Haruskah kita memaksa anak berprestasi demi mengejar like?
Anak merupakan buah hati. Setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk menjadikannya sosok terbaik di antara anak-anak lainnya. Dari sekadar pintar membaca, berhitung sampai menjadi juara baik juara akademik maupun non-akademik.
Anak ini bagaikan gelas kosong. Dia akan berkembang baik fisik maupun mentalnya sesuai dengan “air” yang dimasukkan ke dalam gelas kosong tadi.
Saat ini, zaman di mana media sosial (medsos) adalah sumber informasi, para orang tua pun terkadang ikut-ikutan memiliki keinginan agar anak berkembang (baca berprestasi) seperti yang mereka lihat di medsos. Terutama akun yang mereka ikuti (follow).
Setelah si anak dirasa bisa mengikuti keinginannya, orang tua akan mengunggah prestasi si anak. Menjadikannya sebagai kebanggaan tersendiri bagi para orang tua milenial ini.
Dalam mengikuti keinginan para orang tua ini tidak jarang timbul paksaan-paksaan kepada si anak untuk mau mengikuti “arahan” orang tuanya. Si anak yang kurang suka tampil di kamera dipaksa untuk membuat vlog selucu mungkin. Si anak yang memang bukan kemampuan utamanya di bidang Matematika. Dipaksa mendapatkan nilai di atas 90 karena ibu-ibu di grup WA semua posting kalau nilai Matematika anak-anak mereka di atas 90. Masih banyak lagi lainnya.
Perlakuan-perlakuan seperti di atas menurut saya sebagai kekerasan nonfisik yang bisa saya sebut sebagai kekerasan digital kepada anak.
Kekerasan fisik seperti memukul anak, mencubit dan lainnya mungkin masih bisa disembuhkan dalam beberapa hari, tetapi bagaimana dengan kekerasan non fisik ini? Efek kekerasan ini, menurut yang pernah saya dengar dan baca dari para ahli tumbuh kembang anak, akan bisa dibawa sampai dia dewasa.
Apalagi jika si anak dianggap kurang berhasil “mewujudkan” keinginan orang tua mereka. Orang tua akan memberikan tekanan-tekanan negatif kepada si anak. Maka si anak dalam perkembangannya bisa mengalami gangguan mental karena merasa tertekan dan yang lebih parah bisa tersimpan di alam bawah sadarnya.
Walaupun sudah sering mendengar bahkan mengobrol dengan ahli tumbuh kembang anak mengenai cara membimbing si anak, tetap saja saya sebagai orang tua masih meiliki keinginan untuk “memaksa” si anak “berprestasi”. Entah sesuai dengan bakat dan minatnya atau tidak.
Salah satu penyebabnya adalah rasa bangga saat kita posting prestasi si anak di medsos. Semua bidang yang saya rasa bisa untuk dibanggakan saya minta si anak untuk mengikutinya.
Hasilnya? Setelah melihat hasilnya di awal saya menjadi lebih sedikit mengerti kalau si anak ini memang memiliki minat dan bakat dalam suatu bidang tertentu. Belum tentu bidang yang saya inginkan.
Syukurnya dari beberapa bidang yang saya “paksa” si anak untuk mengikuti, ada bidang yang memang sesuai dengan minat dan bakatnya.
Bagaimana mengetahuinya? Kalau saya sangat mudah mengetahuinya. Bidang yang sesuai dengan minat dan bakat anak saya, maka dia akan senang menjalaninya. Dedikit diberi bimbingan sudah langsung bisa. Tidak terlihat sedikitpun tekanan saat dia menjalaninya.
Saya pun berusaha selalu berkomunikasi dengan si anak. Apakah dia menikmati, senang, malas, tidak semangat dalam mengikuti suatu kegiatan. Saat mengikuti ujian, lomba atau pentas saya berusaha untuk memberi komentar positif, walaupun hasilnya ada yang kurang, agar si anak tidak patah semangat.
Saya sangat berusaha tidak memberikan tekanan-tekanan nonfisik kepada si anak walaupun terkadang masih sering juga melakukannya. Mungkin karena faktor lelah sehingga menjadi emosi.
Mendengar cerita dari ahli tumbuh kembang anak kadang merasa ngeri sendiri saat beliau menceritakan ada anak yang sampai mengalami depresi karena dituntut harus selalu berprestasi di segala bidang. Walaupun mungkin si anak bisa berprestasi, tetapi perkembangan mental si anak menjadi terganggu. Misalnya tertutup, murung, bosan belajar, individual, egois bahkan kadang ada yang sampai mual-mual dan muntah karena stres berlebihan.
Zaman milenial di mana medsos adalah raja, kita sebagai orang tua sebaiknya lebih bijak dalam membimbing perkembangan si anak.
Perkembangan anak tidak hanya sebatas fisik, tetapi juga ada perkembangan mental yang tidak kalah penting. Siapa, sih, yang tidak bangga posting di medsos tentang prestasi si anak, tetapi dalam mengejar kebanggaan tersebut tetap harus memperhatikan minat dan bakat si anak. [b]