Liputan Mendalam

Oleh: Yuko Utami, Galuh Sriwedari, Fajar Apriliantara

Tak banyak orang Bali belajar dari tragedi bom Bali. Anak Agung Nyoman Wijana, 50 tahun, tidak termasuk di dalamnya. Setelah terjadinya bom Bali pada 2002 dan 2005, dia menyadari, pariwisata Bali tidaklah abadi.

Perlahan tapi pasti, Agung, begitu sapaan akrabnya, memulai untuk nanduring karang awak, menanami tanah sendiri sebagai bentuk evaluasi. Mengelola tanah kelahiran adalah pilihan Agung untuk kembali menggerakkan roda perekonomian hidup.

Kini, ketika ekonomi Bali sedang terpuruk akibat pariwisata yang ambruk, usaha Agung untuk kembali ke desa kelahirannya semakin relevan. Di saat banyak usaha pariwisata dan para pekerjanya harus gulung tikar setelah lebih dari setahun pandemi COVID-19 menghantam Bali, bisnis milik desa kelahiran Agung justru kian menggeliat.

Sejak pukul 8 pagi pada awal Mei 2021 lalu, gemuruh mesin penggembur tanah telah memecah keheningan desa dengan lahan pertanian pesisirnya. Para pekerja di pabrik pupuk milik Agung telah siap di posisi masing-masing. Ada yang menggemburkan bahan pupuk dengan mesin. Ada pula yang mengatur racikan bahan-bahan pupuk. Tak ketinggalan pekerja sibuk mengemas dan menyusun karung demi karung berisi pupuk hayati.

Cahaya matahari pagi masih setia merekah di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan kala waktu menunjukkan pukul 11 siang. Agung melangkah menuju pabrik pupuk yang telah berdiri tahun 2010 silam. Ketika dia tiba di pabrik, salah satu pekerja menyambutnya dengan kabar baik. “Pak Gung, niki sampun (ini sudah) siap pupuknya,” ujar pekerja tersebut.

Pembuatan pupuk organik adalah salah satu usaha milik Badan Usaha Desa (Bumdes) Kelating Bhuana Kerti Kolega.

Agung dengan sigap melangkahkan kakinya pada sebuah truk berukuran sedang. Truk itu berisi penuh tumpukan karung pupuk organik produksi Bumdes Kelating. “Suba (sudah) siap, kirim ne (ini),” terang Agung penuh semangat.

Truk dipenuhi tumpukan karung pupuk organik itu siap mengirim produknya ke seluruh Bali. Dari Kelating, desa di sebelah barat daerah tujuan wisata populer Tanah Lot itu, pupuk organik produksi Bumdes Bhuana Kerti Kolega akan dikirim ke penjuru Pulau Dewata.

Keberhasilan Bumdes Bhuana Kerti Kolega memproduksi pupuk organik secara massal selaras dengan panjangnya perjalanan pengembangan pabrik mereka. Keberhasilan itu juga tak bisa lepas dari dedikasi dan semangat Agung dalam memimpin CV. Timan Agung, perusahaan produsen pupuk organik dan biopestisida.

Sebelum Bumdes Bhuana Kerti berdiri, Agung mendirikan CV. Timan Agung sebagai usaha pengembangan potensi desa pertama. Mulanya, CV. Timan Agung merupakan kelompok tani ternak sistem pertanian terintegrasi (Simantri). Kelompok yang berdiri pada 2009 ini memiliki anggota sebanyak 40 orang. Usaha mereka adalah memelihara sapi, termasuk penggemukan dan pembibitan, serta pengolahan pupuk dari limbah kotoran sapi.

Setahun kemudian, kelompok tani ternak ini pun membentuk perusahan dengan izin Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan bernomor 517/16/PM/BR/BPMPD. Namanya berubah menjadi CV. Timan Agung yang menjadi cikal bakal berdirinya Bumdes Bhuana Kerti.

Pekerja Bumdes Kelating Menggemburkan Bahan Pupuk dengan Traktor.
~Foto Yuko

Memabukkan

Sebelum menjadi pengusaha pupuk dan pembina Bumdes Kelating, Agung telah 20 tahun mengadu nasib di sektor pariwisata. Dirinya mengaku, pariwisata memang amat menjanjikan. Namun, dia juga melihat sisi pariwisata yang cenderung memabukkan. Kala itu Agung merantau di Denpasar untuk mengadu nasib sebagai pegawai hotel.

Agung terbawa kenangan manis pariwisata Bali di era 1990-an. “Pariwisata itu betul-betul madu sangat menggiurkan. Semua berpikir mengarahkan ke pariwisata, termasuk saya sendiri,” kenangnya.

Madu pariwisata yang mulanya terasa manis nyujur (sangat manis), perlahan berubah menjadi manis melenyad (rasa manis yang meninggalkan rasa pahit). Begitulah Agung memaknai pariwisata Bali yang semakin hari kian menjenuhkan baginya.

Agung kembali bernostalgia. Setelah puas bekerja di dunia perhotelan, dia melebarkan karier sebagai pemandu pariwisata berbahasa Inggris dan Jerman. “Masa itu menjadi guide banyak sekali uangnya, sangat menjanjikan,” ujar lelaki tiga anak itu.

Kariernya pun semakin moncer tatkala pada tahun 2000 dirinya berhasil meraih lisensi pemandu pariwisata berbahasa Inggris dari Himpunan Pramuwisata Indonesia di Bali. Lisensi itulah yang membuat Agung kian bebas bertualang mengantarkan para turis ke mana saja. Para turis kerap memberikan dolar sebagai tip yang pelan-pelan dia tabung dan gunakan untuk membeli tanah di desa.

Saat itu Agung berpikir, setelah pensiun di dunia pariwisata, dia ingin kembali bertani di hari tua.

Seiring waktu, menurut Agung, para turis kian jeli dalam berkunjung ke Pulau Dewata. Awalnya, Agung tak merasa begitu khawatir ketika para bule itu mulai mengenal rupiah. Mereka semakin rajin ke tempat-tempat penukaran uang kemudian mengupah Agung dengan rupiah.

Perlahan, Agung pun mulai menyadari kejelian para bule dalam menghitung rupiah. Tersadarlah dirinya bahwa dolar tak lagi di genggaman. Pendapatannya sebagai pemandu wisata kian merosot. “Nah, tahun 2004 mulailah saya berpikir, semenjak bom kemarin, kalau kita terus bekerja di bidang pariwisata, kayaknya kita rebutan tulang tanpa isi,” terang Agung.

Tak hanya soal turis yang semakin jeli dalam mengupah pemandu wisata, Agung pun turut khawatir dengan turis yang melek teknologi. Para turis pun kian mahir membaca Bali dalam genggaman gawai. Ini membuat Agung makin was-was. Dia pun mulai berpikir, pekerjaan sebagai pramuwisata tak bisa lagi ia lakoni.

“Saking jenuhnya pariwisata, kemacetan, dan biaya hidup sangat tinggi di Denpasar, ada keinginan saya pulang kampung untuk membangun desa,” ungkapnya. Dia pun makin menguatkan tekad untuk kembali ke desa, bekerja sekaligus mengabdi.

Memilih kembali ke kampung halaman adalah keputusan terbesar yang diambil Agung.

02 Anak Agung Nyoman Wijana - Sosok sederhana dibalik perjuangan Bumdes Kelating.
~Foto Yuko

Pengabdian

Sejatinya, cara Agung memandang Bali dan sektor pariwisata, lebih dahulu diilhami oleh Miguel Covarrubias. Tiba dan mengenal Bali pada 1930, turis sekaligus seniman dan antropolog berkebangsaan Meksiko itu seketika terjerat segala kemolekan Pulau Dewata. Namun, di sisi lain, dia juga mengaku mulai khawatir. Kemisteriusan maupun keindahan Bali bukanlah hal yang ditakutkan Covarrubias. Ketakutan utamanya adalah semua keindahan itu kelak menjadi bumerang untuk peradaban Bali.

Melalui ulasan dan dokumentasinya dalam Majalah LIFE yang terbit pada 7 Maret 1937, Covarrubias seolah menyiratkan sebuah pesan bernada kekhawatiran tentang masa depan Bali. “Bukan kemisteriusan maupun keindahan Bali yang ditakutkan Covarrubias, melainkan kemungkinan bahwa Pulau Dewata akan diserbu oleh para misionaris dan wisatawan yang akan menantang kehalusan rakyatnya, menghancurkan budayanya, dan merusak peradabannya,” ujar Agung.

Pesan Covarrubias telah menerawang ke masa depan soal pariwisata yang hadir di Bali bak pisau bermata dua, mendulang berkah sekaligus resah.

Agung pun meninggalkan gemerlap dunia pariwisata dan kembali ke desa. Dia memulai hidup sederhana dengan bertani. Selain tragedi Bom Bali, menyama braya (hubungan persaudaraan) turut menjadi alasan Agung kembali ke Desa Kelating. Dia menyadari, memulai hidup sebagai petani membuatnya kian kesulitan memperoleh pendapatan yang besar.

“Ketika pekerja kantoran menjadi petani ‘kan namanya back to basic. Harus siap kembali miskin,” tutur Agung.

Sejak kembali bertani dan menginisiasi kelompok tani ternak di desa kelahirannya, pikirannya pun mengarah pada konsep pengabdian yang dia namai sebagai konsep “Sabda Alam”. Konsep ini mengarah pada lingkaran inovasi berkelanjutan. Dia mencontohkan satu inovasi, yakni daun kelor yang diolah menjadi jamu sedangkan ampasnya dimanfaatkan sebagai bahan bio pupuk.

“Jadi, tidak ada limbah terbuang. Semua dimanfaatkan,” ujarnya. Buah pemikiran ini akhirnya menghasilkan produk inovasi yang terus membuncah.

Dia mencontohkan produk pupuk yang semula pupuk biasa kini menjadi pupuk hayati (bio pupuk) yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Ada pula produk-produk jamu untuk manusia, seperti jamu daun kelor, jamu sari lemon, jamu daun putri malu, dan jamu kunyit. Lalu, produk untuk hewan, yakni suplemen ternak dan jamu ternak. Ada pula produk arang sekam dan kompos ternak.

Pengembangan produk inovasi itu tak terlepas dari bantuan peneliti yang mentransfer ilmu-ilmu agar dapat diproduksi massal dan diperjualbelikan. Salah satunya I Ketut Sardiana, dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Bali. Sardiana mengungkapkan, pendampingan dan penelitiannya di Desa Kelating sudah berlangsung selama enam tahun.

“Banyak sekali ilmu dan teknologi yang kami transfer. Tidak hanya dari segi pertanian, tapi termasuk juga manajemen usaha,” tutur Sardiana yang juga Kepala Bidang Pengabdian Masyarakat di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana.

Sardiana, ditemui di Gedung Agrokomplek Kampus Unud Sudirman, menjelaskan kegiatannya bersama akademisi lain merupakan program pengabdian masyarakat yang didanai langsung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Pengabdian ini pun dilakukan dengan cara hilirisasi penelitian-penelitian yang dilakukan agar diberikan kepada masyarakat desa.

Di Bumdes Kelating, Sardiana menjelaskan, terdapat empat komponen utama penelitian yang dihilirisasi. Misalnya, bioreaktor untuk penambahan mikroba efektif sehingga menghasilkan pupuk hayati serta bantuan mesin bio ventilizer. Pemberian mikroba efektif, bernama organisme lokal unggul, mempermudah proses penguraian pada pupuk.

Tak hanya hilirisasi dalam penelitian pupuk, ada juga pemberian rancangan mesin bio reactor system double jacket untuk pengembangan suplemen cair untuk ternak. Ada pula suplemen ternak yang dikembangkan bersifat seperti pil probiotik.

Pada proses pengembangan pupuk, Sardiana menuturkan ada beberapa formula yang dia sarankan. “Dulu pupuk organik Kelating itu dekomposernya masih terpaku kepada EM4 yang cenderung mahal harganya dan kinerjanya kurang optimal dalam mengurai,” jelas Sardiana.

Sardiana berpikir lebih baik membuat dekomposer sendiri agar biaya produksi pupuk lebih efisien.

Seingatnya, pengujian pembuatan dekomposer agar pupuk sesuai SNI membutuhkan waktu kurang lebih satu tahun. Formulasi pupuk berbasis mineral ditambahkan mikro organisme, limbah anggur, arang sekam, bahan organik kotoran sapi, serta mineral alam.

Tak hanya mentransfer ilmu berbasis teknologi produksi, ilmu manajemen pun turut diberikan. Bantuan manajemen usaha yang diberikan, yaitu melalui sistem informasi akuntansi, berupa perangkat lunak hitungan sehingga perhitungannya dapat dilakukan secara terkomputasi.

Pengetahuan tentang produksi dan manajemen itu menjadi warisan Sardiana terhadap pengembangan Bumdes Kelating. Kini, warisan tersebut dilanjutkan oleh generasi kedua yang saat ini mengelola Bumdes Kelating.

Gayatri dan salah satu pegawai Bumdes Kelating sedang mencari kelor sebagai bahan utama produk jamu sirup kelor.
~Foto Fajar

Jiwa Pemimpin

Topi caping petani berwarna merah menyala itu amat setia melingkar di kepala seorang perempuan muda. Topi itu menghalau terik sinar matahari dari wajah Gusti Agung Putu Indah Gayatri yang sebagian tertutup masker. Tak lupa, pinggangnya diselipkan sabit. Ketika seluruh perlengkapan telah siap, gadis yang karib disapa Gung Gayatri itu mengendarai sepeda motornya ke kebun desa. Kebun itu berdampingan dengan studio pengolahan limbah kayu.

Tangan Gung Gayatri lihai menggengam sabit. Dia memotong satu per satu dahan pohon kelor di kebun desa. Gadis berusia 24 tahun ini terlihat sudah terbiasa dengan aktivitasnya. Peluhnya mengalir deras. Saksi bisu giatnya Gayatri memperjuangkan Bumdes Kelating Bhuana Kerti Kolega.

Gayatri memang berbeda. Sarjana ekonomi manajemen di salah satu perguruan tinggi di Bali ini memilih untuk mengamalkan ilmunya pada tanah kelahiran tercinta, Kelating. Perjalanan pengabdian Gung Gayatri mengarahkannya pada sebuah tanggung jawab besar sebagai Ketua Bumdes Kelating.

“Saya menjabat jadi Ketua Bumdes sekitar satu tahun, bahkan kurang sih dari satu tahun, karena pengukuhannya Juli 2020,” terangnya.

Seusai memilih kelor, Gung Gayatri kembali menuju kantor Bumdes sekaligus tempat produksi produk unggulan desa. Berbagai jamu berhasil diproduksi di pabrik sederhana yang bangunannya didominasi cat bernuansa hijau muda. Gung Gayatri mengolah langsung kelor yang telah dicucinya dengan air bersih menjadi sirup kelor.

Usia Gung Gayatri yang tergolong muda dalam mengelola Bumdes Kelating membuat beberapa masyarakat meragukan dirinya. Gung Gayatri pun mengungkapkan, mulanya memang tak mudah meyakinkan masyarakat dalam menyiarkan informasi perihal usaha desa beserta inovasi-inovasinya.

Dengan agak malu-malu, Gung Gayatri mengungkap duka selama mengawali masa pengabdiannya. Misalnya gangguan kecil di lapangan saat mencari bahan-bahan produksi, sulitnya memasarkan produk, hingga mendapatkan fitnah. “Untuk fitnah itu sebenarnya duka paling menyakitkan. Kita sudah berusaha keras tapi masih saja ada fitnah,” aku Gung Gayatri dengan nada pelan.

Perlahan tapi pasti, Gung Gayatri menyulap keraguan masyarakat Desa Kelating menjadi secercah keyakinan. Sebelum Pandemi COVID-19 melanda, Desa Kelating belum memiliki Bumdes. Kala itu hanya ada satu perusahaan desa yang memproduksi pupuk organik. Usaha desa bernama CV. Timan Agung itu sebelumnya telah berhasil memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Desa Kelating.

Ketika pandemi telah menyerbu negeri, perusahaan lain yang sibuk mengambil langkah kuda menghentikan pegawainya, CV. Timan Agung yang kini berkolaborasi dengan Bumdes Bhuana Kerti, justru mampu merekrut pegawai, termasuk mereka yang dulu bekerja di sektor pariwisata seperti Dewa Made Mahendra.

Dewa Made Mahendra Putra mantan pekerja kapal pesiar.

Bangkit

Dewa Made Mahendra Putra pemuda asli Desa Kelating. Kariernya di dunia pariwisata tergolong meningkat tiap tahun. “Dulu saya sempat bekerja di beberapa hotel di Bali. Sebagai waiter pernah, sebagai bartender juga pernah,” ujar Dewa.

Awalnya, lelaki murah senyum ini merasa telah nyaman dengan pekerjaannya di hotel. Hingga, suatu hari seorang rekan kerjanya menawari Dewa untuk mendaftar sebagai pekerja di sebuah armada kapal pesiar.

Nasib baik berada di tangan Dewa. Dirinya tak menyangka bahwa ialah yang lolos dalam seleksi tersebut. “Saya daftar dan interview, tapi lucunya saya yang lolos dan teman saya tidak lolos. Bisa dibilang saya tidak sengaja kerja diluar negeri,” kenang Dewa seraya tertawa kecil.

Kondisi ruangan Bumdes Kelating yang tampak sederhana.

Tahun 2010 semua ini bermula. Lelaki yang mengakhiri masa lajangnya satu setengah tahun lalu ini pun melanglang buana. Berbagai benua pun telah disinggahinya. Hingga pada akhir tahun 2019, saat dia dipulangkan dari agen kapal pesiar, pandemi COVID-19 belum masuk ke Indonesia.

“Saat ada info soal pandemi di Wuhan, posisi saya ada di Miami (Amerika Serikat). Pas sudah habis kontrak. Tidak perpanjang. Maunya extend selama dua minggu, tetapi karena ada pandemi, terpaksa dipulangkan,” tambahnya.

Masa-masa pulang kampung setelah bekerja di kapal pesiar sejatinya adalah masa yang dirindukan Dewa karena dapat melepas rindu pada orang-orang tersayang. Namun, kala itu dua pulang dengan rasa cemas. Sebab, uang tabungan telah menipis lantaran upacara manusa yadnya tiga bulanan anak pertamanya dan potong gigi saudaranya.

“Perasaan saya justru berantakan karena ekonomi berantakan,” keluh Dewa sedih. Sembari menunggu waktu keberangkatannya yang tak kunjung tiba, Dewa mengisi waktu dengan berjualan sembako serta hasil bumi lainnya.

Penjualan sembako ternyata masih belum mencukupi. Akhirnya ia pun menerima tawaran seorang temannya untuk bekerja di Bumdes Desa Kelating sebagai pekerja di bagian pupuk organik.

Cukup sulit bagi Dewa untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja di pabrik pupuk. Dari kapal pesiar yang glamour, kini dia harus bergulat dengan bahan dan lingkungan yang telanjur dianggap kotor.

Bapak satu anak ini pun mengungkapkan bahwa dirinya sempat izin dua hari lantaran sakit. “Kesan pertama bekerja di sini itu berat karena saya belum terbiasa bekerja di bawah sinar matahari. Bekerja di bawah sinar matahari itu tidak mudah. Lingkungan yang banyak debu juga,” terangnya.

Tuntutan kebutuhan hidup membuat Dewa bangkit dan kembali untuk bekerja di pabrik pupuk. Dia lebih memikirkan bayi dan istrinya yang membutuhkan nafkahnya. Kembali adalah jalan terbaik. Selama dua minggu lebih bekerja, Dewa merasa selalu dibimbing.

Menurutnya, upah yang dia peroleh cukup memuaskan. Jika bekerja dengan giat dari pukul 7 pagi hingga 3 sore, dia mendapatkan upah Rp 300 ribu per hari.

Mandiri

Pengalaman Dewa hanya salah satu contoh bahwa pandemi COVID-19 justru membuat banyak warga kembali ke desa dan menyadari tanah kelahirannya pun bisa memberi penghidupan.

Selama pandemi bergulir, Bumdes Kelating aktif menerima pekerja dari warga Desa Kelating yang dahulu sebagai pekerja di sektor pariwisata. Berdasarkan pendataan dari Bumdes Kelating, mantan pekerja pariwisata yang bekerja di bumdes selama pandemi terbanyak sempat menyentuh 15 orang. “Sekarang sudah berkurang dari jumlah itu, karena beberapa dari mereka mau coba mandiri dengan bikin produk sendiri seperti jajan dan makanan ringan,” ungkap Gung Gayatri.

Hingga saat ini Bumdes Kelating mempekerjakan 70 orang. Menurut Gung Gayatri jumlah pekerja dari mantan pekerja pariwisata bisa saja bertambah sewaktu-waktu. Sebab, sistem bekerja di Bumdes Kelating sifatnya harian dan tidak tetap, maka sejatinya siapa saja dapat menjadi pekerja Bumdes.

Agung dan kedua putrinya dengan kompak berjibaku meracik bahan produk sirup kelor khas Desa Kelating

“Siapa saja bisa masuk, mau pekerja pariwisata, ibu-ibu, bapak-bapak yang penting dari Kelating dan punya semangat bekerja yang tinggi pasti lolos,” jelas Gung Gayatri. Menurut pengamatannya, mantan pekerja pariwisata di Desa Kelating ada yang telah berusaha bangkit dengan upaya mereka masing-masing. “Ada yang kembali ngurus warung, ada juga memilih bertani. Macam-macamlah” ujarnya.

Kepala Desa Kelating I Made Suarga S.H menjelaskan pihak Pemerintah Desa Kelating selalu mendukung segala kegiatan yang dapat menyejahterakan masyarakat, termasuk adanya Bumdes. “Selalu kami support dengan pencairan dana dari kecamatan serta pemberian kredit dengan notabene bunga yang murah untuk mendukung mereka yang bergerak dibidang industri,” jelas Suarga.

Dukungan itu pun dibuktikan dengan penerimaan pengajuan proposal pengadaan truk untuk program Bank Sampa Desa Kelating yang akan dikelola oleh Bumdes Kelating. Ketua BPD Kelating, Dewa Ardana menjelaskan dana yang diajukan pihak pengurus Bumdes sebesar Rp 249 juta. Melalui konfirmasi dari pengurus Bumdes, akhirnya dana yang dapat dicairkan hanya sebesar Rp 220 juta.

Tak melulu soal ekonomi, Bumdes Kelating pun memperluas usahanya termasuk ke pengelolaan lingkungan. Saat ini mereka sedang menyiapkan pengadaan bank sampah berbasis desa. “Saat ini kami dibantu adik-adik KKN Universitas Udayana melakukan survei ke warga tentang pengadaan program bank sampah,” jelas Gung Gayatri.

Dia pun menjelaskan bahwa hanya 0,1 persen masyarakat menolak karena memiliki tempat pembuangan sampah sendiri. Rencananya ini akan berbayar satu bulan itu Rp 10 ribu dan diangkut dua kali atau empat kali selama sebulan. “Semua sangat setuju karena ini sangat positif, tidak ada namanya merugikan,” tambah Gung Gayatri.

Sirup Kelor - Salah satu produk Bumdes Kelating.
~Foto Yuko

Berkah Pandemi

Menggeliatnya ekonomi Desa Kelating, sebagaimana tecermin dari usaha Bumdes, di tengah pandemi COVID-19 bisa menjadi harapan bahwa Bali juga bisa melepaskan diri dari ketergantungannya pada pariwisata. Tentu saja pandemi ini memang merontokkan pilar-pilar utama ekonomi pulau ini, tetapi ada tiang-tiang kecil di pelosok desa yang tahan banting sebagaimana terlihat di Desa Kelating.

Kepala Bidang Pembangunan dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Tabanan I Made Sadia menjelaskan pandemi COVID-19 memang berdampak pada kesejahteraan masyarakat Bali khususnya Tabanan, terutama bagi mereka yang bekerja di sektor pariwisata. “Tentunya hal ini berdampak karena banyak yang di-PHK dan dirumahkan,” jelas Sadia.

Menyikapi dampak tersebut Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Kabupaten Tabanan pun mengedukasi masyarakat tentang pentingnya ekonomi desa. “Salah satu caranya, kita memberdayakan bumdes walaupun sebelum pandemi ini juga sudah terbentuk,” terang Sadia.

Sadia menambahkan Bumdes menjadi contoh karena terbukti merekalah yang mampu memutar roda ekonomi desa di tengah matinya pariwisata. Bahkan, “Ada beberapa bumdes yang bangkit di masa pandemi ini,” tambahnya.

Kebangkitan tersebut tak lepas dari inovasi. Alih-alih hanya pasrah di tengah lesunya ekonomi Bali, Bumdes-bumdes itu justru berinovasi menghasilkan produk unggulan desa. Inovasi itu pun membuka peluang kerja baru sehingga para pekerja terdampak pandemi yang kembali ke desanya pun bisa mengisi peluang tersebut.

Oleh karena itulah, Sadia melanjutkan, Dinasnya semakin mendorong agar semua desa di Tabanan memiliki Bumdes. Saat ini, dari 133 desa di Tabananan, 126 di antaranya sudah memiliki bumdes. “Proses dari desa yang belum memiliki bumdes ini, diharapkan tahun ini sudah seratus persen membentuk bumdes,” ungkap Sadia.

Sebagaimana di Kelating, Bumdes-bumdes lain di Tabanan pun memiliki produk-produk unggulan desanya. Sadia mencontohkan Desa Pupuan dengan produk kopi robusta; Desa Jatiluwih dengan beras merah, hitam, dan ungu; juga kawasan Selemadeg Raya dengan mikosake (mira, kopi, salak, dan kelapa).

Di antara Bumdes lain di Tabanan, Sadia mengamati Bumdes Kelating termasuk yang kian aktif selama pandemi. “Walaupun baru berdiri, Bumdes Kelating perkembangannya relatif pesat,” puji Sadia.

Jika melihat Bumdes dari sisi perputaran uangnya, kondisi Bumdes Kelating saat ini naik turun. Menurut Gung Gayatri, sebelum terjadi pandemi, omzet mereka per bulan mencapai rata-rata Rp 50 juta per bulan. Sekarang antara Rp 15 juta hingga Rp 15 juta.

Pendapatan itu belum termasuk dari usaha kolega Bumdes Kelating seperti CV. Timan Agung dan perusahaan kecil lainnya. “Kalau kita hitung sebelum pandemi omzet hampir Rp 400 juta per bulan. Pada saat pandemi naik turun tapi tidak terlalu jauh,” jelas Agung.

Toh, sebagaimana prinsip Agung, usaha di desa bukanlah persoalan mengejar materi semata. Kembali ke desa setelah ambruknya ekonomi adalah juga perihal membangun kembali kepercayaan bahwa Bali bisa tetap menggeliat tanpa harus menggantungkan pada satu pilar bernama pariwisata. Di luar itu, kembalinya mereka ke desa adalah juga upaya untuk mengenali potensi tanah kelahiran sendiri yang sekian lama ditinggalkan dan dilupakan.

Sadia melihat, adanya pandemi COVID-19 membuat banyak anak muda di Tabanan kembali membantu orang tuanya bekerja di pertanian. “Sebelum pandemi, jarang ada anak remaja yang pergi ke sawah. Malah sawahnya sendiri tidak diketahui ada berapa petak,” papar Sadia.

Anak-anak muda Bali yang terkenal bergengsi tinggi karena bekerja di pariwisata, kata Sadia, kini tak malu untuk berjibaku dengan lumpur di sawah atau kotornya pupuk.

Dalam skala lebih luas, Sadia menambahkan, pandemi juga berdampak terhadap gengsi warga Bali lainnya, cenderung berlebihan dalam persembahan upacara agama. “Hikmahnya, kalau kita lihat dulu upacara itu glamor, nah sekarang di masa pandemi karena ada protokol jadi ada batasan yang penting upacara itu berjalan maka selesai,” katanya.

“Banyak sisi positif yang bisa kita dapatkan dari masa pandemi ini,” lanjutnya.

Hikmah yang sudah terlihat dan terus menggeliat adalah bahwa amat penting untuk membangun ekonomi desa. Meski memag lebih kecil dan lambat, tetapi mereka terbukti lebih kuat dan liat, terutama ketika Bali mengalami guncangan seperti bom pada 2002 dan 2005 ataupun hantaman pandemi saat ini.

Jika desa telah bangkit dan berdaya, gerbang kesejahteraan negara pun kian terbuka.

“Membangun negara harus mulai dari desa dulu. Jadi, kita jangan sampai hanya jadi penonton di desa sendiri,” tutur Agung. Dia tersenyum lebar. [b]