Teks Wendra Wijaya, Foto Vita Sutopo
Banyak yang percaya, spiritualitas merupakan wilayah yang sungguh absurd.
Sebuah ruang tak bernama, di mana didalamnya terjadi hubungan dan pertalian yang erat antara keterbatasan manusia dengan kemahakuasaan Sang Pencipta. Melalui Wirama Totaka, Ayu Laksmi, penyanyi yang mengabdikan dirinya dengan menembangkan lagu-lagu dengan spirit pengagungan terhadap Tuhan, berusaha menjelajah ruang itu.
“Berbagai cara bisa dilakukan sebagai wujud bhakti dan persembahan kepada Tuhan. Kalau saya, lebih memilih musik kontemporer sebagai wahana kontemplasi dengan menyerap spirit yang menjadi kearifan lokal, budaya dan tradisi. Ya, ini tak lepas dari basic saya sebagai penyanyi,” tuturnya usai pentas bersama Balawan and Batuan Ethnic Fusion, Rabu malam lalu, di Gedung Ksirarnawa, Art Center.
Lirik Wirama Totaka yang diambil dari Kekawin Arjuna Wiwaha menyiratkan pentingnya menciptakan jeda dalam kehidupan dalam keheningan dan kekosongan, melalui yoga dan semadi. Dalam kekosongan itulah, seseorang baru mampu melihat segala hal dengan jernih. Disadari atau tidak, manusia hanya bisa saling menyalahkan, tapi Tuhan akan selalu membenarkan apa yang seharusnya benar. Begitulah sifat Tuhan yang tidak pernah bisa dibayangkan.
“Seperti yang tersirat dalam Wirama Totaka, saya pun meyakini jika Tuhan hanya akan terlihat dalam jiwa orang-orang yang melaksanakan yoga dan semadi. Tentu ini bukan hanya sebatas pengertian harafiah saja. Lebih dari itu, yang terpenting adalah mengosongkan diri. Ini serupa (bayangan) bulan yang terpantul dan tercermin dalam air jernih dalam tempayan,” ucapnya.
Lalu, sudahkah Ayu mencapai titik itu? “Belum, hahaaa….,” tambahnya disertai tawa ringan.
Diiringi Balawan and Batuan Ethnic Fusion, Wirama Totaka cukup berhasil menghadirkan energi yang tak biasa. Sinergi antara keduanya sangatlah jarang ditemukan, mengingat keduanya sama-sama menjadi ikon untuk musik kontemporer bernafaskan seni budaya. Namun demikian, ketika dipertemukan, mereka sama-sama memahami dan mendukung menciptakan harmoni. Dapatkah audience memahami makna dan nilai yang terkandung dalam Wirama Totaka mengingat liriknya masih menggunakan Bahasa Kawi?
Bagi Ayu, musik merupakan bahasa yang paling universal. Keinginan untuk menyampaikan sesuatu, bahkan sesuatu yang paling pribadi yang bersemayam dalam dasar hati pun bisa terwakili dengan susunan bunyi. Lalu, eksplorasi tubuh bisa digunakan mendukungnya. Kondisi ini tercermin pula dengan keberadaan penari Nyoman Sura yang semakin menyempurnakan penampilan malam itu, dengan berusaha menginterprestasikan Wirama Totaka.
“Musik dan bahasa tubuh mampu menyusup keheningan jiwa, menyapa setiap ruh yang mengada dalam diri kita. Tak hanya sekadar berkata-kata,” tegasnya, yang saat itu juga menyanyikan Tri Kaya Parisudha karyanya sendiri, salah satu lagu dalam Album Nyanyian Dharma.
Beberapa penonton yang ditemui mengaku tidak mengerti apa yang disampaikan Ayu Laksmi dalam lirik lagunya. Namun demikian, sebagian besar dari mereka berhasil menangkap dan memahami esensi lagu tersebut. Apalagi mengawali pementasannya, ia menggiring penonton untuk memejamkan mata, mendengarkan dan meresapi dalam hening, sembari berkisah tentang inti Wirama Totaka.
“Kalau ditanyakan artinya, jujur saya gak ngerti. Itu Bahasa Kawi, bahasa yang sangat sulit. Tapi dalam performance-nya, sedikit tidaknya saya paham jika lagu itu mengandung pesan-pesan kebajikan. Saya hanya bisa merasakannya, dan itu jauh lebih baik dari sekedar memahami arti liriknya saja. Tadi itu adalah pertunjukan yang luar biasa. Ayu Laksmi telah menjelajah wilayah spiritualitas,” demikian Anggreni, salah seorang penonton. [b]
artikel yg bagus nih…!!!
good article