Sejak awal menonton film ini, rasanya saya sudah menahan sesak.
Setelah beberapa kali menunda untuk menonton film ini, akhirnya saya mencoba untuk memastikan apakah film ini memang sebegitu emosionalnya? Tentu, tak perlu diterangkan lagi. Sejak awal menonton film dokumenter besutan Fanny Chotimah berjudul You and I (2020), saya sudah menahan sesak. Tinggal menunggu waktu saja untuk diempaskan lewat air mata.
Entah mengapa perasaan menonton You and I terasa begitu dekat dengan apa yang bergumul di kepala saya belakangan ini. Bertumbuh, menjadi tua, lalu perlahan mendekati fase kematian. Namun, meski percakapan tentang kematian lebih terasa melekat dengan ingatan, tak dapat dihindarkan bahwa You and I adalah sebuah kisah yang bertumpu pada sejarah dan tanggung jawab kita sebagai sebuah bangsa.
Awal film You and I mengisahkan perjalanan Mbah Kam dan Mbah Kus. Mereka justru bertemu di penjara sebagai tahanan politik 1965. Pertemuan tak lazim ini yang justru mempererat hubungan mereka. Hingga, setelah dibebaskan dari penjara, keduanya memutuskan untuk tinggal bersama. Mereka tinggal di sebuah kediaman mungil di Solo, Jawa Tengah.
Pertemuan menggetarkan saat di penjara tak lantas membuat satu sama lainnya gentar. Setidaknya itu yang saya saksikan dari kedua perempuan ini.
Mbah Kam di beberapa adegan bercerita. Meskipun Mbah Kus dibebaskan setelah dua tahun di penjara dan dirinya harus menunggu selama tujuh tahun, persahabatan mereka tak berarti berakhir. Sambil menitikkan air mata, Mbah Kam bercerita betapa setia dan tak gentarnya Mbah Kus ketika ia setiap hari mengunjungi Mbah Kam di penjara. Meskipun bukan tidak mungkin bisa saja ia dipenjara untuk kedua kalinya pada masa-masa itu.
You and I menjadi hal yang begitu dekat dengan kehidupan kita. Tak ada yang membedakan itu. Ditambah sepanjang film, rutinitas dan kebiasaan merekalah yang lebih sering ditonjolkan dari adegan satu ke adegan berikutnya. Menunjukkan bahwa begitulah realitas yang dialami penyintas, setidaknya melalui cuplikan kehidupan Mbah Kam dan Mbah Kus.
Di masa-masa tuanya, mereka hidup sebagai dua orang yang saling mengisi, mandiri dan saling menguatkan.
Sejarah yang Terlupakan
Meskipun tak berbicara banyak tentang apa yang mereka alami di masa lalu, kisah mereka berdua mewakili kisah bahwa kerap kali sejarah itu dilupakan atau tak sengaja terlupakan.
Dalam imajinasi saya, Kaminah dan Kusdalini adalah dua orang perempuan yang semasa remaja aktif dan memiliki renjana (passion) sama. Keduanya sama-sama suka menyanyi. Keduanya juga tergabung dalam grup paduan suara. Namun, Mbah Kam hanya tergabung dalam grup paduan suara tingkat desa.
Di masa-masa tuanya Mbah Kus tidak dapat mengingat banyak hal tentang nama teman-temannya. Acara perkumpulan yang harus mereka datangi. Perjalanan masa lalunya.
Bahkan, pada satu titik ia lupa apakah Soekarno sudah meninggal atau belum. Bukan karena ia sengaja melupakan itu semua, tetapi murni karena ia menderita demensia di usia senjanya. Tak jarang Mbah Kam yang sehari-hari menemani Mbah Kus sudah hafal betul pertanyaan yang akan dilontarkan. Terkadang ia menjawab dengan serius, tetapi terkadang Mbah Kam juga menjawab dengan seadanya saja.
Hal ini yang membuat film You and I begitu unik dan menarik, jika diibaratkan dengan kehidupan sehari-hari, Mbah Kus mungkin menyerupai nenek-nenek kita. Sewaktu-waktu ingin jemuran dipindahkan, menanyai nama temannya yang sudah meninggal, atau beberapa kelakuan yang kita anggap “ngeyel”. Meski begitu, dengan telaten Mbah Kam atau bahkan keduanya tetap saling perhatian. Mengurusi dan merawat diri mereka bersama-sama.
Bahkan, mereka tetap bekerja menggoreng kerupuk dan menjualnya. Mbah Kus bertugas memasukkan kerupuk ke dalam plastik. Lalu, Mbah Kam melakukan pekerjaan sisanya. Sejak awal, tanpa disadari mereka membagi peran itu. Saat yang satu sakit, yang lain merawat dengan penuh perhatian. Di saat yang satunya harus diam di penjara lebih lama, yang satunya selalu datang untuk menguatkan. Intinya mereka sama-sama ingin menyampaikan bahwa, “Aku masih bersamamu di sini”. Begitu kira-kira.
Lalu, di satu kesempatan muncullah adegan yang membuat hati saya semakin teriris. “Kok wis lali kabeh tho, Mbak?” ungkap Mbah Kam pada Mbah Kus saat mengutip petikan kata-kata Bung Karno tentang JASMERAH (jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Jika apa yang terjadi pada Mbah Kus murni karena ia menderita demensia, lalu apa yang terjadi pada kita hari ini? Terhadap sejarah, bagaimana kita memandangnya? Dengan begitu saja melupakannya atau tetap berusaha untuk mencari benderang di tengah-tengah segala yang lazim kita pahami?
Kematian sebagai Pengingat
Tak ada yang ingin ditinggalkan atau meninggalkan lebih dulu. Di antara keduanya terselip kasih yang hangat. Dalam obrolan mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang harus Mbah Kam jawab setiap saat. Obrolan ketika mengikat kerupuk. Cengkerama saat mengingat masa lalu di depan acara TV yang mereka tonton. Semuanya terekam.
Tak pernah saya pahami bagaimana kisah mereka menjadi kisah dan kasih yang begitu hangat. Dalam setiap percakapan mereka, selalu terselip cerita tentang kematian. Entah tentang temannya yang sudah mendahului mereka. Atau, sesederhana cerita Mbah Kus tentang temannya yang sudah meninggal dan mampir dalam mimpinya.
“If they ask you to join them, please say no.”
“Of course no, I still want to be with you.”
Dalam percakapan itu mereka berjanji untuk saling bersama, meski tak dapat dipungkiri kematian yang selalu menjadi perbincangan di antara keduanya semakin dekat.
Terlalu banyak adegan yang membuat hati saya teriris, rasanya berat sekali untuk menganggap kisah ini benar-benar terjadi. Keintiman di antara keduanya membuat saya meyakini bahwa itulah salah satu alasan mereka sintas dan dapat menjalani kehidupan tuanya bersama.
Kematian menjadi pengingat, barangkali seperti itu. Jika sejarah dengan gampangnya dilupakan, mungkin saja “kematian” dijadikan pengingat bahwa mereka hadir dalam ruang-ruang yang sempat tak terdengar itu. Mereka hadir sebagai yang berhasil sintas dan berjuang untuk hidupnya. Dan di tengah-tengah itulah masih ada ruang kosong dalam bentuk tanggung jawab dan tugas besar negara sebagai sebuah bangsa untuk menyelesaikan sejarah dan apa saja yang telah terjadi di masa lalu.
Namun, pertanyaannya, apakah kita harus selalu dibanguni dengan alarm “kematian” terlebih dahulu untuk mengingat atau bahkan menuntaskan ini semua? [b]