Berkualitas adalah ingatan warga yang mengenal kualitas pangan dari tanah karang dan berkapur Nusa Penida. Seiring membeludaknya pebangunan sarana wisata, ingatan itu kini memudar.
Pasar Toyapakeh, Desa Ped, Pulau Nusa Penida, pada pukul 9 pagi sudah lengang. Pedagang sayur dan buah-buahan sudah santai membersihkan dagangannya.
Namun salah satu kios yang tak sepi pengunjung adalah milik Hajah Bariah. Ia sedang melayani para pembeli yang datang silih berganti membeli beras, jagung, air galon, dan lainnya.
Dalam warungnya paling banyak tersedia aneka merk beras putih, jagung butiran dan remuk yang sudah dibungkus, telur, gula pasir, minyak sawit, dan air galon. Seorang nenek, Meme Putu membeli satu kilogram beras dan jagung.
Harga beras hampir sama dengan di Pulau Bali, merk Supermama dijual Rp 12 ribu/kg. “Biaya transport ke Nusa lebih mahal, untungnya lebih banyak untuk pedagang di Pulau Bali,” kata Bariah, perempuan tengah baya yang lahir di Nusa Penida ini. Bapak dan ibunya juga sudah mukim lama di kepulauan yang kini makin ramai wisatawan ini.
Kiosnya memasok beras sekitar satu ton per bulan untuk memenuhi permintaan pelanggannya. Ia mengatakan dari seluruh sembako yang dijual, sembako dari Nusa hanya jagung, itu pun tak rutin yang bisa didapatkan dari Nusa. Lainnya, harus dibeli grosir dari Klungkung. Baru kemudian dilayarkan ke Nusa dari Kusamba menuju Pelabuhan Toyapakeh.
Kebutuhan minyak juga tak bisa dipenuhi walau di Nusa Penida ada pohon kelapa. Menurutnya selain lebih mahal, orang yang buat juga langka. “Lebih banyak dijual kelapa mudanya,” tambahnya. Masuk akal, karena di sejumlah lokasi objek wisata, kelapa muda bisa dijual sampai Rp 20 ribu per biji. Buah kelapa tak menunggu tua, karena habis dipetik saat menghasilkan kuud, daging kelapa muda. Tak sedikit ladang kelapa hilang berganti jadi villa atau hotel.
Ketika bersua Bariah, pada 12 Februari 2020, sudah lebih seminggu ini Nusa Penida terdampak penutupan penerbangan dari dan menuju Cina daratan karena penyebaran virus Corona Baru (COVID-19). Suasana di sejumlah pelabuhan lebih sepi dibanding biasanya, karena turis Cina datang dalam rombongan.
“Dagang sayur yang kena, kalau saya sih tidak, orang kan perlu beli tiap hari,” ujarnya sambil menunjuk rekannya sesama pedagang di dalam pasar.
Sebuah pick-up berisi tumpukan kardus air mineral dan air galon tiba depan warungnya. Ia segera mengambil uang pembayaran. Para pekerja distributor air ini dengan sigap memindahkan belasan kardus ke gudang.
Pasokan air kemasan dan air galon dari Pulau Bali menjadi komoditas makin penting saat ini. Harganya dua kali lipat lebih mahal, sekitar Rp 34 ribu per galon. “Apalagi pas Pelabuhan Padangbai perbaikan, harga naik, barang susah,” seru salah seorang pekerjanya.
Bariah mengatakan Desa Ped cukup beruntung ada PDAM, namun warga sudah terbiasa konsumsi air untuk minum dengan membeli galon atau kemasan. Beda dengan masa kecilnya, masih memasak air sumur. Air PDAM juga kadang mati, sama dengan listrik.
Memasok sembako untuk kebutuhan warga Nusa Penida adalah sebuah kisah perjalanan untuk Bariah. Lima tahun lalu, Bariah masih harus menginap di Klungkung daratan untuk menunggu jukung bermesin yang membawa dagangannya. Setelah Nusa Penida mendadak ramai turis, perjalanan sembako dengan sampan bermesin atau speedboat makin mudah diakses, tiap hari dari pagi sampai sore. Titik pelabuhan juga terus bertambah.
Pertumbuhan hotel, villa, rumah makan, dan jumlah penduduk melipatgandakan kebutuhan sembako dan logistik lainnya. Termasuk semen, pasir, dan bahan bangunan yang terus dikapalkan, tanpa henti.
Pelabuhan Kusamba di Klungkung daratan adalah lokasi pengiriman material bangunan. Di areal pantai ada gunungan pasir dan koral, pasir dalam karung-karung siap diangkut ke kapal, tumpukan semen, kayu, besi, dan lainnya. Saat gelombang tinggi, dipastikan kapal-kapal ini tak bisa berlayar ke Nusa Penida. Saat itulah, warga Nusa mulai kesulitan mencari kebutuhannya.
Wahyudi, salah satu koordinator pengangkutan barang terlihat sibuk mencatat order. Sebanyak 27 orang tergabung dalam kelompoknya sebagai buruh angkut. Para pekerja harus fit karena barang yang akan diangkut ke sampan bermesin sudah menunggu, dan hampir tiap saat bekerja dalam kondisi pakaian dan tubuh basah terendam air laut.
Tak heran harga logistik dan barang di Nusa Penida bisa dua kali lipat karena biaya angkut terbagi di jasa buruh di pelabuhan asal dan tujuan, serta biaya transportasi. Misalnya untuk beras per 100 kg, biaya angkut saja sekitar Rp 31 ribu. Artinya tiap karung beras 25 kg, tambahan biaya di satu pelabuhan saja Rp 8000.
Sementara biaya angkut semen Rp 3500 per sak, dan air galon Rp 2000. Biaya transportasi dengan sampan bermesin bisa lebih tinggi tergantung cuaca, karena risiko lebih tinggi.
Sembako tanah Nusa
Lalu apa hasil tanah Nusa yang bisa dikonsumsi penduduknya? Hal ini bisa dilihat di pasar-pasar tradisional. Dua pasar terbesar Toyapakeh di Desa Ped dan Mentigi di Batununggul contohnya.
Pagi jelang matahari menyembul di kaki langit adalah saat paling ramai di Pasar Mentigi atau yang lebih populer dengan peken (pasar) Sampalan, nama pelabuhan yang berdampingan dengan pasar. Di dalam maupun luar pasar, para pedagang menyemut, dan pembeli bersesakan melewati lorong-lorongnya. Salah satu keramaian adalah di pedagang emperan dekat pantai.
Menariknya, para pedagang hasil tanah Nusa ada di sini. Termasuk pedagang ayam kampung. Mereka bediri di pinggiran jalan, menunjukkan wadah-wadah anyaman bambu berisi ayam kampung dan ayam jantan. Sementara ayam broiler memiliki tempat tersendiri dengan los khusus.
Sementara pedagang ayam kampung dan ayam jantan tanpa tempat khusus, hanya mencari celah kosong di pinggir jalan, bersisian dengan laut. Salah satunya adalah peternak muda dari Desa Suana. Sekitar pukul 6 pagi, ia baru mendapat garus di hari pasar jelang Hari Raya Galungan ini.
Harga satu ekor ayam kampung hasil ternaknya dijual antara Rp 50-75 ribu per ekor tergantung beratnya. Ia mengaku memiliki 5 ekor indukan atau pengina.
“Beternak ayam kampung tak mudah, menunggu cukup lama karena tidak dikurung,” ujarnya. Untungnya ia memiliki kebun untuk bertanam jagung, salah satu pakan ternaknya.
Satu jam berlalu, ia baru menjual satu ekor ayam. Ada sejumlah pedagang ayam kampung lain juga sehingga pembeli bisa membandingkan harga dan kualitas ayam.
Ada juga Men yang tekun duduk lesehan di trotoar pinggir jalan areal Pasar Mentigi. Bersama rekannya, di satu deret dagang yang berjualan tanpa sarana meja dan los ini, hasil pertanian tanah Nusa harus bersaing keras dengan produk-produk lain yang kuantitasnya lebih banyak dan berwarna cerah.
Perempuan lanjut usia ini menjual pisang gedang saba, pandan wangi untuk sarana canang, dan janur. Jumlahnay sedikit, hanya beberapa sisir pisang yang bisa dipanennya hari itu atau dapat dibeli dari tetangga. Namun semangatnya untuk menunjukkan hasil pertanian sendiri terus menyala.
Di deretan pedagang emperan ini ada juga yang menjajakan jagung yang terlihat baru dipetik dengan daun dan rambutnya masih segar, sayur kacang, dan pisang raja. Sayur kacang ini khas Nusa dan digunakan dalam sejumlah pangan tradisional seperti bubuh (bubur) Ledok.
Dilihat dari penampilannya, hasil pertanian Nusa ini cukup menggugah karena segar. Bahkan banyak orang meyakini, kualitas tani dari tanah berkapur dan berbatu lebih enak.
Lansekap pertanian
Jika menjelajah Nusa Penida di bagian pebukitan, masih nampak banyak lahan hijau yang saat musim penghujan ini ditanami jagung, singkong, daun kacang, dan ketela rambat.
Batu putih terlihat jelas di terasering pertanian untuk menyesuaikan kontur lahannya yang berbukit. Pemandangan ini tak bisa dinikmati jika di Nusa hanya mengunjungi daerah pantai dan tebing-tebingnya.
Misalnya jika menjelajah Nusa Penida dari arah Selatan kemudian menuju Desa Sakti, Batumadeg, sampai Tanglad. Jalan raya jauh lebih sunyi dibanding area pesisir. Kehidupan pertanian lahan kering tak seramai lahan basah seperti sawah dan sayur usia pendek yang harus dirawat rutin tiap hari. Namun para petani terlihat merawat lahannya sehingga nampak rapi, dibuat undakan, dan campur sari. Setidaknya dalam satu petak ladang, ada pohon kelapa, jagung, dan ketela.
Jika menelusuri program pertanian di Nusa Penida, tak banyak informasi yang ada. Terbanyak adalah untuk ternak. Misalnya dikutip dari laman Litbang Pertanian, http://bali.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/51-info-aktual/850-bptp-bali-perkenalkan-teknologi-flushing-sapi-di-kepulauan-nusa-penida
Pemerintah memperkenalkan teknologi pakan tambahan pada induk sapi bunting dua bulan sebelum dan sesudah melahirkan, dalam dunia peternakan dikenal dengan nama teknologi Flushing. Kepulauan Nusa Penida sebagai salah satu kawasan penghasil bibit sapi Bali unggul di Bali, tahun 2018 ini menjadi sasaran pengembangan teknologi Flushing oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP Bali).
Untuk memperkenalkan teknologi Flushing kepada petani, pada 10 April 2018, BPTP Bali melaksanakan sosialisasi kajian teknologi Flushing dan penggunaan hormon PGF2@ dalam penanganan gangguan reproduksi (berahi) pada sapi Bali, pada kelompok ternak di Desa Batumadeg, Kecamatan Nusa Penida. Sosialisasi dihadiri oleh Kabid Produksi Peternakan Dinas Pertanian Kabupaten Klungkung, Kepala UPT DPPK Nusa Penida, Kepala Desa Batumadeg, Petugas IB se-Nusa Penida, dokter hewan UPT DPPK Kecamatan Nusa Penida dan petani kooperator.
Menurut drh. I Putu Agus Kertawirawan (Peneliti BPTP Bali), dari kajian tersebut diharapkan nantinya dapat memberikan kontribusi kepada pemangku kebijakan, terkait upaya peningkatan produktivitas sapi Bali khususnya di kepulauan Nusa Penida. “Harapan kami dengan kajian ini penetapan Nusa Penida sebagai salah satu kawasan penghasil bibit sapi Bali unggul di Bali dapat terwujud,” jelasnya.
Sementara itu pertanian terintegrasi tak banyak yang bertahan. Di beberapa desa ada jejak instalasi biogas dari kotoran ternak yang sudah terbengkalai. Dari buku hasil pemetaan partisipatif yang dibuat Yayasan Wisnu dan mitranya dengan dukungan GEF/SGP tercatat, untuk pengembangan energi alternatif tahun 2012, kelompok Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di dusun Mawan, Batumadeg mendapatkan bantuan 2 unit biogas. Di awal kegiatan program, biogas sempat digunakan sebentar sekitar 3 bulan namun saat ini sudah tidak berfungsi. Kondisi tersebut dipengaruhi faktor sulitnya air bersih sehingga kotoran menjadi kering dan gas tidak dapat terbentuk banyak.
Mitos yang dipercaya oleh warga Mawan yaitu apabila burung Gagak mengeluarkan suara maka dipercaya akan ada kejadian aneh maupun kematian hewan ternak. Mitos lainnya yaitu jika menyakiti atau membunuh kera, dipercaya akan terjadi malapetaka.
Menemukan strategi bertani
Lalu apa model pertanian yang sesuai dan bermanfaat bagi warga Nusa? Sejumlah lembaga dan komunitas yang bekerja di bidang pertanian sedang berkolaborasi dengan warga melalui Program Ekologis Nusa Penida – GEF/SGP yang dikelola Yayasan Wisnu.
Yayasan Idep mengembangkan permakultur pekarangan rumah tangga, dengan menanam aneka jenis sayuran seperti timun dan sawi hijau. Yayasan Idep memperkenalkan juga banana pit, yaitu lubang dengan diameter sekitar 1 meter dengan kedalaman 1 meter.
Lubang berfungsi sebagai tempat pengolahan limbah, pembuatan kompos, dan kebun. Lubang diberi kerikil/batu sedalam 50 cm, bagian bawah untuk tempat pengolahan air limbah, di atasnya untuk sampah organik. Di sekitar lubang ditanam pohon pisang, dan di antara pohon pisang bisa ditanam sayuran. Fungsi pohon pisang adalah untuk menyimpan air ketika musim hujan dan melepas air di musim kering.
Sementara itu Yayasan Taksu Tridatu memperkenalkan pembuatan pakan kering untuk ternak sapi. Pakan kering dibuat dari rerumputan dan daun-daun yang sudah kering, kemudian difermentasi, dan ditambahkan untuk memberikan nutrisi. Salah satu tempat pengembangan ternak sapi dengan pakan kering bisa dilihat di Rumah Belajar Bukit Keker, Banjar Nyuh Kukuh, Ped. Di area ini bisa dilihat juga teknik pengolahan kotoran sapi menjadi biogas dan pemanfaatan cahaya matahari jadi listrik dengan panel surya.
I Made Silip, petani di Banjar Pulagan, Desa Kutampi menanam sorgum di satu area cutak (petak terasering) dari sekitar 1,5 hektar lahan yang dimilikinya. Sisanya bertanam jagung. Pada Maret 2020, rumpun sorgum sudah berbiji. Tanaman pangan ini dulu biasa ditanam warga, namun perlahan menghilang. Komoditas lahan kering ini kini kembali dilirik untuk dibudidayakan.
Para petani mengandalkan air dari cubang (sumur penampung air hujan) sebagai sumber air pertaniannya dan kebutuhan sehari-hari. Walau PDAM sudah mengaliri beberapa desa di Nusa Penida, warga masih memanfaatkan cubang, sebuah siasat hidup berkelanjutan.
Pertanian di Nusa yang potensial dikembangkan agar mandiri pangan adalah jagung, singkong, daun kayu manis, daun kemangi, kelor, dan lainnya. Ini terlihat dari ledok-ledok, makanan khas warga yang ngangenin dan memperlihatkan ragam hasil tani Nusa dalam satu mangkok. Jagung ketan direbus bersama kacang merah, bayam, kayu manis, kelor, dibumbui base genep. Gurih, sehat, dan organik.
Ada juga model kebun untuk memasok kebutuhan sebuah komplek pura Khayangan Jagat, Pura Puser Sahab di Desa Batumadeg. Kelompok Wisanggeni mengajak warga pengempon (pengelola) pura untuk kembali menghijaukan lahan sekitarnya dengan aneka pohon umur panjang sebagai peneduh dan juga memasok kebutuhan ritual upacara.
Bowo, salah satu pegiat Wisanggeni yang sedang bekerja di pura tersenyum lebar ketika melihat sayuran okra tumbuh subur, bergelantungan di sepetak lahan halaman pura. Ada juga sayur kangkung, dan hijau, dan lainnya. “Pernah dibilang nak jawa medagang sayur,” ia tertawa. Warga saat itu datang membeli aneka hasil kebun ke pura, dan hasilnya dijadikan dana punia (donasi) untuk pura. Warga yang biasanya ke pura untuk sembahyang atau nunas kelapa gading, kini bisa panen hasil tanaman umur panjang seperti sayuran dan bunga, dari menghijaukan sepetak halaman.
Sementara di sekeliling pura, hutan yang dulunya lebat kini sebagian dibabat untuk perluasan. Hutan ini dihijaukan kembali dengan menambah pepohonan yang bermanfaat bagi pura dan sekitarnya.
Ketut Sutama, Ketua Kelompok Tani Saren II yang juga Kelihan Pura Sahab mengatakan, penebangan dilakukan karena sebelumnya sebuah pohon menimpa salah satu tugu pelinggih karena hutan dinilai terlalu mepet dengan bangunan pura. Pada 2017, pihaknya mengajukan program pergantian pohon ke pemerintah dan berhasil mendapat 200 pohon nyuh gading dan jenis lainnya. Ratusan bibit tambahan juga datang.
Sampai pada 2018 ada bantuan bibit lagi dari Yayasan Wisnu untuk menghijaukan pelaba pura. Direncanakan membuat hutan gumi banten dengan pendampingan Wisanggeni. Dari Program Ekologis Nusa Penida GEF/SGP yang dikelola Yayasan Wisnu ini, warga diberi pengetahuan tambahan untuk memastikan daya hidup bibit. Misalnya saat tanam bibit, semak jangan dicabut dulu agar tak terilhat dan dicabut monyet yang banyak mukim di area ini. Penanaman juga dilakukan sebelum musim hujan, jadi ketika hujan datang, bibit sudah tertanam.
Warga juga menanam aneka pohon buah untuk monyet untuk mengurangi pengerusakan kebun. Misalnya juwet, sirsak, sawo kecik, dan lainnya. Melengkapi tanaman untuk kebutuhan upakara seperti intaran, gaharu, cendana, dan lainya. Tanaman asli dan terlihat paling meneduhi adalah genitri yang juga diyakini bisa mengobati aneka penyakit. Buah yang jatuh direbus kemudian diminum untuk demam, mengurangi sesak naafas, dan lainnya.
Buah-buah yang jatuh memenuhi dasar tanah ini diolah jadi gelang dan kalung rudraksha. Pengelola pura melubangi tengahnya dan meronce untuk tambahan penghasilan dana punia. Sutama berencana akan mengelola area pohon genitri ini karena secara filosofis memiliki makna mendalam misalnya membuatkan taman untuk semedi atau kunjungan ekowisata.
Melalui strategi bertani yang baru dikenalkan ini diharapkan pertanian Nusa Penida akan semakin menjanjikan dan berkelanjutan.