menurut Direktur Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, Catur Yudha Hariani, edukasi dan pendampingan bagi warga pun sangat penting dalam menangani masalah sampah. Komunitas menjadi bagian penting dalam edukasi dan pendimpangan tersebut.

Komunitas-komunitas peduli sampah di tingkat warga pun semakin berkembang. Salah satunya, menurut Catur, adalah lahirnya Komunitas Peduli Sampah pada tahun 2014. Komunitas ini terdiri dari beberapa organisasi nonpemerintah dan individu yang peduli pada sampah.

Selain itu, bank sampah di Bali juga mulai bermunculan.

Catur menambahkan dengan munculnya bank sampah, kesadaran warga menjaga lingkungan perlahan meningkat. Hal tersebut karena bank sampah telah memberikan edukasi, mengajarkan sistem menabung dan administrasi serta mendorong kegiatan sosial masyarakat di banjar.

Namun, sayangnya, sebagian masyarakat cenderung bergerak karena adanya iming-iming uang. “Orang belum menangkap pesan bahwa ketika kita menjaga lingkungan, maka kita akan menjaga kesehatan, sosial, dan ekonomi,” ujar Catur.

Penggunaan aplikasi bank sampah digital

Kebijakan

Masih rendahnya kesadaran dan kemauan warga memilah dan mengolah sampah itu pun terjadi di Gianyar. Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gianyar, Ni Made Mirnawati, mengatakan, selama pandemi, sampah di daerahnya tetap banyak. Padahal, kondisi pariwisata masih belum pulih. Kegiatan masyarakat pun dibatasi dengan lebih banyak di rumah.

Nyatanya, volume sampah tidak menurun jumlahnya meskipun Mirnawati tidak bisa memberikan data pastinya.

Untuk itu, Mirnawati berharap, setiap individu turut ambil bagian dalam mengurangi sampah. Misalnya, dengan cara sederhana membawa botol minum dan mengurangi pemakaian plastik sekali pakai.

Dari sisi kebijakan sendiri, Gianyar sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Gianyar Nomor 11 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Pasal 14 Perda ini menyatakan bahwa pemerintah daerah menyediakan prasarana dan sarana pemilahan sampah. Perda juga menjelaskan perlu dilakukan pemilahan sampah paling sedikit menjadi tiga pewadahan yaitu sampah yang mudah terurai, sampah yang dapat didaur ulang dan sampah lainnya. Pemerintah berperan sangat penting dalam penyediaan prasarana dan sarana pemilahan sampah. Dengan demikian, penanganan sampah akan lebih terpadu dari hulu hingga hilir.

Karyawan Griya Luhu memilah sampah

Di sisi hulu, warga sudah mulai mengelola sampah, seperti mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah. Namun, akan menjadi masalah jika saat pengangkutan, ujung-ujungnya sampah dicampur kembali dan hanya berakhir di TPA. Keadaan tersebut akan menumbuhkan perasaan kecewa dari masyarakat dan mengurangi kepercayaan serta kemauan masyarakat dalam mengelola sampahnya.

“Pemilahan sampah penting dilaksanakan karena diharapkan sampah dapat disalurkan ke tempat yang tepat. Minimal tumpukan sampah yang sampai di TPA Temesi tidak terus menggunung agar umur TPA Temesi menjadi lebih panjang,” tegas Mirnawati.

Jika sampah sudah dikelola dari sumbernya, diharapkan hanya sampah residu yang sampai di TPA Temesi. Volume sampah yang masuk ke TPA Temesi pun berkurang.

Oleh karena itu, Mirnawati melanjutkan, pemerintah sudah berusaha menyediakan fasilitas pengolahan sampah ini. Antara lain dengan memberi bantuan truk sampah untuk empat desa dan pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R). Tujuannya untuk lebih menggalakkan pengelolaan sampah dari sumber. “Supaya sampah yang sampai ke TPA Temesi semakin berkurang,” katanya.

Saat ini, Kabupaten Gianyar memiliki sembilan TPS3R. Enam masih aktif beroperasi dan tiga lainnya tidak.

Komunitas peduli sampah di Gianyar tersebut antara lain Rumah Kompos Padangtegal, Ubud; Yayasan Bumi Sasmaya; Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia, TPS-3R Desa Pejeng; dan Bank Sampah Griya Luhu. Kegiatan komunitas-komunitas tersebut tak hanya penyediaan fasilitas pengolahan sampah, tetapi juga pendidikan dan bahkan monetisasi, mendapatkan uang dari pengelolaan sampah.

[Baca lebih lanjut: Beragam Komunitas Peduli Sampah di Gianyar]

Bank sampah di Dentiyis Batuan

Di antara komunitas-komunitas tersebut, Griya Luhu sedikit berbeda. Mereka aktif juga dengan menyediakan bank sampah digital. Dengan menggunakan teknologi informasi, mengolah sampah pun jadi lebih mudah. Mereka juga membuktikan di tengah pandemi, metode penanganan sampah dengan aplikasi digital justru memudahkan warga untuk mengolah sampahnya.

Siti Mun Farida, kader kebersihan Banjar Sidan Kelod Gianyar, adalah salah satu warga yang menggunakan aplikasi Griya Luhu. Ida, panggilan akrabnya, menuturkan bahwa sebelum adanya aplikasi digital ini, dia harus bekerja keras. Dia harus mencatat jadwal, jumlah nasabah, dan jumlah tabungan nasabah. Kemudian, data tersebut direkap ulang lagi sesampainya di rumah.

Namun, sejak awal tahun 2021 dia tak perlu lagi membawa pekerjaan rumah layaknya anak sekolah. Dengan adanya program di desanya memperbaharui bank sampah, Ida pun tidak kewalahan lagi. Kegiatan bank sampah menjadi lebih mudah karena adanya aplikasi digital.

Pencatatan lebih gampang. Kita tidak kerja dua kali lipat juga. Untuk ngasih tahu nasabah, kita lebih cepat. Soalnya sekali klik, kita sudah tahu rekapan dari bulan-bulan sebelumnya,” ungkap Ida saat ditanya terkait kelebihan aplikasi ini.

Selain kemudahan dalam mencatat serta kecepatan dalam bekerja, dia menambahkan bahwa aplikasi ini mudah digunakan. Hanya dengan pelatihan selama satu jam, dia mampu memahami penggunaan aplikasi ini. “Saya senang dengan adanya aplikasi digital untuk pengelolaan bank sampah ini,” ujarnya.

Permakultur di Desa Padangtegal Ubud

Bank Sampah Digital

Griya Luhu adalah bank sampah digital. Pendirinya Ida Bagus Mandhara Brasika, sering dipanggil Nara. Sebelumnya, Nara bekerja sebagai analis perubahan iklim di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bangli. Setelah lima tahun bekerja di BLH Bangli, dia melanjutkan kariernya di Universitas Udayana sejak 2019.

Saat ini, dia merupakan peneliti sekaligus dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan
Universitas Udayana. Pada akhir tahun 2017, Nara lulus master di bidang teknologi lingkungan dari Imperial College London, Inggris. Setelah kembali di Bali, Nara ingin melakukan sesuatu untuk lingkungan. Dia pun bekerja di Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bangli.

Keterlibatannya di isu lingkungan membuat Nara semakin dekat dengan isu sampah. Dia merasa prihatin melihat lingkungan desanya, Desa Beng, Gianyar. Sampah masih dibuang begitu saja hanya agar jauh dari pandangan mata. Nara merasa masalah sampah perlu ditangani warga lokal. Dia mulai menghubungi beberapa teman yang dia rasa memiliki kepedulian sama.

Ajakan ini disambut dengan baik. Mereka pun membuat komunitas sampah di akhir tahun 2017. Hal-hal kecil mulai dilakukan seperti kampanye terkait isu lingkungan. Pada tahun 2018, komunitas itu disahkan sebagai Yayasan Mandhara Research Institute. Fokusnya di bidang lingkungan, pertanian dan pendidikan.

Namun, seiring waktu, Nara merasa tidak banyak perubahan di masyarakat. Alasannya, Griya Luhu terdiri dari kumpulan para relawan. Pergerakannya pun dirasakan lambat. Semua tergantung ketersediaan waktu para relawan. Meski demikian, Nara dan teman-temannya masih tetap aktif berkampanye lingkungan.

Satu tahun berjalan, Griya Luhu pun berkembang. Mereka membuat bank sampah di tingkat banjar yaitu Banjar Cagaan, Pengembungan dan Lebih, Gianyar. Saat itu kegiatan Griya Luhu di banjar masih sebatas pendampingan untuk pemilahan sampah. Adapun pengangkutannya dilakukan pihak lain, mitra Griya Luhu. Meski demikian, Nara cukup merasa senang melihat semangat ketiga banjar itu. Mereka mau belajar memilah sampah non-organiknya.

Lalu, pandemi mengubah segalanya. Tiga bank sampah yang didampingi Griya Luhu pun tutup sementara. Sama sekali tidak ada kegiatan. Larangan kerumunan membuat semua kegiatan Griya Luhu terhenti. Meskipun pandemi, produksi sampah tidak bisa dibendung. Sampah tetap tercipta setiap harinya.

Merespons situasi tersebut, Nara dan tim relawan pun melakukan perbaikan. Mereka menyewa tanah. Sebuah tempat sederhana dibangun sebagai bank sampah di daerah Tulikup, Gianyar.

Namun, setelah bangunan siap digunakan, kendala lain menghadang. Masyarakat melarang penggunaan tempat itu. Mereka mengira tempat itu seperti TPA. Akhirnya, Nara pun jeda sebentar. Hampir putus asa. Lebih-lebih lagi sumber dana yang semakin menipis, relawan yang semakin berkurang serta situasi pandemi yang tak segera usai.

Bangkit Bersama

Saat mengingat kembali mimpinya untuk melestarikan lingkungan, Nara pun beranjak. Dia memutuskan bangkit. “Awalnya saya berpikir pandemi ini bencana, tetapi ternyata berkah,” ungkap Nara.

Dia menyadari hal penting. Menurutnya, pertumbuhan Griya Luhu dari tahun 2017 hingga 2020 relatif biasa-biasa saja. Tidak ada perubahan cukup berarti. Kegiatannya pun tidak cukup jelas.

Sekitar Maret 2020, Nara berharap memiliki bangunan, fasilitas ataupun kendaraannya sendiri untuk bank sampah. Namun, harapan ini gagal karena suatu permasalahan di lapangan. Setelah tutupnya ketiga bank sampah, kerugiaan pembiayaan sewa tanah dan pembangunan, tim relawan yang semakin berkurang serta tidak punya kegiatan jelas, Nara bangkit bersama timnya yang masih tersisa.

Meskipun pandemi ini seperti musibah, tetapi ada berkahnya. Warga menjadi terbiasa dengan teknologi informasi karena harus bekerja, belajar, dan bahkan beribadah dari rumah.

Situasi itu menginspirasi Nara untuk menggunakan aplikasi digital bank sampah dalam kerja mereka. Nara menemui seorang temannya, Gede Wiguna, yang saat ini adalah tim teknologi informasi serta pengembang aplikasi Griya Luhu. Keduanya sudah kenal sejak di bangku sekolah menengah atas.

Nara tahu, temannya ini juga mempunyai keahlian serta ketertarikan terkait isu sampah. Mereka pun bekerja sama. Setelah dilakukan beberapa kali diskusi, Gede Wiguna mulai merancang aplikasi digital berbasis pada komunitas. Harapan mereka, aplikasi ini bisa mempermudah sistem kerja bank sampah.

Saat rancangan aplikasi ini siap, aplikasi pun didaftarkan di Play Store pada bulan Juni 2020. Saat ini aplikasi sudah bisa diunduh di Google Android.

Cara pakai aplikasi ini cukup mudah. Pertama, hanya perlu mengunduh aplikasinya di Play Store. Kedua, masuk dengan nama dan nomor pengguna (PIN) sebagai nasabah Griya Luhu. Nama dan nomor pengguna ini diberikan saat pertama kali menabung sampah.

Terakhir, masukkan data hasil timbangan sampah yang dibawa di aplikasi ini. Jumlah tabungannya pun bisa dilihat dari aplikasi. Jadi, kapan pun dan dari mana pun, jumlah tabungan bisa diketahui. Semuanya transparan, aman dan mudah.

Aplikasi Digital Griya Luhu ini memiliki beberapa fitur sederhana. Cara kerja aplikasi pun praktis. Dia dilengkapi beberapa fitur sederhana, proses menabungkan sampah terjadi lebih cepat. Selain itu, ada beberapa keunikan dari aplikasi digital bank sampah ini. Pertama, aplikasi digital ini bisa digunakan sebagai pencatatan data nasabah. Dengan kata lain, tidak diperlukan buku tabungan untuk pencatatan data nasabah.

Kedua, aplikasi ini digunakan sebagai pembukuan saldo nasabah. Nasabah pun bisa melihat jumlah saldo tabungan mereka melalui aplikasi ini. Hanya dengan memasukkan nama dan nomor pengguna, jumlah tabungan pun bisa dilihat.

Ketiga, aplikasi ini dilengkapi dengan katalog harga berbagai jenis sampah. Hal ini memudahkan proses memasukkan data jumlah sampah yang ditabung. Keempat, aplikasi ini dilengkapi dengan tips dan berita terbaru bank sampah terkini. Nasabah pun bisa mengetahui perkembangan berita bank sampah.

“Aplikasi Digital Griya Luhu berbasis komunitas,” ungkap Gede Wiguna, pengembang aplikasi ini. Dia menambahkan, seperti aplikasi digital lain, Griya Luhu juga terus mengalami pengembangan untuk mengikuti kebutuhan pengguna. Penambahan fitur pun diadakan saat ada kerja sama dengan pihak lain.

“Hingga saat ini, aplikasi ini belum berhenti bertumbuh dan terus disempurnakan,” ujar Wiguna, programmer lepas dan sistem analis ini.

Keberuntungan

Lahirnya aplikasi digital bank sampah Griya Luhu ini membawa deretan keberuntungan. Nara bercerita, dari keadaan sangat jatuh hingga rugi, tiba-tiba Griya Luhu mempunyai banyak cabang bank sampah. Pertama, pihak kelurahan di tempat Nara tinggal mengajak kerja sama. Mereka memberi izin penggunaan tempat serta kendaraan untuk kegiatan bank sampah.

Kedua, Griya Luhu juga mendapat bantuan kendaraan tanggung jawab perusahaan (CSR) dari Pertamina. Perkembangan Griya Luhu pun meningkat dengan adanya kerja sama dengan Yayasan Bumi Sasmaya, melalui program Merah Putih Hijau terkait pengelolaan bank sampah desa. Griya Luhu pun akhirnya mampu mempekerjakan petugas pemilah sampah.

Hanya dalam waktu sekitar enam hingga tujuh bulan, Griya Luhu kini memiliki 150 bank sampah yang menggunakan aplikasi ini. Perubahannya sangat drastis. Awalnya tiga bank sampah, kemudian nol bank sampah dan akhirnya 150 bank sampah.

Hingga akhir Mei 2021 sebanyak 149.794,8 kg sampah anorganik yang telah diterima Griya Luhu, terhitung dari Oktober 2020 hingga April 2021. Sementara dari semua sampah anorganik tersebut, sebanyak 31.000,3 kg sampah sudah terjual. Sampah yang sampai di Griya Luhu dipilah lebih lanjut, kemudian baru dijual.

Pesatnya perkembangan aplikasi bank digital di Gianyar membuat beberapa daerah lain di Bali kini turut menggunakannya. Misalnya Bank Sampah Dywik, Bangli; Desa Tembok, Buleleng; Kerambitan, Tabanan; dan EcoBali Recycling, Badung. Ada yang kerja sama dalam penggunaan aplikasinya saja, sementara lainnya dalam penggunaan aplikasi dan juga operasional. Operasional ini maksudnya, penggunaan aplikasi serta pendampingan bank sampahnya.

Nara mengatakan aplikasi ini akan mempermudah proses kerja mereka. Selain itu, transparansi data serta rasa aman dirasakan oleh pihak yang bekerja sama. “Hal inilah yang membuat mereka mau kerja sama,” tambah Nara. Dia berharap akan ada lagi kabupaten lainnya yang siap menyusul untuk kerja sama.

Dengan perkembangan Griya Luhu ini, Nara pun menambah timnya. Ada empat orang pemilah sampah bekerja dengan Griya Luhu. Dua dari mereka sudah bekerja selama enam bulan, sementara dua lainnya baru tiga bulan. Tiga orang berasal dari Beng, Gianyar dan satu orang dari Bangli. Meskipun pandemi membuat mereka kehilangan mata pencahariannya, mereka akhirnya punya harapan. Pekerjaan sebagai pemilah sampah ini mampu menghidupi mereka dan keluarganya.

I Dewa Gede Putra adalah salah satu pemilah di sini. Saat ditanya perasaannya selama bekerja, Dewa langsung menjawab senang karena bisa mengenal jenis-jenis sampah rumah tangga di sini. “Selain itu, penghasilan juga cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari,” tambah Dewa.

Dewa berharap masyarakat di Gianyar pada khususnya menjaga lingkungan dengan mengurangi plastik. Menurut pandangannya, banyak plastik yang terbuang di kebun warga. “Hal ini membuat tanaman susah tumbuh,” kata Dewa. Dia berharap bisa turut mengambil bagian untuk mewujudkan Bali yang bersih.

Griya Luhu menjadikan pengalamannya sebagai pemandu ke arah pertumbuhan yang lebih baik dan praktis. Setelah beberapa kali pendampingan bank sampah, tentunya banyak kendala. Namun, tantangan inilah yang membuka jalan pertumbuhannya setelah menggunakan aplikasi digital.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gianyar

Mimpi Besar

Salah satu desa dampingan Griya Luhu adalah Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Kepala Desa Batuan, Ary Anggara, menyampaikan masyarakat di Batuan sudah mulai memilah sampahnya dari rumah dan menabung di bank sampah.

Dari 1.824 Kepala Keluarga di Desa Batuan, sekitar 724 Kepala Keluarga sudah ikut menabung sampahnya di Bank Sampah Digital Griya Luhu. Meskipun demikian, Ary Anggara dan kader dari masing-masing banjar tetap menyupayakan agar masyarakat semakin banyak yang terlibat.

Salah satu kader dari Banjar Dentiyis, Desa Batuan, menyatakan kebahagiaanya saat adanya bank sampah di desanya. “Lingkungan saya jadi bersih. Dulu banyak yang buang sampah plastik, botol dan gelas pecah ke sungai atau tegalan. Sekarang saya bisa menabungkannya di bank sampah,” ungkap Ni Wayan Juliani.

Keberadaan bank sampah di banjar memberi manfaat bagi para kader dan warga. Selain kebersihan lingkungan, para kader ini juga merasa mendapat hiburan dengan bertemu rekan-rekannya dan bekerja bersama dalam pengelolaan sampah melalui bank sampah. Ini dianggap seperti ngayah untuk banjarnya. Besar harapan para kader agar kesadaran masyarakat untuk memilah sampahnya di rumah semakin meningkat.

“Untuk meningkatkan kesadaran ini, perlu adanya edukasi lebih lanjut atau pemberian apresiasi bagi warga yang melakukan pemilahan dengan baik,” Juliani menambahkan.

Kehadiran bank sampah digital Griya Luhu tidak hanya dikenal di Kabupaten Gianyar, tetapi sudah meluas ke Kabupaten Bangli, Singaraja, Tabanan dan Badung. Seiring perkembangannya, Griya Luhu berharap sampah menjadi tanggung jawab bersama.

“Sampahku, tanggung jawabku,” tegas Nara. Nara pun menambahkan bahwa tanggung jawab harus datang dari segala pihak. Bukan hanya pribadi, tetapi juga pemerintah serta industri yang menghasilkan sampah itu sendiri.

Griya Luhu berharap sistem digital ini bisa dikembangkan se-Indonesia. “Ini mimpi besar Griya Luhu,” kata Nara. Jika sebelumnya Indonesia pernah menjadi juara kedua di dunia sebagai penghasil sampah terbesar, mungkin Indonesia akan bisa menjadi juara dunia sebagai pengelola sampah terbaik.

Meskipun demikian, Nara menambahkan, sistem digital ini hanya alat bantu. Hal lebih penting adalah perubahan perilaku masyarakat yang kolektif serta cara pengelolaan sampah yang profesional. [b]

Beragam Komunitas Peduli Sampah di Gianyar

Di Kabupaten di Gianyar, ada berbagai komunitas yang ikut terlibat dalam pengelolaan sampah. Berikut profil lima di antara komunitas-komunitas yang mengelola sampah di tingkat lokal maupun aktif menggunakan platform digital tersebut.

Rumah Kompos Padangtegal, Ubud

Suara mesin lumayan terdengar saat kami berjalan menuju bangunan Rumah Kompos Padangtegal. Sembari melangkah perlahan, kami bertanya-tanya sebesar apakah mesin itu? Saat kami mendekat, kami melihat sebuah mesin pencacah dan beberapa orang berseragam hijau tampak sedang bekerja. Lengkap dengan masker di wajah, selop tangan serta sepatu bootnya, tangan mereka sibuk bekerja. Mereka adalah tim organik.

Kami berdiri diam dan mengamati mereka dari atas. Tampak seseorang menurunkan sampah dari mobil truk menuju tempat pemilahan. Dua orang memilah sampah yang lewat di hadapannya. Memastikan tidak terselip sampah anorganik. Dua orang lainnya lalu mencacah sampah organik itu menggunakan sebuah mesin.

Kami merasa adanya keharmonisan saat mereka bekerja. Meski bekerja dalam diam, pandangan mata dan gerak tangannya menunjukkan keahlian mereka bekerja.

Rumah Kompos Padangtegal terletak di Desa Padangtegal, Ubud, Gianyar. Hanya memerlukan waktu lima hingga sepuluh menit dari pusat Ubud. Lokasinya terletak di selatan pusat Ubud, persis di samping Monkey Forest. Tempat parkirnya pun luas. Kendaraan bisa diparkir tepat di depan Gedung Rumah Kompos.

Manajer Rumah Kompos Padangtegal, I Dewa Gde Sathya Deva, mengatakan Rumah Kompos Desa Adat Padang Tegal merupakan inisiatif desa adat dalam mengelola sampah berbasis sumber. Melalui fasilitas yang berdiri sejak 2012 ini, desa adat ingin mewujudkan Desa Padangtegal sebagai desa percontohan yang bisa mengolah sampah dengan baik sekaligus memperhatikan keberlangsungan lingkungan sekitar.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, Rumah Kompos Padangtegal melakukan kegiatan dari hulu hingga hilir.

Di tingkat hulu, mereka mengangkut sampah dari rumah ke rumah. Sampah hanya akan diangkut jika warga telah memilah sampahnya. Pemilahan ini ditekankan karena memang menjadi salah satu misi Rumah Kompos Padangtegal.

Di tingkat hilir, saat sampah sampai di fasilitas, sampah diolah berdasarkan pemilahan yaitu sampah organik, sampah anorganik, serta sampah residu. Sampah organik diolah untuk dijadikan kompos, sementara sampah anorganik dijual. Sisanya, sampah residu dibawa ke TPA Temesi.

Deva menyampaikan bahwa pada tahun 2020 tercatat 1.400 truk sampah selama satu tahun. Hanya 45-46 persen sampah diolah dan sisanya dibawa ke TPA. Dari keadaan tersebut, Deva merasa sampah yang dikelola masih bisa dioptimalkan.

“Di tahun 2021, tercatat hingga Maret 2021, 79 persen bisa diolah bersama rekanan yayasan, sementara 21 persen kita buang ke TPA,” ungkap Deva.

Untuk menjalankan misinya, selain tersedianya tempat pengolahan sampah, Rumah Kompos Padangtegal juga memiliki ruang teater dengan kapasitas 100 orang, kebun permakultur dan lahan untuk pertanian lahan kering. Rumah Kompos Padangtegal sangat terbuka bagi siapapun untuk berbagi cara pengolahan sampah. Selain itu, fasilitas teater dan kebun permakultur juga bisa digunakan sebagai tempat edukasi masyarakat luas.

Deva mengaku, pengelolaan rumah kompos masih menghadapi beberapa kendala. Misalnya dari segi teknis perlu memiliki mesin mumpuni dan sistem memadai. Selain itu, dari segi manajemen perlu orang-orang yang tak sekadar bekerja, tapi punya semangat dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu tidak hanya warga Desa Adat Padangtegal yang mendapat edukasi, tetapi juga bagi tenaga kerja di dalamnya.

Kondisi sampah selama pandemi khususnya di Rumah Kompos Desa Adat Padang Tegal terjadi penurunan. “Hal tersebut karena banyak pelanggan dari sektor pariwisata dan selama pandemi mereka sangat terdampak,” ujar Deva.

Grafik Jumlah Sampah Masuk (m3) pada Januari 2020 – April 2021

Rumah Kompos Padangtegal berharap bisa mendukung desa mewujudkan visinya menjadikan desa bersih dan hijau, bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah dan berkegiatan dengan tetap sejalan dengan kelestarian lingkungan.

“Dari segi Rumah Kompos sendiri sebagai tempat pegolahan, sebenarnya ada harapan besar dimana masyarakat juga bisa mengolah sampahnya benar-benar sendiri di rumah tangga,” tambah Deva.

Yayasan Bumi Sasmaya

Deretan sepeda motor dan mobil memenuhi parkiran yang pinggir jalan, tepat di depan kantor Yayasan Bumi Sasmaya. Kami bingung harus parkir di mana. Akhirnya kami menggeser dan merapikan beberapa motor sehingga kami bisa ikut parkir di sana.

Saat kami hendak memasuki ruangan, kaki terasa lumayan berat. Mengapa? Dari kaca luar kami bisa melihat beberapa orang di ruangan tampak serius bekerja. Mereka fokus menatap layar laptop ataupun komputer. Setibanya di ruangan, kami semakin yakin mereka orang-orang yang super sibuk. Sekelompok orang sedang melakukan rapat di sebuah ruangan kecil, sementara lainnya tetap fokus pada kesibukannya.

Kami bingung, harus bertanya pada siapa. Takut jika kehadiran kami mengganggu.

Akhirnya seorang perempuan muda datang menghampiri kami. Mempersilakan kami duduk di beberapa kursi yang ditinggalkan pemiliknya rapat. Sembari menunggu, kami memperhatikan para staf yang bekerja. Tak ada suara yang keluar dari bibir mereka yang bekerja. Mereka tampak profesional. Akhirnya setelah lima menit, kami bertemu dengan Agastya Yatra, Ketua Yayasan Bumi Sasmaya.

Yayasan Bumi Sasmaya adalah organisasi nirlaba yang berdiri sejak tahun 2017 di Ubud, Gianyar. Tujuan terbentuknya yayasan ini yaitu untuk membantu desa-desa mengelola sampahnya secara mandiri. Yayasan yang berfokus pada permasalahan lingkungan ini, membantu edukasi, advokasi, politik, dan membangun relasi antara desa adat dan desa dinas. Bahkan, mereka juga membangun fasilitas untuk mengelola sampah dari sumbernya.

Agastya Yatra mengatakan ada beberapa permasalahan di lapangan. Misalnya TPA penuh serta masyarakat yang belum sepenuhnya sadar tentang pemilahan sampah dan belum teredukasi dengan regulasi.

Oleh karena itu, untuk menanggapi permasalahan sampah, Yayasan Bumi Sasmaya memiliki program Merah Putih Hijau (MPH). Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah di sumber. Menurut Agastya, masih banyak sampah yang terbuang ke landfill. Padahal itu bisa dimanfaatkan sebagai pemasukan untuk desanya sendiri dengan cara mengolah sampah di sumber, di rumah masing-masing dan menjadikannya kompos.

MPH sudah mendampingi beberapa desa. Pada tahun 2017 hingga 2018, mereka mendampingi Desa Pererenan Badung. Sementara pada tahun 2019 hingga 2020 mereka mendampingi Desa Taro dan Desa Pejeng di Gianyar. Di tahun ini, mereka sudah mendampingi beberapa desa lainnya di Gianyar seperti Desa Babkbakan, Tulikup, Sidan, Bresela dan Petak Kaja, erta Desa Pejarakan di Singaraja.

Selain itu, saat ini mereka sedang mendampingi Desa Suwat, Tampaksiring dan Tegal Tugu di Gianyar. Keberadaan MPH tidak hanya untuk mendampingi di seputar Gianyar, tetapi juga Badung dan Singaraja.

Dalam menjalankan programnya, Yayasan Bumi Sasmaya juga menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, menurut Agastya, perlu waktu yang tidak sebentar dalam proses mengubah budaya dan nilai menjadi lebih baik.

Dia menambahkan agar program yang sudah terlaksana dengan baik bisa terus berlanjut. Meskipun terjadi pergantian kepemimpinan, tetapi program yang sama tetap bisa dilakukan.

Oleh karena itu, MPH juga menjalin kerja sama dengan instansi lain dalam pengelolaan sampah. Pada tahun 2020, Yayasan Bumi Sasmaya bekerja sama dengan Griya Luhu. “Kami bekerja sama terkait edukasi pengelolaan material anorganik dan program bank sampah di desa binaan MPH,” kata Anak Agung Istri Tatik Rismayanti selaku Projek Manajer di sini. Kepedulian MPH terkait pemisahan sampah menjadi dasar kerja sama ini.

“Untuk mempercepat gerakan, perlu kerja sama dengan pihak yang siap membantu kami untuk memberikan edukasi dan jasa angkut material anorganik,” ungkap Tatik.

Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia

Pandangan mata terasa disegarkan melihat deretan pepohonan dan bibit tanaman tersusun rapi saat kami memasuki area Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia ini. Cuaca cukup panas. Namun, sapaan pemiliknya membuat hati kami senang.

Kami pun melanjutkan perjalanan menuju gudang bank sampah yang dikelola yayasan ini. Tampak tumpukan sampah tersusun rapi. Sebuah mesin pencetak tampak gagah di tengah. Tidak ada satu pun pekerja. Mereka sedang libur, kata pendiri yayasan ini.

Sebelum bertanya lebih dalam terkait pengelolaan sampah, canda tawa memenuhi vibrasi di tempat ini karena kami sudah kenal pendirinya. Jadi seolah rasanya sedang reuni.

Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia berdiri secara resmi di awal tahun 2020 meskipun beraktivitas sejak tahun 2018. Anggota mereka anak-anak muda di wilayah Kecamatan Payangan, Gianyar. Menurut Ketua Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia, I Wayan Artadana, fokus mereka memang pada edukasi dari pengelolaan sampah sampai menularkan semangat reduce, reuse, dan recycle (3R) kepada anak-anak muda.

Yayasan Harmoni Parahyangan Indonesia terus menularkan semangat 3R. Tidak hanya ke sekolah, tetapi juga ke masyarakat, ke banjar, sampai dunia usaha. Namun, pada tahun ini, fokus kegiatan mereka masih pada bank sampah untuk mengelola sampah anorganik.

Sampai saat ini, ada 17 banjar bank sampah dan 20 sekolah didampingi di Kecamatan Payangan hingga di Kecamatan Ubud.

I Wayan Artadana berharap isu sampah tidak dipandang sebelah mata. Menurutnya, banyak pihak sudah berkontribusi melakukan tindakan nyata untuk lingkungan. Dia berharap orang-orang yang sudah memiliki semangat, keinginan, dan kontribusi yang sama bisa terus bisa berkolaborasi untuk lingkungan.

“Sampah bukanlah masalah perorangan. Bukan tanggung jawab orang hulu, bukan tanggung jawab orang hilir, tetapi semua orang. Setiap orang akan menghasilkan sampah, dan tentu saja tanggung jawab bersama ini harus dilakukan secara bersama sama,” tambahnya.

TPS-3R Desa Pejeng

Suara mesin pencacah sampah organik terdengar keras di telinga. Tampak seorang pekerja sedang mencacah sampah menggunakan mesin. Sementara tiga pemilah sedang memilah sampah organik. Mereka tersenyum seolah menyapa kami. Di sisi lain, dua orang sedang memilah dan membersihkan plastik lembaran ataupun botol plastik.

“Silahkan duduk,” sapa Sri Umayanti dengan ramah. Kami merasa nyaman dengan keramah-tamahan ini. Setelah berbincang-bincang ringan selama beberapa menit, kami pun mulai bertanya terkait pengelolaan sampah di TPS 3R ini.

Ketua Kader Kebersihan Desa Pejeng dan Manajer Fasilitas TPS-3R Desa Pejeng, Sri Umayanti, mengatakan Desa Pejeng mengawali pengelolaan sampah di TPS3R sejak Januari 2020. “Kami melakukan gerakan kebersihan Desa Pejeng dengan membentuk kader, menyediakan fasilitas dan sebagainya,” ujarnya.

TPS-3R Desa Pejeng mengelola sampah organik dan anorganik. Masyarakat diedukasi memilah sampah dan membawanya ke fasilitas TPS-3R untuk dikelola lebih lanjut. Sampah organik dikelola menjadi kompos sedangkan sampah anorganik dipilah dan berikutnya dijual. Adapun sampah residu dibuang ke TPA Temesi.

Hal ini tidak mudah. Dia mengatakan bahwa tantangan terbesar yang dihadapi yaitu menyadarkan masyarakat. Untuk itu, secara rutin, para kader ke masing-masing rumah untuk mengecek sampah yang terpilah serta memotivasi ibu-ibu untuk terus memilah sampahnya.

Meskipun tak mudah, Sri menambahkan, para Kader Kebersihan Desa Pejeng harus terus melakukannya. Untuk itu, mereka mengharapkan dukungan dari masyarakat, pihak desa, dan kabupaten. “Kami tidak bisa melakukannya sendiri,” katanya.

Dia mengatakan bahwa timnya akan terus melakukan edukasi ke masyarakat melalui para kader. Mereka berharap hal seperti ini juga bisa dilakukan oleh desa-desa lainnya untuk Indonesia bersih. [b]

Laporan mendalam ini merupakan karya penerima beasiswa
Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) BaleBengong 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.