Oleh Ketut Rado Raditha
Saya perantau dari Denpasar di negeri sakura Jepang. Kali ini Saya ingin sedikit cerita tentang pengalaman saya pentas atau lebih tepatnya workshop tentang gamelan Bali di beberapa sekolah Dasar dan berbagai tempat di Jepang. Mungkin sangat tidak layak muat,tapi Saya ingin sekali berbagi cerita dan pengalaman dengan pengunjung Bale Bengong. Oke, tanpa basa basi Saya mulai saja.
Tidak bisa dipungkiri mendapatkan pengalaman pentas di luar negeri adalah impian dan dambaan sebagian besar seniman di Bali khususnya seniman seni kerawitan atau yang berhubungan dengan musik tradisional gamelan dan seniman tari. Demikian juga halnya dengan Saya yang kebetulan mendapat sedikit cipratan darah seni yang diturunkan dari orang tua yang seorang seniman tari dan kerawitan di Denpasar.
Masih teringat ketika saya masih duduk di Sekolah Dasar di tahun 1980-an, bapak saya waktu itu mendapatkan kesempatan pentas keliling di beberapa negara Eropa. Misi selama kurang lebih tiga bulan yang dilakukan bersama misi kesenian seniman-seniman Bali dari berbagai bidang seni dalam promosi Pariwisata Bali itu kalau tidak salah bertajuk Bali Around World.
Dalam benak saya ingin juga rasanya punya pengalaman seperti itu: bisa jalankan hobi plus jalan-jalan ke luar negeri. Di mana seperti kita ketahui jalan-jalan ke luar negeri hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya atau pejabat-pejabat teras di lingkungan eksekutif maupun legislatif dengan dalih studi banding, promosi pariwisata, dan lain-lain yang nota bene hanya mencari kesempatan untuk jalan-jalan ke luar negeri tanpa merogoh kocek sendiri alias gratis plus dapat uang saku.
Akhirnya setelah menunggu beberapa lama akhirnya kesempatan itu datang juga. Saya bisa pentas di negeri Sakura atas undangan seniman dari Jepang yang juga penggemar gamelan Bali khususnya gamelan gender wayang dan gamelan rindik, seperangkat gamelan yang terbuat dari bambu yang biasa dipakai untuk mengiringi tarian joged bumbung. Pertunjukan pada pertengahan tahun 2005 itu diadakan di Jepang tepatnya di Prefektur Yamaguchi dan Fukuoka di bagian selatan Jepang.
Walaupun tidak berskala besar, pentas gamelan ini saya pakai juga sebagai ajang promosi kecil-kecilan tentang Bali. Meski sangat saya sadari promosi ini tidak berarti apa pun bagi Bali dan tidak mampu memberikan kontribusi secuil pun bagi pemulihan pariwisata Bali yang terpuruk dan semaput saat itu akibat tragedi bom Bali 1 dan 2 mirip jilid buku saja, dan mudah-mudahan tidak terbit jilid ke-tiga.
Promosi sambilan dengan skala super kecil ini saya lakukan tidak lepas dari back ground saya sebagai seorang pramuwisata, yang ikut terimbas dan paling merasakan efek dari kejadian itu dengan kehilangan mata pencaharian karena wisatawan tidak ada yang berani mengunjungi Bali pasca tragedi bom Bali ke-dua saat itu.
Pentas kami kemas dalam bentuk workshop yaitu semacam pengenalan bagi penonton tentang gamelan secara umum,cara memainkan serta mengajak penonton untuk ikut mencoba memainkannya. Sungguh di luar dugaan, kami mendapat sambutan luar biasa dari penonton. Pada saat kami memainkan gender wayang dan rindik mereka betul-betul menikmatinya dengan hening tanpa berisik sedikit pun. Setelah usai per-tabuh atau lagu mereka memberikan aplaus dengan tertib sekali.
Hal ini sepertinya perlu ditiru penonton-penonton di berbagai pentas seni di Bali yang biasanya berisik dan sibuk berbicara selama pementasan sambil menikmati kacang kulit dan camilan seperti nonton film di bioskop sembari membuang kulit kacang dan kemasan plastik begitu saja di sekitar tempat duduknya, ditambah abu, puntung rokok, botol serta gelas plastik kemasan air mineral yang berserakan juga ikut meramaikan tempat pentas.
Ambil saja contoh pada Festival Gong Kebyar yang menjadi primadona pada perhelatan Pesta Kesenian Bali yang di gelar setiap tahun. Penonton gong kebyar yang sebagian besar pendukung dan suporter fanatik dari peserta festival bagaikan menonton pertandingan sepak bola yang riuh dan berisik, dengan berbagai cemooh dan teriakan yang ditujukan kepada lawan dengan harapan menjatuhkan mental dan merusak konsentrasi serta harmoni permainan lawan yang sangat memekakkan telinga. Hal ini sangat mengganggu penonton yang betul-betul ingin menikmati garapan-garapan seni peserta. Demikian juga dewan juri tentunya tidak bisa melakukan penjurian dengan baik.
Mungkin sangat bagus kalau dari usia dini anak-anak diajarkan bagaimana menikmati, menghargai, dan mengapresiasi seni. Ini adalah pekerjaan rumah bagi pakar-pakar pendidikan khususnya dari akademisi seni.
Selain pentas-pentas kecil serta workshop untuk umum kami juga mendapat undangan dari beberapa sekolah sebagian besar dari Sekolah Dasar dan sebuah universitas seni di daerah Yamaguchi.
Khususnya di Sekolah Dasar, selain mengenali musik dari negeri sendiri, para siswa juga diperkenalkan dengan musik dari negara lain. Mereka dikumpulkan mulai dari kelas satu sampai kelas enam di dalam aula yang bernama taiikukan yang artinya gedung olah raga. Selain dipakai untuk kegiataan olah raga, ruangan tertutup gedung ini juga dipakai untuk pementasan kesenian yang dilengkapai dengan sarana memadai seperti stage atau panggung serta berbagai alat-alat musik. Aula ini dipakai juga untuk acara perpisahan pada waktu kelulusan serta kegiatan sekolah lainnya. Para siswa sangat antusias mengikuti workshop yang kami berikan. Dengan tingkat kecerdasan anak-anak Jepang yang di atas rata-rata, mereka dengan cepat dapat menangkap dasar-dasar memainkan gamelan.
Jam belajar di sekolah-sekolah di Jepang umumnya lebih panjang dari sekolah-sekolah di Indonesia, dimulai dari pukul 08.00 pagi sampai 16.00 sore. Tentunya sangat melelahkan dengan jam belajar yang begitu panjang. Untuk mengendorkan urat saraf siswa, para guru sesekali mengajak mereka menikmati pentas-pentas kesenian, berkunjung ke musium, belajar bercocok tanam, berkunjung ke tempat-tempat bersejarah, selain kegiatan olahraga tahunan yang disebut undokai.
Bali sangat dikenal di Jepang dengan sebutan Bari Tou yang artinya pulau Bali. Karena tidak ada suku kata li dalam huruf Jepang yang bernama Katakana dan Hiragana sehingga Bali menjadi Bari. Saking terkenalnya Bali, bahkan ada yang mengira Bali adalah sebuah negara di dekat Indonesia.
Banyak sekali kita dapat jumpai restoran atau rumah makan dengan style Bali dengan embel-embel nama Bali seperti Kitchin Bali, bahasa inggris gaya Jepang yang menyebut kitchen dengan kitchin, cote-cote Bali, ada juga warung Matahari, warung Teratai, warung Batu Bulan dan warung-warung lain yang umumnya punya menu andalan nasi goreng, mie goreng, ayam goreng dan bakso. Bahkan akhir-akhir ini menjamur tempat perawatan tubuh dan kecantikan atau spa bergaya Bali, dengan ramuan-ramuan boreh atau lulur yang khusus didatangkan dari Bali.
Yang sangat mencengangkan, akhir-akhir ini ketenaran Bali dengan pariwisata dan pulau resornya yang menawan, elok nan cantik, dengan penduduknya yang ramah tamah bisa disejajarkan atau bahkan dilampui ketenarannya oleh bom buatan Amrozy cs yang dua kali telah mengguncang Bali yang merenggut jiwa ratusan manusia yang tidak berdosa. Sungguh suatu promosi berskala besar yang tidak menguntungkan dan sangat merugikan bagi Bali yang dilakukan oleh para teroris laknat itu. [b]
bagus bgt artikelnya…. thanks.. ada artikel yang khusus bahas soal rempah boreh nggak ya??