Yowana Desa Adat Legian dan Walhi Bali menyerahkan surat penolakan alokasi ruang untuk penambangan pasir di pesisir Legian dan memastikan alokasi zona konservasi untuk Teluk Benoa pada Konsultasi publik dokumen antara Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Acara ini dilaksanakan di Ruang Rapat Wiswa Sabha, Kantor Gubernur Bali pada 11 Juli 2019. Dipimpin oleh Dewa Made Indra selaku Sekretaris Daerah (Sekda) Propinsi Bali, Made Sudarsana selaku Ketua Pokja RZWP3K, dan Krishna Samudra selaku Kasubdit Zonasi Daerah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pada Konsultasi publik tersebut WALHI Bali kembali terlibat dengan mengajak serta Yowana Desa Adat Legian (organisasi pemuda Desa Adat Legian) dan Solidaritas Legian Peduli. Terlibat untuk pertama kalinya di dalam pertemuan tersebut organisasi Pemuda Adat Legian menegaskan penolakannya terhadap rencana tambang pasir laut dan rencana reklamasi untuk perluasan bandara.
Terlibat untuk pertama kalinya, Ketua Yowana Desa Desa Adat Legian, I Wayan Agus Rama menyatakan secara tegas menolak alokasi ruang pesisir untuk tambang pasir laut di perairan Kuta dan sekitarnya termasuk rencana reklamasi untuk perluasan Bandara Ngurah Rai. Pihaknya juga mengkritik Pokja RZWP3K Bali yang tidak pernah melibatkan perwakilan masyarakat dari Desa Adat Legian terkait rencana proyek yang mengancam pesisir Legian.
“Kami menolak rencana tambang pasir laut dan meminta Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Bali selaku ketua Pokja RZWP3K untuk tidak memasukkan alokasi ruang untuk tambang pasir laut khususnya di Perairan Kuta dan sekitarnya ke dalam RZWP3K,” tegasnya.
Selain menuai penolakan dari Pemuda Adat Legian, WALHI Bali juga menegaskan kembali penolakannya terhadap alokasi ruang untuk tambang pasir laut di pesisir, reklamasi untuk perluasan Bandara Ngurah Rai dan reklamasi untuk perluasan Pelabuhan Benoa. WALHI Bali juga meminta agar Ketua Pokja RZWP3K tetap mengawal Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi maritim.
Atas kritik yang dilontarkan oleh WALHI Bali, sempat terjadi perdebatan antara Direktur WALHI Bali dengan Krisna Samudera, Kasubdit Zonasi Daerah Kemterian Kelautan dan Perikanan dan Sekretaris Daerah Propinsi Bali. Krisna Samudra mengatakan bahwa dokumen RZWP3K hanya membahas alokasi ruang dan sifatnya baru sebatas perencanaan saja dan harus dibedakan dengan pelaksanaan. Atas pernyataan tersebut Untung Pratama menanggapi bahwa proses perencanaan tidak bisa dibedakan dengan proses pelaksanaan.
“Alokasi ruang untuk reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai, reklamasi perluasan Pelabuhan Benoa, serta alokasi ruang untuk tambang pasir laut adalah salah satu indikator untuk menerbitkan perizinan reklamasi dan tambang pasir laut,” jelas Topan, panggilan I Made Juli Untung Pratama.
Sementara itu, I Wayan Satria Prayuda, Sekretaris Solid Legian menyampaikan proyek reklamasi perluasan Bandara Ngurah Rai yang terjadi sejak era 1960an, menyebabkan abrasi di pesisir pantainya. Saat ini, selain rencana reklamasi untuk bandara, pesisir Legian terancam oleh keberadaan tambang pasir laut. Ia mengkhawatirkan apabila rencana tersebut terealisasi akan merusak pesisir di Legian dan sekitarnya. Untuk itu, pihaknya menyerukan kepada semua pihak yang berada di Kuta, Seminyak dan Legian untuk bersama-sama megawal RZWP3K agar tidak mengakomodir proyek yang merusak pesisir Seminyak, Kuta, dan Legian.
“Ayo masyarakat Kuta Seminyak dan Legian untuk bersama-sama melawan rencana tambang pasir dan proyek perluasan bandara agar tidak dimasukkan dalam RZWP3K,” ujarnya usai terlibat dalam konsultasi dokumen antara RZWP3K.
Saat pertemuan tersebut Solid Legian, Yowana Desa Adat Legian serta WALHI Bali menyerahkan surat penolakan terhadap rencana tambang pasir dan proyek reklamasi yang masuk dalam dokumen RZWP3K. Surat tersebut diterima langsung oleh Krishna Samudra selaku Kasubdit Zonasi Daerah Kementerian Kelautan dan Perikanan.