Yuni Trailer (2021)
Lagu mimpi milik Anggun C. Sasmi yang dinyanyikan Yuni terus terngiang di kepala, rasanya haru namun ada semangat bergejolak di dalamnya. Lagu ini seolah menjadi jawaban atas segala keragu-raguannya tentang apa yang terjadi di sekitarnya. Yuni seperti apa yang dijelaskan oleh sutradara film ini (Kamila Andini) adalah ia “yang jatuh di bulan Juni”. Hujan di bulan Juni tentu menyalahi aturan yang sudah ajeg karena semestinya tak turun pada musim panas, namun sebagaimana fungsinya ia tetap berkah bagi kehidupan makhluk hidup di dunia.
Seorang perempuan SMA asal Cilegon, Banten ini sangat menyukai warna ungu. Tas, buku, baju, celana, motor bahkan pakaian dalamnya semua berwarna ungu. Semua ini dipotret secara personal di ruang privat Yuni: kamarnya sendiri.
Yuni dan Segala Keingintahuannya
Yuni menjadi perempuan pintar di sekolahnya, Bu Lies salah satu guru yang terus mengupayakan agar Yuni bisa masuk perguruan tinggi dan mendapatkan beasiswa. Namun, ia masih kesulitan dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Yuni termasuk seorang yang punya tingkat keingintahuan tinggi, ia mengikuti bela diri, mempertanyakan berbagai macam hal yang dirasa mengganjal?—?mitos, seksualitas, tabu dan perbincangan yang berkembang di masyarakat. Identitas gender yang tak ia mengerti secara gamblang, tentang apa yang ia lihat pada Pak Damar dan Teh Asih. Ia hanya tak tahu harus bersikap dan berbuat apa.
Sampai pada satu titik ia juga bertanya pada salah satu temannya yang sudah menikah “sakit gak sih ML itu?” menggunakan bahasa Jasen tentunya.
Film ini menjadi cerminan bahwa percakapan semacam ini memang terjadi di usia-usia SMA. Sayangnya, percakapan ini juga mengindikasikan bagaimana pendidikan tentang seksualitas tidak secara penuh diketahui oleh berbagai pihak. Tentu terdapat permasalahan kelas juga di dalamnya, orang kota yang bisa mengakses pengetahuan lebih banyak tentu akan memiliki pemahaman yang juga berbeda.
Tapi bagaimana jika hal tersebut diletakkan dalam kacamata perempuan? Perempuan yang tidak bisa mencapai orgasme, yang harus menahan sakit ketika berhubungan seksual. Apakah pendidikan semacam ini juga luput dari masyarakat kita hari ini? Apakah sistem eksploitasi dan dominasi yang membuat perempuan menjadi menerima saja perlakuan seperti itu?
Budaya Kolot dan Peminggiran Perempuan
Sejak jaman dulu perempuan kerap tak dapat tempat utama dalam masyarakat, ia selalu dianggap pelengkap. Bahkan hal ini meluas sampai pada kebebasan tubuh perempuan baik dalam ranah publik atau privat. Dalam film ini dituturkan bahwa perempuan yang menolak lamaran sebanyak dua kali akan kualat dan jauh dari jodohnya. Meski lamaran ini ditujukan pada anak usia 16 tahun. Terlebih lamaran yang diterima berasal dari kakek-kakek yang sudah beristri. Betapa gilanya masyarakat kita yang masih melanggengkan hal-hal serupa.
Penghakiman tak lepas diterima Yuni setelah ia menolak dua lamaran, bahkan penghakiman muncul dari sesama perempuan meski kebanyakan ibu-ibu yang sebenarnya sudah mengalami hal serupa. Namun lagi-lagi mereka berdalih bahwa sebagai istri “kita” memang harus menerima dan tunduk saja. Tentu mengerikan menyaksikan bagaimana perempuan memang terjebak dalam sangkar dominasi bernama patriarki.
Budaya yang diamini justru peran sumur-dapur-kasur yang sebenarnya sudah cukup menambah beban ganda perempuan dalam kegiatan domestiknya.
Mimpi yang Diyakini
Sebagai perempuan yang tak mau menerima mentah-mentah apa yang masyarakat berikan, Yuni menjadi sosok pemberani. Ia mencari sendiri jalannya, membentangi pengalaman atas pertanyaan-pertanyaan yang tidak ia temukan jawabannya.
Yuni menyaksikan sendiri realitas itu, dibalik pernikahan muda teman-temannya, pernikahan yang tak mereka inginkan, mimpi yang belum selesai, sampai pada ekspektasi masyarakat terhadap perempuan untuk pandai dalam segala peran domestik sumur-dapur-kasur.
Film ini selalu berkutat pada keterbatasan pilihan perempuan, hal ini terbukti dari banyak kasus dimana Yuni dianggap tak punya masa depan baik jika ia tak menikah. Permasalahan lingkungan juga diangkat Kamila Andini lewat percakapan Yoga dan Yuni, salah satu teman dekat Yuni yang ingin mengajaknya pergi dari Cilegon karena apa yang terjadi pada Yuni dan meluasnya pabrik yang mengeruk lingkungan hidup di sana. Percakapan Yoga dan Yuni menjadi semakin hidup ketika Yuni membacakan puisi-puisi pilihan Yoga dari buku karya Sapardi: Hujan Bulan Juni.
“Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan.
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang,
Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan.”
Meski Yuni masih memiliki segudang kebingungan dan pertanyaan, namun saya percaya ia memiliki keteguhan hati dan kepercayaan diri.
Film yang dirilis tahun 2021 ini menjadi sebuah momentum untuk memperkuat perjuangan kolektif perempuan. Film Yuni mampu berbicara hingga menembus batas penikmatnya. Yuni bahkan memenangkan penghargaan platform prize di Toronto International Film Festival (TIFF).
Terlepas dari itu saya memang sedih dengan apa yang terjadi pada Yuni dan realitas kehidupan kita hari ini, namun turut berbahagia karena Yuni dan saya memiliki kebingungan serupa tentang hidup ini, tentang hidup sebagai perempuan, Yuni membuat saya tidak sendiri. Yuni atau saya tak mau terbelenggu karena harus tunduk pada pilihan orang lain.
Meski ada perasaan takut menghadapi hari esok. Namun, kami memilih jalan sendiri. Untuk merasakan pahit dan senang itu, suatu hari nanti.