Sejak akhir Januari 2020, Bali mulai mengalami dampak pandemi COVID-19. Jumlah turis terus menurun bahkan kemudian nyaris tidak ada sama sekali setelah adanya penutupan penerbangan komersial maupun perhubungan darat dan laut, untuk mencegah meluasnya penularan virus corona baru penyebab COVID-19 di kiblat pariwisata Indonesia ini.
Ketika pandemi menghantam Bali dan pariwisata terpuruk, wacana lama pun kembali muncul, Bali sebaiknya kembali ke pertanian sebagai penopang utama pembangunan ekonominya. Selama ini, Bali dianggap terlalu menomorsatukan pariwisata dan, sebaliknya, melupakan pertanian, sebagai akarnya.
Namun, bagi sebagian anak muda, kembali pertanian itu tak lagi sekadar wacana. Mereka kembali ke pertanian setelah sebelumnya menggantungkan hidup dari pariwisata. Sebagian lain telah lebih dulu terjun ke sawah, kebun, dan kandang lalu menggunakan teknologi informasi untuk menaikkan pendapatan petani sekaligus harapan bahwa pertanian bisa menjadi masa depan Bali.
***
Bagi I Kadek Didi Suprapta, 39 tahun, bekerja di pariwisata layaknya main ayunan tembak (sling shot) yang sedang marak di Bali. Sangat menyenangkan, tetapi juga rentan. Posisinya sangat berubah cepat naik turun. Setelah sempat merasakan kejayaan bekerja di sektor ini, sekarang Dek Didi, panggilan akrabnya, sedang menghadapi situasi sulit akibat pandemi COVID-19.
Sebagai anak muda yang tumbuh di tengah masifnya teknologi informasi, Dek Didi memulai bisnis di bidang pariwisata dengan memanfaatkan teknologi tersebut. Alumni Fakultas Hukum Universitas Udayana itu semula membuat blog jalan-jalan. Makin hari, makin banyak turis memintanya untuk menjadi pemandu perjalanan di Bali setelah membaca ulasan Dek Didi di blog.
Sejak 2007, Dek Didi membuka layanan itu melalui media daring. Menjadi pemandu perjalanan bagi turis-turis yang ingin menikmati Bali, terutama di pelosok Bali. Usahanya terus berkembang. Dari semula sendiri, dia bahkan memiliki 20 staf. Uang yang berputar di tempat usaha perjalanan miliknya berkisar Rp 100 juta hingga Rp 500 juta.
Kemudian, badai pandemi COVID-19 pun sampai di Bali. Merontokkan usaha-usaha pariwisata di pulau yang amat menggantungkan ekonominya dari bisnis pelesiran itu, termasuk Dek Didi. Usaha perjalanan yang dia rintis berhenti total sekarang. Awalnya hanya sebagian tamunya membatalkan pemesanan. Lalu, sejak awal Maret sudah tidak ada tamu sama sekali. Dia harus merumahkan semua staf karena tidak ada pendapatan sama sekali.
“Kerja di pariwisata memang rentan sekali, terutama kalau ada kejadian-kejadian seperti saat ini,” katanya.
Begitu pariwisata Bali menunjukkan gejala akan mati suri sejak awal Maret, Dek Didi mengingat kembali akarnya, pertanian. Dia memang lahir dan besar di salah satu pusat produksi sayur mayur Bali, Kintamani. Rumahnya di Desa Songan A, Kecamatan Kintamani, Bangli dikelilingi areal kebun-kebun sayur.
Pada pertengahan April lalu, musim panen untuk tomat dan terong telah tiba. Keluarganya di desa di kaki Gunung Batur itu sudah panen. Dek Didi pun cekatan menghubungkan petani di desanya dengan pembeli di kota melalui teknologi yang dulu juga membesarkannya di bisnis pelesiran, Internet.
Dek Didi antusias memerlihatkan aplikasi yang sudah dia buat, Lapak Sayur Online, di ponselnya. Menurut Dek Didi, ide pembuatan aplikasi pasar daring (online market) Lapak Sayur itu dia buat setelah melihat beberapa aplikasi serupa di luar Bali. “Akhirnya terpikir untuk membuat aplikasi serupa. Apalagi saya memang berasal dari kampung yang menghasilkan sayur-sayuran,” katanya pertengahan April lalu.
Menurut Dek Didi, selama ini hasil pertanian tersebut dijual kepada tengkulak. Akibatnya, petani hanya mendapatkan sedikit keuntungan. Dia pun berusaha mempertemukan langsung petani di tingkat produksi dengan konsumen di tingkat konsumsi melalui aplikasi yang masih dalam tahap pengembangan tersebut.
“Selain lewat aplikasi, konsumen juga bisa berbelanja lewat, Facebook, Instagram, Whatsapp atau Messenger,” lanjutnya berpromosi.