Pagi itu Pantai Tanjung Benoa di kawasan selatan Bali terlihat tenang. Matahari pun hangat menyentuh tubuh. Mesin-mesin kapal mulai dihidupkan bersahut-sahutan. Sangat bising. Orang-orang ramai memenuhi setiap sisi pantai. Ruang terbuka itu pun terasa sesak.
Turis hilir mudik di pantai berpasir putih itu. Hampir semuanya wajah-wajah warga negara asing. Kulitnya putih, rambutnya agak merah. Tawa-tawa tak pernah lepas dari wajah mereka. Seperti umumnya turis, mereka juga saling berpose dan berekspresi penuh seceria lalu diabadikan dalam bidikan kamera.
Di tempat lain, beberapa orang sedang sibuk memasang perlengkapan di tubuh dan bersiap untuk mencoba atraksi wisata air (watersport) yang ada. Mulai dari banana boat, flying fish, wave runner, parasailing, scuba diving, seawalker dan yang lainya.
Di antara riuh pantai dan para turis itu, beberapa anak berlarian. Umurnya sekitar 7-10 tahun. Mereka berlari ke sana kemari. Bukan untuk bermain pasir atau menikmati laut, tetapi membawa keranjang. Tangan kiri memegang keranjang agar tidak jatuh saat angin laut menyambut. Tangan kanannya memegang manik-manik berupa kalung dan gelang.
Dengan wajah polos dan penuh keberanian mereka menawarkan manik-manik itu kepada wisatawan asing yang berkunjung. Namun, tak satu pun wisatawan membelinya. Anak-anak yang seharusnya hanya belajar dan bermain itu kini harus menjajakan lagi satu per satu barang mereka kepada turis yang berlibur di tanah kelahiran mereka, Bali.
Tanjung Benoa bisa menjadi contoh bagaimana acak adutnya tata kelola pariwisata Bali saat ini. Kapal-kapal pengangkut turis dari Tanjung Benoa berseliweran di antara turis-turis lain yang menikmati atraksi wisata air. Di lokasi yang sama terdapat pula tempat snorkeling dan menyelam.
Jumlah turis juga seolah tak terkendali. Berapapun diterima. Padahal, daya dukung alam, apalagi pantai pasti ada batasnya.
Tanjung Benoa, lokasi favorit wisata pantai di Bali, mungkin bisa menjadi petanda kian sesaknya Bali akibat pariwisata yang tidak berkelanjutan. Padahal, pariwisata adalah napas Pulau Bali. Jika napasnya sesak, maka aktivitas apapun akan menjadi terhambat.
Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana I Nyoman Sukma Arida mengatakan jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini bisa menjadi bumerang bagi Bali yang amat tergantung pada sektor pariwisata sekaligus jendela pariwisata Indonesia. Wisata bahari di satu sisi bisa menciptakan peluang, tetapi di sisi lain juga bisa menjadi ancaman.
“Di satu sisi potensi bisa dikembangkan, tetapi dis isi lain peluang untuk terancamnya ekosistem menjadi lebih besar,” kata Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Bali ini.
Sebagai etalase pariwisata Indonesia, Bali pun saat ini menghadapi ancaman tersebut.
Sebagian pariwisata bahari di Bali, menurut Sukma, tidak menjaga ekosistem laut. Misalnya di pantai Lovina, Bali bagian utara yang terkenal sebagai tempat menonton luma-lumba. Saat pagi hari jumlah pengunjung yang ingin menikmati wisata lumba-lumba melebihi kapasitas.
“Jika hal ini terus berlangsung, lumba-lumba akan pergi. Seharusnya ada tindakan konservasi jangan hanya eksploitasi,” jelasnya.