Arya Wedakarna adalah kontroversi di Bali.
Melalui berbagai iklan di media lokal, yang dikemas seolah-olah berita padahal iklan, duda berusia 32 tahun kelahiran Denpasar ini terus mengaku dirinya adalah Raja Majapahit Bali.
Di kartu namanya, Wedakarna menulis gelar panjangnya, Raja Majapahit Bali, Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Kadang dia juga mengaku bergelar lengkap Abhiseka Ratu Dr Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III. Kadang-kadang dia menggabungkan keduanya menjadi Ratu Ngurah Shri I Gusti Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Kaping III, Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Perlu satu kali tarikan napas sebagai jeda untuk membaca gelar sepanjang 22 kata itu.
Untuk mendukung klaim sebagai raja itu, dia juga membuat “istana” sendiri di Banjar Mancawarna, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar. Di depan gedung tersebut tertulis papan nama “Istana Mancawarna”. Gedung ini sekaligus menjadi The Sukarno Center (memang ditulis Sukarno, bukan Soekarno).
Dua pekan lalu, saya bersama fotografer Agung Parameswara dan reporter Eka Juni Artawan mewawancarai Wedakarna untuk keperluan penulisan laporan utama BaliPublika.
Salah satu yang membuat saya geli adalah karena semua staf di sana memakai kartu pengenal dengan tali hitam bertuliskan Istana Kepresidenan Republik Indonesia. “Tidak tahu. Orang kami cuma disuruh pakai ini,” jawab salah satu staf di bawah ketika saya tanya kenapa pakai tanda pengenal dengan tulisan Istana Kepresidenan Republik Indonesia tersebut.
Di meja ovalnya, tempat Wedakarna kami wawancarai juga ada papan nama dengan tulisan sama, Istana Kepresidenan Republik Indonesia.
Setelah sekitar 1,5 jam ngobrol, saya makin yakin dengan pendapat saya selama ini tentang dia. Terlalu banyak membual dan tidak konsisten. Tapi ya tiap orang bebas menilai sendiri setelah baca transkip wawancara lengkap berikut.
Apa kesibukan sehari-hari?
Saya kebetulan memimpin kurang lebih 55 organisasi skala lokal, nasional dan internasional sehingga semuanya terbagi menjadi kegiatan-kegiatan bersifat rutin. Tetapi ada pekerjaan utama saya. Pertama swadarma saya selaku Rektor di Universitas Mahendradatta Bali. Kedua selaku President The Sukarno Center. Ketiga selaku Ketua DPD PNI Marhenisme Bali. Kemudian President The Hindu Center of Indonesia. Kalau kegiatan di keluarga tradisional selaku Sekjen di Pasemetonan Tegeh Kori.
Jadi sebenarnya saya bergerak dalam bidang di hampir semua bidang ya, semua organisasi yang bersifat politik, ada ekonomi, budaya sosial, dan juga dari sisi hubungan internasional juga. Hampir semua bidanglah.
Jadi, pilihan kegiatan utamanya apa?
Kalau yang bener-bener fokus, saya sebenarnya sangat mencintai dunia politik karena saya memang melanjutkan perjuangan ayahanda yang tertunda. Kebetulan saya jadi Ketua PNI Marhenisme. Kebetulan saya memimpin Sukarno Center dan juga sebuah lembaga politik. Selain politik, ada tiga utama yang tidak bisa saya lepas karena berkaitan perjuangan, yaitu politik, pendidikan, dan agama. Tiga pilar inilah yang selalu mengikuti saya.
Dalam keseharian bentuk kegiatannya apa?
Kalau di Hindu Center kita lebih menyiapkan database. Ya lebih menyiapkan strategi-strategi. Kehinduan saya bukan di bidang tatwa atau ajaran agama dan filosofi, tetapi bagaimana memanage Hindu baik dalam kontribusi Hinduisme, politik, pertahanan, ekonomi, sosial, dalam bidang kehidupan plularisme, kehidupan toleransi, hubungan internasional. Seperti itu.
Jadi, saya membawa perspektif Hindu menjadi ke arah yang lebih moderat ya. Pilihan lebih moderat, karena kita berbicara agama tidak bisa tentang upacara saja di pura atau ritual, tetapi bagaimana bisa meningkatkan ekonomi Hindu, bagaimana agar anak-anak muda ini meningkatkan beasiswa Hindu. Bagaimana agar hubungan Hindu internasional seperti perjuangan kami kemarin mendirikan World Hindu Center tercapai.
Kemudian diplomasi-diplomasi Hindu karena Hindu di Indonesia cukup banyak, sepuluh juta orang. Di Bali sendiri hampir empat juta. Di dunia satu miliar. Jadi hubungan antara Bali sama India, internasional, Nepal harus saya jembatani karena selama ini tidak ada yang menjembatani. Untungnya saya punya satu sejarah bahwa orang tua saya adalah pendiri parisada.
Apa legitimasi Anda untuk mewakili Hindu?
Maksudnya jabatan? Kalau jabatan, saya President The Hindu of Indonesia yang memiliki cabang-cabang di seluruh Indonesia. Kita memiliki networking. Saya memang tidak terlibat di PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesi, lembaga resmi yang mewakili Hindu). Saya tidak boleh karena saya ketua partai. Karena ada di AD/ART. Mungkin nanti setelah pensiun dari partai politik, saya bisa di Parisada. Tapi saya justru ingin menjaga agar Parisada itu netral dari politik praktis tapi wawasan politiknya harus ditingkatkan.
Wajah resmi Hindu tidak harus dari PHDI?
Kalau di Bali atau di Indonesia sudah telanjur stigma bahwa Hindu is Parisada. Karena memang ini perjalanan sejarah. Selama 32 tahun sejarah Orde Baru memang ada satu desain untuk menjaga agar kekuatan Hhindu baik secara politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun internasional itu tidak kemana mana selain untuk ritual saja. Makanya, ada istilah Hindu Bali. Itu kan istilah yang diciptakan pemerintahan Orde Baru untuk mengkerdilkan. Padahal ada Hindu Jawa, Kaharingan, Maluku, Tengger, dan lain-lain.
Pasca-Reformasi 1998/1999, barulah sekat-sekat ini terbuka. Misalnya, muncul ashram sebagai wajah baru. Muncul organisasi-organisasi Hindu di luar organisasi-organisasi yang dulu diakui sepihak oleh pemerintah. Munculnya samradaya, munculnya pasemetonan yang memunculkan sulinggih-sulinggih baru. Ini merupakan bagian dari alam dan kebangkitan Hindu identitas dari Jawa, Tengger, Blitar, Batak. Saya rasa itu pergerakan alam. Saya hanya satu bagian dari itu.
Di media massa, Anda sering sebagai Abhiseka Raja Majapahit?
(Terlihat kaget. Lalu jeda untuk minum). Abhiseka Raja? Kalau peran saya sebagai Abhiseka Bali, pertama dari sejarah. Kalau kita berbicara dari sejarah kerajaan, memang used to be leluhur kami adalah bagian dari Majapahit. Trah saya Dinasti Tegeh Kori Kresna Kepakisan. Tegeh Kori dalam sejarah tercatat sebagai Raja Badung pertama dan pendiri Kerajaan Badung. Ida Bhatara Tegeh Kori juga putra mahkota Raja Bali saat itu.
Secara organisasi pasca-1945 sampai pada zaman Orde Baru itu, ayahanda saya almarhum Sri Weda Suyasa, Ketua Umum Pasemetonan Arya Tegeh Kori, kumpulan trah para ksatria Dalem Tegeh Kori. Jadi, kalau ditanya secara garis atau darah, bukan bermaksud feodalisme, tetapi kalau dilihat dari sejarah, leluhur kami adalah raja. Raja Badung, Raja Bali seperti itu.
Nah kemudian dihubungkan dengan Abhiseka saya, abhiseka raja Majapahit Bali itu sejak tahun 2009. Saya dipercaya dan diberikan sebuah mandat oleh masyarakat trah Majapahit dari Jawa, Bali, maupun luar Jawa dan Bali, untuk memegang gelar, melanjutkan kembali trah Mojopahit. Trah Mojopahit kan banyak nih. Ada yang dari satu dinasti, ada dari dinasti Mataram, bahkan Demak pun trah Majapahit. Ada dari dinasti para Arya, seperti Arya Damar dan Arya Kenceng.
Kalau kami dari Brahmana, Sri Aji Kresna Kepakisan. Menurut sebagaian dari mereka, para trah Majapahit, mendapatkan petunjuk begitu. Bahwa ada sesuatu yang harus dibangkitkan yaitu kebangkitan Majapahit. Dan, pilihan itu jatuhnya kepada saya.
Kenapa kepada saya? Setelah saya tanya, karena track record dari keluarga leluhur ya. Karena ayah saya ketua dari Pasemetonan Tegeh Kori. Karena perjuangan dari leluhur-leluhur kami. Sehingga, menurut mereka, saya diminta untuk memangku adat Majapahit. Saya secara tegas mengatakan, kalau mau jadi Raja Majapahit, kalau mau jadi pemangku Raja Majapahit, ya harus orang Hindu.
Jadi itulah kebetulan juga mungkin skenario leluhur. Pada tahun 2009 saya sudah terpilih menjadi Sekjen Pasemetonan Agung Arya Benculuk Tegeh Kori yang sudah bermahasabaha pada tanggal 9-9-99. Jadi, dengan beberapa latar belakang itulah saya menerima amanat ini. Karena yang meminta bukan hanya dari Bali tetapi dari tanah Jawa, dari teman- teman trah majapahit yang mungkin sudah tidak beragama Hindu lagi.
Kalau petunjuknya apa?
Kalau berbicara tentang agama Hindu, kita tidak bisa lepas dari adat yang namanya ritual. Nah menurut mereka, para sesepuh dan penglingsir, petunjuk-petunjuk ini merupakan suatu hal, atau wahyu mungkin ya, yang didapat ketika melakukan banyak hal, misalkan ritual. Sudah ada petunjuk-petunjuk yang menurut mereka mengarah kepada sosok kami, keluarga kami, saya pribadi. Ada petunjuk sangat jelas. Ada pawisik.
Di Bali puri kan banyak nih. Mungkin tidak semua puri bisa memberikan kontribusi kepada pemikiran seperti apa yang kami lakukan. Jadi mereka juga tidak mau gambling, memberikan kepercayaan gelar ini kepada puri yang mungkin tidak pernah berbuat sesuatu. Kebetulan kami darah biru dan kita no problem karena kita punya sejarah. Saya punya orang tua yang hebat. Selain ketua dan juga sahabat Bung Karno juga ketua PNI. Jadi track record itulah yang mereka nilai.
Trah majapahit dalam bentuk apa? Ada forum resmi?
Kalau bicara trah itu tidak harus di organisasi. Walaupun mereka ini macem-macem ya, ada yang paguyuban, ada yang puri, puri Majapahit, ada Sentana Dalem Majapahit, jadi macam-macam. Terus yang itu kan pandito-pandito ya, Pandito Budha, Pandito Siwa. Mereka dari tanah Jawa. Ketika mereka mengumpulkan diri dan mengaku dirinya sebagai trah Majapahit, saya kan juga periksa dong. Ini orang bener apa nggak, ritualnya bagaimana, jalan apa nggak, pakem sesuai Hinduisme atau Siwa Budha atau tidak.
Nah kalau mereka sudah periksa saya. Saya sudah paten. Mereka sudah tahu siapa keluarga saya dan ayah saya siapa.
Saya juga doktor. Doktor itu tidak boleh berpikiran mistik terlalu banyak. Tidak boleh berpikir niskala terlalu banyak. Itu sifat doktor. Ilimiah. Jadi diberikan apapun, apalagi tercatat sebagai doktor termuda Indonesia, saya harus periksa tiga, empat, lima kali. Memeriksa motif, kemudian siapa tokoh-tokoh memberikan gelar, dan ketiga misinya sesuai tidak dengan pakemnya Siwa Budha. Saya selaku doktor ya menelaah, memilah.
Ada arsip sejarah Anda keturunan Raja Majapahit?
Jelas mereka punya prasasti semua. Sama seperti kami di Bali. Kami punya prasasti semua. Dan prasasti menurut saya valid itu ya prasasti yang dimiliki oleh Hindu. Sejarah itu sesuai dengan teori yang membuat sejarah. Sejarah itu kan bisa dibuat oleh orang yang berkuasa. Dalam sejarah Majapahit gerakan penghancuran Majapahit atau penghapusan sejarah memang banyak sekali. Sangat massal. Jadi kalau Anda tanya sejarah, saya punya versi sejarah yang bisa saya percaya.
Ada bukti secara fisik?
Nggak ada. Jadi begini. Ketika saya bersedia menjadi Abhiseka, itu kan dari pihak mereka memberikan saya gelar. Nah gitu, lho. Sama seperti rakyat Dayak memberikan saya gelar. Tokoh apa misalnya dalam bahasa sana Kaharingan. Seperti orang Pajajaran memberikan saya gelar. Seperti teman-teman Nusa Tenggara Timur. Selama itu adalah orang-orang yang kredibel, punya track record, demi etika budaya, saya terima. Asal mereka merasa terwakili keberadaan saya.
Saya tidak perlu periksa siapa mereka. Saya tahu kok siapa mereka. Satu Indonesia saya rasa ngerti kok siapa mereka yang memberikan saya. Justru jika saya periksa-periksa, mereka bisa tersinggung. Seperti orang-orang di Bali memanggil saya dengan Ratu Ngurah, Ratu Biang, Ratu Sulinggih. Itu kan spontanitas orang ya.
Buat saya nggak berhenti apakah raja, apakah penglingsir. Di Puri Jembrana, saya penglingsir kok. Tetapi kalau saya disambut sebagai raja Majapahit dan mereka mengakui ya kenapa tidak.
Bagaimana prosesi abhiseka?
Mulai pada saat dideklarasikannya oleh teman-teman dari tanah Jawa. Mereka bersumpah di depan Dewa dan Tuhan yang mereka percayai bahwa gelar ini sudah turun. Saya dititipkan pusaka waktu itu. Saksinya juga banyak pemedek saat itu. Saya diminta menjaga dan meneruskan, sebagai anak muda dengan sumpah jabatan. Saya harus rawat pusaka yang saya pegang.
Penobatan di Besakih?
Ketika saya dinobatkan secara insidential, saya menolak terus. Saya nggak mau meskipun semenjak 2008 saya didesak untuk mengambil gelar ini. Saya kan nggak suka grasa grusu.
Sejak mahasiswa, saya selalu beracara di Besakih setiap 31 Desember. Selalu itu. Waktu itu saya masih Ketua Umum Forum Intelektual Muda Hindu Dharma Indonesia (FIMHD). Jadi rutin itu. Pada saat itu (2009) secara tidak sengaja, ada tokoh-tokoh dari tanah Jawa turut di sana. Mereka berupacara di Pura Besakih. Pada saat persembahayangan, munculah petunjuk bahwa saya saat itu harus mengambil gelar yang sudah lama tertunda yaitu, Sri Wilaktikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan. Kalau tidak diambil gelarnya, nyawanya akan diambil. Ya saya sebagai sebagai umat diam saja. Saya iyakan saja.
Apa arti nama gelar itu?
Sri Wilaktikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan. Kalau Sri lambang Wisnu, lambang Dewi Sri. Dalam filosofi Hindu, seluruh raja harus beraliran Waisnawa karena sebagai pemelihara dan pemberi kesuburan. Maka ada gelar Sri, Sri Sultan, atau Sri Wilaktikta. Macem-macem.
Kalau Wilaktikta gelar dari Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Membentuk sebuah tahta. Protokoler dari pendiri kerajaan Majapahit yang dicikalbakali oleh Airlangga. Wilaktikta juga sebuah maknanya adalah pendiri Majapahit.
Kalau Tegeh Kori leluhur saya, yang merupakan putra mahkota dari Raja Bali Sri Aji Kresna Kepakisan dan juga putra angkat dari Raja Anglurah Arya Kenceng. Kemudian kalau Kresna Kepakisan nama Ayahanda dari Tegeh Kori yaitu yang menegaskan bahwa Kresna Kepakisan kembali artinya Wisnu, Waisnawa, menjelaskan bahwa Sri Aji Kresna Kepakisan ini adalah used to be sebelum menjadi raja itu adalah Bhagawan Tri Bhuana Tungga Dewi. Maknanya seperti itu..
Arti dalam bahasa lebih singkat?
Mungkin leluhur-leluhur mencoba menjelma kembali dengen gelar itu. Itu yang harus saya amankan.
Bisa dijelaskan agar mudah dipahami?
Dari kata Sri Wilaktikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan. Kalau bisa jadi lengkapnya, Abhiseka Raja Majapahit Bali. Jadi abhiseka sudah ngadeg lagi. Raja Majapahit yang muncul kembali dari tanah Bali. Kalau Sri Wilaktikta, menghormati Raden Wijaya Wilaktikta, pendiri Majapahit, menghormati Ida Bhatara Tegeh Kori, menghormati Ida Bhatara Sri Aji Kresna Kepakisan. Sama ketika seorang anak memakai nama ayah dan kakeknya.
Wewenang Raja Majapahit Bali itu apa?
Bekerja sama dan berjuang untuk kebudayaan Majapahit. Kan sebagai simbol ya. Majapahit ini sesuatu yang grand. Dia juga ada filosofi agama, filosofi akademis di dalamnya, filosofi budaya, filosofi kebangsaan. Kalau saya pengennya jadi raja di hati rakyat. Indonesia adalah panggung saya. Saya beruntung mendapat gelar itu dan dipercaya.
Indonesia adalah panggung saya. Kemana pun saya datang, ada simbol-simbol Majapahit, harus saya bela. Peran saya ingin memberikan pemahaman, meluruskan kembali sejarah-sejarah Indonesia. Di Indonesia, sejarah Majapahit kan dikaburkan. Di dunia internasional, saya harus menjembatani lagi. Bali dan Indonesia kan agak kurang gaul sama kerajaan-kerajaan internasional. Makanya saya bagaimana sekarang menjembatani misalkan dari keluarga kami dengan keluarga Kamboja, dengan Kesultanan Malaysaia, kemudian dengan Kerajaan-kerajaan Eropa.
Kalau saya tidak pakai gelar Raja Majapahit, mereka kan tidak percaya. Jadi itu privilege-nya.
Tapi, raja-raja di Bali justru menggugat klaim Anda?
Selama itu belum tertulis saya nggak anggap gugatan. Itu merupakan curhatan kepada raja-raja. Dan yang terjadi beberapa tahun lalu itu kan mereka kurang komunikasi. Jangan salah lho. Di Bali itu cuma ada empat raja, Raja Tabanan, Raja Klungkung, Raja Denpasar, dan Raja Majapahit, saya sendiri, yang sudah diabhesika (diupacarai secara adat sebagai raja).
Ada empat yang besar-besar, Cokorda Tabanan, Cokorda Denpasar, Cokorda Klungkung, dengan saya Raja Majapahit Bali. Kalau seorang tokoh di puri belum mengadakan upacara abhiseka, itu belum bisa dipanggil raja. Namanya penglingsir. Gitu lho.
Jadi gugatan terhadap saya mungkin curhat ya. Mungkin. Secara psikologis, siapa sih orang tua di Indonesia, apalagi di Bali yang mau tersaingi sama anak muda. Gitu, lho. Saya juga memberikan satu teguran, mungkin buat leluhur ya. Kenapa kok pusaka-pusaka Majapahit yang di Jawa, pusaka-pusaka itu orang yang memberikan kepercayaan justru kepada seorang saya I Gusti Ngurah Arya Wedakarna. Kenapa gak ke Cokorda yang lain. Kenapa gak kepada puri yang lain. Mungkin buat saya itu teguran.
Kalau menjadi raja, buat saya yang nasionalis ya gelar gak penting. Karena saya Marhaenis, seorang yang menjunjung demokrasi, itu gak penting lagi. Tetapi kadang peran-peran itu kita butuhkan pada saat Hindu Majapahit Bali terdesak. Misalkan saat kasus Lampung kemarin, kalau saya membawa jabatan sebagai President Sukarno Center ikut tanda tangan maklumat damai, atau dengan jabatan Presiden Hindu Center, mungkin tidak pas.
Yang saya ajak menandatangani, yang saya ajak rembug itu raja-raja. Sultan-sultan Lampung. Tetapi kalau saya menunggu Cokorda-cokorda, Anak Agung di Bali yang lingsir-lingsir, yang pemikirannya mungkin sangat locally, mereka gak jalan-jalan misinya. Makanya saya ini jadi pendobrak. Setelah saya berani menerima jabatan abhiseka tahun 2009, bahkan ada seorang pendeta mengirimkan surat kepada saya. Dia mengatakan bahwa kalau di Bali orang nomor satu secara sekala ya gubernur, Mangku Pastika. Tetapi secara niskala ya kamu (maksudnya Arya Wedakarna). Itu yang membuat saya bangga.
Apa pentingnya membangkitkan puri saat ini?
Kalau Bali ingin otonomi khuusus, Bali harus istimewa. Istimewanya apa? Bali memiliki desa pekraman. Desa pekraman ini itu kan dulu diaturnya oleh raja-raja di kabupaten-kabupaten. Dulu kan ada sistem Astha Negara. Dari dulu desa pekraman, bendesa ini mendapat nasihat, petunjuk, dari rajanya di puri. Sekarang itu kan tidak ada. Kita lihat di beberapa wilayah yang masih sangat dihormati, seperti di Ubud, kan jalan sistemnya. Pendetanya dihargai, purinya dihargai, pasarnya jalan. Tetapi di daerah lain gimana?
Syukurlah Indonesia masih punya Bali yang mempertahankan sistem itu. Seperti kata Bung Karno, Majapahit kecil itu ada di Bali. Itu pengakuan Bung Karno ketika membangun Istana Tampaksiring. Saya tinggal melanjutkan saja. Kenapa saya membangun istana ini di Tampaksiring, karena pada tahun 1927 raja-raja Nusantara itu mengadakan rapat di bumi Tampaksiring. Itu prasastinya ada di Demak. Jadi saya ingin membangkitkan Tampaksiring.
Berarti istana sebagai Raja Majapahita di Mancawarna?
Ya, salah satu simbol yang sedang saya bangun. Karena kan raja itu perlu dengan simbolis. Sama seperti banyak Cokorda, banyak Anak Agung. Tetapi karena tidak maintenance puri mereka dengan baik, tidak berfestival, tidak beracara, kan kredibilitasnya kurang. Sistem kerajaan itu hidup dengan ritual. Ada upacara agama, adat dan istiadat.
Dulu sebelum saya sumbangkan ke Sukarno Center sebagai Museum Bung Karno, ini adalah tempat peristirahatan keluarga puri kami. Di seluruh Bali ada tempat-tempat di mana kami tetirah. Ini punya keluarga cuma kami beli dari orang Tampaksiring beberapa tahun lalu dan kami gunakan sebagai tempat perisitirahatan. Istana Mancawarna itu adalah Sekretariat Raja.
Anda mengaku sebagai raja padahal Anda Ketua PNI Marhaenisme. Itu kan kontradiksi?
Jawabannya mudah. Dalam sistem Majapahit atau Jawa Bali kan ada namanya Manunggaling Kawula Ggusti. Soekarno pun keturunan raja. Ibunya Brahmana, Pasek. Ayahnya keturunan Kediri. Ya jadi tidak ada salahnya. Karena hak-hak warga menjadi ketua partai, seperti Sri Sultan juga sebagai Penasehat Golkar dulunya. Gak ada yang salah selama mampu membagi.
Buat saya itu memang lebih soal disiplin. Ketika saya dipanggil sebagai Ketua DPD PNI Marhenisme, saya memposisikan egaliter, sejajar dengan Marhen-marhaen, sejajar dengan kaum tertindas. Kaum kirilah. Tetapi, di bidang budaya ada protokoler-protokoler yang harus saya jalani. Saya menghargai, bukan menghargai gelar dan nama saya, tapi menghargai yang sudah menitipkan nama baik kepada saya, baik leluhur atau orang. Jadi saya juga behave-nya harus benar. Bagimana kita bertata krama.
Fungsi saya di PNI sejauh ini tak ada masalah. Sehari-hari di PNI yang panggil saya Pak Ketua. Kalau di kampus panggil saya Rektor. Kalau saya kemarin rapat dengan 90 presiden dan perdana menteri di organisasi PBB, saya presiden, Mr Presiden Sukarno Center. Ketika saya datang ke pura-pura dan candi-candi orang memangil saya Ratu Ngurah atau Raja Majapahit. Silakan. Ketika saya ke Pajajaran dibilang Sang Adi Darma, monggo. Silakan gitu, lho.
Buat saya saya tuntas lho urusan begitu. Gak masalah. Yang penting itu adalah, sekarang pembawaan bagaimana sikap kita.
Bagaimana Anda memimpin partai dan programnya?
Yang bisa menilai itu kan publik. Seperti kemarin kita denger PNI Marhenisme, satu-satunya partai yang lolos dari 18 verifikasi faktual di Bali. Orang sudah melihat kualitas saya dong. Saya memimpin partai umur 26 tahun, saya membawa PNI menuju partai lima besar di Bali. Saya punya 14 anggota DPR. Punya dua fraksi di dua kabupaten.
Orang sudah tahu kualitas saya. Saya juga secara pribadi adalah caleg DPR RI. Saya mendapatkan suara 24 ribu lebih. Jadi, saya kalau dalam sistem politik begitu, saya juga sampaikan ke mereka, lho saya ini punya rakyat lho…
Nama saya masuk sepuluh besar caleg DPR RI yang ke DPR. Cuma karena PNI gak lolos di pusat, saya gak dapat kesempatan. Setidaknya saya juga bisa membuktikan. Karena sebenarnya orang agak skeptis karena saya muda. Ketika saya menjadi ketua partai, saya buktikan. Saya masuk sepuluh besar DPR. Saya layak. Lima besar di Bali, verifikasi faktual oke. Lolos satu-satunya, gak kalah. Pilkada-pilkada yang saya arseteki, menang 50 persen lebih.
Kemudian jadi rektor, saya mengambil alih. Memang perguruan tinggi punya saya, keluarga saya yang mendirikan. Tetapi, sekarang menjadi PTS terbaik nomor dua. Dari Kopertis dapat APTISI Award. Saya punya kampus cabang-cabang. Pembangunan di mana-mana. Mahasiswa berlipat-lipat dibanding dulu. Saya dapat penghargaan dari ASEAN University Network. Kan sudah ada yang menilai. Artinya saya sukses jadi rektor. Saya jadi Presiden Sukarno Center gak omong doang. Saya bangun museum walaupun tertatih-tatih. Dan sepeser pun bukan uang orang. Makanya di Bali (saya) nyablak bicara. Saya bicara open karena saya tidak tergantung sama siapa pun.
Berarti Anda banyak uangnya?
Gak sih, uang orang sih yang saya manage. Hehehe… Sebagai Hindu Center saya punya cabang di seluruh Indonesia. Saya punya anak buah kok seluruh Indonesia. Yang mereka percaya itu, orang kan gak sekonyong-konyong percaya omongan saya. Dia melihat track record.
Sekarang seluruh Indonesia minta agar saya meresmikan Hindu Center. Dulu saya yang nawarin, tapi sekarang ditawarin. Saya bangun patung Ganesha di Buleleng, tertinggi di ASEAN. Umur 24 itu saya bangun. Saya bangun candi Siwa Budha di Kubu, Singaraja. Saya bangun Bhagawad Gita terbesar. Semenjak usia remaja di bawah 30 tahun. Itu pembuktian bahwa saya gak bullshit. Jadi orang yang mau menjatuhkan saya, saya ajak argumen dulu.
Memang ada yang mau menjatuhkan Anda?
Secara umum, langsung ke saya gak ada ya. Sejauh ini aman jalan saya. Cuman kalau ada dari lawan politk saya, misalkan, kemarin masalah curhat-curhat penglingsir, saya anggaplah yang ingin menjatuhkan. Ayo buktikan dulu, dong. Anda cari deh anak umur 32 tahun, minimal jangan di Indonesia, di Bali deh. Ada gak yang sekaliber saya?
Berapa besar modal Anda untuk semua kegiatan?
Hehehehehe.. Saya berprinsip, kalau kita melakukan sesuatu, membuat sesuatu, kita harus settle di finansial dulu. Tentu saya punya resources-resource. Sayanya memang tidak layak saya buka karena saya filantropis. Saya gak harus sampaikan kok di mana saya punya perusahaan, saham apa saya punya. Buat saya itu urusan lain.
Saya juga menjaga nama baik karena ketika saya bekerja, perhatian asing, luar negeri, sahabat-sahabat saya dari Indonesia yang membantu saya. Makanya saya bangun Badan Dana Punia Hindu Nasional. Saya bangun ketika umur saya 21 tahun, ketika saya mahasiswa di Universitas Trisakti. Sekarang asetnya sudah Rp 37 milyar. Saya bagun 2002 waktu itu. Jadi, dana punia sudah tersalurkan. Itu kan contoh pencapaian-pencapaian menurut saya.
Saya ingin memberikan sesuatu yang baru. Tentu siapa pun yang mau nanya, dari mana sih? Untuk media center saja mungkin satu tahun minimal Rp 1 milyar. Itu baru kehumasan, baru iklan.
Berapa rata-rata bayar per berita?
Saya kurang paham karena corporate saya mengatur. Setahu saya anggaran tahun ini Rp 1 miliar. Untuk seluruh media, seluruh Indonesia. Saya kan juga ada kerja sama dengan beberapa koran. Itu baru satu bidang lho ya. Namanya pemimpin kan harus eksis. Eksis di kegiatan terutama. Jadi program-program saya ini kan panggung buat saya.
Tapi, untungnya saya kan banyak punya teman-teman organisasi. Ketika saya memimpin 55 organisasi, mereka beracara di seluruh Indonesia. Mereka buatkan panggung buat saya. Kalau mereka percaya saya sebagai ketua, pimpinan, direktur atau apapun, mereka harus ikut omongan saya. Saya rasa tidak perlu jadi sesuatu dulu seperti jadi gubernur, bupati. Aduh saya gak nyambung otak ya. Kalau memang bisa, lebih baik membuat panggung sendiri.
Kalau Mahendradatta Holding apa saja perusahaannya?
Saya punya resources lah pokoknya. Ada orang-orang yang mengatur saya. Orang-orang yang membantu saya. Orang-orang besar. Ada juga dari resources sendiri.
Kalau berani kita membawa nama Bung Karno dan Majapahit, harus kelas A semua. Gak bisa sembarangan. Misalkan ketika membangun Sukarno Center, saya buatkan acara seperti acara PBB di Nusa Dua. Itu kan standarnya internasional.
Anda reaktif terhadap isu tertentu yang Anda anggap melecehkan Hindu?
Itu soal harga diri Hindu ya. Harus ada orang yang berbicara itu agar orang-orang Indonesia sadar Hindu itu ada. Kami ada. Minoritas itu ada. Kami kan pernah besar di bangsa ini. Dan saat ini pun Hindu besar dengan memiliki Bali.
Kalau dikatakan hanya seorang Arya Weda yang reaktif, protes saya terhadap Dewi Lestari, Iwan Fals, Sinta Obong (film Garin Nugroho) adalah land mark yang saya tanamkan. Sekarang orang sudah mulai kan? Ketika saya dengar tahun lalu protes tentang Angling Darma dan sinetron Sembilan Wali oleh PHDI dan Komisi Penyiaran, mereka kan melakukan the same thing dengan saya.
Sekarang saya tinggal ketawa saja. Saya happy… Oh gerakan Wedakarnaisme ini jalan, lho. Ketika muncul ormas-ormas Hindu, organisasi Hindu, jaringan Hindu. Dulu gak ada orang berani itu. Saya percaya Karma Wesana. Ketika kami dari Forum Intelektual Pemuda Hindu Darma melawan Iwan Fals itu dengan 11 anggota lho. Kalau satu bulan muka saya ada di infotaimen, itu bukan salah saya lho. Itu karma wesana dari keberanian kami.
Tapi, sebagian kalangan di Bali tidak sepakat dengan sikap Anda?
Nggak apa-apa. Nabi Muhammad dan Sri Kresna saja musuhnya banyak. Yesus juga dibunuh. Saya masih catat itu tahun-tahun sebelumnya yang protes saya. Sekarang orang Bali reaksi kok melihat apapun. Saya selektif kalau memilih teman.
Saya ingat pesan Bung Karno, jas merah. Kalau Anda mau jadi pemimpin di Bali, Anda gak harus berjabat tangan dengan empat juta orang. Anda harus memilih teman berkualitas.
Mereka yang dulunya kontra, yang dulunya berkhianat, yang dulunya protes, ngapain saya harus berdekatan dengan mereka. Mereka pasti tahu gerakan saya. Tapi saya belum tentu tahu gerakan mereka.
Kita lihat dari tahun 2002, siapa paling konsisten bicara sampai sekarang. Dan saya konsisten bukan hanya karena menjadi Ketua LSM atau NGO. Saya do something. Ketika saya bicara kemiskinan, saya bicara tentang UKM. Saya berikan modal. Ketika saya bicara beasiswa pendidikan anak-anak, saya serahkan ribuan beasiswa.
Anda pernah terlibat kasus perusakan Pura Jagatnatha?
Itu acara Ganehsa Caturthi, peringatan kelahiran Dewa Ganesha. Jadi saya selaku President World Hindu Youth Organitation (WHYO) punya cita-cita untuk memperkenalkan budaya-budaya Hindu internasional di Bali. Makanya, saya buat Ganesha Caturti. Ketika itu saya membela umat Hindu Jawa dan Hindu India yang tidak diizinkan masuk ke Pura Jagatnatha. Mereka nggak boleh masuk Pura Jagatnatha oleh pangempon. Alasannya harus pakai pakaian Bali. Upacaranya pun harus pakai upacara Bali. Kan saya nggak setuju. Hindu kan universal. Kalau ada orang datang ke sana tanpa sarana Bali, kenapa ditolak? Itu kan aneh. Ada orang mau sembahyang, gak boleh masuk. Sedangkan turis-turis yang tadi sorenya cuma pakai celana pendek boleh masuk.
Waktu itu ada rencana sembahyang dengan membawa pretima, dengan ada ritual adat Jawa, Hindu Jawa, Hindu India. Ada agni horta. Alangkah kagetnya ketika teman-teman saya tidak masuk. Pecalang Denpasar yang menutup pintu. Sama kekuatan ini kali. Yang masuk itu ya jebol itu semua. Tertuduhnya saya. Lho orang saya cuma ngawasi kok. Akhirnya ada tertahan juga.
Saya tahu diri. Saya nggak mungkin melakukan pengrusakan. Saya tahu siapa saya. Kalau saya melakukan hal sama, kualitas saya serendah orang-orang itu.
Anda akan maju di Pilgub?
Kewajiban saya sebagai ketua partai harus maju. Tapi kan saya tau diri. Kemarin saya mencalonkan di Cawagub ke PDI Perjuangan. Saya tahu diri karena suara partai saya cuma 2,85 persen. Saya tahu diri bahwa partai saya partai kecil, tapi saya ingin berkontribusi. Menjadi ketua partai tingkat provinsi atau DPD harus memberikan teladan. Berani maju. Urusan terpilih nggak terpilih, menang kalah belakangan. Karena dulu kan saya perintahkan DPC-DPC saya, ayo maju ke bupati, ayo maju ke caleg. Sekarang saya memberikan teladan dong.
Saya sudah nyaman dengan posisi sekarang. Saya masih konsisten pada partai Soekarno. Kalau mereka mau berkoalisi dengan menambah suara dari partai saya dan otak saya, ayo kita maju. Kalau tidak ya sudah. Saya hanya menyokong orang yang bisa saya titipkan idealisme. Pilgub itu mahal. Saya mending buat rumah sakit atau buat museum PNI atau museum apapun, dibanding saya harus keluar uang.
Toh juga, seperti kemarin anak-anak FISIP buat survei. Dari ketua-ketua parpol dan politisi seluruh Bali disurvei tuh. Di mana-mana saya nomor dua terpopuler setelah Cok Rat (Cok Ratmadi, Ketua DPD PDI Perjuangan Bali). Jadi dari sana saya bisa mengukur, kalau bisa menjadi Gandhi, kenapa harus jadi Nehru.
Justru kalau saya, otak saya bukan buat Bali sebenarnya. Saya justru meyasar, kalau bisa saya ke pusat. Mungkin ke menteri dulu. Saya hanya perlu dekat dengan presiden saja. Saya perlu dekat orang pusat. Karena saya 11 tahun tinggal di Jakarta. Masuk ke Bali otak saya langsung drop. Pemikiran jadi sempit, seperti katak balik lagi kembali ke asal.
Saya nggak kuat terhadap orang-orang yang saya ajak diskusi. Terhadap teman-teman seperjuangan aktivis. Nggak nyambung semua. [b]
Foto-foto Agung Parameswara.
pengucapan kata “Gitu,lho” cukup banyak :))
Luar biasa sang raja wedakarna, lanjutnya perjuanganmu……………bangkitlah majapahit……..bangkit hindu
Butuh waktu 30 menit lebih saya membaca ini, dan masih ndak nangkep juga..
Bnyak Bacot Ent’e “Radja”.. Manis Di Bibir Aja, Ular di lubuk Hatinya… Bahaya ni
seperti membaca tulisan pembelaan dari seseorang bahkan tidak tahu kalau kita sudah sadar yang diomongkannya hanya iklan dan promosi. memalukan.
Jawabannya khas politikus. Wacana dan realita selalu nggak sinkron.
Menurut saya pribadi, Pak Wedakarna (agak bingung mau dipanggil bagaimana, habis namanya panjang..hehe) patut diacungi jempol. Terkadang pemikiran tokoh2 Hindu khususnya di Bali memang terlalu lokal. Layak untuk dicermati, gerakan dan gagasan dari Pak Wedakarna yang menunjukkan usaha menuju generasi Hindu yang berpikiran global sangat inspiratif. Semoga dikemudian hari generasi muda Hindu di Indonesia semakin maju dalam berpikir dan bersikap. 🙂
Wah,mantan anggota boyband ga laku,skrg jd raja di bali! Tp semua kontribusinya saya ngga pernah dengar,berkontribusinya dibali bagian mana ya? 😉
tidak sepantasnya anda menyombongkan diri anda di depan publik seperti ini, masyarakat skrng sudah pintar, tau mana pemimpin yang baik bagi mereka, bukan pemimpin yang seperti anda
Standard poliTIKUS,,
Ingin tahu bagaimana asli si “Tokoh” ini,,
Coba tanya orang2 yg prnah berhadapan lngsung dgn nya,,
Betapa “manis” dan “sopan”nya 🙂
terlalu menjelimet jawabannya dan terlihat kurang konsisten..
masih bingung sama pernyataanya tadi gak tetap pndirian,jawabannya brubah – ubah
Selama pak raja bertindak untuk kepentingan hindu, mari kita dukung, selama tidak ad maksud2 tersembunyi yang jauh dari Dharma. Generasi hindu yang bisa mengkritik semoga juga bisa berbuat,, saya bukan pendukung pak raja, tp diluar ke-raja-annya itu, semoga pak raja bisa berbuat baik untuk bali dan hindu..
Saya selaku remaja hindu di luar bali hanya bisa mengikuti kabarnya melalui media saja, ckup bertanya2, benarkah kontribusi yang dia sebutkan tidak ‘terasa’ ? saya menghargai yang mengkritik, tapi kalo bisa jangan ad hominem, coba dibangun lg artikel yg mematahkan argumen2nya tsb. gebrakan2nya nampak positif, tp syangnya narsisme wedakarna terlalu lebay. suksma.
‘Beliau’ ini bisa karena punya modal(uang) kan??
Raja juga perlu eksis juga ya? Termasuk politik pencitraan ga??
mohon di cek link ini
link ini menyatakan bahwa ayah wedakarna adalah tameng
http://memecahsenyap.blogspot.com/2008/04/bertutur-di-balik-senyap.html
kita semua pasti mengerti tameng itu apa
dan tulisan itu dengan sumber yang jelas
jadi upacara nilapati untuk korban g30 s pki itu buat korbannya siapa?
siapa otak pembunuhnya?
Contoh manusia yg angkuh akan kekuasaan,,awas gila loe,,!!!
Putu Chandra. Kalau pas lagi di Bali, coba dicek BaliPublika Edisi 5, untuk menjawab keraguan 🙂
maaf…untuk semua teman-teman di diskusi ini, saya mau bertanya “adakah ruginya kita dengan keberadaan abisheka raja majapahit ini?” Kalau ada, mohon disebutkan kerugiannya apa?
winata : kerugiannya bila menyatakan diri mewakili Bali apalagi membuat pernyataan yang kontroversial. secara pribadi saya tidak pernah punya raja seperti dia….
pendapatnya sendiri banyak yang tidak konsekuen…dan membual seperti dinyatakan di artikel ini. Biarlah orang waras yang jadi pemimpin…dan pemimpin itu dari bawah (baca: rakyat) bukannya lewat iklan yang kebenaran pastinya kita tidak tau dan nebeng di figur sukarno.
berikut contoh tidak konsekuen :
“Saya bangun museum walaupun tertatih-tatih. Dan sepeser pun bukan uang orang. Makanya di Bali nyablak bicara. Saya bicara open karena saya tidak tergantung sama siapa pun.”
Berarti Anda banyak uangnya?
“Gak sih, uang orang sih yang saya manage. Hehehe…”
saya dapat info raja yang mengangkatnya menjadi Raja yang keabsahannya diragukan.
coba saja anda cek di page keraton ibu majapahit bali seperti itulah gambarannya…bila kita punya nalar yang baik…kita akan menyimpulkan….semua ini ada yang janggal.
secara pribadi saya tidak dirugikan oleh wedakarna…
sekedar perumpamaan bila anda melihat orang gila di jalan tidak mengganggu anda tapi mengganggu estetika, kenyamanan jalan, apa kita tidak boleh menyarankan dia pulang ke rumahnya 🙂
@gung de : hehehe… menarik perumpamaan anda soal orang gila yang sebaiknya kita suruh pulang. Namanya orang gila, kira-kira setelah disuruh pulang apa mau dia pulang ya? Jangan-jangan malah nanti yang nyuruh orang gila untuk pulang justru dikatakan gila… hehehe ampura.
Soal pernyataannya yang kontroversial , memang ada beberapa. Tetapi tidak terlalu kontroversial lah. Maaf, kadang pernyataan kontroversial dianggap kontroversial tergantung dari siapa melihatnya. Maaf, bukan bermaksud menyamakan yang bersangkutan dengan nabi, tapi ini hanya contoh paling ekstrim saja. Kita membaca sejarah kan dinyatakan kalau para nabi juga biasanya dianggap kontroversial pada awalnya, dianggap nganeh-nganehi. Bahkan jauh lebih ekstrim lagi, para nabi pada awalnya dianggap orang gila.
Saya tidak sedang membela, soalnya saya juga risih. Tetapi kadang kita perlu menjaga diri untuk tidak larut dalam permainan yang sedang dimainkan “Raja Majapahit Bali” ini. Karena kalau kita ikut permainannya, justru akan menjadikan namanya semakin besar. Buktinya Balebengong dan Balipublika kan terpancing dan mau mengekspose, akibatnya…. ya makin banyak yang “ngeh”. Lalu mengundang kontroversi lebih luas, lalu terjadi diskusi, lalu… panjanglah jadinya cerita soal “Raja Majapahit Bali”
Saya jadi ingat ungkapan orang jawa yang bunyinya begini : “sing waras sing ngalah” yang terjemahan bebasnya “yang tidak gila, jangan ikut-ikutan gila”.
Kenten minab, tabik sugra, ampura…..
buat winata. kalau menurutku sih kerugiannya bersifat intangible, tidak kasat mata. pertama karena dia seolah2 punya legitimasi mewakili bali dg pengakuannya sbg raja itu. itu sudah terjadi di banyak kasus. tak cuma klaim mewakili bali tapi juga hindu.
kedua, menurutku, ini adalah kebohongan. karena itu harus ada yg mengingatkan kepada banyak orang kalau dia berbohong. pelan2 banyak orang percaya bahwa di bali memang ada raja majapahit. apa jadinya kalau orang bohong ini dibiarkan terus di banyak media dan justru mendapatkan dukungan.
maka, tugas kita sbg jurnalis untuk memberikan informasi lain ini. selama ini dia jago membayar media untuk menjadi alat propaganda dia. kasian kalau pembaca jadi korban.
demikian..
Saya membaca wawancara ini digiring oleh kalimat: “Setelah sekitar 1,5 jam ngobrol, saya makin yakin dengan pendapat saya selama ini tentang dia. Terlalu banyak membual dan tidak konsisten.”
Dan setelah saya baca, justru pewawancara yg gagal menunjukkan itu dengan melempar pertanyaan (terutama 3 pertanyaan pertama) yang memberi celah untuk bualan. Singkatnya, orang bisa membual karena anda memintanya. Kenapa pewawancara melakukan itu? Karena dia ingin orang ikut pendapatnya ttg narasumber yg suka membual.
Jadi wawancara ini cuma jadi bentuk lain dari artikel2 yg melegitimasi status wedakarna seperti di bali post. Wedakarna mendapat tempat untuk menjelaskan klaimnya, dan pewawancara yg terlalu tendensius membuktikan pendapatnya akhirnya cuma melongo tanpa banyak melakukan uji opini.
Pewawancara juga menulis: “Tapi ya tiap orang bebas menilai sendiri setelah baca transkip wawancara lengkap berikut.”
Saya kira wawancara ini justru potensial membuat masyarakat awam terpengaruh kepada ide2 wedakarna. Pada wawancara ini dia telah lolos ujian. Hasil antara anton dan wedakarna 0 : 1 hehe
halo, fred. ada benarnya juga sih. pas awal wawancara memang aku pengen tahu apakah dia memang suka ngomong muluk-muluk seperti yg ada di koran selama ini. lha masak dari awal langsung nuduh dg pertanyaan? jadi ya aku tanya aja dulu spt itu. dan, ya begitulah jawabannya.
perihal bantahan thd klaim-klaim AW, itu yg juga memang tak aku masukin di sini. ada 3 atau 4 narasumber lain yang semuanya membantah klaim AW. sayangnya tak bisa aku masukin di sini karena sejak awal aku hanya ingin memasukkan omongan AW dalam bentuk tanya jawab saja di sini. biar lebih “berimbang”. buktinya toh banyak jg yg waras dan mengamini bahwa AW memang membual.
kalau tulisan lebih lengkap dalam bentuk narasi ada di BaliPublika. dan, ya memang begitulah, banyak yg membantah dan bahkan agak sarkas kepadanya.
soal skor 1-0, nanti aku minta bantuanmu saja. kan lebih sakti untuk menghadapi raja majapahit ini. wahaha..
Saya ingin mendapatkan (membeli) BaliPublika yang ada edisi wedakarnanya
saudara saudara saya di Tabanan bnayak ingin mengetahuinya
dimana saya dapat membelinya atau jika dikirimkan akan lebih mudah
biaya kirim akan saya tanggung
mohon hubungi saya atau sms ke 087861674017
Matur Suksma
Uling ije maan gelar nak agung?
Si wedakarna dari masih sekolah di smansa memang banyak yg ga seneng,karena sombong,sok,aeng.
Itu anakmu mana ibunya,kok ga pernah keliatan?
Anak angkat ya mas?
Berarti kamu gay dong wedakarna.
@Winata: Bukannya Bali Post yang ikut permainannya? memberikan dia ruang menyebar kebohongannya secara rutin dan luas di Bali? Jelas Bali Post tidak dirugikan tapi diuntungkan dengan berita iklannya 🙂
Sepakat dengan yang diutarakan mas Anton. Saya bukan jurnalis, sehingga saya titipkan tugas mulia itu kepada kawan-kawan yang berprofesi sebagai jurnalis.
Tabik sugra.
@winata Kalau dibiarkan terus, apalagi kalau terus diberi ruang berpromosi di Bali Post, kebohongan akan terus merajalela. Kami mengekspos secara independen, tentunya artikel kami tidak berisi hujatan melulu. Posisi kami sudah jelas di tulisan editorial BaliPublika (kolom yang berisi opini dari redaksi) dan Parodi.
Membaca tulisan (rekam wawancara) ini, dapat disimpulkan bahwa wedakarna ini telah berusaha mewakili bali secara informal di forum2 nasional maupun international padahal masyarakat bali tidak pernah men amini nya alias TUKANG TIPU….dan sangat memprihatinkan, membawa nama Hindu dan Bali bahkan Majapahit unt popularitas.
Contoh penipuannya: dana punia umat hindu semua disalurkan atau digunakan atas nama dia…dana yg dihimpun oleh yayasan yg mencatut nama Hindu/Bali dipergunakan atas nama dia
Contoh ketidak tahuannya dan asal omong: dia penglingsir jembrana itu bohong! Tegal cangkring mungkin, dia dan 3 raja lain saja yg diabhiseka..salah!!
Dan yang paling ngawur dengan mengatakan nggak nyambung bicara dg orang “daerah” Bali…menghina banget lu..s1 s2 s3 dr uni nggak jelas aja berani ngomong gitu
Uni mahendrata no 2 di bali..bullshit..yg kasih award lembaga nggak jelas ha ha
Tapi dia emang sukses nipu cukup banyak orang
@Anton, gustulang dan Adi Sudewa : kita bisa berdebat panjang soal kebohongan, karena apakah itu kebenaran, selain kebohongan yang terus menerus diucapkan? Soal Raja atau bukan raja kalau hanya sebatas simbol-simbol tidak ada yang perlu terlalu dirisaukan. Apa yang tidak umum atau tidak lazim, bukanlah bisa langsung diklaim sebagai kebohongan. Majapahit itu sudah lama runtuh, dan catatan-catatan mengenai majapahit itu banyak sekali. Belakangan ada yang menyebut kalau Majapahit bukanlah kerajaan Hindu melainkan kerajaan Islam setelah ditemukannya sebuah koin yang bertuliskan arab di situs peninggalan Majapahit. Fakta ini bisa diperdebatkan tentunya. Mana yang bohong mana yang bukan bohong? Maka “kebenaran” akan ditentukan oleh mereka yang menguasai wacana terbesar bukan? Tetapi benarkah yang benar oleh mayoritas itu adalah Kebenaran (dengan K besar) atau justru sebenarnya adalah kebenaran (dgn k kecil)? Dalam kasus apakah Majapahit adalah kerajaan Hindu atau Islam, untuk benar-benar memastikan masalahya kemudian adalah tidak ada satupun manusia hidup kini yang pernah hidup di jaman majapahit. Jadi semuanya hanya prediksi2 saja.
Pada ranah inilah kemudian saya melihat bahwa Bali Post bukannya ikut permainan, hanya memberi ruang pada wacana yang beda dari pemahaman mainstream soal raja-raja yang selama ini sudah ada. Artinya bahwa meski kebenarannya hanyalah minoritas, yakni menurut dirinya sendiri saja dan kelompoknya, toh ia adalah realitas yang nyata ada bukan? Selain itu, sepertinya juga sudah diperjelas kalau berita-berita menyangkut raja majapahit Bali ini sudah masuk dalam rubrik “Seremonial”. Coba saja dicek.
Soal kerugian intangible, hehehe.. menjadi makin sulit lagi membuktikannya. Sekarang begini saja, kalaupun ada kerugian akibat yang bersangkutan mengatasnamakan Bali atau Hindu, apakah Bali atau Hindu kemudian sampai tercemar?? Kecualai ybs mengatasnamakan Bali atau Hindu lalu melakukan kekerasan dan pemaksaan (kriminal), ya biarkanlah polisi yang ngurus. Atau kalau ada yang merasa tertipu, harusnya dilaporkan saja ke polisi.
Soal Raja Majapahit atau bukan, selama itu hanya simbol belaka, saya kira tidak ada persoalan yang gaswat disitu. Begini…hampir semua raja yang ada di Bali sekarang ini kan cuma simbol belaka? tak punya kuasa apapun selain kuasa kultural belaka? mereka tak lagi punya teritorial dan tak punya kekuasaan politik. Indonesia sudah merdeka dan itu artinya siapapun yang hari ini mengatakan dirinya raja, ia hanya sedang memainkan simbol-simbol kultural saja bukan? Kecuali Sultan di Jogjakarta yang sekaligus menjadi Gubernur. Tetapi itu kan juga beda penempatannya antara Sultan sebagai Raja dan Sultan sebagai Gubernur?
Saya tidak pernah mengerti dengan maksud kata pembaca jadi korban? korban apa? kebohongan? Kalaupun ada kebohongannya yakni hanya soal yang bersangkutan adalah raja Majapahit Bali dan itu hanya simbolis belaka, lalu apa kerugian dari kebohongan tersebut? Apakah setelah di bohongi (misalnya ini benar-benar ada yang bisa dibohongi lho..), akan ada yang harus kehilangan kebebasannya? dilanggar hak-hak asasinya? Saya tetap merasa pembaca punya cara mencerna informasi kok. Nggak gampanglah dibohongi…
Kenten minabayang titiang, nawegang titiang jeleme nambet kalintang. Sugra ampura…
cara danyuh ulung, krosokan dogen gede.. disubane maglebug, abedik tanahe tusing enced…
cocok to de…….
@Winata, banyak kok yang kena dibohongi. Terutama yang tua-tua dan bacaannya cuma Bali Post :-). Kalau anda suka dibohongi sih ya silakan saja. Tapi saya tidak suka kalau paman, kakak, sepupu saya dibohongi orang.
Pernah menyumbang ke Badan Dana Punia Hindu Nasional? Boleh tuh kalau mau nuntut AW. Memang >90% itu uangnya AW sendiri, tapi kan ada tuh uangnya orang lain yang juga menyumbang. Pernah nggak BDPHN diaudit? Kan >95% dananya dipakai untuk kegiatan-kegiatan terafiliasi AW?
Btw, sudah baca BaliPublika Edisi #5? Mungkin baca dulu baru bicara …
Om Swastyastu,
Ngihh.. Jeg lanjut subaa…. ked dija ye… hehehe…! Yen dadi ben da to uyutanga… nah ba ja tawang undukne keto, iraga da bareng2 keto…!!
Sing ada luungan kin dadi manusa biasa, kanguang iraga wak belog sing bisa ngudyang.. kwala payu makan gen ba bersyukur… imbuhin masih kin malajahin dewek.. nyiksik bulu buka bebeke..! Nak nolih berung di tundun anak mula aluh, yen dot nepukin berung di tundune pedidi nak perlu suluh.. ulian ento lan anggon suluh malajahang raga ne kene2…! Suksma.
timpal awak e pidan kan taen dadi sekpri ne aryo weda… coba yo takon engken yo polo sne arya weda
@Adi Sudewa : Kalau mau jujur, kita ini banyak dibohongi bukan hanya oleh AW. Banyak juga pengguna simbol-simbol kultural feodalistik yang eksis saat ini melakukan kebohongan-kebohongan. Mereka menginterpretasikan catatan-catatan yang mereka miliki sesuai dengan apa kehendak dan kepentingan mereka. Ambil saja contoh bagaimana soal soroh, soal trah, soal sarwa sedaka, dan lain-lainnnya. Saya kira banyak orangtua kita yang dibohongi tetapi tidak merasa sedang dibohongi bukan? Lalu kebenaran yang mereka yakini sekarang itu apa? bukankah juga berasal dari kebohongan-kebohongan? Simbol-simbol kultural itu dibangun dari mitos-mitos bahkan simbol-simbol itu sendiri sebenarnya hanya mitos. Mitos-motos yang lebih tua usianya memiliki pola pembentukan yang sama dengan mitos-mitos yang lebih muda. Tetapi mitos lama atau mitos baru, sama-sama dibangun dari kebohongan-kebohongan. Benar dan bohong dalam ranah-ranah kultural itu sesungguhnya tidak memiliki esensi apapun sehingga benar dan bohong dalam ranah kultural tak punya nilai yang stabil, ia berubah terus. Kebohongan hari ini bisa menjadi kebenaran dimasa lalu dan akan kembali menjadi kebenaran di masa datang. Begitu juga sebaliknya.
Saya menjadi aneh. Kalau memang benar ada yang berdana punia dan lalu merasa di bohongi/ditipu. Harusnya ya melapor ke polisi bukan? Jika ingin membuat isu soal AW, kenapa tidak diarahkan pada isu bahwa Badan Punia yang dikelola oleh AW ini harus diaudit??
Maaf…Kalau anda meminta saya membaca dulu Balipublika#5… baru saya boleh bicara…maka saya juga akan meminta anda membaca lebih banyak lagi soal bagaimana pembentukan legitimasi-legitimasi kultural yang terjadi pada budaya Bali. Banyaklah membaca literatur bagaimana kekuasaan raja-raja, relasinya dengan kelompok brahmana dan catatan-catatan lainnya, agar banyak memiliki perbandingan. Menurut saya semua itu penting, sebelum anda melakukan justifikasi soal mana yang bohong,mana yang benar. Siapa yang berkata soal kebenaran, siapa yang berkata soal kebohongan.
Maaf, saya jadi agak lancang meminta anda membaca lebih banyak literatur dan meminta memahami dulu soal mitos dan pembentukan kultural masyarakat Bali. Sugra… tabik.. ampura.
yen suba ada nyama bali mapineh lakar maju baang, sakewala majune pang bakat masi rasayang ajak mekejang, yen jani nyama Bali setata megarangin timpal bin pidan ngidaang ke bulan, ada anak mepengapti lakar ngajegang bali, ngemajuang bali, baang, intinne pang sing nyama baline rugi, pang sing nyama baline keweh, beneh pelih urusan hakim di sekala, karma di niskala,
dharma dan dusta dalam wacana tak tentu sujatinya..kebenaran mungkin bisa disalahkan tapi tak bisa dikalahkan..dan sang kala akan menjawabnya
Om Swastyastu
Memang repot kalau membicarakan si Wedha Karna
mungkin perlu kajian khusus dan memang dia adalah sebuah fenomena yang harus dicermati, sehingga baik buruknya bisa kita jadikan sebuah pelajaran di kemudian hari. Banyak orang yang menghujat tapi ada juga yang membela, mana yang benar?
mungkin masing masing sudut pandang yang bisa menjawabnya.
Dimana letak keuntungan adanya wedakarna ini?
1. banyak yang mengatakan dia memperjuangkan hindu Bali, saya kadang bingung memperjuangkan apanya? banyak statement nya yang justru menyinggung umat beragama yang lainnya.
2. membangun museum. museum apa? museum bung karno? tujuannya membangun museum bung karno itu untuk pendidikan atau untuk menaikkan popularitas?
3. Memberikan beasiswa untuk 5000 generasi muda hindu… saya kurang tahu apakah data ini benar benar valid? apakah benar benar beasiswa atau dengan syarat dan ketentuan berlaku?
4. Mewakili bali di dunia internasional. mewakili sebagai apa? di bidang apa dan apa kemudian hal positif yang diterima bali dari kegiatan internasionalnya? bukannya malah cari kredit poin lagi untuk menaikkan popularitas? Bahkan rapat para penglingsir puri di Puri Peliatan ubud itu justru diminta oleh Gubernur Bali, pak Mangku Pastika karena selama ini beliau gerah dengan pertanyaan dan kebingungan negara tetangga gara gara ada warga Bali yang datang mengaku sebagai raja Bali dan mengganggu protokoler negara itu, karena sang Raja ini ternyata tidak mengantongi Pasport diplomatik.
Kerugian,
1. Jelas jelas mengajarkan kita untuk mengagumi sebuah kebohongan. Sangat pasti semua gelar itu bohong, klaim sebagai I Gusti dan bahkan sebagai Raja Majapahit khan sudah pasti bohong, seseorang yang ingin menjadi tokoh jika berangkat dari sebuah kebohongan akan berakhir dengan sebuah kebohongan besar. Kita akan rugi jika orang ini bener bener kemudian menjadi seorang pemimpin. Apa jadinya Bali kalau dipimpin oleh orang orang seperti ini.
2. kebingungan, jangan salah banyak lho sodara sodara kita yang kemudian bingung dengan leluhurnya, gara gara klaim dia sebagai Dalem Benculuk Tegeh Kori Kresna Kepakisan, dimana ada beberapa klan yang di klaim sehingga menimbulkan kebingungan di beberapa keluarga…bhakan menjadi perdebatan dan perpecahan di beberapa keluarga besar.
Tapi saya bersyukur si Weda karna ini mengidap Megalomania Complex dan mengaku sebagai raja, sehingga kita jelas tahu kemudian bahwa apa yang selama ini di gembar gemborkan sebagai perjuangn untuk hindu dan perjuangan untuk bali itu hanyalah sebuah pekerjaan dengan pamrih besar di belakangnya. Jika dia tidak tergila gila dengan simbol simbol itu mungkin akan dengan mudah kita dikelabui dan kagum dengan sosoknya yang serba ter, doktor termuda (emang bener ya?) rektor termuda (kampus sendiri soalnya) dan pemegang beberapa rekor muri? bupati tabanan aja banyak punya rekor muri dari bikin joged bumbung sampai pemeriksaan kanker serviks… itu rekor just business lah ga ada nilai mulianya….
bagaimana menyikapi nya?
ya saya setuju dengan istilah Yang Waras Yang Ngalah
namun saya menghimbau agar Para Jurnalis juga memelihara kode etik jurnalistik
antara iklan dan berita harus tegaslah pemisahnya, jangan sampai iklan seperti berita, sehingga kita tidak tahu mana yang berita berdasarkan jurnalis yang independen mana berita yang berdasarkan pesanan. Mungkin sudah saatnya kita meninggalkan koran atau media yang berpihak dan terlalu komersial, dan beralih pada media yang independen dan mencerdaskan pembacanya.
Om Shanti Shanti Shanti Om
@Winata saya menyarankan anda spesifik: “Baca BaliPublika Edisi #5”. Anda menyarankan saya dengan abstrak “Baca bagaimana kekuasaan raja-raja, relasinya dengan kelompok brahmana dan catatan-catatan lainnya, agar banyak memiliki perbandingan” –> Buku/tulisan mana yang saya perlu baca?
Saya juga tidak bilang cuma AW yang bohong lhoo. Banyak yang bohong. Apalagi kalau baca Bali Post, banyak yang suka bohong di sana. Tapi kami punya energi terbatas, jadi tidak semua bisa kami ungkap.
@Yang mengatakan bahwa kami menghalangi “orang Bali yang maju”. Kami punya rubrik “Profil Utama” yang berisikan wawancara dengan orang-orang yang pantas untuk diteladani. Narasumbernya tidak perlu membayar untuk masuk, kalau memang hebat. Kalau di grup KMB, naaah, itu baru perlu bayar untuk bisa diprofilkan
@Winata “Jika ingin membuat isu soal AW, kenapa tidak diarahkan pada isu bahwa Badan Punia yang dikelola oleh AW ini harus diaudit?? ” –> Sekali lagi, mohon baca BaliPublika Edisi #5 otreee? Ada kok di kios2 di Denpasar. Atau bisa ke kantor kami. Bisa dikirimkan juga (tapi ditransfer dulu Rp 12.000 + ongkos kirim). Kami menganalisis laporan BDPHN dari 2005 hingga 2012. Jadi tidak asal bicara. Sayang BDPHN tidak bersedia diwawancara.
Dan, semoga AW tak tersenyum lega melihat postingan plus komentar semuanya. Yang nanam siapa, yang panen siapa ! 🙂
Hebat banget arya weda,,
Ayo pak lanjutkan semua KEBOHONGAN anda 🙂
@Adi Sudewa ; banyak yang bisa dari soal legitimasi simbol2 kultural yg ada di Bali. Anda bisa baca babad yg memiliki banyak sekali versi. Anda bisa baca kajian2 sejarah soal raja2 di Bali. Baca juga bagaimana sesungguhnya mitos2 budaya itu dibentuk. Kajian semiotika mungkin bisa mengulas bagaiman teks2 itu bekerja membangun mitos2 dimana kebohongan2 dibentuk menjadi kebenaran2. Baca saja kajian strukturalis Ferdinand Saussure , atau Roland Barthes dan banyak lagi pemikiran dari kajian2 post strukturalis lainnya. Ada banyak kok. Itu bisa dipakai untuk memahami soal bagaimana kultur-kultur itu sebenarnya hampir semuanya dibangun dari ketiadaan esensi. Anda mengulas AW ini soal simbol2 kultural nya kan hanya menggunakan satu perspektif, yakni perspektif anda sendiri. Padahal anda akan jauh lebih bijak jika tdk dgn menjustifikasi, menghakimi. Jika kerja2 jurnalistik dilakukan melalui penghakiman soal kebenaran, maka anda akan menjadi tersesat dalam pikiran anda sendiri. Anda hanya akan mau mendengar apa yg ingin anda dengar. Selain itu mari kita belajar berpikir bhw sebenarnya pembaca itu cerdas dan bisa memahami teks2 yg mereka konsumsi. Kebenaran bukan hanya milik anda. Pembaca juga punya kebenarannya sendiri.
Saya rasa ada yang melupakan dimensi waktu saat menggunakan kajian babad2x masa lalu untuk membenarkan kiprah AW saat ini. Kalau bicara sejarah, bukan hanya raja2x Bali, juga raja2x Jawa (baca babad Tanah Jawa), bahkan raja2x di Eropa, dsb., juga menggunakan mitos2x budaya untuk memperkokoh kekuasaannya. Babad2x tsb bukan referensi ilmiah sehingga wajar dipertanyakan kebenarannya, namun pastinya di masa lalu penulisnya meyakini kebenarannya. Terlepas dari itu, saya rasa babad2x kuno tsb lebih akurat daripada babad2x baru yang bermunculan sekarang ini. Pada kasus AW, kita bicara masa sekarang yang mana informasi mengalir dengan cepat dan tidak lagi dibatasi oleh sekat2x ruang, dan umumnya pembaca langsung tahu apakah ybs menyampaikan kebohongan. Hal ini semestinya dikembalikan ke etika jurnalistik, apakah kebohongan boleh ditulis di suatu media terkemuka, walaupun di bagian advertorial. Untuk iklan yg gamblang pun semestinya menampilkan kebenaran, contoh kasus: Nissan yg dituntut konsumennya karena konsumsi bensin Nissan March tidak sesuai dgn yg diiklankan.
Untuk penulis: kenapa tidak disertakan photo2x tulisan Istana Kepresidenan Republik Indonesia pada papan nama dan kartu nama di istana AW ini? Sudah masuk ranah pidana karena menggunakan simbol2x lembaga tinggi negara RI?
Ananda Kusuma : Mitos apapun, dibangun dari kebohongan. Lalu kebohongan yang mana yang bukan kebohongan? Dikaitkan denga etika jurnalistik, maka pertnyaannya adalah apakah kemudian kebohongan yang diyakini oleh mayoritas itu adalah kebenaran yang tidak bisa diberikan versinya yang berbeda? Tapi yang saya maksudkan disini adalah kebohongan dalam simbol-simbol kultur soal raja-raja di Bali yang tidak lagi memiliki legitimasi politik apapun di era modern sekarang ini. Misalnya gelar-gelar bangsawan merupakan konsekuensi dari jabatan, bukan berdasarkan keturunan. Tetapi lihatlah sekarang. Keturunannyapun diberi nama dgn gelar kebangsawanan padahal tidak menjabat apapun. Bukankah ini juga kebohongan? Lalu kebohongan yang mana yang mau dikaitkan dengan etika jurnalistik?
Kalau dicontohkan pada iklan Nissan, ya memang benar ada kerugian yang ditanggung konsumen yakni secara material. Lalu bagaimana dengan kerugian dari penggunaan simbol-simbol kultural? Apa persisnya kerugiannya? Kerugian immaterial? Bagaimana membuktikan kerugian immaterial itu? Apakah gara-gara AW mengaku-ngaku keturunan dari trah A, B atau C kemudian ada masyarakat yang keluarganya menjadi pecah dan ribut? Lalu apakah sebelum muncul AW di media massa, di masyarakat tidak ada perpecahan gara-gara soal soroh, soal trah? Perpecahan soal ini sudah jamak bukan?
Mungkin lebih baik yang jadi bahan pembahasan, adalah jika itu adalah pelanggaran-pelanggaran hukum positif negara yang dilanggar. Seperti penipuan melalui badan dana punianya atau soal penggunaan simbol-simbol negara yang diatur berdasarkan undang-undang atau aturan negara resmi. Janganlah berkutat pada soal simbol-simbol kultural dan menjustifikasi itu sebagai kebohongan.
Pak Winata,
Cobalah anda berfikir jernih….
1. Sebelum orang megalomania (AW=OM) ini aktif menamakan/dinamakan dirinya raja majapahit, kita di Bali sudah ada tatanan masyarakat yang dapat dikatakan sudah berjalan dg baik sejak jaman orangtua kita masih baru lahir. Apakah perlu ada orang semacam ini, yang justru merusak tatanan yg sudah berlangsung baik bahkan dapat melahirkan orang orang besar termasuk pak winata ini?
2. OM ini orang yang mengaku dirinya mewakili suatu trah…nah di persemetonannya saja dia hanya sekretaris dari bapak Nyoman Gde Suweta, kok ngaku diri pewaris tahta?
3. Memang betul banyak gol ksatria maupun brahmana di Bali yg hanya menyandang gelar keturunan tanpa memiliki legitimasi dalam masyarakat, namun ada juga yang betul memiliki legitimasi dalam kehidupan masyarakat maupun pemerintah, contoh : Cokorda Pemecutan, Cok Ratnadi, Puspayoga, Pedanda, Sri Empu dan banyak lagi. Apakah pantas si OM ini mengaku lebih baik dari mereka? atau mewakili mereka? OM hanya memanfaatkan nama Hindu atau masyarakat Bali atau trah untuk kepentingan pribadinya alias promosi.
4. Penipuan..jelas, pemberian dan penggunaan gelar resmi Cokorda/Dalem/Pedanda/Sri Empu diputuskan oleh pengadilan negeri dengan telaah dr pemerintah resmi, sebagai pengampu adat/agama, bukan cuma di bikinkan acara ala kadarnya di besakih trus bisa pake nama itu kemana mana…memang kita orang Bali agak malas berbicara (koh ngomong) masalah beginian karena tidak up to date, tapi memang sebaiknya pihak polhukam dan aparat kepolisian kejaksaan harus segera bertindak terhadap pemalsuan gelar ini.
5. Masyarakat BAli pasti akan mendukung bahkan loyal apabila orang tersebut maju dengan santun bukan dengan menipu seperti ini (contoh : dukungan adat masif ke Puspayoga, Cok Rat, Cokorda Pemecutan, Dalem Klungkung, Cokorda Tabanan…) Jelasnya, resmi dan diakui oleh pemerintah dan masyarakat di lingkungan adat. Bukannya membuat lingkungan sendiri agar diakui (contoh memanfaatkan civitas akademika yg dia miliki, atau lainnya)
Asapunika…puput
Pak Bagus… Saya perlu mengklarifikasi dulu posisi saya dalam diskusi ini. Saya tidak sedang membela siapapun. Saya mewakili diri saya sendiri dan mengemukan pandangan-pandangan saya pribadi. Saya selalu berusaha berpikir jernih.
Atas beberapa komentnya saya akan memberi tanggapan sbb ;
1.Soal tatanan yang sudah ada sekarang dikatakan baik, sesungguhnya hanyalah nampak seolah-olah. kita harus jujur mengakui bahwa tatatan itu semuanya masih menyimpan banyak perdebatan. Soal soroh, sarwa sadaka, keturunan dan banyak lagi soal simbol kultural di Bali selalu mengundang perdebatan. Lalu apanya yang sudah berada dalam tatanan yang baik? Kalau kemudian ada yang mengatakan kemunculan raja baru atau orang yang merasa dirinya raja, akan menimbulkan kerusakan tatatan, kita harus bertanya dulu, tatanan yang mana yang dirusak? Apakah ada puri yang direbut kekuasaannya? Apakah ada “parekan-parekan” yang sudah mengabdi kepada sebuah puri secara turun-temurun dipaksa untuk menjadi parekan raja yang baru? Tatanan sosial kultural masyarakat itu selalu berubah. Tidak ada yang stabil. Perubahan-perubahan itu adalah hal yang lumrah.
2.Soal klaim mengaku-ngaku pewaris tahta, seprtinya tidak memiliki kaitan dengan struktur organisasi pasemetonan? Kalaupun memang dianggap tidak pantas, harusnya AW ini dikeluarkan dari pasemetonannya. Tetapi kalaupun itu terjadi, soal klaim penggunaan simbol-simbol kultural ini masih bisa sangat diperdebatkan. Hanya saja apapun perdebatannya, soal mana yang benar, mana yang bohong, adalah kembali kepada soal keyakinannya masing-masing. Tidak ada yang bisa dipaksakan untuk membenarkan hanya salah satu saja.
3.Jika diakui bahwa ada yang mendapatkan legitimasi ada yang tidak, berarti apa yang salah dari ada orang yang mengaku-ngaku dirinya adalah bangsawan? Soal legitimasinya terserah kepada yang mau mempercayainya bukan? Kalau di contohkan pada nama-nama tersebut, maka kita harus melihat pada tataran mana legitimasinya. Ada dua legitimasi, yang pertama adalah dalam ranah kultural dan yang kedua adalah dalam ranah politik. Cok Rat, Puspayoga memiliki legitimasi politik karena memang memegang jabatan politik. Sementara kalau pedanda, sri empu dan lainnya memiliki legitimasi kultural. Pernahkah anda mendengar bahwa ada orang biasa (bukan dari keturunan brahmana) yang kemudian medwijati menjadi brahmana dengan gelar masing-masing? Mereka juga memiliki derajat yang sama dengan pedanda? Bagaimana legitimasinya kulturalnya itu bisa didapat? Ada proses, ada ritual yang harus dilakukan? Tetapi inipun masih mengundang perdebatan bukan? Ambil contoh kasus bagaimana soal sarwa sadaka yang muput di Besakih. Dulu pernah ramai juga. Siapa yang lebih berhak muput upacara di besakih? Masing-masing pihak punya versinya. Lalu apakah kita akan mengatakan bahwa salah satunya adalah bohong, dan yang lain adalah benar? Soal mewakili, saya kira disemua agama dan budaya itu ada. Bukankah ada yang melakukan tindakan kekerasan sampai mengebom mengatasnamakan dirinya mewakili agama tertentu? Lalu Apakah ada hal buruk sampai merusak yang dilakukan mengatasnamakan Bali atau Hindu?
4.Soal pemberian nama gelar, itu semua merupakan simbol kultural. Apakah benar soal pemberian nama gelar seperti pedanda, cokorda dll diputuskan oleh pengadilan negeri? Kalau jaman kolonial, memang gelar cokorda diberikan oleh belanda. Gelar Dalem diberikan oleh penguasa di Jawa pada Jaman penjajahan majapahit di Bali. Bagaimana dengan yang menggunakan gelar anak agung, gusti, dewa, dll? Bagaimana dengan cerita ada kelompok-kelompok yang nyineb wangsa, menyembunyikan identitasnya karena soal perang? Lalu apakah berhak masih tetap menggunakan gelar cokorda misalnya ketika belanda sendiri sudah tidak menjajah lagi? Apakah bisa masih menggunakan gelar Anak Agung, Gusti, Dewa, dll ketika Majapahit sudah tidak berkuasa lagi? Sementara gelar Pedanda, sri empu, dll itu berdasarkan sistem aguron-guron dan ada ritualnya. Tetapi siapa yang menentukan ritual itu? Apakah ada sebuah standar pasti soal paling benar dalam soal ritual? Apakah banten yang lebih besar lebih sempurna dari sebuah canang sari? Ini soal keyakinan bukan?Jika ada pelanggaran hukum yang dilakukan AW harusnya diadukan ke pihak berwajib. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa tidak ada yang mengadukannya ke pihak berwajib sehingga AW bisa diseret ke pengadilan?.
5.Soal dukung mendukung. Dukungan apa yang dipaksakan oleh AW kepada masyarakat Bali? Saya misalnya, tdk pernah merasa dipaksa untuk mendukung AW. Saya kira banyak yang lain juga punya pandangan yang sama. Kalaupun ada yang mau mendukung, ya silahkan saja. Tidak ada yang bisa melarang, tidak ada yang bisa memaksa. Kalau soal diakui tidak oleh pemerintah, atau oleh lembaga adat, itu ranahnya masing-masing. Sekali lagi tidak ada paksaan. Misalnya begini, apakah setelah sering di ekspose media lalu pemerintah harus mengakui? Apakah Desa adat harus mengakui soal AW adalah seorang raja? Soal penngakuan itu, adalah soal waktu. Kalau banyak yang tidak percaya, ya banyak yang tidak mengakui. Kalau banyak yang percaya dan meyakini, ya banyak yang mengakui. Sekali ini soal keyakinan, ini soal kepercayaan. Kalau mau percaya ya silahkan…, kalau tidak mau percaya yang juga bukan masalah. Tetapi yang paling penting, jangan terlalu cepat dan berani menyatakan soal kebohongan dan kebenaran. Apa yang dipercayai mayoritas belum tentu kebenaran, dan apa yang dilontarkan minoritas adalah kebohongan. Begitu pula sebaliknya.
Asapunika…kirang langkung…nunas ampura..
Pak Winata yg pintar,
Kembali saya harus tanggapi tulisan saudara,
1. Sesungguhnya tatanan masyarakat Bali hingga tahun 2000 adalah sangat stabil dan tidak ada timbul pertentangan antar soroh….siapa bilang ada, anda yang harus jujur bahwa mungkin anda tidak ada atau belum mulai mengamati dan menjalani kehidupan bermasyarakat saat itu. Saya yg mengalami kondisi dg tatanan kehidupan masyarakat adat maupun agama yg sangat baik di Bali saat itu. Setelah tahun 2000 betul mulai muncul atau memunculkan diri organisasi yg menyatakan mewakili soroh2, yang sangat disayangkan lebih banyak didasari kebutuhan thd kekuatan politik.
2. Si OM dalam persemetonan, saya tahu sendiri bahwa si OM ngotot sekali agar bisa jadi Sekretaris pesemetonan dan pak suweta merasa tidak enak apabila sampai terjadi perseteruan dalam organisasi yang baru mau menunjukan eksistensi….
3. Anda salah lagi, bahkan seorang cokorda ataupun pedanda atau sri empu apabila ke suatu pura selalu akan minta ijin bahkan nganteb banten kepada pemangku pura bersangkutan. Mengenai masalah di pura besakih, anda tidak menggerti masalah sebenarnya, pada saat itu bukanlah masalah siapa yg muput utamanya melainkan untuk muput di pura besakih memiliki aturan raja purana dan aturan teori mantram yang secara kebetulan belum dimiliki oleh orang suci selain kaum brahmana saat itu…mungkin kalo memang sudah memenuhi kriteria kenapa tidak? Bahkan di salah satu pura dalem kahyangan di Denpasar kota, sudah dilaksanakan saat karya ageng, walaupun dilakukan bersama sama.
4. Haaaah masa kolonial??? inilah membuktikan anda memang produk yg tidak netral atau masih sangat muda saat ini. Seseorang ma abhiseka ratu atau me dwijati (yg benar), selalu melalui screening ataupun di sah kan oleh pihak pemerintah selanjutnya di sahkan oleh pengadilan negeri. Untuk se orang cokorda sebagai pengampu adat wilayah harus melalui screening di kodim dan di sahkan oleh pengadilan negeri untuk berganti nama/gelar. Untuk pedanda di screening oleh wakil dep agama dlm hal ini di wakili oleh pedanda nabe masing2 dan di sahkan oleh departemen agama. Jadi sebelum anda menuliskan teori yg terlihat manis dan cerdas harus dilandasi fakta fakta sebenarnya. Beda dengan gelar keluarga..seperti anak agung, ida bagus, pasek dll, hal itu dapat diberikan oleh pengampu adat yg sah dan dapat juga di cabut kalau memang melanggar aturan adat yg berlaku.
5. Masyarakat Bali sudah sangat pintar, hanya saja jangan terlalu pintar dalam usaha mencari popularitas.
Sekali OM ( Orang Megalomania complex) ya untuk jadi normal harus dibawa ke psikiater…:)
Wassalam…
Pak Bagus…
1. Maaf… tatanan sosial kultural soal soroh, kasta, pemuput ritual, dan simbol-simbol kultural apakah benar sudah stabil di Bali?? Mohon coba baca sejarah perdebatan soal kasta di Buleleng antara dua majalah Suryantha dan Bali Adnyana ditahun 1920 an. Jika dikatakan stabil tidak ada perubahan, maka sama saja dengan mengingkari soal fakta-fakta dan realitas yang ada. Sejak jaman Bali Mula, sebelum pengaruh kekuasaan majaphit di Bali persaingan antar sekte sudah ada. Lalu jaman majapahit juga ada perdebatan dan pertentangan antar puri. Zaman Belanda dan jaman kemerdekaan perdebatan dan pertentangan juga selalu ada. Jika ditelisik lebih dalam lagi, Perkembangan bangunan-bangunan pura-pura di kompleks Pura Besakih misalnya juga menunjukkan adanya konflik-konflik kekuasaan dan perebutan pengaruh. Jadi apanya yang stabil?
Belum lagi kita bicara dari kajian-kajian soal teks dan wacana, maka pada konteks kebudayaan (kultur) sesungguhnya sama sekali tidak memiliki nilai esensi yang stabil. Selalu terjadi perubahan-perubahan tergantung pemaknaan-pemaknaan yang dilakukan oleh pembaca teks. Soroh, kebangsawanan, kependetaan, dll itu adalah kultur (nuture), semua itu dibentuk, dikonstruksi, sama sekali bukan hal yang natural (turun langsung dari langit). Semuanya adalah hasil pikir manusia belaka, karenanya apapun itu, ia akan selalu berubah. Tidak pernah stabil. Bukankah yang abadi itu adalah perubahan??
2. Perasaan tidak enak? ini kan menjadi aneh. Jika memang demi menjaga nama baik pasemetonan, bukankah langkah tegas yang diperlukan? Dengan membiarkan yang dianggap buruk tetap ada, bukankah justru akan membuat pesemetonannya menanggung beban?? Tetapi sekali lagi dalam soal enak, tidak enak, membawa nama buruk atau bukan, itu adalah soal yang sifatnya subyektif. Subyektifitasnya siapa yang mau dipakai? Yang Mayoritas ataukah yang minoritas??
3. Soal siapapun yang datang ke sebuah pura harus meminta ijin, itu ada di wilayah etika, norma-norma yang berlaku. Ini menurut kesepakatan-kesepakatan yang ada. Adakah satu-satunya aturan pasti yang mengatur tentang hal ini? Saya datang kerumah orang harus meminta ijin. Kalau saya tidak meminta ijin, dan tidak diberikan ijin tetapi memaksa masuk, berarti saya melanggar privasi. Rumah adalah ranah privasi. Saya bisa kena jerat hukum. Tetapi bagaimana dengan sebuah pura yang merupakan wilayah publik? Dimana Tuhan distanakan. Jika Tuhan adalah sebuah kemahakuasaan tak terbatas, lalu mengapa manusia yang membuat aturan-aturan yang membatasinya? Jika ada yang memaksa masuk ke sebuah pura, lalu merusak pura itu secara fisik, laporkan saja ke polisi. Polisi akan mengusut karena itu adalah pelanggaran hukum bukan karena ia memaksa masuk untuk berdoa kepada Tuhannya, melainkan karena ia telah melakukan perusakan secara materiil.
Soal yang terjadi di Pura Besakih dalam hal pemuput, saya hanya mencoba melihatnya dari kedua belah pihak. Kalau versi Pak Bagus ini adalah versi Pak Bagus yang berbeda dengan versi yang lainnya. Soal Raja Purana dan apapun produk teks, bukankah itu sarat dengan kepentingan kekuasaan (siapa yang berkuasa). Jika teks itu dibuat oleh para Brahmana tertentu yang bekerjasama dengan para raja yang berkuasa ketika itu, maka yang ditulis adalah apa yang ingin ditulis oleh mereka. Teks apapun bentuknya tidak pernah tercipta dalam ruang hampa. Pasti selalu ada banyak nilai-nilai, kepentingan-kepentingan yang melatarbelakanginya. Lalu Teks mana yang paling benar? Apakah yang diyakini mayoritas atau minoritas?
4. Nunas ampura…Itu zaman orde baru kali Pak Bagus…Kan pemerintah orde baru memang sangat ingin menguasai semua aspek kehidupan masyarakat. Kalau Zaman reformasi dimana rezim otoriter orde baru sudah tumbang, saya pikir terlalu nyinyir lah pemerintah sampai mengurus hal-hal seperti itu. Apalagi sampai Kodim segala. Saya pikir Kodim sekarang sudah dikembalikan ke barak. Tidak lagi diberikan kewenangan mengurusi urusan-urusan sipil. Ranah agama dan adat itu adalah ranah kultur masyarakat, sama sekali bukan ranah politik kekuasaan negara. Agama itu soal hubungan manusia dengan Tuhannya. Negara yang baik adalah negara yang melaksanakan tugasnya memastikan setiap warga negara bisa melaksanakan keyakinannya dengan baik.
5. Saya sepakat soal masyarakat sudah pintar dan cerdas. Kalaupun harus meyakini apa yang diyakininya, maka masyarakat bisa menentukan pilihannya sendiri. Karena itu jangan sampai ada pihak yang merasa memiliki kebenaran yang paling benar, lalu menuding yang lain adalah salah dan bohong. Bukankah ketika menuding, empat jari kita mengarah kepada kita sendiri??
Banyak dari kita yang mungkin juga perlu ke psikiater, karena tanpa sadar “kegilaan-kegilaan” telah merasuki pikiran kita. Ada yang gila jabatan, gila kekayaan, gila perempuan, gila main facebook, gila nonton film, gila merokok, gila dengan ritual… dan ada juga yang gila berdiskusi… hehehe…
Nunas ampura… kirang langkung titiang matur, santukan Nambed titiang kalintang minab…
1. Kalo ngurusin tahun 1920..orang yang nggak punya kerjaan…selama 50 thn saya hidup…artinya saya dapat merasakan secara fakta bahwa hingga akhir 2000 memang tidak ada masalah ini. Kalo yg seperti sodara anggap seperti api dalam sekam itu salah…yang ada api itu sudah meredup tapi di kipas2 lagi dengan orang2 spt OM ini jadilah bara membesar lagi.
2. Ya jelaslah membawa nama buruk si OM ini di persemetonan yg sdh memiliki nama baik….jadinya sekarang banyak mencibir, utamanya yg diluar pesemetonan tsb, nah apa bukannya si OM ini adalah agen pemecah belah masyarakat??
3. Raja purana bukan dibuat oleh brahmana dan raja, tapi dibuat oleh tatanan masyarakat saat itu, dimana kebetulan hingga saat ini tetap diberikan tanggung jawab mengemong pura tersebut. Selama memang tidak ada salahnya so what? sekali lagi di raja purana tidak ada menyebutkan harus dari golongan brahmana tertentu…yang ada aturan mantram serta aliran siwa budha (aliran universal bagi hindu di Bali).
4. Lah ditulisan anda sebelumnya anda bilang kolonial….nah kalo anda bilang jaman orde baru nah saya maju lagi ke jaman reformasi….jaman reformasi, apabila orang akan me abhiseka tetap harus mendapat rekomendasi dari polhukam dlm hal ini kejaksaan dan pengadilan negeri untuk menjadi PENGAMPU ADAT. Nyinyir bagaimana? itu tugas dari pemerintah untuk menghindari indonesia di gerayangi oleh penipu2 spt OM ini. Lihat saja gara2 segelintir orang yg menganggap pemerintah tidak boleh nyinyir jadinya banyak gelar2 palsu beredar, tahun2 belakangan ini pemerintah sudah mulai menyisir hal2 ini melalui dikbud (unt doktor palsu) kejaksaan (unt orang2 semacam OM) dan lainnya
5. Ada juga kegilaan dengan tidak bisa melihat kelemahan dan kelebihan sendiri serta cenderung hiperbola serta berusaha mencapai angan2nya dengan segala cara…..nah inilah yg dinamakan megalomania complex
Om Swastyastu
Bapak Winata yang pintar
semua yang ada di dunia ini adalah kreasi manusia
semua yang dianggap patut, tabu, gila dan waras adalah ukuran manusia
dengan catatan ukuran manusia yang lebih banyak jumlahnya
benar menurut hitler belum tentu benar menurut orang yahudi
benar menurut amrozy belum tentu benar menurut peranda Gunung
benar menurut Wedkarna, anda dan pecinta wedakarna lainnya (hehehe) belum tentu benar menurut orang lain.
Banyak orang yang saat ini mulai menilai bahwa apa yang ditinggalkan oleh
adat dan budaya jaman kerajaan dulu (sebelum 1906, dimana belanda mengalahkan bali seutuhnya dengan mengalahkan Badung dan Tabanan dan Klungkung)
adalah aturan dan adat yang tidak adil, karena menguntungkan sebagian orang yang merupakan keturunan Puri atau Jero dahulu dan Grya atau keturunan peranda jaman dahulu.
Sehingga muncullah sekarang orang orang yang nyineb wangsa mengklaim kembali gelarnya dan clan clan lain yang memakai nama peranda untuk mereka yang medwijati, itu semua tidak terlepas dari ide kesetaraan manusia yang wajar di jaman moderen ini, yang di Jaman kerajaan dahulu tidak mungkin terjadi karena penguasa saat itu berhak memberikan hukuman bagi yang memada mada atau melanggar aturan wangsa. Tapi sekarang aturan itu sudah tidak berlaku dengan diproklamirkannya negara republik indonesia, dimana kerajaan kerajaan di bali sepakat semua untuk masuk menjadi bagian dari negara Republik itu.
Yang tersisa kemudian adalah penghargaan terhadap peninggalan jaman kerajaan tersebut yang secara pelan pelan juga terkikis dengan pola ekonomi dan globalisasi. Dan sepertinya orang orang puri, grya dan wangsa yang lainnya bisa menerima perubahan yang pelan pelan dan tersamar tersebut, karena secara hukum Positif negara kita tidak melanggar hukum, paling di masyarakat hanya muncul cibiran cibiran sinis yang pelan pelan juga terlupakan oleh waktu.
Yang dimasalahkan oleh orang orang pada si wedakarna ini
adalah kemurnian dari ucapan dan tindakan yang dia lakukan, karena berbicara perjuangan untuk bali dan hindu dapat terbaca oleh banyak orang sebagai sebuah kecintaan yang sangat luar biasa terhadap diri sendiri, sehingga semua tindakannya seolah menghalalkan segala cara dan melabrak norma yang saat ini sedang berlaku (walaupun sedang mengalami perubahan juga), masalah utamanya adalah norma ini juga sedang mengalami perubahan sehingga sikap kita juga menjadi gamang dan cenderung kemudian oknum ini menjadi lebih aktive bebas berkreasi (seperti menjadi Raja Majapahit Bali dan mengaku turunan Bangsawan) dan lebay gak ketulungannnnnnnnnnnnnnnn
namun saya (yang gila menurut pecinta wedakarna dan waras menurut saya sendiri) tetap berdoa semoga orang orang seperti ini tidak menjadi pemimpin di negeri yang tercinta ini, karena kalau benar terjadi maka pemimpin lainnya yang layak bersanding dengannya adalah, Rhoma Irama dan Aceng Fikri, Syech Puji dan Robot Gedek
mudah mudahan tidak akan terjadi
Om Shanti Shanti Shanti Om
Pak Bagus yang baik hati dan bijaksana…Ijinkan saya memberi tanggapan…
1.Penyebutan apa yang terjadi adalah perkerjaan orang yang tidak punya kerjaan, tentu akan menjadi sangat subyektif. Sama dengan apa yang Pak Bagus rasakan selama 50 tahun adalah kondisi subyektif, bukan kondisi obyektif. Pada sejumlah orang yang berada dalam zona nyaman, maka kondisi subyektif yang dirasakan adalah kenyamanan, seolah-olah tatanan yang ada memang sudah stabil. Kondisi stabil ini mungkin ada karena memang kondisi politik pada era orde baru juga mengedepankan soal stabilitas dalam semua sisi kehidupan masyarakat. Tetapi Pak Bagus belum bisa memastikan kondisi obyektif adalah sama dengan apa yang Pak Bagus rasakan atau pikirkan. Pertentangan dan perdebatan itu selalu ada. Monoritas yang diam itu kan selalu dikalahkan oleh mayoritas berkuasa. Penguasaan wacana-wacana dilakukan oleh kelas-kelas berkuasa, sementara suara dari versi-versi yang disampaikan minoritas mengalami pembungkaman.
Saya tidak pernah menyebut soal api dalam sekam. Ini bukan soal api, atau sekam, tetapi ini soal realitas dimana dalam budaya dan peradaban manapun, pembentukan kultur-kultur beserta simbol-simbolnya selalu akan mengalami perubahan-perubahan dan pertentangan-pertentangan. Tidak ada nilai-nilai yang selalu stabil. Perubahan akan selalu terjadi. Kita harus dengan fair melihat, bukan hanya sosok OM ini yang menyebabkan terjadinya perubahan di Bali. Jika Pak Bagus mengatakan bahwa perubahan yang terjadi di Bali hanya karena kehadiran orang seperti OM ini, maka secara tidak langsung Pak Bagus sebenarnya “mengakui” bahwa OM ini orang hebat. Padahal apa yang dilakukan OM ini sebenarnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Maaf… bagi saya sosok OM ini sudah biasa ada dalam perkembangan budaya, hal yang lumrah. Jadi tak ada yang istimewa sebenarnya. Toh…jika nantinya tidak ada lagi yang mempercayainya, ia akan hilang dengan sendirinya. Tetapi janganlah dengan mudah mengatakan soal kebohongan dan kebenaran ketika berbicara pada ranah-ranah kultural (budaya)
2.Yang menjadi pertanyaan adalah, jika memang benar membawa nama buruk, kenapa didiamkan? Kenapa tidak dikeluarkan saja?? Sekali lagi kalau disebutkan menjadi agen pemecah belah masyarakat bali, maka perlu disimak lagi, apakah sebelum OM muncul, masyarakat tidak terpecah belah? Pak Bagus ingat soal perpecahan PHDI Bali? Saya kira tak ada hubungannya dengan OM. OM ketika itu belum muncul. Tetapi perpecahan terjadi bukan? Ada PHDI versi Besakih, ada PHDI versi Campuhan. Ribut terus. OM tidak tau menau Pak….
3.Maaf pak bagus, apa benar Raja Purana bukan dibuat oleh raja dan para Brahmana pada saat itu? Kalaupun disebutkan dibuat oleh tatanan masyarakat ketika itu, lalu siapa tatatanan masyarakat ketika itu? Bukankah dalam sebuah tatanan masyarakat selalu ada mereka yang “berkuasa”? Kalaupun memang diakui sebagai bagian dari catatan sejarah, maka keberadaan Raja Purana juga adalah bentukan Sejarah (history), dimana yang berkuasalah yang membuat cerita, menyusun teks-teks.
Sekali lagi, saya hanya melihatnya dari kedua sisi. Bukan dari satu sisi. Yang ingin saya sampaikan bahwa kedua belah pihak ketika kasus sarwa sadaka di Besakih ini mencuat, masing-masing mengatakan punya dasar pembenaran. Bisa saja kemudian salah satu mengklaim diri sebagai pemilik kebenaran yang paling benar. Itu sah-sah saja. Karena kelompok lain juga akan memiliki klaim yang sama. Perspektifnyalah yang berbeda-beda. Dalam soal agama dan keyakinan, dimanapun selalu akan terjadi perbedaan pandangan. Saya kira belum ada dalam soal agama dan kepercayaan manapun di muka bumi ini, ada hal yang sifatnya satu-satunya kebenaran. Kecuali dalam soal Tuhan. Tetapi soal memaknai tuhan juga sering beda-beda, tidak hanya oleh yang berbeda agama. Dalam agama yang sama saja pemaknaan tuhan bisa beda.
4.Hehehe… Saya kan tidak hanya menulis soal jaman kolonial. Saya juga menulis soal zaman penjajahan Majapahit di Bali sampai jaman pra kemerdekaan hingga zaman kemerdekaan. Soal penipu… sederhananya saja Pak Bagus. Jika apa yang dilakukan oleh OM ini jelas-jelas melanggar aturan hukum positif negara, kenapa tidak ada yang menangkap dan menyeretnya ke pengadilan? Kenapa polhukam Cuma diam, kenapa polisi diam. Ini kan aneh?? Soal pengampu adat, jelas beda dengan soal kedinasan Pak. Dinas itu berkaitan dengan politik hukum negara. Kalau adat, ya… soal adat. Lha Pemerintah ngurus korupsi aja nggak becus kok pak Bagus. Apalagi mau ngurusi soal Adat istiadat di Indonesia ini yang jumlahnya bisa mencapai ribuan. DI Bali saja bisa muncul banyak versi yang beda-beda soal adat, soal soroh, dll. Kalau soal Doktor Palsu juga bisa dijerat hukum. Masalahnya adalah kenapa tidak ada aparat terkait mengurusnya? Jika benar gelar Doktor OM ini palsu, mengapa Kementrian pendidikan tidak mencabut saja?
5.Menurut saya… dalam soal keyakinan, soal pikiran-pikiran, manusia selalu bebas mengekspresikannya. Dalam ranah penggunaan simbol-simbol kultural, selalu saja akan ada pembenara-pembenaran berdasarkan versi masing-masing. Yang tidak boleh adalah ketika ekspresi keyakinan dan pikiran itu diterjemahkan dalam prilaku destruktif secara fisik. Misalnya melakukan perusakan atau mengakibatkan orang lain mengalami kerugian-kerugian. Saya ingat ada orang yang pernah mengatakan bagaimana sangat akomodatifnya Hindu soal keyakinan manusia, bahkan ketika ada orang yang mengaku dirinya “Tuhan” sekalipun, boleh-boleh saja. Tetapi yang tidak boleh kan ketika mengatakan dirinya tuhan, lalu dia memaksa-maks orang lain agar menyebutnya juga tuhan, sampai orang lain dirugikan secara materi dan immaterial. Kalau ada yang merasa dirugikan, laporkan saja ke polisi atau aparat penegak hukum.
Nunas Ampura, Sugra….
Pak Winata,
1. Mau bicara obyektif kah atau subyektif kah…seperti itulah masyarakat rasakan saat itu, bukan spt saat ini yg tambah amburadul..dan orang2 spt OM inilah yg salah satu agen tukang kipas api yg meredup jadi membesar. Kalo mau gali 2 lagi masalah2 lama bisa saja anda simpulkan bahwa pandangan secara obyektif..krn semakin dalam anda menggali atau memandang, semakin banyak pula faktor2 yg sdh tidak terlihat menjadi terlihat..he he he….
2. Saya juga heran kenapa didiamkan saja sama pesemetonan nya, atau mungkin si OM memanfaatkan sifat orang bali yg koh ngomong. Kalo urusan PHDI nah itulah produk setelah 2000 dimana ada faktor politik yg masuk dalam ranah adat dan agama.
3. Sudah pasti raja purana adalah produk berasal dr tatanan masyarakat saat itu..karena apabila tidak tentu raja purana yg tdk sesuai akan segera mengalami perubahan (pergolakan dlm masyarakat).
4. Saya juga heran kenapa pemerintah tdk bergerak dlm hal gelar raja palsu ini..mudah2an diskusi ini di baca oleh pihak pemerintah. Kalo urusan lapor melapor, nah kembali orang bali koh ngomong.
5. Mudah2an dibaca oleh pihak berwajib
Om Swastayastu
Pak Panji Astika yang pintar, baik hati dan Bijaksana…..
Saya sepakat, bahwa “benar” itu bisa berbeda-beda. Benar menurut saya bisa jadi tidak benar menurut Pak Panji Astika. Kalaupun kemudian benar itu ditentukan oleh mayoritas, maka belum tentu itu adalah kebenaran yang paling benar. Saya hanya ingin mengingatkan, bahwa setiap nabi agama muncul pertama kali, selalu disebut melakukan bi’dah oleh mayoritas. Bahkan ada yang sampai kemudian harus di salib oleh mayoritas berkuasa ketika itu. Yang lainnya harus diperangi. Dalam soal Hindu di Bali, perang antar sekte pernah menghebat, perebutan pengaruh antar soroh juga selalu mengemuka. Lalu… masihkah kita berani mengatakan kebenaran mayoritas adalah sebuah kebenaran yang mutlak?
Kita boleh menilai siapapun dengan cara kita Pak…. Tetapi menurut saya yang harus kita hati-hati adalah jangan sampai kita menghakimi orang lain atas pikiran-pikirannya. Selama itu dilakukan tanpa merusak secara fisik dan mengakibatkan orang lain mengalami kerugian, maka selebihnya adalah tanggungjawabnya sendiri. Kita juga tidak pernah tau motif sejati orang melakukan sesuatu. Apakah murni untuk membela kepentingan orang banyak atau hanya untuk dirinya sendiri. Hanya dia dan Tuhannya yang tau pasti kemurnian motifnya. Kita mungkin bisa menilai, tetapi penilaian kita belum tentu paling benar.
Bagi saya kita ini semua gila dan pada saat yang bersamaan juga waras. Yang jelas, bahkan orang gila sekalipun selalu merasa dirinya waras, dan menganggap orang lain gila. Lalu siapa yang sebenarnya waras dan siapa yang sebenarnya Gila?? Tetapi yang jelas saya bukan pecinta AW. Bagi saya AW ini orang biasa-biasa saja. Kalaupun ia mengaku raja Majapahit, itu versinya dia dan orang2 yang mau percaya. Saya hanya tidak mau terjebak dengan mengatakannya berbohong atau membual.
Saya kira masyarakat sudah lebih tau bagaimana mereka memilih pemimpin nya. Jangan mudah menjustifikasi dan menghakimi orang jelek sejelek apa yang kita pikirkan. Kadang yang kita sangka baik saja, toh juga tidak bisa memuaskan semua orang. SBY misalnya, apa dianggap baik semua orang? Belum tentu Rhoma Irama, Aceng, Syech Puji itu buruk seburuk-buruknya. Selalu ada kebaikan disetiap manusia, karena bukankah tuhan bersemayam disetiap jiwa manusia? Tetapi jika ada yang melanggar hukum negara, ya harusnya memang dihukum.
Om Shanti Shanti Shanti Om
Pak Bagus…
1. Tenang itu bukan berarti semua baik-baik saja. Tatanan masyarakat yang tenang cenderung merupakan tatanan yang hegemonik. Sesuai dengan teori konflik, jika ada yang mayoritas berkuasa dan ada yang minoritas maka disana terjadi relasi penguasa dan yang dikuasai (penindasan-tertindas). Tetapi ketika masing-masing pihak berada pada kesejajaran maka konflik terbuka bisa muncul. Yang jelas, di dunia ini dan disemua peradaban manusia, hanya perubahanlah yang abadi. Bagaimanapun kita menahan agar tak terjadi perubahan, toh perubahan itu akan terjadi. Setiap perubahan akan membawa konsekuensi terjadinya pergeseran-pergeseran, hingga sampai pada keseimbangan yang baru. Keseimbangan ini tidak akan bertahan, karena akan bergeser lagi mencari keseimbangan baru. Mengingkari adanya perubahan adalah mengingkari hukum alam. Kalau saya mengajak kita melihat ke belakang bukan untuk mengungkit-ungkit, tetapi meluaskan pandangan kita bersama bahwa perubahan itu selalu ada dan terjadi.
2. Kita tunggu saja, pasemetonannya AW ini bersikap, jika memang harus perlu bersikap. Selama itu belum terjadi, maka kita tak pernah tau pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi didalam pesemetonannya itu. Soal konflik PHDI Bali setelah tahun 2000, itu konsekuensi dari runtuhnya sistem negara yang diktator dan bergerak ke arah demokrasi. Maka soal kesan seolah-olah stabilnya tatanan masyarakat Bali menurut Pak Bagus ada sebelum tahun 2000, itu juga adalah karena intervensi kekuatan politik rezim orde baru. Artinya, ya sebelum atau sesudah thn 2000… sama-sama dipengaruhi oleh politik juga. Tapi yang jelas, bukan hanya karena munculnya OM kemudian terjadi perubahan/konflik.
3. Raja Purana, adalah produk masa lalu. Tergantung manusia yang memaknainya. Tetapi tidak ada teks yang tidak dimaknai sesuai jamannya. Bahkan kitab suci sekalipun bisa dimaknai berbeda-beda sesuai dengan jamannya. Teks apapun bentuknya, mengalami pemaknaan sesuai dengan siapa yang memaknainya. Makanya tidak ada teks yang hidup diruang hampa, tanpa nilai. Sebaliknya teks itu selalu hidup diruang penuh makna, penuh nilai. Jangan takut soal goncangan pergolakan, karena bahkan pembentukan dunia inipun melalui sebuah goncangan pergolakan yang hebat.
4. Soal pemerintah dan aparatnya tidak bertindak,ada kemungkinan, gelar doktornya itu memang sah, atau selain AW juga banyak gelar doktor aspal beredar dimasyarakat. Kalau semua ditangkap, nanti penjaranya jadi penuh… hehehe. Soal koh ngomong, ada dua kemungkinan apakah karena benar koh ngomong atau sebenarnya masyarakat sudah memahami apa yang sedang dilakukan OM ini dan memakluminya?.
Bukan Doktor nya yg bermasalah…tapi pake gelar raja majapahit bla bla bla yg masalah dg masyarakat bali pak winata..
Selamatkan bali dari orang sakit dan penipu
Pak Bagus…
Hehehe… Bali lebih penting diselamatkan dari pemimpin politik yang korup dan menyalahgunakan kewenangannya Pak…. para pemimpin politik di jabatan birokrasi inilah perusak Bali yang sesungguhnya. Karena mereka adalah orang-orang sakit, gila jabatan dan penipu lewat janji-janji manis politiknya. Soal Raja Majapahit, itu soal kecil. Apalagi ia hanya bermain diruang-ruang penggunaan simbol kultural. Ruang-ruang yang sebenarnya sangat absurd dan tidak memiliki dampak signifikan pada kebijakan publik.
Pak Bagus,,,,
Bali lebih penting diselamatkan dari para pemimpin politik yang duduk di jabatan birokrasi. Merekalah yang sakit, Gila kekuasaan dan penipu melalui janji-janji politiknya. Lewat kewenangannya memberikan ijin-ijin yang merusak Bali. Yang dengan kekuasaannya tidak pernah bisa memperbaiki Bali. Raja Majapahit itu soal yang tidak perlu di khawatirkan. Kalaupun ia sedang menipu, maka hanya dirinyalah yang sebenarnya sedang dia tipu.
Kalau saya sih bicara sesuai topik…kalau bicara penipu ya kita bicara penipu..kalau politik kita bicara politik.
Sehubungan penipu dalam politik itu topik lain lagi. Sistem Demokrasi sesuai yg kita anut saat ini adalah sistem yg sangat simpel dan fair walaupun tidak menunjukkan kebenaran yg hakiki..dan hanya dapat menunjukkan kebenaran sesuai keinginan masyarakat. Nah tentu, keberhasilan demokrasi sesuai tujuan yg hendak kita capai menyesuaikan dengan tujuan dari masyarakat saat berlangsung….kalau memang mau di tipu silakan, kalau nggak mau maka si penipu politik akan lengser….namun Pemerintah sebagai penjamin demokrasi harus dapat mencegah “penipu beneran” seperti OM ini tidak ikut dalam pesta demokrasi yg sebenarnya…karena akan sangat berbahaya he he…. Umumnya demokrasi menghasilkan sesuai dengan ideal nya berlangsung pada masyarakat yg sudah dapat berpikir objektif, sehingga dapat melihat pilihannya secara baik….bukan sebaliknya demi objektivitas nya malah menggali lagi sesuatu yg sudah tidak up To date lagi…seperti kondisi saat ini di Bali, “soroh akibat politik”
Pak Bagus…
Lalu siapakah yang “penipu beneran” dan siapa “penipu bohongan”, siapa yang menentukannya? Suara mayoritas atau minoritas? Jika kebenaran secara politik dianggap berasal dari mayoritas , maka sangat perlu kita sadari bahwa itu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil, belum menjadi kebenaran dengan “K” besar. Karena apa yang mayoritas hari ini bisa saja akan menjadi minoritas dimasa mendatang.
Demokrasi modernm justru menempatkan pemerintah pada ranah-ranah yang telah diatur melalui hukum-hukum positif negara. Bahkan dalam demokrasi yang lebih matang, soal agama, soal keyakinan rakyatnya, negara tidak memiliki kuasa untuk mengaturnya terlalu dalam.
Hak politik adalah hak setiap warga negara selama ia tidak melakukan tindakn kriminal. Jika ada larangan pengguna simbol-simbol kultural masuk kedalam politik, maka parpol yang mengusung simbol-simbol agama juga harusnya dilarang. Tetapi apapun itu, pembatasan yang terlalu banyak dalam demokrasi tentu bukan demokrasi lagi.
Kalau saja kita memang sepakat bahwa masyarakat dalam demokrasi bisa menentukan pilihannya secara obyektif, lalu mengapa kita terlalu khawatir bahwa pengguna simbol-simbol kultural yang tidak up tod date akan bisa eksis dalam jangka panjang? Bukankah ia akan mati dengan sendirinya?
Kan sudah saya jelaskan pada komentar saya yg terdahulu, apa itu demokrasi dan implikasinya, nah jadilah pemerintah yg seharusnya bertugas menghindarkan masyarakat dari oknum penipu agar tidak ikut dalam sistem demokrasi itu.
Khawatir jelas…karena masyarakat kita belum mampu melihat calon ataupun permasalahan secara obyektif..! jadi memang sangat wajar kita harus bersama sama meng edukasi masyarakat mana yang penipu mana yg bukan penipu sebagai bagian tanggung jawab kita sebagai demokrat (bukan partai).
Nah bagi yang sudah educated ataupun sudah dapat berpikir obyektif…janganlah juga mengobok obok suatu tatanan yang berjalan dengan baik (sebelum 2000), nah kalo mau di gali akar (akar pohon saja kalo di gali akan terlihat seperti benang kusut) pasti akan melihat ketidak beresan. tapi kalo tidak di gali maka pohon atau dalam hal ini tatanan masyarakat tersebut akan tumbuh baik (sebelum 2000) .
Meredup jelas tidak, kalau dia penipu ulung dan di tambah sakit megalomania complex he..he..he.. hingga akhirnya dia tidak akan pernah tau diri nya salah (merasa dirinya benar) dan secara kontinyu merayu dan mengajak masyarakat yg tidak dapat memandang demokrasi secara obyektif.
Diskusi yang sangat menarik. Dan dari diskusi yang saya baca ini, pandangan dari Pak Winata memang yang saya pikir paling masuk akal dan cukup baik. Itu karena sangat terlihat pada pendalamannya terhadap masalah serta pemaparan pandangannya yang netral dan tidak memihak. Sedikit berbeda dengan penulis yang terlihat sejak awal sudah menempatkan diri sebagi pihak yang kontra terhadap WK ini. Hehe…
Tetapi, sebaik-baiknya pandangan yang diberikan, ada hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu pemahaman serta tingkat pengetahuan masyarakat kebanyakan akan sebuah masalah dan latar belakangnya (yang bisa menjadi sangat luas dan kompleks). Menurut saya, Pak Winata ini harus sabar, karena level pencapaian orang untuk memahami sesuatu itu berbeda-beda. Hehehe… Karena jika tidak, maksud baik malah tidak tersampaikan. Begitu juga dengan Pak Bagus, menurut saya sebaiknya lebih lunak lagi menerima pandangan yang berkebalikan atau mungkin dipaparkan dengan lebih detail (bukti, kerugian, dll) tentang ketidaksetujuannya akan WK ini.
Tapi pandangan yang netral tetaplah pandangan netral. Ia hanya memberikan tambahan pengetahuan dan pendekatan-pendekatan terhadap fakta yang sebenarnya. Jadi menurut saya tidak akan mengubah keadaan pro dan kontra di masyarakat tentang WK ini. Ibarat orang yang beradu argumen tentang rasa durian, yang suka bilang enak, yang tidak suka bilang tidak enak. Hehehe…
Kalau pandangan saya sendiri tentang WK ini sih biasa aja (koh ngomong, walaupun mungkin sedikit nggak koh nulis, hehehe…). Ia hanyalah satu dari sekian banyak fenomena kehidupan manusia dalam masyarakat dan peradabannya di dunia. 🙂
Silahkan dilanjut Bapak-bapak…
Saya memang bukan penulis, dan saya juga tidak butuh penilaian saudara G…saya memang tidak netral bagaimana mau netral kalo mau menilai suatu wawancara/tulisan??? Tentu harus ada di salah satu sisi..setuju atau tidak setuju..kalo mau netral ya jangan diskusi, apalagi menilai yang berdiskusi soal pemahaman….aneh…
Sorry saya lupa sampaikan..isi tanya jawab wawancara si OM ini sudah di baca oleh beberapa psikiater senior yg kesemuanya menyimpulkan dugaan kuat menderita megalomania complex.
So..hati hati ya bagi para penggemar OM he he he
Kepada bli @winata: sebagai warga biasa, saya kagum dengan cara anda berdiskusi dan memberi pemaparan mengenai sudut pandang anda. Luar biasa.
Seperti pernyataan saya diawal, (bukan soal K BESAR dan k kecil) saya sebagai warga biasa menitipkan(mempercayakan) tugas mencari kebenaran informasi kepada kawan-kawan jurnalis. Semoga KODE ETIK JURNALIS bukan hanya pajangan di situs dewan pers.
Selamat bertugas bli. Semangat. Ayo cerdaskan lebih banyak pembaca dengan tulisan anda di koran Bali Post juga sebagai penyeimbang berita iklan(seremonial atau apalah istilahnya) yang dipasang AW di Bali Post. Bagaimana? Cakupan pembaca Balebengong.net belum bisa menyaingi oplah Bali Post bli.
Apalagi tulisannya panjanganya di kolom komentar, ya makin pesimis saya banyak yang mau mengikuti. Bagaimana jika bli Winata membuatknya dlam tulisan baru? 🙂
Pak Bagus….
Saya tidak mengerti, bagaimana Bapak ini bisa mengkatagorikan ada masyarakat yang tidak teredukasi ada yang sudah teredukasi. Apakah Bapak sudah pernah melakukan penelitian soal ini? Atau itu cuma klaim bapak sendiri? Bagaimana mengkatagorikan mana masyarakat yang teredukasi dan mana yang tidak teredukasi dalam konteks demokrasi? Semudah itukah masyarakat dirayu-rayu?
Pak… jika Bapak mau memahami apa itu demokrasi secara utuh, maka bapak akan menemukan bahwa justru campur tangan pemerintah itu sangat diminimalkan. Semakin demokratis, maka pemerintah tidak akan bisa mengatur dengan detail setiap aspek aturan hidup masyarakatnya. Termasuk agama dan keyakinan rakyatnya, pemerintah tak bisa terlalu mengatur. Negara hanya bisa mengatur apa yang ada dalam ranah-ranah hukum positif negara yang ukurannya jelas. UU Politik sudah dengan tegas mengatur bagaimana soal hak dipilih dan memilih. Siapa yang memiliki hak mencalonkan dirinya menjadi bagian dari legislatif atau eksekutif, sudah aturannya Pak… Sekarang saya tanya, apa ukuran yang bisa dipakai oleh pemerintah melarang orang seperti AW ini yang menurut Bapak mengidap Megalomani complex ikut dalam politik. Aturan dan undang-undang yang mana?? Undang-undang mana yang bisa dengan pasti mengkatorikan AW ini sebagai penipu sehingga bisa dilarang oleh pemerintah untuk terlibat politik?? Lha koruptor saja masih tidak bisa dilarang oleh pemerintah ikut pemilu kok pak??
Sekali lagi dalam soal penggunaan simbol-simbol kultural, maka kita akan bicara soal standard yang sangat absurd. Kebenaran yang mana yang bisa dipakai sebagai ukuran? yang Mayoritas ataukah yang minoritas?? Terlebih lagi mau menyebut orang sebagai penipu dalam soal soroh, klan, dan simbol-simbol kultural lainnya… hehehe tambah susah itu Pak…Siapa yang menipu siapa?
Soal tatanan masyarakat yang sudah stabil, Pak Bagus harus menyadarinya bahwa itu hanyalah ilusi. Tatanan masyarakat itu selalu berubah, tak pernah stabil. Kalaupun sebelum tahun 2000 dipakai sebagai ukuran stabilitas, maka itu hanyalah karena pemerintahan negara yang represif. Jika Pak Bagus menganalogikannya dengan pohon, maka saya akan mengatakan bahwa justru karena akarnya yang rumit itulah yang menyebabkan pohon itu bisa hidup. Pohon tidak pernah stagnan bukan. Ia terus tumbuh, membesar, bisa bergerak miring ke kiri karena tiupan angin, mencari sinar matahari. Siapa bilang kalau pohon itu tetap sepanjang waktu? Jadi analogi pohon yang Pak Bagus sampaikan justru menunjukkan bahwa tatanan masyarakat itu terus berubah dan bergerak, bukan stabil.
Soal penilaian para psikiater bahwa AW ini mengidap Megalomania complex, lalu masalahnya apa Pak? Apakah karena mengidap Megalomania complex otomatis AW juga seorang penipu dan pelanggar hukum negara?. Kalau memang iya, harusnya sudah dipenjarakan dong?. apakah Karena koh ngomong? siapa yang koh ngomong? para psikiater yang menelaah wawancara ini? Jika mengetahui ada kejahatan dari orang yang mengidap Megalomania complex, (itupun kalau Megalomania complex adalah bentuk kejahatan), harusnya para psikiater segera melaporkannya ke polisi, karena kalau tidak, para psikiater itu akan dianggap ikut menjadi bagian dari kejahatan yang dituduhkannya.
Pemaparan yg cerdas dari Pak Winata. Yg sy tangkap inti dari pemaparannya, bukanlah masalah pro AW atau kontra AW, tp lebih berfikir objective dlm menganalisa suatu masalah. Netral dalam menyampaikan informasi, tidak berada pada pihak pro/kontra. Apalagi topik ini yg ditekankan pak winata adalah berada pada ranah budaya (Raja Majapahit). Sepakat, budaya itu dinamis, selalu berubah, tak ada budaya yg statis. Tak ada yg pasti di dunia, selain perubahan itu sendiri.
Saya sudah berulang menyampaikan demokrasi sistem sangat baik apabila diterapkan pada kondisi masyarakat yg sudah mampu berpikir obyektif…selama masyarakat masih mudah tertipu oleh promosi (apalagi menurut si OM mengeluarkan biaya 1 M setahun untuk promosi) tentu perlu aturan2 yang diterapkan demi keselamatan demokrasi itu sendiri…he…he… kalo ngotot ya saya tidak tahu lagi.
Stabilitas memang tidak sesuatu yang kekal…secara ilmu fisika pun dinyatakan tidak ada sesuatu yang stabil. Stabil pada suatu masa, itu dimungkinkan…mengerti? Kalo dimungkinkan kenapa dibuat tidak stabil?
Mayoritas dan minoritas adalah hasil dari demokrasi, itu suara rakyat, sangat berbeda, namun hal inilah yang mengkhawatirkan apabila tidak dijaga oleh aturan main yang tegas.
Masalah dong…orang yang sakit megalomania complex adalah orang yang tidak menyadari dirinya telah melangkah ke suatu arah yang salah..dan akan selalu berkelit dan berusaha membenarkan kesalahan yang dia lakukan dengan cara terus menipu demi membenarkan pendiriannya.
Semua produk hukum baik UU atau lainnya selalu mensyaratkan pelaku/pelaksana harus sehat jasmani dan rohani. Maka kita sebagai masyarakat apalagi pemerintah sebagai penyelenggara negara, harus dapat menjaga negara ini dari orang2 yang sakit rohani sebelum masyarakat tertipu beneran he he he…
Untuk arah ranah budaya apalagi…dinamis betul, tapi apabila dinamis dengan penuh pembenaran memanfaatkan masyarakat yang koh ngomong…wah semakin berbahaya, baik untuk masyarakat sendiri dan lebih membuat malu lagi terhadap masyarakat luar.
Sekali lagi ini tanggung jawab pemerintah untuk melindungi demokrasi dan masyarakat dari OM seperti ini.
Dan sekali lagi kalo mau diskusi lihat fakta dan jangan membohongi diri berlindung dibalik teori sosial budaya..he he he…seperti pedagang obat di pasar, jual obat super (katanya), yang beli untuk promosi ya temen2nya..nah apabila mereka punya modal 1 M setahun untuk promosi, mungkin saja hari ini obat itu betul2 dikatakan super oleh orang2 yang tidak obyektif.
Om Swastyastu, saudara semua
Pak winata memang cerdas, dan sangat paham tentang masalah
sangat pintar, bahasanya terstruktur dan gampang di pahami
Mudah mudahan berguna untuk Bali dan semeton Bali di masa depan
tapi saya setuju dengan pak Bagus, dan buat saya mengambil posisi
atau berpihak pada suatu hal yang diyakini juga bukan sesuatu yang salah
memang sudah sangat jelas Weda Karna belum menyentuh masalah hukum dan
belum bisa di tuntut secara hukum, namun mungkin untuk hal hal tertentu nanti bisa di somasi jika banyak pihak sudah merasa keberatan dengan tingkah lakunya, (itupun hanya spekulasi saya saja karena saya buta dengan hukum)
Namun tidak ada salahnya saya menyampaikan kekhawatiran saya karena si Weda Karna ini sudah jelas mempunyai misi untuk menjadi seorang pemimpin Bali dan mewakili Bali, dan saya berharap misi nya ini tidak menjadi kenyataan. Saya lebih menyukai pemimpin yang membumi, jujur, rendah hati dan tentu saja pintar. Namun seperti yang kita ketahui, kita tidak kekurangan orang pintar, namun kekurangan orang yang jujur dan rendah hati. Mudah mudahan banyak orang bali yang mempunyai fikiran yang sama dengan saya, jika banyak orang yang mengagungkan logika, akal sehat dan mengatas namakan kenetralan berfikir dan kemudian melupakan Rasa dan kata hati maka mungkin itu sudah kehendak yang di atas.
Namun saya tidak malu untuk mengatakan diri saya adalah orang yang berfihak di sisi yang tidak menyukai Wedakarna dan cara cara yang dipergunakannya.
dan saya berdoa jika suatu saat seluruh masyarakat di Bali kemudian berbalik memuja weda karna dan hanya ada satu orang yang tidak, maka mudah mudahan orang itu adalah saya.
Matur Suksma
Om Shanti Shanti Shanti Om
Agar polemik ini tidak berkepanjangan dan menghabiskan banyak energi yang sebenarnya tidak perlu, maka sebaiknya ada pihak yang melakukan gugatan hukum thd status kultural (Raja) AW ini, jika memang dirasa status ini melanggar hukum dan merugikan pribadi maupun Bali dan Indonesia secara umum.
Bagi saya pribadi status Raja itu tidak berarti apa2 dijaman reformasi dan demokrasi saat ini. Siapa saja boleh mengaku menjadi Raja, selama saya tidak dipaksa menjadi “panjak”nya dan harus berbahasa sopan santun (halus) tp dia sendiri berkata kasar dgn saya. Biarkan orang gila tapi jangan ikut2 gila dengan menimpali kegilaannya. Hehehe.. 🙂
Bagi saya fenomena WK ini sama dengan fenomena Rokok di Bali
Merokok belum melanggar hukum, tidak merugikan orang lain secara langsung (menurut sebagian orang), dan menyumbang banyak pajak untuk negara…..
lebih banyak hanya merugikan diri sendiri dan pemakainya, orang merokok juga tidak bisa dituntut secara hukum, tapi banyak orang yang berkampanye untuk menghentikan kebiasaan merokok, karena mereka peduli dengan kesehatan orang lain, dan tentu mereka yang anti rokok akan berjuang untuk bisa membatasi rokok dengan memasukan larangan merokok di tempat umum, ada yang sudah berhasil ada yang belum, ada yang mencibir ada juga yang membela… ya itulah dunia…. heheheeh.
Untuk kasus WK ini saya kira sudah mulai orang pada enek melihatnya, pada bulan Desember tahun lalu ada sarasehan mengenai kepemimpinan di Puri Anom Tabanan dimana pembicaranya adalah Dalem semara Putra, Kusuma Wardana Puri Kesiman , A A Gd Agung Bagus Sutedja Puri Negara , dan Made Suryawan dari Forum Studi Majapahit, dan dalam salah satu notulennya juga dibahas usaha untuk melakukan somasi untuk setiap orang yang melakukan hal hal seperti WK ini namun detailnya bagaimana tentu akan digodok dan pada saatnya nanti akan dikeluarkan jika sudah siap.
Sama seperti juga babad yang ditulis untuk melegitimasi gelarnya itu, karena menyangkut keluarga besar Arya Kenceng dan Keluarga Besar Dalem, tentu akan ada usaha dari kedua keluarga besar itu untuk melakukan kajian terhadap klaim WK bahwa dia ada sangkut pautnya dengan kedua Keluarga itu, karena sepengetahuan saya klaim WK itu ternyata tidak ada dalam catatan babad kedua keluarga besar tersebut.
Bagaimana nanti ya tentu kita tunggu sajalah….
Jadi kesimpulannya, ya selama merokok belum dilarang oleh hukum, silahkan anda merokok sampai batuk asal anda happy. Selama membual dan mengaku menjadi Raja belum ada delik hukumnya silahkan saja terus membual sampai puas, yang ngefans sama WK ngaku jadi Raja Majapahit cabang Denpasar, atau cabang bangli saja , monggo…….. hehehehee
Pernah menjadi bagian dari sejarah (Wedakarnaisme) disana banyak belajar tentang motivasi, kerja keras, siksaan, dan juga kebohongan. Salam.
ayo, ed. tulis ceritamu di sini atau di blogmu. hehehe..
Kapan ya om anton gak pernah “tendesius”? haha *ngelus2 punggung si om*
Iya kapan-kapan dah om. Terlepas dari semua kontroversi, tiang sangat mengagumi beliau sebagai “guru” yang mencetak mental pemuda Bali. So inspiring. Secara pribadi saya juga berterima kasih karena #AW sudah membuka mata saya, bahwa dunia ga selebar daun kayu suji wkwk *dibuat kue enak tuch*
Anyway buat om anton diskusi dan argument di post ini bisa dijadikan bahan tulisan baru tuch, silakan ditulis dari sudut pro dan kontra biar lebih fair, jadi ga dibilang tendensius lagi. Salam damai.
Om Swastyastu,
maaf, ikut urun rembug
Saya tidak ikut berbicara diluar dari topik (transkip wawancara diatas) karena saya tidak mau ikut terjebak untuk berpura-pura menjadi hakim galau, yang menjustifikasi tanpa indikator yang jelas.
Tapi jika kembali ke laptop (pinjam istilah tukul yang gaul)
– pertanyaan dalam wawancara diatas sangat tendensius—-
– penulisan kata “gitu lho” dan “hehe” harus juga kita cermati, karena pengucapan dan penulisan terkadang mengandung makna yang berbeda (jika disesuaikan dengan konsep ruang dan waktu)
– Pendapat yang cerdas dari pak winata, telah menjelaskan semua, dan akhirnya dibalas dengan cukup “emosional”dari kelompok penjustifikasi & Penulis tentunya
– Yang menjadi transkip diatas dangkal dan tendensius adalah prolog yang mengindikasikan ada maksud tersembunyi dari wawancara diatas.
– saya sepakat dengan pak winata untuk tidak berdiri disisi PRO atau KONTRA, tetapi upaya-upaya indikasi mendiskreditkan orang (apalagi oleh pihak dengan latar belakang yang tidak jelas) meski dikomentari dengan arif dan bijaksana, selebihnya pembaca lah yang menilai.
Suksema—
Bli Made yth,
Justru saya memang memberikan pernyataan di atas bahwa saya menganggap omongan AW ini lebih banyak membual. Itu semata biar orang bisa menilai lebih jelas di mana posisi saya dalam wawancara ini. Saya memang tendensius dalam wawancara.
Tujuan saya menulis ini semata untuk memberikan informasi lebih “fair” karena selama ini AW lebih banyak masuk media hanya karena bayar atau numpang kontroversi. Soal bagaimana respon orang terhadap tulisan ini ya urusan masing-masing. Saya tidak bisa memaksa orang untuk kritis terhadap AW karena klaim-klaim dia yang tak logis itu.
Justru banyak komentar di sini akan memperkaya informasi kita. Dengan begitu kita bisa mengambil keputusan masing-masing dengan pertimbangan lebih banyak, bukan hanya karena korban berita berbayar di koran.
Demikian..
Pak Idhu atau ED?
kalau ada cerita dari balik layar
kami ingin mendengar pemaparan yang jujur dari org org
yang pernah terlibat langsung dengan WK ini
supaya jelas, seperti apa sebenarnya sikap, sifat dan tindak tanduknya sehari hari
@Anton : Baiklah kalau sudah diakui sendiri bahwa wawancara ini didasari oleh sikap yang tendensius dari si pewawancara. Saya tidak menganggap tendenssiusnya BaliPublika sebagi hal yang aneh, wajar saja. Karena memang semua media sulit tanpa tendensi. Maka dari itulah akan sangat tidak bijak jika mengatakan ada media yang independen/tidak berpihak dan ada media yang tidak independen/berpihak. Semua media, bisa jadi berpihak.
Tetapi yang jadi persoalan adalah alasan untuk menjadi tendensius itu adalah keyakinan bahwa si AW ini membual. Bagaimana bisa menyebut seseorang membual, ketika hanya memandang satu saja kebenaran sebagai sebuah kebenaran? Apakah Anton benar-benar mengetahui bahwa apa yang Anton dengar dari seseorang/sekelompok orang dari mayoritas itu sebagai satu-satunya kebenaran yang tidak akan pernah berubah sepanjang jaman?
Kritis itu bukan berarti menghakimi. Kita boleh kritis, tetapi tentu saja konteksnya adalah tetap dengan pandangan-pandangan yang tidak menghakimi. Apalagi sampai mencemooh, menertawakan dan mencibir. Justru sikap-sikap seperti ini jika dipergunakan dalam menilai produk-produk kultural, akan menunjukkan arogansi dan ketidakdewasaan kita.
Saya tidak pernah mengerti dengan persoalan klaim-klaim AW yang disebutkan tidak logis. Tidak logis menurut siapa? Menurut Kelompok Mayoritas? Jika seseorang mengklaim dirinya adalah seorang presiden Indonesia, atau gubernur Bali, atau Bupati, atau lurah tetapi tidak punya dasar hukum yang kuat, mungkin bisa dikatakan tidak logis. Tetapi jika seseorang mengaku-ngaku dirinya raja dalam ranah-ranah kultural, apa dasar klaim itu dikatakan tidak logis? Dari catatan-catatan prasasti? Prasasti yang mana?
Maaf, beribu maaf, jika saya akan menggunakan contoh yang menyangkutkannya dengan catatan panjang peradaban manusia, dimana manusia yang kontroversial dimasa kini, bisa jadi dimasa datang adalah pemilik kebenaran yang diyakini mayoritas. Para nabi-nabi penyebar agama pada awalnya adalah tokoh-tokoh yang kontroversial.
Saya membaca dari Balipublika dimana ada memuat komentar dari sejarawan Unud Nyoman Wijaya, yang mengatakan adalah hal yang wajar ada orang yang mengaku-ngaku raja. Setiap jaman, caranya mungkin beda-beda tergantung situasi politik zamannya.
Kalau mau bicara hal-hal yang tidak logis dari masyarakat, akan ada sangat banyak sekali cerita yang bisa dikatagorikan tidak logis. Soal kasta di Bali saja saat ini, bukankah termasuk tidak logis?. Coba saja pikirkan, Bagaimana soal gelar kebangsawanan, bisa diturunkan melalui darah keturunan? Apakah darah setiap manusia itu tidak sama? Lalu mengapa seseorang bisa menjadi bangsawan dan menurunkan kekuasaan kultural hanya karena darah? Atau dalam soal brahmana, bagaimana bisa diturunkan berdasarkan darah? padahal brahmana itu melalui proses spiritual yang tentunya siapapun bisa melakukannya jika memang mau dan bisa melaluinya. Kenapa keturunan tertentu saja yang bisa dianggap lebih pantas menjadi brahmana? Sungguh… betapa absurdnya klaim-klaim seperti itu jika dipandang dari segi logika bukan?
Produk budaya itu lebih banyak tidak logisnya, karena dibangun dari mitos-mitos. Jika mau menyelami lebih dalam, jauh kejaman yang amat jauh sebelum ada raja-raja dan bangsawan, apakah Tuhan melahirkan seseorang untuk kemudian langsung menjadi raja? Semuanya pada awalnya adalah manusia biasa. Lalu melalui proses kultural dan politis ada yang diangkat menjadi raja, itu ketika jaman diatur melalui sistem kerajaan. Tetapi dalam jaman modern seperti sekarang, produk kultural tidak langsung memiliki kekuatan politik kecuali memang berjuang melalui proses politik untuk merebut kekuasaan politis sehingga bisa mengatur kebijakan-kebijakan publik.
Proses kultural itu tidak memiliki pola yang jelas dibentuk melalui kekuatan apa karena tergantung zamannya masing-masing. Dulu yang diangkat raja adalah yang berjasa menjadi pelindung orang banyak dari serangan musuh-musuhnya. Atau yang paling gagah beranilah yang diangkat menjadi bangsawan. Tetapi di zaman kontemporer seperti saat ini, sangat mungkin uang bisa dipergunakan sebagai kekuatan membentuk produk kultural. Apakah itu salah? Kalau dikatakan iya itu salah, lalu apa ukurannya menentukan kalau itu salah/tidak boleh? Produk kultural itu hidup dari keyakinan masyarakat. Jika masyarakt tidak yakin dan tidak percaya, produk kultural itu akan mati dengan sendirinya. Tetapi tentu saja sungguh tidak bijaksana dengan bersikap menghakimi untuk kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya absurd.
hehehe… begitu menurut saya. Maaf Ton… kalau ada hal yang kurang berkenan.
Gimana bisa hasil wawancara bisa dikatakan tendensius??? Kalo hasil diskusi/tulisan mungkin…yg kita diskusikan adalah hasil wawancara yg tidak di perbaiki.
Yah balik lagi dah tulisan yg sama dengan yang terdahulu….
Fakta sajalah…!!! Palsu Nipu dan Orang Sakit….kok di bela keberadaannya. Akar yg sdh di bawah tanah dan pohon masih bisa tumbuh dengan baik kok di gali gali buat lihat akar yg sdh saling terkait…emang nggak ada kerjaan lain.
@Pak Bagus…
Hehe.. siapa bilang demokrasi adalah sistem yang sangat baik, Bahkan yang melahirkan demokrasi saja mengatakan demokrasi itu sistem yang buruk, Hanya karena manusia belum mampu menemukan yang lebih baik dari demokrasi saja, maka sistem ini kemudian “dianggap baik”.
Pak Bagus… jika bapak mengatakan masyarakat itu mudah tertipu, dasarnya apa pak? Apakah bapak pernah melakukan penelitian sehingga menyimpulkan masyarakat mudah tertipu? Jika bapak tidak punya data yang valid dari penelitian, jangan pernah membuat klaim soal masyarakat mudah ditipu pak. Kalau masyarakat lain mudah tertipu, trus apa kemudian bapak akan mengatakan bapak adalah termasuk yang tidak mudah ditipu? Kalau iya, lalu yang mudah ditipu siapa pak? Berapa orang? Apakah itu bisa merepresentasikan rakyat. Jika bapak mengatakan rakyat mudah ditipu, secara tidak langsung, termasuk bapak sendiri dong yang mudah di tipu?
Hehehe, Pak Bagus mengatakan “stabil pada suatu masa jika dimungkinkan kenapa dibuat tidak stabil?” Lalu caranya membuat stabil bagaimana pak? Apakah dengan cara dipaksakan? Dengan cara otoriter? Bukankah bapak setuju dengan demokrasi? Lalu mengapa suka memaksa-maksa? Nature dari yang bersifat kultural itu adalah perubahan, bukan stabil pak. Makanya produk kultural itu disebut nuture (bentukan) sebagai lawan dari nature. Jika sifat dasar produk kultural adalah perubahan, maka hanya dengan jalan pemaksaan sajalah hal-hal yang kultural itu bisa dibuat stabil.
Bapak harus membedakan soal demokrasi dalam pengertian politik dan pengertian kultural pak. Justru demokrasi tanpa penyikapan yang bijak yang lebih banyak berupa penghakiman-penghakiman akan melahirkan apa yang disebut dengan demokrasi “Asu Gede, Menang Kerahe” yang artinya, anjing besarlah yang selalu menang dan yang kecil lemah selalu ditindas. Dalam bahasa yang lebih halus, disana akan terjadi pembungkaman terhadap minoritas oleh mayoritas. Bukankah dalam demokrasi yang dewasa, yang mayoritas itu harusnya melindungi yang minoritas?? Melindungi dengan menghargainya, bukan dengan cara ditindas-tindas dan dibungkam.
Kalau memang ada masalah dengan orang sakit Megalomania Complex, lalu masalahnya apa pak? Jika bapak mengatakan ada yang ditipu, siapa yang ditipu? Bagi yang ditipu itu apa kerugiannya? Dalam asas hukum soal kerugian dari penipuan kan harus jelas siapa dan ukuran kerugiannya apa. Jangan hanya menuding orang menipu tanpa jelas siapa yang ditipu?
Soal produk hukum yang mengatur bahwa yang mau ikut dalam proses politik harus sehat jasmani dan rohani, saya kira sudah ada kok pak? Pertanyaan pentingnya adalah apakah pemerintah tidak menerapkannya? Saya kira sudah, yakni melalui KPU. Si AW ini dulu pernah jadi calon legislative sepertinya. Lolos-lolos saja jadi caleg tuh pak. Trus yang salah siapa?.
Soal pembenaran memanfaatkan masyarakat yang koh ngomong, apa hanya AW saja yang melakukannya? Apakah tidak banyak juga pihak-pihak lain yang melakukannya? Para penyunjung feodalisme lainnya di Bali selain AW, apakah tidak sering juga membuat pembenaran-pembenarannya sendiri?? Hehehe.. lagi-lagi bapak membuat klaim soal masyarakat yang malu. Yang malu itu siapa pak? Kalaupun ada yang malu, harusnya si AW yang malu pak, kenapa harus orang lain yang malu?.
Saya kira pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk melakukan demokrasi. Ada aturan hukum soal itu. Selama pemerintah tidak disediakan aturan yang mengatur pelarangan orang-orang seperti AW (OM) ini ikut demokrasi, dasarnya pemerintah bertindak apa? Otoritarianisme?
Saya tidak mengerti soal siapa yang tidak melihat fakta. Tetapi tentu akan sangat susah untuk berdiskusi jika kita sudah membawa keinginan-keinginan untuk melakukan penghakiman. Justru kita perlu berdiskusi dengan pemikiran yang terbuka, menerima dan menghargai pembenaran-pembenaran meski itu datang dari minoritas. Semua diperlukan agar kita tidak menjadi penindas dan menjadi kekuatan pembungkam. Dalam era seperti sekarang ini, masyrakat itu tak mudah ditipu. Jangankan dengan uang 1 Milyar, uang 1 trilyun saja belum bisa menjamin dan meyakinkan orang. Mau fakta? Fauzi Bowo, calon gubernur Jakarta, punya uang banyak dan habis uang banyak untuk kampanye. Tapi Apa dia bisa mengalahkan Jokowi? Tapi apa jokowi lebbih baik dari foke? Tergantung siapa yang menilai.
Hua ha ha…kerajaan salah, kolonial salah, orde lama salah, orde baru salah, demokrasi juga salah terus yang baik apa dong? Sistem tipu2? He he he, kan sdh saya bilang baik unt masyarakat yg obyektif, kalo belum bisa obyektif ya, masyarakat harus dilindungi oleh perangkat pemerintah agar tidak milih orang sakit. Caranya, semua caleg hrs di psikotest dan tes kesehatan menyeluruh.
OM jadi caleg ya karena saat itu caleg tidak ada tes kesehatan dan psikotes…dan lagi memang nggak lolos..
Stabil ya dicapai dengan kemampuan masyarakat berfikir obyektif terhadap pilihan yang ada..mau bergolak tdk stabil atau menjaga situasi demi ke stabilan…di dapat dengan cara demokrasi yg sehat. Caranya ada wasit dan pengawas wasit yang sehat…jangan sampai wasit dan pengawas ini di susupi orang sakit..he he..
Sudahlah…jelas sekali yg terlihat dari hasil wawancara itu bagaimana dia membual…kok malah jadi keliling dunia pembahasannya…nama gelarnya aja ngabis abisin tinta ballpoin kok bisa di bilang normal? Mana yg kasih gelar juga bukan orang yg pantas memberi gelar alias tukang tipu juga….kalo ini khan jelas kasusnya.
Kalo mayoritas nipu minoritas, itu bagian dr demokrasi yg harus bisa di jaga kesehatannya oleh penyelenggara negara…misal ada saatnya apabila sudah tidak terkendali dg pembubaran legislatif demi keselamatan bangsa (represif demi yg lbh besar) dan diadakan pemilu ulang…normal saja kok…yang nggak normal itu adalah apabila ada masyarakat yg ikutan membela sesuatu yg jelas2 tidak benar..he he he
@Pak Bagus…
Hehehe… siapa yang menyalahkan apa Pak?? Aaya tidak ada menyalahkan siapa-siapa dan apa-apa. Bukankah justru Pak Bagus sendiri yang menyalah-nyalahkan orang lain?? Saya kira pada tataran soal demokrasi sebagai sebuah pilihan yang kini sedang dijalani bangsa ini, adalah realitas yang tidak bisa ditolak. Saya dan Pak Bagus sepakat soal demokrasi. Tetapi pada tataran menyebut demokrasi adalah sistem yang sangat baik, saya tidak sepaham. Juga dalam pemahaman demokrasi yang menurut Pak Bagus pemerintah harus berperan lebih besar. Pak… demokrasi itu berbasis pada masyarakat madani, bukan pada kekuasaan. Negara dalam sistem demokrasi tidak mengatur terlalu detail urusan rakyat, apalagi soal agama dan keyakinan rakyatnya. Kalaupun mau mengatur, maka harus jelas aturannya. Misalnya dalam soal persyaratan warga negara mau menjadi anggota legislatif, maka sudah ada UU nya. Kalau saja si AW sempat ikut jad caleg, maka jelaslah bahwa UU tidak melarang si AW untuk ikut. Kalau kemudian tidak jadi, bukankah itu menunjukkan rakyat cerdas Pak? Bukan seperti yang bapak katakan rakyat mudah ditipu?? Jadi tidak bijaklah kalau mengatakan rakyat itu mudah ditipu, kalau mudah ditiou si AW sudah jadi anggota legislatif dong pak… hehehe…
Masyarakat yang obyektif? hehehe… apakah ada masyrakat yang obyektif? Masyarakat itu subyektif pak. ya… namanya saja masyrakat, orangnya banyak dan pikirannya macam-macam. Lalu ukuran obyektif itu ukurannya siapa?Demokrasi itu menampung dan mengakomodasi semua pemikiran, bukan memaksakan hanya satu saja kebenaran. Jika hanya memaksakan satu kebenaran, maka itu bukan demokrasi, melainkan otoritarianisme. Demokrasi itu bukan penindasan pak tetapi saling menghargai satu dengan lainnya. Demokrasi juga sangat terbuka dengan perubahan. Saya tidak mengerti bagaimana Pak Bagus memahami demokrasi. Kalau pada pada produk2 kultural dilakukan penstabilan, maka tidak ada demokrasi dong pak?? Itu sama saja dengan menggunakan sistem monarkhi, atau otoritarianisme.
Hehehe… Kalau mengukur orang membual dari panjangnya nama gelar, berarti raja-raja dimasa lalu yang gelarnya bisa jauh lebih panjang sama juga membualnya? Ayo coba bagaimana tidak panjangnya gelar raja-raja majapahit? Raja-raja Kerajaan Airlangga juga panjang-panjang kan? Siapa yang memberi gelar panjang-panjang ketika itu terjadi di masa lalu? Kalau tidak diri raja sendiri, ya paling-paling juga para abdi kerajaannya atau para para cerdik pandai ketika itu. Tetapi siapa cerdik pandai itu, bukankah juga abdi nya para raja. Dijaman modern seperti sekarang ini, dimana sistem politiknya adalah demokrasi, apa iya ada lembaga yang berhak memberi nama gelar kebangsawanan? Kalau ada lembaga apakah itu di negeri ini yang bisa memberi nama gelar kebangsawanan dan itu menjadi satu-satunya gelar bangsawan yang harus diakui??
Wah… kalau bapak mengatakan bahwa demokrasi membolehkan mayoritas menipu minoritas…dasar pemikirannya apa pak? Maaf…janganlah punya pemikiran begitu, tidak bijak pak. Saya kira pemerintah dalam demokrasi tidak boleh membiarkan ada mayoritas yang menipu-nipu minoritas apalagi menindas-nindas minoritas. Analogi Pak Bagus soal pembubaran legislatif atau represif itu ada dalam ranah yang beda pak. Ranah politik negara dan penggunaan simbol-simbol kultural itu jelas sangat beda. Jadi kurang tepat menggunakan analogi sistem politik negara dalam memandang fenomena si AW ini.
Selain itu Dalam sistem demokrasi yang lebih matang, pemikiran bahwa lembaga-lembaga politik seperti legislatif bisa dibubarkan hanya terjadi pada terjadinya chaos. Lha apakah sekarang ini terjadi chaos? nggak lah. Apa AW pernah menggugat lembaga-lembaga yang sudah mapan? Saya kira tidak. Ia hanya asyik dengan dunianya sendiri saja kok. Jadi si AW ini kan sebenarnya fenomena biasa saja.
Tetapi yang penting untuk dilakukan adalah janganlah sampai menghakimi keyakinan atau kepercayaan sebagai sebuah bentuk membual, padahal dalam keyakinan dan kepercayaan tidak mudah menentukan sebuah kebenaran sebagai kebenaran yang tunggal.
Pak Winata, kalo nulis jangan muter2…saya hanya ngikutin pembicaraan anda. Anda bilang “Hehe.. siapa bilang demokrasi adalah sistem yang sangat baik, Bahkan yang melahirkan demokrasi saja mengatakan demokrasi itu sistem yang buruk” yah wajar lah saya nyatakan semua sistem salah menurut anda.
Untuk lolos jadi caleg saat ini hanya daftar dengan persyaratan minimal sma sementara untuk kesehatan cukup menyertakan surat sehat dan surat2 dari lingkungan, nah itu dia yang seharusnya pemerintah melalui uu lebih memperketat peraturannya.
Kalo ngomong 100% di masalah sosial ya jelas nggak mungkin…tapi masyarakat yg sdh dapat berfikir obyektif (sebagian besar) sama saja dengan masyarakat madani.
Memang si OM itu fenomena biasa siapa bilang luarbiasa? hanya saja dia mengatasnamakan Hindu, Majapahit, Kresna Kepakisan…bahkan raja Bali….itu yg luarbiasa penipuannya…atau kalo nggak nipu ya Mulut Besar nya… he he…
Ya udah kalo mau tetap ngeyel…ya hidup mulut besar deh he he he
@pak Bagus
suksma ternyata masih ada yang punya fikiran yang jernih
nike yang jarang ty lihat
kalau jago ngomong, jago nulis sih banyak
tapi kalau keJagoan nya itu dipakai untuk memutarbalikkan logika
membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar ya percuma….
Sekarang ini ada orang orang yang sepertinya menghujat masa lalu
memprotes sistem soroh yang dianggap menguntunggkan soroh tertentu
padahal mereka mereka yang asli Anak Agung atau I Gusti atau Ida Bagus
ga sesombong itu, kesombongan yang di bangun oleh WK itu mewakili
mereka mereka yang tidak suka dengan kenyataan sejarah itu. Mereka lupa kalau
mantan mantan kaum feodal itu juga banyak berkorban dan berjasa, baik untuk bali
maupun untuk republik ini, kalau kerajaan kerajaan itu tidak dengan sukarela
menyerahkan kerajaannya kepada republik dan dengan sukarela tanahnya di dum dalam land reform, bali dan indonesia nggak seperti ini
Mereka juga gak memaksa kok untuk dihormati dan di hargai
semua orang di Bali ini sekarang sudah setara, siapa saja boleh pakai upacara apa saja menjabat jadi apa saja
bahkan tumpang bade yang dianggap sakral saja sudah boleh dipakai sembarangan
nama gelar juga bukan eksklusive lagi, trus apa sih yang mereka protes lagi?????
yang sibuk ribut masalah kasta justru bukan dari mantan keluarga feodal iru
tapi dari orang orang yang gak jelas sebenarnya keinginannya apa?
mungkin mereka hanya frustasi,
Lah yang memprotes wedakarna bukan hanya dari golongan puri saja kok
(yang dalam diskusi ini disebut mayoritas????)
semua yang berfikir sehat juga pasti melakukan hal yang sama
baik dia i gusti, iwayan ida bagus atau pasek
karena sederhana saja
sudah jelas jelas bohong kok di bela
malah dianggap biasa, ………
ini bukan masalah biasa, ini masalah prinsip masalah kejujuran
Kalau jaman dulu Raja Raja namanya panjang ya pantes
karena kekuasaannya besar dan rakyatnya banyak
dan mewakili negara, dan berlaku secara sekala dan niskala
lah ini namanya panjang, warisan dadongnya apa?
kalau orang gila di rumah sakit ngaku raja ya ga apa apa
tapi kalau orang yang ngaku waras, trus ngaku2 sebagai raja
dan mendaftarkan dirinya di sebuah partai politik untuk menjadi bakal calon Wagub
mempunyai dana 1 miliar setahun untuk propaganda, dengan agenda politik untuk mewakili Bali…….??? dan Indonesia???? dan Hindu?????
ya BERBAHAYA!!!!!!!!!
aduuuhhh semeton ty sareng sami sadarr sadarrrr, saya tau anda pinter tapi
ya pergunakan untuk hal hal yang lebih bermanfaat
suksma
saya sedikit tergelitik untuk memberikan komentar disini. saya pribadi pernah bertemu dengan Arya Weda. Waktu itu sewaktu saya (beserta pacar, jadi jng anggap saya gay haha) memberikan pelatihan tukang cukur untuk masyarakat BALI. Saya sendiri seorang perantauan, 8 tahun hidup dijakarta, dan jarang update tentang berita dibali, waktu arya weda datang pun saya tidak mengerti dia itu siapa, entah apa status nya. tapi yang saya lihat, paling tidak dia peduli tentang apa yang saya lakukan.
FYI, idealisme saya waktu itu adalah menciptakan suatu balinese barbershop, yang mana barbershop / cukur dibali sudah sangat di dominasi bukan oleh masyarakat bali. tapi sayang nya idealisme saya itu hanya idealisme saja, karena memang karakter orang bali sangat tidak cocok untuk bekerja seperti ini. buat yang pengen tau cerita nya lebih lengkap bisa hubungi saya. cerita nya bahkan melebar sampai ke perseteruan antara bali post & gubernur bali.
setelah barbershop saya buka, dia juga menyempatkan diri untuk datang, dia pun menyemangati saya karena saya tidak dapat memenuhi idealisme saya tersebut.
kemudian beberapa waktu setelah barbershop saya buka, saya sendiri sempat diundang ke Badan Punia nya. dan mereka ingin membeli franchise usaha saya. waktu itu saya kebetulan tidak terlalu ingin membuat franchise, tapi saya masih ingin menjalankan idealisme saya yang terdahulu. jadi mungkin agak bersebrangan tujuan.
dia juga mengundang saya kepernikahan adik nya di istana Gianyar nya tersebut (walaupun saya melihat itu terlalu berlebihan, well itu urusan dia). Selain itu dia juga membrodcast sms tentang tender untuk di bandara.
dia juga menawarkan suatu posisi (ketua) kepada pacar saya dalam kegiatan fashion show. kebetulan pacar saya sempat mejuarai lomba skala nasional untuk instruktur Rias Bali. (http://riasbali.com/tentang-ratna)
btw saya bukan siapa2. Bapak saya juga cuman sekedar pegawai hotel biasa. tapi dia mau berbagai tentang peluang yang ada dibali. terutama pada masyarakat bali.
Bagi saya, arya weda itu sama saja seperti orang biasa. saya pribadi waktu ngobrol sama dia, dia cukup low profile. pandangan saya, entah apa udang dibalik batu nya, tapi saya melihat dia sangat ingin mengembangkan bali, terutama masyarakat bali. bukankah itu yang penting? telepas dari kelakuan nyeleneh nya ataupun kontroversi yang dia lakukan, pemberitaan seperti iklan yang menjadi berita, twitter kontroversi dan lain lain. tapi dia melakukan hal nyata.
btw saya bukan orang bayaran arya weda, tidak ada hubungan saudara, atau apapun yang menyebabkan saya mendapatkan keuntungan dalam menulis tulisan ini. tulisan saya disini bukan bermaksud membela dia, tapi saya melihat pribadi arya weda dari pandangan yang berbeda dari tulisan diatas. mungkin sebagai balancing saja. biar ada suatu pembanding dari tulisan diatas.
kalau menurut saya pribadi, tulisan diatas tersebut terlalu tendensius mengarahkan pembaca. saya mengikuti tulisan penulis, memang tendency nya seperti itu. btw saya inget kata – kata ini :
Suksma 🙂
Apapun Pendapat Orang Tentang Arya WK..dia merupakan pemuda berani..yang diperlukan pemuda Bali yang selama ini hanya dipandang sekaleng kerupuk anginan oleh pemuda dari daerah lain..(ini pengalaman saya yang telah berdomisili diluar Bali selama puluhan tahun)..semua pemuda Bali harus berani seperti dia..masalah AWK menyebutkan dirinya Raja Bali juga tidak masalah, walau ahli psikiater menyebut dia megalo complex.Setiap pemuda Bali harus punya cita-cita tinggi..itu yang paling penting
Saya juga pernah ketemu dg Wk di bandara….sekitar thn 2008/9…maaf ya, saya lihat beliau bersama Jupiter (artis sinetron) mesra banget (peluk peluk dan kis kis) hi..hi..geli banget lihatnya.
Kalo saya sih memandang beliau sebagai tokoh muda yg sangat ambisius tapi lebih banyak membualnya.
Cita cita boleh sih setinggi langit…tapi jangan ke bablasen….
Saya sampai saat ini msh tinggal di Jakarta, malah sibuk jawab pertanyaan dr sejawat sehubungan Wk ini…kalo boleh jangan Dech bawa2 nama Bali atau Hindu dg cara begini, nggak masuk akal sih soalnya, kami malu banget.
Matur Suksema
Rhoma Irama juga berani tuh, sama dong dengan AW. Raja Majapahit Bali = Raja Dangdut 🙂
Pak Bagus…
MakanyaPak, sebaiknya bapak baca secara utuh koment dan tulisan saya, jangan sepotong-sepotong. Saya mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang buruk tetapi manusia belum mampu menemukan yang lebih baik, jadi kemudian demokrasi “dianggap” paling baik. Jadi beda menurut Pak Bagus yang menyebut demokrasi sebagai sistem yang sangat baik, Mana ada kata-kata yang menyalah-nyalahkan pak? Nggak adalah… itu kan cuma interpretasinya pak Bagus saja.
Saya tidak muter-muter kok. Justru Pak Bagus yang sering bertolak belakang, Katanya mau demokratis tetapi ingin memaksakan menstabilkan sesuatu yang secarawatak aslinya tidaklah mungkin untuk stabil. Bapak mengusulkan sesuatu yang bersifat represif pada soal tatanan sosial masyrakat secara kultural yang dianggap bisa stabil. Bapak mengatakan, “kalau bisa distabilkan, mengapa tidak di stabilkan?”. Bagaimana bisa demokrasi memaksakan kehendak?
Selama belum ada aturan yang mengatur soal persyaratan yang lebih ketat, tentu tak ada yang bisa melarang siapapun untuk mencalonkan diri menggunakan hak-hak politiknya kan?
Kalau bapak mengklaim dengan pernytaaan sebagaian besar sudah berpikir obyektif, indikasinya apa pak? Obyektifnya menurut siapa? Menurut Mayoritas lagi? Sementara minoritas akan langsung di cap tidak obyektif?. Masyrakat madani, adalah masyrakat yang mampu berperan lebih besar dalam memutuskan apa yang harus mereka jalani. Tidak ada kekuasaan yang terlalu mengatur setiap detail kehidupan mereka. APa yang ada di ranah-ranah kultural, adalah hak dari masyrakat untuk menentukan apa yang terbaik buat mereka. Dengan berhenti menganggap masyrakat mudah ditipu dibodohi, maka masyrakat madani akan tercipta. Selama masih menganggap masyrakat sebagai yang mudah ditipu, mudah dibodohi, maka selama itulah kekuasaan otoriter akan hidup.
Ketika berani mengatakan bahwa pengguna simbol-simbol kultural adalah pembual dan mulut besar, maka hampir semuanya akan dimasukkan sebagai pembual dan mulut besar. Ingat, bahwa tidak ada satu-satunya kebenaran dalam soal penggunaan simbol-simbol kultural. Selalu ada banyak kebenaran-kebenaran yang memiliki pembenarannya masing-masing. Yang diperlukan adalah, janganlah dengan mudah menuding-nuding menghakimi.
Saya hanya ingin mengajak kita saling menghargai perbedaan pemikiran, bukan saling menghakimi. Apalagi dengan mengatakan pandangan diri sendiri sebagai yang paling benar dan yang lain dicap pembual, penipu, bermulut besar, dll. Itu hanyalah menunjukkan betapa kita tidak bisa bersikap dewasa dan bijaksana.
Ingatlah ketika kita menuding orang lain omong besar dan pembual, maka ada empat jari tangan kita yang menuding kearah diri kita. Lalu siapakah yang sebenarnya ngeyel, omong besar dan pembual??
Wah Pak Winata mulai bahas masalah menghargai perbedaan pemikiran nih….nah kalo menghargai itu dua pihak pak…nah pemikiran saya pun seperti ini, nah saudara bisa terima nggak?
Mulut besar, definisi sederhananya adalah berbicara berlebihan atau dari yang dilakukannya….nah yang mana salah saya? contohnya…ya baca aja fakta2 yg dia ungkap sendiri di hasil wawancara itu di atas.
Sama saja dengan menuding seseorang mulut besar plus sakit jiwa adalah layak mempunyai hak politik yang sama, maka ada empat jari tangan saudara yang menuding kearah anda sendiri.
Saya tidak pernah klaim sebagian besar obyektif kok…anda kalo membaca komentar saya jangan setengah setengah juga….seandainya sebagian besar masyarakat obyektif…baru bisa demokrasi berjalan dengan baik, kalau belum perlulah pengawasan….apapun itu wasit dan penyelenggara harus ada dalam setiap pertandingan/ber negara.
Masyarakat tidak mudah ditipu betul pak….tapi ada sebagian juga yang mudah tertipu dan yang mudah tertipu ini dapat menjadi agen penyebar penipuan dengan motif berbeda (kesempatan berpolitik, kesempatan mengangkat harkat dll)…sehingga tergabunglah penipuan dengan motif2 angkara…selanjutnya mengikuti lagi motif2 lainnya…yang paling bahaya motif ekonomi…
Begitu pak…Hidup Ngeyel Lah
@Pak Panji Astika
Saya akan menanggapi beberapa koment Bapak…
Yang perlu dicermati bukanlah yang jago ngomong atau jago nulis, melainkan yang sering menghakimi dan menjustifikasi, terlebih lagi tidak ada dasar yang cukup kuat sebagai dasar penghakiman. Kita mestinya bersikap dan berfikir secara fair dan memandang dengan lebih luas setiap persoalan. Menerima pemikiran darimanapun datangnya dengan terbuka dan dengan segala kerendahan hati. Saya kira kerjernihan hanya ada di kelapangan pikiran dan kerendahan hati, bukan pada penghakiman tanpa ada dasar-dasar kebenaran yang absolute. Jika kita berpikir berdasarkan suka dan tidak suka, ketika itulah logika-logika kita akan terbalik-balik bukan?
Tidak ada yang menghujat masa lalu atau masa sekarang dan masa depan. Tetapi yang ada adalah bagaimana kita bisa secara lebih terbuka mengakui setiap kebenaran-kebenaran yang datangnya dari sisi-sisi yang berbeda dengan kebenaran yang kita yakini. Selama itu dijalankan tanpa adanya pemaksaan, maka setiap kebenaran adalah kebenaran, meski itu hanya diyakini oleh minoritas. Kebenaran minoritas tidak bisa dikatakan sebagai bukan kebenaran oleh mayoritas. Saya kira tak pernah ada penghujatan terhadap siapapun dalam diskusi kita ini. Saya tidak tau kalau kemudian penyebutan penip, pembual dan mulut besar apakah termasuk penghujatan atau tidak. Tetapi kita tau kan siapa yang mengeluarkan kata-kata seperti itu? Lalu siapa yang menghujat siapa?
Saya juga tida mengerti soal siapa yang protes dan siapa yang memaksa untuk dihormati. Saya sepakat kita sekarang ini sudah setara. Penggunaan simbol-simbol kultural adalah hak setiap orang. Tergantung apa yang mereka yakini. Toh kalaupun ada “dosa” ketika salah menggunakan simbol-simbol kultural itu yang menanggung dosanya adalah pelakunya sendiri. Kalaupun ada yang mau rebut-ribut mengkastakan diri mereka sendiri, ya itu urusan mereka lah. Dan fenomena mengaku-ngaku bangsawan juga bukan hal yang baru. Dari dulu juga sudah terjadi. Dan itu hal yang biasa-biasa saja kok?
Masalah prinsip, masalah kejujuran? Kejujuran menurut ukuran siapa? Siapa yang menentukan seseorang itu jujur? Bukankah hanya dirinya sendiri yang tau pasti apakah dia jujur atau tidak jujur? Apalagi dalam soal penggunaan simbol-simbol kultural, Siapa yang bohong, siapa yang jujur? JIka kita mau menelaah lebih dalam, simbol kultural itu kan sesungguhnya dibangun dari mitos-mitos dari kebohongan-kebohongan. Hanya karena begitu seringnya kebohongan-kebohongan itu di ungkapkan, maka ia akan menjadi kebenaran-kebenaran menurut versi masing-masing tentunya.
Kalau mau menyoal soal kejujuran, apakah kita semua ini juga selalu jujur? Sudah benar-benar mentahui mana yang jujur mana yang bohong dengan begitu pastinya? Bukankah setiap kebenaran memiliki versinya masing-masing. Yang diperlukan adalah bagaimana kita menghormati dan menghargai kebenaran-kebenaran itu, selama tidak memberi dampak kerugian yang jelas bagi orang lain, masalahnya apa?
Siapa yang benar-benar bisa memastikan bahwa raja-raja dimasa lalu dengan nama panjang memiliki kekuasan yang luas dan rakyatnya banyak? Tahukah bahwa sebenarny imperium majapahit saja masih ada yang meragukan kebenarannya? Bukankah penyebutan soal kekuasaan yang luar biasa raja-raja jaman lalu hanya berdasarkan atas interpretaso-interpretasi atas sejumlah artefak yang masih tersisa dan dibuat oleh yang berkuasa. Ingatlah bahwa sejarah itu disusun dari cerita-cerita (story) dan yang membangun cerita adalah si pemilik cerita (yang berkuasa). Yang perlu kita pahami bahwa kekuasaan politik dan simbol kultural itu berada dalam ranah yang beda. Soal darimana nama gelar panjangnya itu, itu urusan dialah, urusannya buat kita yang tidak ada hubungannya apa? Dia mau membuat nama panjang sepanjang-panjangnya, itu haknya dialah. Apak kemudian setiap yang punya nama panjang bisa disebut pembual, penipu? Kalau mau menyebutnya membual dan menipu dasarnya dari mana?
Hahaha… berbahaya darimana?? Selama ini, hal berbahaya apa yang pernah dilakukan si AW? APa bawa bom trus meledakkan tempat-tempat dimana ada banyak orang? Tidak ada seorangpun bisa disebut berbahaya hanya karena pikiran-pikirannya. Karena kejahatan itu hanya bisa disebut kejahatan ketika berupa tindakan yang dapat merugikan orang lain. Dan kalaupun ada orang lain yang merasa dirugikan, diajukan saja ke pihak berwajib. Jangan kemudian dihakimi pikiran-pikirannya, di cemooh dan ditertawakan. Betapa tidak bijaknya kita jika sampai menghakimi pemikiran-pemikiran orang lain sebagai hal yang berbahaya.
Ada baiknya kita pergunakan kejernihan pikiran dan hati nurani kita untuk tidak melakukan penghakiman-penghakiman, justifikasi diri sebagai pemilik kebenaran paling benar sementara yang lain adalah penipu dan pembual. Kepintaran dan energy yang dimiliki baiknya digunakan untuk mengmebangkan sikap saling menghargai perbedaan pemikiran, sekalipun pemikiran itu berseberangan. Itu jauh lebih bermafaat.
suksma
@dek tik, Jupiter itu artis cewek apa cowok ya?kalau cewek ya brarti WK mnormal kalau cowok ya brarti dia Gay,
Tapi ga salah sih, mau normal mau Gay ya itu urusannya dia
heheheeh
Cukup menarik. Komentar2nya berkelanjutan kayak banjir di jakarta. Ironis, tapi lumayan buat referensi dan relasi!
@Panji Astika : Untuk Jupiter cari sajalah sendiri profilenya di internet…kalo cewek geli ngelihatnya ya tau sendirilah…
@Winata : Bli, saya sih maunya identitas orang Bali itu adalah orang yg santun dan berwawasan…bukan yang kayak Aw, norak banget gitu loh. Kalo bahaya, yah mungkin relatif..bagi yang concern ama Bali, umumnya sih (sori saya taunya di kalangan tempat saya kerja) punya pendapat bahaya, karena dianggap punya semeton Bali tapi kok kaya gitu, kredibilitas kami sebagai orang bali di luar Bali jadi turun hi hi..Bli, sebenarnya termasuk penipuan nggak sih, kalo identitas di rubah2 gitu yah? saya sempat denger dari temen, nama di KTP namanya hanya arya wedakarna..tanpa embel2 lainnya…trus untuk dana punia hindu, kok yang berwenang kok nggak pernah audit yayasan tsb (mungkin saya nggak tau pasti sih), takut aja sih..nanti duit dipake promosi dirinya ntar…
@Dek Tik ;
Stigmagtisasi itu berkecendrungan pada pembentukan pandangan yang negatif. Soal gay, lesbian, homoseksual, biseksual sampai dengan urusan transgender melalui stigmatisasi selama ini lebih mengarah pada dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia). Apakah orang laki-laki yang berhubungan hanya dengan perempuan adalah yang normal, sementara yang lain adalah tidak normal? Siapa yang menentukan soal normal tidak normal tersebut? Pastilah akan disebutkan bahwa pandangan kelompok mayoritaslah yang normal. Pertanyaann kemudian adalah apakah ketika pilihan dari masing-masing manusia berbeda dari mayoritas lalu langsung dianggap tidak “normal”. Jika tidak “normal” lalu apakah mereka bisa dikatagorikan bukan manusia? Saya kira kita pasti sepakat, entah gay, entah lesbian, transgender atau apapun itu, mereka tetap manusia kan? Jadi marilah kita belajar untuk memanusiakan manusia. Jangan sekalipun pernah merendahkan manusia hanya karena urusan perbedaan pilihan pemenuhan kebutuhan seksualnya.
Siapa yang menentukan bahwa orang Bali itu harus santun dan berwawasan? Apakah benar orang Bali semuanya seperti itu? Apa ukuran soal kesantunan dan berawasawan?. APakah ketika, si AW memprotes penggunaan simbol2 dewa wisnu dalam album kaset dan penggunaan aksara OM dalam sampul novel adalh wujud ketidaksopanan dan ketidakberwawasannya si AW? Ketika seseorang meyakini makna sebuah simbol dan dia menganggap itu sebagai bentuk yang dapat mengurangi makna, maka itu adalah persepsi yang dibentuk dari keyakinan-keyakinannya. Apakah itu salah? dalam soal keyakinan, saya kira setiap orang memiliki perbedaan pandangan-pandangan. Perbedaan adalah hal yang wajar dan biasa. Tidak hanya di pandangan orang Bali dan Hindu saja yang berbeda-beda. Hampir disetiap suku, agama dan ras yang sama, bisa terjadi perbedaan pandangan soal keyakinan. Lalu apakah perbedaan pandangan kemudian dapat dianggap sebagai sebuah bentuk keterbatasan wawasan seseorang?
Kita masih beruntung, misalnya karena dari banyak penjahat (pelaku kriminal) di negeri ini hanya sedikit orang Balinya. Tetapi Ini bukan berarti orang Bali itu baik-baik semua, melainkan karena orang Bali memang sedikit jumlahnya. Siapa saja manusia, ia punya potensi untuk menjadi baik, menjadi tidak baik. Jadi… orang baik, sopan dan berwawasan itu bukan menjadi hak ekslusif dari suku dan agama terentu saja.
Saya sepakat dalam soal berbahaya sangatlah relatif. Tetapi Mana yang lebih berbahaya memiliki saudara seagama yang memiliki keyakinan menegakkan keyakinannya dengan jalan kekerasan, melakukan tindakan kriminal bahkan tak segan-segan mengebom dan membunuh. Ini baru norak, membahayakan dan memalukan bukan?? Selama tidak melakukan tindakan kriminal, saya kira orang boleh-boleh saja berpikiran apapun. Hanya ketika ia bertindak melanggar aturan hukum negara dan hukum-hukum universal kemanusiaan, barulah perangkat hukum negara akan menindaknya.
Tetapi kalau kita mau bicara orang sombong, orang norak, orang angkuh dari bagaimana ia berwacana dan beretorika, saya kira ada banyak kok. Dan semua itu hal yang manusiawi dan biasa-biasa saja kan? Namanya juga manusia. Penilaiannyapun akan tergantung dari siapa yang menilai siapa. Tentu akan ada banyak penilaian atas satu orang. Silahkan saja berbeda dalam penilaian, hanya saja saya selalu mengharap, jangan terlalu mudah menghakimi, memberi stigma-stigma negatif pada seseorang. Apalagi sampai kita melakukan dehumanisasi, mendeskreditkan seseorang. Marilah kita mengembangkan sikap saling menghargai menghormati perbedaan keyakinan masing-masing.
@winata: bli, saya jadi takut deh komentar atau tanya kalo njawabnya kaya orang sensi gitu..jadi bener ya si Wk gay? Kalo saya sih nggak merasa nggak humanis..malah temen2 saya banyak kok yg gay, but mereka declare about that…tidak perlu ditutupi, seakan takut dihakimi oleh masyarakat. Saya malah gaul kok sm mereka, tapi kalo lihat bermesraan saya emang masih agak geli sih..maklum klo saya msh doyan cowok.
Trus trus mengenai nama ktp dan dana punia itu gimana? Itukan berhubungan dg hukum formal? Ada yang kira2 tau nggak sih?
@Dek Tik :
Hehehe…apakah si AW ini gay atau tidak, maaf, saya tidak tau.Hanya saja saya agak risih ketika dalam diskusi ini, ranah-ranah privat seseorang diungkit-ungkit sebagai upaya stigmatisasi.
Tetapi…di declare atau tidak, soal gay, heteroseksual, biseksual atau apapun pilihan seseorang dalam soal seksualitas, saya pikir jauh lebih penting adalah bagaimana sikap saling menghargai itu dijunjung tinggi. Dan janganlah dengan mudah melakukan stigmatisasi. Menyerang wilayah-wilayah privat seseorang untuk menjustifikasi baik atau jahat orang tersebut sungguh tindakan yang menurut saya tidak bijak. Adalah hak si AW juga mau sembunyi-sembunyi atau terbuka soal apakah dia gay, biseksual atau heteroseksual. Ingat… itu wilayah privat yang jauh lebih bijak jika kita tidak mendasarkan penilaian jahat atau baik prilaku seseorang dari faktor tersebut.
Dalam soal dugaan pelanggaraan hukum penipuan dalam badan dana punia atau pelanggaran administrasi kependudukan, jika memang terjadi pelanggaran, harusnya segera ada yang melaporkan. Saya sepakat jika si AW dilaporkan ke aparat penegak hukum dalam dugaan-dugaan pelanggaran hukum positif negara. Jadi jelas apa bentuk pelanggaran hukum yang dilakukannya. Tapi janganlah kita membullying seseorang berdasarkan atas pelanggaran kebenaran-kebenaran yang absurd. Menyebutnya penipu dan pembual dalam ranah-ranah penggunaan simbol kultural akan bersifat sangat tendensius dan sulit menemukan argumentasi pembenarannya. Adalah hak dia mengaku-aku raja, selama ia tidak memaksa siapapun untuk menjadi “panjak” nya atau merebut paksa dengan kekerasan kekuasaan puri yang sudah ada.
Trimakasih pak winata
saya jadi belajar untuk melakukan pembelaan terhadap sesuatu sikap…..
kalau seandainya saya simpati sama robot gedek, syeh puji dan aceng fikri akan saya tulis seperti tulisan pak winata :
“Stigmagtisasi itu berkecendrungan pada pembentukan pandangan yang negatif. Soal “Robot gedek yang doyan anak laki laki, syech puji yg mengawini anak dibawah umur dan aceng fikri yang bupati mengawini wanita hanya sehari” melalui stigmatisasi selama ini lebih mengarah pada dehumanisasi (tidak memanusiakan manusia). Apakah orang laki-laki yang berhubungan hanya dengan perempuan dewasa saja adalah yang normal, sementara yang lain adalah tidak normal? Siapa yang menentukan soal normal tidak normal tersebut? Pastilah akan disebutkan bahwa pandangan kelompok mayoritaslah yang normal. Pertanyaann kemudian adalah apakah ketika pilihan dari masing-masing manusia berbeda dari mayoritas lalu langsung dianggap tidak “normal”. Jika tidak “normal” lalu apakah mereka bisa dikatagorikan bukan manusia? Saya kira kita pasti sepakat, “entah necro filia, pedofilia” atau apapun itu, mereka tetap manusia kan? Jadi marilah kita belajar untuk memanusiakan manusia. Jangan sekalipun pernah merendahkan manusia hanya karena urusan perbedaan pilihan pemenuhan kebutuhan seksualnya.
heheheheehehe
benar kata pepatah, jika kita membenci seseorang kebenaran apapun yang dilakukannya pasti salah dimata kita
demikian juga sebaliknya
jika kita mencintai seseorang, kesalahan apapun yang dia buat, pasti akan terlihat benar di mata kita, dan akan kita bela sengeyel ngeyelnya
suksma
@Winata : Nah kalo jawabnya gini kan enak..jangan kaya orang sensi he he..
Tapi bli kalo menurut saya nih, seandainya si Wk memang ingin menjadi pejabat publik dia harus jujur, itu penting. Agar tidak mengelabui publik yg akan memperhatikan dia. Maaf, seperti yg dikatakan oleh bapak Bagus di atas ada benernya loh…agar masyarakat tidak menjadi agen penyebar ketidak jujuran dg berbagai latar motif..nah jadi deh kerusakannya.
Nah, kalo masyarakat disuruh ngelapor..wah emang nggak punya kerjaan ya kita2, ngurusin gituan? Tapi kita (saya dan temen2) emang sibuk nangkis omongan raja elu orgil ya he he he (sori, but this is true)..enak aje raja dari kebon kaleee. Seharusnya ini bukan delik aduan tapi delik aduan pemerintah sebagai pengayom/pengawas unt mengaudit yayasan (kejaksaan) dan sehub identitas ktp (capil, kejaksaan dan pengadilan negeri).
Ini penting Bli…mudah2an pemerintah mendengar/membaca diskusi ini. Sebelum tambah amburadul. Pak Jaksa..Pak Hakim..Pak Wali..buruan di beresin dong.
Wow bang anton bikin tulisan yg panjang isi dan komentarnya…
baca hasil wawancaranya jadi ngantuk, ora ngerti blas… untung wawancaranya tidak ditulis kolom koran, bisa banyak bayar nih….
Tapi kadang perlu juga tokoh alternatif seperti ini yg aneh2, jadi bisa lebih menarik… :p
untuk tulisan di koran yg ada ceremonialnya sih gak papa, anggap aja iklan…
iklan khan memang 70% dibuat untuk membohongi pembaca… mana ada Minum Obat batuk langsung sembuh batuknya saat itu juga..
khan katanya banyak tokoh bilang, orang Bali sudah cerdas dan pinter2, berarti sudah pinter juga menanggapi pak AW ini….
ayo dukung AW-AN untuk 2018 …. PAS untuk Bali … heheheheh…
@Dek Tik :
Hehehe… saya tidak pernah sensi dengan urusan seperti ini. Saya hanya agak tidak habis pikir jika masih saja ada orang-orang yang suka menjustifikasi prilaku orang lain. Apalagi sampai menempatkan kelompok tertentu sebagai sub ordinasi dari kelompok-kelompok dominan. Sudah cukuplah kita menempatkan homoseksual atau gay sebagai subordinat. Mereka adalah manusia, sama dengan kita-kita juga.
Soal mengaku raja. Itu kan hak nya dialah. Urusannya dengan kita-kita ini apa? sama saja dengan siapapun yang mengaku diri bangsawan dimasa sekarang ini bukan? Paling-paling kita cuma perlu “mebahasa alus”, itupun kalaupun kita mau. Kalau nggak juga tidak apa-apa. Jadi hubungan dalam ranah-ranah kultural itu sebagian besar adalah karena asas kemanfaatan dan Ini soal keyakinan belaka. Jika saya merasa saya harus hormat dengan seorang pemangku, atau brahmana, itu karena saya yakin ybs adalah orang yang patut dihormati. Jika tidak, ya buat apa tha? kalaupun saya tidak hormat kepada seorang yang mengaku raja karena saya tidak yakin ia adalah seorang raja dan tidak punya kekuatan apapun untuk memaksa saya hormat kepadanya, memangnya si raja mau apa? Ingat ini sudah jaman republik modern.
Soal si AW mau menjadi pejabat publik, saya sudah mengatakan bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur apa saja syarat menjadi pejabat publik. Apakah mengaku menjadi seorang raja adalah penipuan? Dasar tuduhan penipuannya apa? Kalau dia mengaku gubernur, ya jelas ada penipuan karena memang tidak pernah mendapatkan SK menjadi gubernur kok ngaku gubernur? Tetapi apakah ada SK pengangkatan jadi raja majapahit Bali? ya memang tidak pernah ada, jadi karena tidak ada, tentu siapa saja bisa mengaku sebagai raja bukan? Urusannya kembali kepada apakah raja ini akan diakui tidak oleh masyarakat. Kalau tidak diakui, ya ia akan hilang dengan sendirinya. Pemerintah urusannya apa dalam hal-hal seperti ini?.
Saya justru melihat karena dugaan pelanggaran hukum yang mungkin saja dilakukan oleh AW adalah bukan delik aduan tetapi hingga kini ternyata tidak ada tindakan hukum dari aparat terkait, berarti tidak ada persoalan dari kacamata hukum positif negara. Jadi jangan mengada-adakan. Kalau memang ada, ya silahkan di usut. Jadi hukum itu ditegakkan bukan atas dasar perasaan-perasaan tetapi harus jelas pelanggarannya apa? Kalau si AW pelanggaran hukumnya apa?
@Dek Tik :
Hehehe… saya tidak pernah sensi dengan urusan seperti ini. Saya hanya agak tidak habis pikir jika masih saja ada orang-orang yang suka menjustifikasi prilaku orang lain. Apalagi sampai menempatkan kelompok tertentu sebagai sub ordinasi dari kelompok-kelompok dominan. Sudah cukuplah kita menempatkan homoseksual atau gay sebagai subordinat. Mereka adalah manusia, sama dengan kita-kita juga.
Soal mengaku raja. Itu kan hak nya dialah. Urusannya dengan kita-kita ini apa? sama saja dengan siapapun yang mengaku diri bangsawan dimasa sekarang ini bukan? Paling-paling kita cuma perlu “mebahasa alus”, itupun kalaupun kita mau. Kalau nggak juga tidak apa-apa. Jadi hubungan dalam ranah-ranah kultural itu sebagian besar adalah karena asas kemanfaatan dan Ini soal keyakinan belaka. Jika saya merasa saya harus hormat dengan seorang pemangku, atau brahmana, itu karena saya yakin ybs adalah orang yang patut dihormati. Jika tidak, ya buat apa tha? kalaupun saya tidak hormat kepada seorang yang mengaku raja karena saya tidak yakin ia adalah seorang raja dan tidak punya kekuatan apapun untuk memaksa saya hormat kepadanya, memangnya si raja mau apa? Ingat ini sudah jaman republik modern.
Soal si AW mau menjadi pejabat publik, saya sudah mengatakan bahwa sudah ada undang-undang yang mengatur apa saja syarat menjadi pejabat publik. Apakah mengaku menjadi seorang raja adalah penipuan? Dasar tuduhan penipuannya apa? Kalau dia mengaku gubernur, ya jelas ada penipuan karena memang tidak pernah mendapatkan SK menjadi gubernur kok ngaku gubernur? Tetapi apakah ada SK pengangkatan jadi raja majapahit Bali? ya memang tidak pernah ada, jadi karena tidak ada, tentu siapa saja bisa mengaku sebagai raja bukan? Urusannya kembali kepada apakah raja ini akan diakui tidak oleh masyarakat. Kalau tidak diakui, ya ia akan hilang dengan sendirinya. Pemerintah urusannya apa dalam hal-hal seperti ini?.
Saya justru melihat karena dugaan pelanggaran hukum yang mungkin saja dilakukan oleh AW adalah bukan delik aduan tetapi hingga kini ternyata tidak ada tindakan hukum dari aparat terkait, berarti tidak ada persoalan dari kacamata hukum positif negara. Jadi jangan mengada-adakan. Kalau memang ada, ya silahkan di usut. Jadi hukum itu ditegakkan bukan atas dasar perasaan-perasaan tetapi harus jelas pelanggarannya apa.
@Panji Astika yang baik hati…:
Hehehe….ada baiknya saya menjelaskan dulu posisi saya dalam diskusi ini. Saya tidak sedang berusaha membela siapapun. Saya hanya sedang berusaha mengajak kita berpikir secara fair dan jernih tidak diliputi prasangka-pransangka atau kecurigaan-kecurigaan. Saya mengajak kita tidak mudah ikut dalam suasana tendensius apalagi sampai menuding orang lain membual atau penipu tanpa landasan kebenaran yang jelas.
Jadi soal stigmatisasi, tentu kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan stigmatisasi. Upaya Panji Astika menggunakan kalimat-kalimat saya soal stigmatisasi dengan keberadaan seorang Aceng, Robot Gedek atau Syech Puji sungguh menjadi tidak tepat, karena sepertinya apa itu defenisi dari stigmatisasi belum dipahami dengan baik.
Jadi begini… Stigmatisasi itu adalah pemberian stigma, atau cap bisa negative, bisa positif kepada sekelompok orang hanya berdasarkan dari penilaian atas salah satu anggota kelompok tersebut. Stigmatisasi muncul dari kelompok mayoritas atau kelompok yang berkuasa terhadap minoritas atau yang ditindas. Bisa juga sebaliknya. Umumnya (meski tidak selalu) stigmatisasi dari mayoritas ke minoritas (atau sebaliknya) banyak yang bersifat negative (buruk).
Misalnya ada seorang gay yang menjadi jagal membunuh sampai memutilasi (contoh si Ryan), lalu berdasarkan hal ini, semua gay kemudian di stigma memiliki prilaku yang sama. Padahal jelas ini adalah pandangan yang sangat keliru. Tidak semua gay adalah penjagal seperti Ryan. Dan belum tentu orang yang bukan gay, tidak bisa menjadi seperti Ryan (penjagal). Untuk setiap tindakan kejahatan, semua manusia memiliki potensi yang sama entah dia gay, homoseksual (berhhubunngan sesama jenis kelamin) atau heteroseksual (berhubungan dengan berbeda jenis kelamin)
Ketika seorang pedhofilia, necrofilia atau pelaku penyimpangan seksual lainnya melakukan tindakan yang jelas-jelas melanggar hukum negara (KUHP, UU Perlindungan Anak, dll), maka mereka akan dihukum karena pelanggarannya tersebut. Bukan karena penyimpangan seksual yang dimilikinya. Jadi yang jahat adalah pelaku (yang membuat tindakan). Jika ada pengidap necrofilia, pedhopilia dan penyimpangan seksual lainnya yang tidak melakukan perbuatan apapun terhadap orang lain yang merugikan, apakah kemudian orang tersebut dianggap melanggar hukum dan langsung bisa dicap (distigma) sebagai penjahat? Bahkan sekalipun mereka adalah penjahat, lalu apakah mereka bukan manusia lagi? Banyak penjahat yang tetap menjadi penjahat karena mereka dianggap bukan manusia lagi (di dehumanisasi terus menerus). Tetapi banyak penjahat yang berubah karena tetap dimanusiakan.
Orang-orang yang bernama Robot Gedek, Aceng atau Syech Puji adalah pelanggar hukum. Mereka ditindak secara hukum karena melanggar hukum yang memang sudah jelas diatur dan karena perbuatan mereka merugikan orang lain. Jadi jelas pelanggarannya dan jelas siapa yang dirugikan. Kalaupun kemudian si Robot Gedek, Aceng atau Syech Puji misalnya tidak pernah melakukan tindakan pelanggaran hukum dan tidak ada yang dirugikan, bukankah tidak ada masalah apapun?
Akhirnya saya bisa reply juga….. hehehehe
belakangan saya ga ngerti kok ga bisa akses ke diskusi ini ya?
@Winata yang pinter
saya sudah menyangka dengan jawaban anda seperti itu hehehee
anda selalu berkata “menurut siapa” “mayoritas” dll
kalau berbicara benar dan salah pasti dari sudut pndang masing masing
sehingga memang benar kebenaran adalah relatif….bukan absolut
masalah WK ini memang masalah abu abu, seperti masalah rokok,
hanya masalah waktu apakah akan masuk di ranah hukum atau tidak
tergantung manusia manusia yang berkuasa dan yang punya kepentingan
contohlah seperti kasus bule bule yang naik motor bertelanjang dada, ya memang secara hukum tidak melanggar tapi ya dari sisi kepantasan sebagian besar orang pasti mempertanyakannya. Nah kalau ditanya kemudian pantas menurut siapa? ya menurut orang bali yang waras, karena menurut si bule sendiri dia bertelanjang dada karena ini negara tropis, toh dulu orang bali semua bertelanjang dada, dia juga mau kulitnya coklat, karena panas lah dan sebagai nya….
jadi polemik ini tidak akan pernah berakhir, kecuali kemudian pemerintah membuat peraturan atau undang undang yang melarang hal tersebut, Sama juga dengan bung roma dan orang orang yang memperjuangkan UU porno grafi, ya seperti itulah kira kira, akan ada perjuangan disatu sisi untuk membela dan disisi lain untuk menolaknya.
Tapi saya tetap pada pendirian saya (hehehe karena ini juga hak asasi manusia), walaupun secara hukum si WK ini tidak salah, namun secara hati nurani saya si WK ini punya prilaku yang sangat sangat tidak pantas, (ini menurut pendapat saya pribadi lho) dan mudah mudahan orang yang berpendapat seperti saya adalah golongan mayoritas di Pulau Bali yang kita cintai ini
@@ : tendensius secara pribadi sudah diakui, tetapi tendensius yang indikasinya berhubungan dengan minoritas dan mayoritas siapa yang tau? ya sudahlah………untuk pak winata terimakasih sudah memberikan contoh cara berpikir yang cerdas dan berimbang. Jujur saya mengatakan, pak winata sangat cocok mendirikan sebuah lembaga pembelajaran sejenis “institute”atau yang lain…lebih mendidik.
Bangsa kita (manusia) terlalu lama mengalami krisis sosial… tak mampu menerima suntika-suntikan asing, sehingga terjadi cultural leg. dalam kegentingan ini, kekuasaan tidak lagi kita punya untuk meluaskan kewibawaan sejarah ke luar ke medan laga yang sebenarnya. Kita habis dalam pertempuran di dalam… masalah kecil nampak menggajah, masalah memamut purba malah tak tergubris.
tatkala ini, menjadi orang yang tidak konsisten adalah perwakilan dari watak peragu yang memang menjadi bagian lahiriah bangsa yang gemar mengejar paradigma kebenaran. Apa yang menjadikan kita merumitkan sebuah perbedaan bukanlah datang dari perbedaan itu… tapi dari capaian sebuah skema lain yang tersembunyi dibalik dialektika yang dibangun… krisis sosial bangsa ini butuh sintesa… butuh orang aneh… butuh pengetahuan yang aneh… butuh kesempatan yang aneh.. butuh kesatuan yang aneh… krn dalam keanehanlah, sebuah skema tidak akan terbaca secara konvensional…
karena bukan demokrasi dan kerajaan yg ditunggu.. tapi yang akan lahir dari itu…
tidak akan ada yg bisa menjawab apa itu, kecuali hukum pergerakan jaman yang dinamis, dialektis dan romantis.
saat-saat ini, tidak ada jalan yg terbaik kecuali kita mengurangi keahlian kita dalam berhitung… logika diciptakan atas dasar hitungan dalam pengulang-ulangan, kemudian digula-gulai menjadi ilmu… cara berpikir hari ini,tidak dipelopori oleh profesor dijaman rintisannya… tapi oleh tukang kayu dan bangunan…
Saya sangat sinis soal ilmu dan cara hidup pikir dari yunani ini… kr bersamaan dengan itu, ia telah mengalienasi jiwa dan fisik… dan menjaga ketakutan kita akan dunia… dalam kondisi ini… maka hobbes telah dicatut habis-habisan demi kemenangan logika dan kondisi dimana kompetisi harus dipertahankan… kemudian apa artinya musyawarah mufakat dalam leviathan? apakah ada tempat bagi musyawarah mufakat dalam logika? kalaupun bisa diambil pembenaran melalui kata kata indah, tetap voting adalah raja diraja dalam logika yang mencintai keberhitungan dan soal-soal nominal paradigma.
Petikan ini, bukan utk ikut serta dalam diskusi mengenai hasil wawancara diatas… krn bagaimanapun juga, topik hanyalah topik… pilihak kata-kata yg kadang indah kadang tak indah… dari sana, ada gambar yang kini menjadi samar.. padahal kita hanya butuh keindahan… bukan kebenaran. kebanaran biarkanlah hanya menjadi pemilik si tukang kayu dengan meterannya yang terukur… bangsa kita bangsa lain… bangsa dimana adanya persatuan… musyawarah… siwa budda.. bhineka tunggal ika… tidak ada hitungan… yang ada hanya harmonisasi dan keindahan…
Hari ini, agama diadakan dengan basis-basis logika… berhitung bahwa tuhan satu atau banyak… mereka kira mereka akan menemukannya… hah… buru buru akan bertemu, malah akan diantar menuju atheisme… karena tuhan bukan logika yg didasarkan keberhitungan… kita membenarkan Tuhan pada akhirnya… tapi kita meniadakan dan antipati pada non-logika… ini adalah keanehan yang tak indah sepanjang masa yang dipertontonkan dan dipertahankan secara besar-besaran.
Maka kita telah lama masuk dalam pemahaman nominal dan keberhitungan, sehingga terjebak dalam pencarian paradigma kebenaran.
– Manunggaling Kawula Gusti –
Palasara< abyasa….
@Panji Astika yang pinter dan baik hati :
Maaf, sebenarnya saya sejak awal ingin menanggapi analogi Anda tentang bahaya rokok terhadap fenomena si AW ini. Sungguh ingin saya katakan bahwa analogi tersebut kurang tepat. Rokok itu soal kesehatan fisik. Anda merokok, anda akan sangat berpotensi terkena berbagai macam penyakit. Ini soal kerusakan fisik. Ini soal kerusakan badan. Apakah fenomena si AW ini akan merusakan badan? Apakah ia akan menyebabkan sebuah penyakit dalam konteks kesehatan fisik?. Adakah si AW adalah Sesuatu sebagai penyebab sebuah penyakit yang bisa membunuh fisik manusia seperti halnya rokok jika dikonsumsi dalam jumlah yang banyak?
Lalu bisa saja dikatakan si AW ini merusakan pikiran, merusakan jiwa. Ia sangat mungkin menjadi sumber sakit jiwa karena menimbulkan kebingungan-kebingungan. Tetapi semudah itukah seorang AW ini mampu merusakan jiwa masyarakat atau individu? Ini justru menjadi sebuah pernyataan yang menempatkan AW sebagai sosok berpengaruh. Ini artinya secara tidak langsung mengakui bahwa si AW adalah “sesuatu”. Padahal sesungguhnya sangatlah jauh dari hal seperti itu. Si AW bukanlah seorang yang berpengaruh, ia hanya sebuah fenomena biasa. Mengaku-ngaku raja bukanlah hal yang luar biasa. Siapa saja boleh mengakui dirinya raja, tetapi untuk mendapatkan legitimasi raja, ia harus berjuang meyakinkan orang lain. Dalam proses meyakinkan orang lain, selama ia tidak melanggar hukum positif negara dan hukum-hukum universal kemanusiaan, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari si AW. Bahkan jika tidak cermat, kampanyenya untuk memperoleh pengakuan diri sebagai raja, rentan jatuh pada antipati. Itu adalah hal yang wajar. Tetapi tidak lantas kita menjustifikasi ia sebagai pembual, atau ia sebagai orang tak waras. Ia tidak sedang membual, ia tidak sedang menjadi orang gila. Ia hanyalah sedang memperjuangkan apa yang diyakininya. Tak seorangpun boleh dinegasikan, disubordinatkan, apalagi di kata-katai dengan hal-hal yang tak pantas ketika sedang memperjuangkan keyakinannya. Asalkan keyakinan itu tidak diperjuangkan dengan cara-cara yang melanggar hukum positif dan hukum universal kemanusiaan.
Apalagi menganalogikan si AW dengan soal bule-bule yang naik motor bertelanjang dada. Kalau si Bule ini soal norma kesusilaan, soal sopan santun berpakaian. Sementara soal si AW yang berada di ranah-ranah keyakinan. Jelaslah si AW tidak sedang melanggar norma kesusilaan. Tidak ada norma yang sedang dilanggar oleh AW. Apa ia melanggar norma soal raja-raja?
Soal menjadi raja dari sebuah kerajaan, harus diakui secara jujur, kita tidak pernah memiliki kesepakatan tunggal. Raja dan kerajaan di Indonesia adalah hal yang makin hari makin absurd. Legitimasinya hanyalah bersandar pada keyakinan yang rapuh. Sama rapuhnya dengan keyakinan si AW yang meyakini dirinya adalah seorang raja. Lalu akan ada pernyataan bahwa raja dan kerajaan yang ada saat ini memiliki catatan-catatan sejarah sementara si AW catatan sejarahnya nggak jelas. Benar bahwa sejarah bisa diajukan sebagai sebuah pembenar/penguat soal legitimasi raja dengan kerajaannya. Tetapi kitapun kemudian akan dapat bertanya, sejarah itu siapa yang benar-benar berani memastikan sebagai sebuah kebenaran yang tunggal dan bukannya kebenaran yang absurd?
Kembali ke soal berpakaian si Bule. Kalaupun soal berpakaian adalah ranah norma kesusilaan yang diyakini oleh mayoritas harus ditaati, maka tidak kemudian norma yang minoritas bukan sebagai sebuah kebenaran pula. Makanya dalam pikiran-pikiran yang wajar, soal berpakaian itu tidak diatur melalui hukum-hukum positif negara. Ia ada pada ranah-ranah kultural. Ketika norma berpakaian itu di masukkan kedalam hukum positif negara, maka lahirlah UU Anti Pornografi. Apa tanggapan publik tentang UU Pornografi ini?. Tentu sangat beragam. Ada yang pro ada yang kontra. Itu semua wajar. Tetapi dengan jelas kita bisa melihat kelompok-kelompok pemikiran seperti apa yang ada pada posisi pro dan kontra terkait UU Anti Pornografi ini.
Artinya begini…menempatkan seseorang gila atau waras, baik atau buruk, berdasarkan suara-suara mayoritas minoritas bukanlah sikap bijak. Demokrasi yang bijak adalah demokrasi dimana mayoritas harus tetap menghargai minoritas selama minoritas tidak melanggar hukum positif dan hukum universal kemanusiaan. Sementara mayoritas, janganlah sampai semena-mena. Jika mayoritas meyakini cara berpakaian wanita harus menutup semua bagian tubuhnya, tidak berarti semuanya harus melakukan hal yang sama.
Salam…
,,,,,,”Anda cari deh anak umur 32 tahun, minimal jangan di Indonesia, di Bali deh. Ada gak yang sekaliber saya?”
kllo semua anak muda umur 32 tahun seperti anda sama dengan “BALI HANCUR” atau dunia kiamat…..
Akhirnya saya bisa mereply…..
Pak Winata yang pintar
Menurut saya Analogi merokok itu yang paling tepat….
buat pecinta rokok, rokok itu tidak berbahaya (buktinya mereka tetap merokok)
walaupun mereka merasa atau tahu kalau itu berbahaya,ya kenikmatan rokok itu
mengalahkan akal sehat mereka.
dan mereka pasti ngotot berkata seperti ini, “berbahaya menurut siapa ? menurut mayoritas dokter? buktinya banyak juga dokter yang merokok…..”
kalau si AW ini bukan sosok yang berpengaruh iya saya setuju sekali….
tapi kalau bualan si AW ini dibiarkan ya sama saja dengan pembenaran…
pembenaran kalau membual itu bukan hal yang salah
dan pengaruhnya buruk untuk generasi muda Bali.
kalau si AW membual didepan teman temannya ya silahkan saja
tapi membual di ranah publik dan di media masa, C’mon please deh…. banyak anak anak ….. cukuplah segitu aja, jangan nambah nambah terus….
nah masalah Bule bertelanjang dada ini juga sama…..
kalau dibilang AW ini gak sopan ya susah juga
seperti pak winata bilang, sopan menurut siapa?
ya menurut saya jelas membual itu tidak sopan
menurut AW dan pecintanya ya karena dia ga merasa membual ya…..ga masalah
sekarang mana yang benar dan mana yanag salah?
ya sebenarnya secara hukum duniawi yang banyak yang benar, karena kebenaran hanyalah kesepakatan,
kalau 10 tahun lagi banyak yang suka AW ya saya “Panji Astika” yang salah, kalau banyak yang tidak suka AW ya si AW yang salah
saya kira perdebatan ini tidak akan pernah berhenti hehehehe
namun dari tulisan pak Winata saya mengerti bahwa anda bukan salah satu pecinta AW (hehehe mudah mudahan saya ga salah) anda hanya membela pola fikir anda yang lurus, dan berimbang. namun orang orang seperti andalah yang sering termanfaatkan oleh AW.
jadi begini
di dunia ini , benar dan salah hanyalah sebuah kesepakatan
dan kesepakatan tentang kebenaran selalu berubah seiring jaman
kebenaran hanyalah ilusi, dan sama sekali tidak absolut
dan
saat ini hanyalah pergelutan Ide
antara AW dan anti AW
ide mana yang akan unggul???
hanya waktu yang akan bisa menjawabnya…..
@Panji Astika yang Cerdas ;
Hehehe… bagi siapapun merokok dalam jumlah diluar batas itu berbahaya. Ada kerusakan fisik yang bisa diukur sebagai akibatnya. Bisa dideteksi dibuktikan secara empiric Bisa diujicobakan di laboratorium soal zat-zat berbahaya dalam rokok. Penelitian bahaya rokok itu sudah sangat panjang dan uji fisik yang dilakukan adalah hal yang bisa dipahami secara fisik pula. Tetapi fenomena AW ini kan adanya diranah-ranah pikiran, bukan fisik. Apa mempercayai AW akan merusak jantung dan menyebabkan kanker paru-paru? Apakah mempercayai AW akan memunculkan keresahan dan kerusuhan sosial? Sementara tidak mempercayai AW akan menjamin masyarakat yang aman dan tenteram? Anda baca berita si AW di Koran, apa langsung anda bisa percaya? Pasti akan percaya? Belum tentu kan? Tetapi kalau anda merokok, 10 bungkus per hari terus menerus, ada kemungkinan besar anda kena penyakit jantung atau paru-paru. Paling tidak uang anda akan berkurang lah…
Kembali ke soal membual. Apakah benar si AW ini membual? Ukuranya yang pasti dari membualnya apa? Mungkin iya menurut Anda yang meyakini si AW bukan raja. Tetapi bagi yang lain? Yang percaya, bisa saja dianggap si AW ini tidak membual. Kalau si AW ngaku presiden Republik Indonesia, ya mungkin ia membual, karena presiden itu memerlukan legalitas hukum dan konstitusi negara. Ia kan mengaku dirinya raja Majapahit? Konstitusi mana yang memastikannya membual? Dari fakta sejarah? Sejarah sendiri kan juga masih penuh dengan ketidakpastian? Dulu jaman para nabi, cap sebagai pembual dengan mudah dialamatkan bagi yang membawa keyakinan baru. Bahkan dituding melakukan Bid’ah. Ini soal seseuatu yang ada diranah-ranah pikiran, ini soal keyakinan. Didalam ranah ini tidak ada nilai-nilai yang stabil sebagai satu-satunya kebenaran. Kalau ada keyakinan yang menyuruh orang mengebom, bukan keyakinannya yang salah, tetapi perbuatan ngebom nya itu yang salah dan harus dihukum.
Ketika membual itu belum pasti dan sulit dipastikan, maka adab soal kesopanan tidak akan mudah dikenakan kepada si AW. Kalau saya tetap membuka ruang, semuanya benar dan semuanya bisa saja salah. Sebaiknya kita tidak mudah terjebak pada soal salah dan benar. Ini soal keyakinan, soal kepercayaan. Yang paling penting untuk dihindari adalah jangan sampai merendahkan dan menjustifikasi seseorang karena pikiran-pikirannya. Pada ranah inilah saya berdiri. Kita ini kan perlu mengedepankan sikap saling menghormati keyakinan dan kepercayaan siapapun. Toh juga tidak ada yang memaksa anda percaya. Anda mau percaya silahkan. Tidak percaya juga tidak apa-apa. Yang jadi persoalan, ketika anda tak percaya lalu anda merendahkan orang dengan mengatakannya membual dan tidak sopan.
Saya dimanfaatkan? Bisa jadi memang iya. Hanya saja dari pilihan-pilihan sadar saya, saya benar-benar menganggap si AW sebagai fenomena biasa-biasa saja. Justru ada banyak pihak yang berhasil dimanfaatkan dan terpancing karena menanggapi fenomena si AW sampai-sampai menyebut si AW pembual.
Saya tidak anti AW, saya juga tidak Pro AW. Jika seharusnya sesuatu itu tidak ada, maka ia tidak akan pernah bisa ada. Meskipun media massa dengan gencar memberitakannya. Jika masyarakat tak percaya, siapa yang mau percaya? Masyarakat itu cerdas seperti Anda. Tapi tentu kecerdasan akan jauh lebih baik, jika kita juga mampu menjaga keadaban kita untuk tidak menghakimi kepercayaan orang lain selama ia tidak memaksakan keyakinannya kepada kita secara fisik.
Pak winata yang Pintar dan baik
kerusakan mental jauh lebih berbahaya dibanding kerusakan fisik
hal tersebut juga saya yakini sudah bisa dibuktikan secara keilmuan
seperti orang membuktikan bahaya rokok.
kalau saya tanya balik apakah rokok bisa menyebabkan kerusakan mental?
tentu saja tidak,
kalau rokok berbahaya, kenapa tidak dibuat UU yang melarang rokok dikonsumsi?
ya karena membuat UU khan pertimbangannya banyak……
dan hal tsb masih dalam proses pergumulan antara yang anti rokok dengan yang berkepentingan dengan rokok…. sekarang sudah mulai ada perda yang mempersulit orang merokok, mudah mudahan nanti ada perda yang mempersulit orang membual di ranah publik.
apakah AW bisa merusak mental generasi muda ?
bagi pecinta AW ya jelas dia ga merusak mental ….
bagi saya ya jawabannya sudah tegas…. bisa
sekarang siapa benar siapa salah, ya ga ada karena batas benar dan salah dalam hal ini belum dibuat oleh yang berwenang, dalam hal ini pemerintah RI
saya juga tidak memaksakan kok ide saya untuk tidak menyukai perilaku seperti AW ini….
kalau suka silahkan bergabung dengan dia kalau tidak suka silahkan berada di posisi saya, kalau tidak di dua duanya ya silahkan juga, ini hanya masalah ide,
tidak ada yang memaksa….
apakah tidak menyukai suatu sikap tertentu dianggap tidak beradab?
wah belum tentu, seperti poligami, ada yang mendukung, ada yang tidak….
sekali lagi ini masalah ide, masalah pilihan…. setiap hari akan selalu terjadi pergumulan disana….
Apakah si AW ini membual?
cmon pak……. sudah pasti dia membual….
kalau ada yang menganggap dia tidak membual itu ya….. gimana saya ga mau komen… lah saya cukup tertawa saja
tapi ya adalah kewajiban semua orang mengatakan salah ya salah
benar ya benar, jangan bermain kata kata seperti pengacara
membela kliennya.
jadi kesimpulan saya
kalau ada pertanyaan seperti ini
1. apakah AW ini Raja? jawabannya Tidak
2. Apakah dia melanggar hukum krn mengaku sebagai Raja? jawabannya tidak
3. Apakah anda bersimpati dengan org spt ini? jawaban nya Tidak
4. Apakah pantas menurut anda org ini sebagai calon Pemimpin di Bali jawabannya Tidak Tidak Tidak
5. Apakah anda merasa dirugikan oleh AW ini ? jawabannya Tidak
6. Apakah suatu saat Bali akan rugi jika tidak ada orang yang menyangkal segala kebohongan yang dia lakukan? jawabannya Pasti Iya
kenapa saya repot menyangkal si AW ini? ya karena saya yakin dengan beberapa jawaban dan pertanyaan di atas… kalau ga yakin ya monggo itu hak asasi anda….
Panji Astika :
Menurut Anda si AW bisa merusak mental generasi muda? wah….hebat dong si AW ini? Dari sisi mana anda bisa meyakini si AW bisa merusak mental generasi muda? Ukurannya apa? Ini keyakinan anda berdasarkan apa? tidak sadarkah anda ketika anda mengatakan AW dapat merusak mental generasi muda secara tidak langsung anda mengakui kehebatan dan pengaruh dari si AW? Ayolah… si AW ini tak sehebat itulah. Paling tidak, tidak sehebat itu untuk saat ini.
Kerusakan mental memang lebih parah daripada kerusakan fisik. Tetapi kerusakan mental itu disebabkan multifaktor. Tidak ada faktor tunggal. APa anda mau bilang kalau masyrakat akan rusak mentalnya karena ada orang yang ngaku-ngaku raja? Ayolah… fenomena ngaku-ngaku raja itu hal biasa. Apa hubungan signifikannya dengan kerusakan mental masyarakat?
Tetapi kalau anda merokok dalam jumlah yang banyak, ya jangan harap anda jadi sehat. Itu bedanya kerusakan mental dan fisik. Kenapa tidak dibuat UU tidak boleh mengkonsumsi rokok? Karena ada banyak kepentingan politik dan ekonomi. Ini bukan soal pemerintah takut dengan perokoknya, tetapi ini menyangkut soal cukai, soal petani tembakau. ini soal politik. Ini juga soal kesehatan fisik masyarakat.
Saya tidak mengatakan tidak menyukai sesuatu sbg tindakan yang kurang baik. Tetapi menuduh seseorang pembual tanpa dasar yang jelas kan hal yang aneh. Ukuran seseorang membual atau tidak itu apa? Saya cuma ingin mengatakan bahwa soal raja-raja, itu adalah produk kultural. Dan ini sudah saya sampaikan sejak awal. Produk Kultural itu kan dibentuk dari nilai-nilai yang tidak memiliki kebenaran tunggal. Tidak ada esensi dalam produk kultural itu. Siapa saja boleh memproduksi produk kultural dan mencoba menawarkannya kepada masyarakat. Masyarakatlah yang kemudian menentukan apakah menerima atau tidak. Anda mungkin salah satu yang tidak menerima produk kultural yang ditawarkan si AW. Dengan kecerdasaan Anda, anda memilih tidak mempercayainya. Tetapi bukan berarti dengan kecerdasan anda tersebut kemudian anda merasa pantas memberi label negatif. Kecuali anda memang tidak menghargai keyakinan-keyakinan orang. Apalagi sama sekali tidak ada paksaan untuk menerima produk kultural yang ditawarkannya.
Untuk enam pertanyaan dan sekaligus jawaban anda, itu jelas hak anda. Silahkan saja. Cuma pada point 6, jawabannya “pasti iya”. Ini menurut saya lagi-lagi anda mengakui kalau si AW ini memang hebat. Anda secara tidak sadar sedang mempercayai apa yang anda sebut sebagai kebohongan dari si AW. Sehingga ia anda anggap punya dampak siginifikan bagi Bali dimasa depan. Tetapi point 6 tsb mungkin mempertegas penjelasan anda soal fenomena si AW dapat merusak mental generasi muda. Sehebat itukah si AW? Bagi saya “tidak”, atau setidak-tidaknya “belum”.
Closing statement anda itu lho
“Sehebat itukah si AW? Bagi saya “tidak”, atau setidak-tidaknya “belum”.”
heheheheehe
AW tidak hebat …….sampai kapanpun saya yakin tidak….
dan
tidak perlu menjadi orang hebat untuk memberi pengaruh yang buruk
(biasanya pecundang yang memberi pengaruh buruk)
yang membuat saya khawatir adalah media masa yang mengakomodir
pengaruh itu….
masalah khawatir atau tidak itu hak setiap orang
buat saya saya cukup khawatir dengan fenomena ini
jika hal abu abu ini dipakai bermain oleh sekelmpok orang
Saya menuduh tanpa dasar?
c’mon…
kalau menuduh tanpa dasar hukum iya lah pak
(kenapa saya bilang ini ranah abu abu)
dan
saya tidak menuduh pak…
saya hanya berpendapat
kalau si AW ini menganggap dirinya Raja
dan sekelompok orang mengakuinya
dan sekelompok orang membela nya
dan beberapa orang malu malu mengakui membelanya
buat saya juga sah sah aja kok …
dan saya juga punya hak untuk mengatakan
kalau saya ga sependapat dengan mereka
dan saya berhak mengatakan
kalau si AW ini bukan Raja…..
kalau AW ngomong di pinggir jalan ya saya ga masalah pak…..
tapi kalau tiap hari dia muat hal hal ini di koran
ya saya mulaii merasa khawatir
apalagi ga banyak yang menyangkalnyya
apalagi sudah mulai banyak yang membelanya
dan maaf pak
saya ga peduli apakah besok si AW ini bakalan jadi Nabi
atau jadi Raja beneran
cuman sebagai orang yang jujur dan “sehat”
saya berkeyakinan saya harus menyangkal
kalau ada kebohongan yang terus menerus di utarakan di media masaa
itu saja pak…..
kalau mau bela AWdengan alasan ilmiah
monggo pak….
ga ada yang melarang, dan ga hukum yang dilanggar
dan ga usah malu malu hehehe…..
Ngapain ributin orang lain. mudah menilai jelek orang lain daripada kejelekan diri sendiri. kalau memang arya weda buruk di mata orang yang menilai dia buruk, knapa tidak melakukan hal yang se level dengan dia untuk membuktikan kalau dia buruk atau salah. baru belajar ngomong kok sudah merasa hebat, jangan hanya bisa mencela dan ngomong doang. apa yang sudah kalian lakukan buat bali ? jangankan untuk bali, untuk diri sendiri saja masih serba kekurangan. kalau tidak kekurangan harta ya kekurangan akal sehat. saya juga tidak suka dengan arya yang secara tidak langsung melecehkan dewan raja-raja bali dan seluruh puri di bali. saya orang puri dan salah satu almarhum penglingsir puri kami adalah orang yang membangun Pura taman ayun yang sampai sekarang bisa kita nikmati keindahanya dan beliau juga merupakan sekertaris Dewan Raja-raja pada jamanya. kok enak aja bilang raja cuma ada 4 termasuk dia. pasang nama i gusti aja baru kemarin. kok sudah mengaku sebagai raja. seluruh tindakanya buruk tapi lebih buruk lagi untuk orang yang hanya berani membicarakan orang itu di belakang layar tanpa pernah bertindak, berbuat, berbicara, dan berkarya lebih baik dari dia. Suksma
Den Bagus yang terhormat
Nah inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran saya
orang mulai menilai tidak seimbang akibat iklan media masa yang berlebihan
AW bukan satu satunya orang yang berbuat untuk hindu dan Bali
Tahukah anda siapa yang membangun candi Alas Purwo di Gumuk Gadung desa Banyuwangi, Jawa Timur? Tahukah anda kalau pada saat membangun candi itu panitia nyaris ditangkap oleh aparat bersenjata lengkap?
Tahukah anda ternyata banyak saudara kita yang membangun Pura Pura Desa di Jawa , membina umat disana selama bertahun tahun dengan dana pribadi
Dan tahukan anda banyak pura dan umat dibangun diseluruh nusantara ini
ternyata memakai uang pribadi?
tidak ada yang tahu, karena mereka semua memang tulus mengabdi pada Bali dan Hindu dan sepi dari publisitas dan iklan iklan
Yang ingin saya tanyakan setinggi apa sih level si AW?
apa sih yang sudah dia perbuat?
agni hotra? membuat pertemuan raja raja?
memberikan beasiswa? memberikan penghargaan kepada para tokoh?
menghadiri acara acara kerajaan di luar negeri?
apakah semua itu untuk Bali dan Hindu?
apa ada kepentingan lain yang tersembunyi di baliknya?
jujur……
saya sendiri tidak bisa membuktikannya
namun saya bisa merasakannya
kenapa saya merasa perlu untuk berbicara
Kalau anda berfikir tidak ada yang berbuat untuk Bali selain AW
anda salah besar…
banyak komunitas spiritual, sosial dan kekeluargaan yang berbuat untuk Bali dan Hindu…
saya sarankan untuk mulai mencari dan ikut didalamnya, yang manapun anda sukai nanti….
pak panji yang terhormat
tau kah anda pada saat jaman orde baru banyak umat hindu di luar bali yang begitu sulitnya mendapatkan ktp yang bertuliskan agama hindu sedangkan di luar sana umat minoritas selalu di paksakan untuk beragama islam dan siapa yang telah memperjuangkan menjadi hindu bisa beribadah bebas seperti sekarang ? taukah anda betapa sulitnya memperjuangkan pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan megubah piagam jakarta yang mewajibkan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya ? tau kah anda tokoh di balik semua itu ? dan masih banyak lagi perjuangan dengan level nasional bahkan internasional dengan segudang tokoh tanpa nama yang orang lain tidak mengetahui jejaknya Yang masih anda perlu mengerti HINDU bukan punya bali, hindu milik semua umat yang meyakini agama tersebut. jadi tidak bisa di sama ratakan kalau HINDU adalah Bali. pola pikir radikal seperti itu yang nantinya mengkerdilkan pola pikir manusia.
kalau anda dan saya membahas jasa orang lain di luar kita telah melakukan apa, tentu saja tidak akan ada habisnya. yang saya bicarakan sekarang adalah generasi yang lebih suka mengolok-olok apa yang telah orang lain perbuat tanpa bisa berbuat lebih baik.
kalau anda bertanya setinggi apa lv AW saya mengatakan Level AW itu jelas tergantung orang yang memandangnya. sehebat apa AW dan setinggi apa Lv AW. kalau anda memandang lv AW terlalu tinggi dan anda sulit untuk mengejar apa yang telah di lakukan AW sudah jelas itu urusan anda bukan urusan saya. yang jelas saya bisa berbuat lebih baik untuk bali dan diri saya sendiri lebih baik dari yang AW lakukan tanpa perlu mengejek, mencela, atau bahkan menghujat dia. mengejek hanya perbuatan anak kecil yang masih ababil kalau ada orang tua bertindak seperti itu sudah jelas masa kecilnya kurang bahagia atau mungkin anak manja sebab jika orang sudah berfikiran dewasa akan berfikir untuk apa mencampuri urusan orang lain tanpa kita bisa berbuat lebih baik dari orang tersebut.
kalau masalah kepentingan itu urusan yang bersangkutan mau ada atau tidak yang penting yang menerima bahagia tanpa ada tekanan, memangnya hanya AW yang bertindak karena ada kepentingan ?? apa anda tidak sadar semua tokoh yang populer di bali sekarang bertindak karena ada kepentingan ?? semua LSM, Komunitas dll bertindak selalu ada kepentingan di dalamnya, dan yang sudah pasti akan terwujud adalah kepentingan untuk populer dan di kenal. sekarang anda sendiri dan saya menulis perdebatan seperti ini tentu saja kita punya kepentingan yaitu menyalurkan pendapat pribadi. jadi kesimpulanya orang selalu punya kepentingan dalam hidupnya.
mungkin terlalu dini untuk mengira saya adalah orang yang tidak pernah tergabung dalam suatu komunitas. karena dari yang anda sebutkan di bawah sudah seluruhnya saya kembangkan jadi tidak hanya mengikuti. tapi saya tidak perlu mencela orang lain untuk berkembang. terlebih lagi mencela tokoh. anda tidak suka dengan AW karena perbuatanya ya saya sarankan anda dekat dulu dengan AW dan belajar lihat masalah dari dua sisi. kalau anda bilang tidak tahu betul dan bahkan tidak bisa membuktikan apa yang telah AW perbuat dan apa yang menjadi kesalahan AW berati anda hanya menebar fitnah.
disini saya tidak membela AW ataupun membela siapa. yang jelas saya tidak suka dengan perbuatan yang hanya bisa mencela tanpa bisa berbuat lebih baik. kalau ada yang bisa lebih baik ya buktikan saja dan patahkan apa yang selama ini aw anggap benar. suksma
Den Bagus
nah itulah yang saya maksudkan
bahwa yang berbuat untuk Bali dan Hindu itu dari jaman dahulu sampai sekarang banyak kok, dan mereka lebih suka anonim, rendah hati, dan tanpa pamrih
jadi kalau ada yang membuat statement seolah olah hanya AW seorang yang peduli dengan Hindu dan Bali sudah jelas sangat salah
Saya heran kok anda mengatakan “generasi yang suka mengolok olok”?
mencela dan mengejek?
bandingkan dengan statement anda ini
“jangan hanya bisa mencela dan ngomong doang. apa yang sudah kalian lakukan buat bali ? jangankan untuk bali, untuk diri sendiri saja masih serba kekurangan. kalau tidak kekurangan harta ya kekurangan akal sehat”
satu lagi
“yang jelas saya bisa berbuat lebih baik untuk bali dan diri saya sendiri lebih baik dari yang AW lakukan tanpa perlu mengejek, mencela, atau bahkan menghujat dia”
Den Bagus
Saya tidak mencela dan mengejek AW, dia sendiri yang mengolok olok dirinya dengan mengaku sebagai Raja. Yang ngangkat dia sebagai raja siapa? Eyang Suryo? anda kenal ga sama Eyang Suryo? kalau saya kenal baik, bahkan pusaka pusaka majapahit itu ada dirumah saya selama sekian bulan sebelum saya serahkan kembali, karena saya mencintai Majapahit, bukan ingin menghidupkan Raja Raja majapahit.
yang jelas saya hanya berusaha meluruskan saja permasalahannya
kalau berbuat untuk Bali silahkan saja, saya yakin tidak akan ada yang melarang, apalagi mencela, yang banyak dikeluhkan khan kalau berita itu dilebih lebihkan itu.
Kalau diri saya, saya akui belum seperti anda yang banyak bisa berbuat untuk Bali dan agama hindu yang saya cintai. Tapi itu kemudian tidak menjadi alasan untuk saya menutup mata dan membenarkan apa yang saya yakini tidak benar.
Tapi saya punya pengalaman sedikit tentang hindu di jawa, wong saya kuliah disana, ikut kegiatan hindu, di desa, bahkan di jaman saya kalau ke pura di malang saya biasa dilempari Batu oleh orang yang tidak saya kenal. Waktu AW masih jadi cover boy heheehehe saya sudah di garda depan demo di tanah jawa u membela tanah lot (kalau ke balipost dan cari arsipnya foto nya kayanya masih ada), Kalau masalah KTP ya saya tahu sedikit, karena sampai sekarang saya masih sering pulang ke tanah jawa untuk ngatur ayah, ikut ngayah membangun pelingih pelinggih dan mensuport sudara saudara di Jawa dengan kemampuan saya yang seadanya,
saya tidak tahu anda den bagus itu siapa? apa nama asli atau nama samaran, yang jelas anda pastilah orang besar….
kalau saya nama asli “Panji Astika”, rumah saya di Puri Anom Tabanan, saya akan sangat senang jika dapat belajar dari anda tentang Bali dan Hindu dan pengabdiannya. Saya berharap suatu saat dapat bertemu dan berdiskusi dalam suasana yang lebih enak dan kasat mata, mudah mudahan saya dapat belajar dari anda anda yang lebih bijak.
Pak Panji Astika yang baik hati:
Siapa yang tau apa yang terjadi esok hari? APa yang bisa dipastikan di waktu bahkan satu detik kedepan atas waktu yang belum benar-benar kita lalui…?
Tahukah anda bahwa Soeharto dulu anak petani? Tetapi jadi presiden paling berkuasa di jaman orde baru? Para nabi juga ditertawakan ketika mencoba mewartakan suara-suara Tuhan. Bahkan ada yang sampai dibunuhi.
Saya hanya mengajak kita belajar dari apa yang sudah pernah terjadi. Keadaban manusia adalah saling menghargai. Hindarilah penghakiman-penghakiman. Kebesaran jiwa seseorang dan kehormatannya terletak pada kemampuannya menghargai semua pendapat, tanpa harus menghakimi keyakinan-keyakinan orang lain. Orang hanya bisa dihukum jika ia melakukan perbuatan yang jelas-jelas merugikan pihak lainnya.
Ini adalah negara republik, bukan kerajaan. Meski masih bisa saja berubah menjadi negara kerajaan, tetapi dalam negara republik, Raja-raja, baik yang lama maupun yang baru, hanyalah simbol kultural. Tidak akan memiliki kekuasaan politik kecuali menerjunkan diri pada partai politik. Terjun di dunia politikpun tak menjamin akan meraih kekuasaan. Bahkan ketika para raja berkuasa dalam politik modern, ia akan tetap dipaksa untuk egaliter karena jika tidak egaliter, ia akan dianggap melawan demokrasi.
Kalau mau jujur… simbol-simbol kultural itu adalah kebohongan-kebohongan sekaligus juga kebenaran-kebenaran. Kenapa bisa menjadi kebohongan sekaligus kebenaran? Karena untuk menjadi bohong dan benar, ia melalui proses keyakinan dan kepercayaan. Sistem keyakinan dan kepercayaan itu akan berbeda-beda bagi masing-masing orang. Kebohongan yang diucapkan terus menerus memang akan menjadi kebenaran. Bahkan kebenaran sendiri adalah kebohongan-kebohongan yang terus diucapkan. Dengan demikian, maka kebenaran yang kita yakini hari ini bisa jadi adalah dulunya adalah kebohongan juga. Kerajaan Majapahit dengan kebesarannya dianggap sebagai Kerajaan Hindu. Tetapi lalu ada juga yang meyakini Majapahit adalah kerajaan Islam. Masalahnya adalah tidak ada yang hidup dijaman ini benar-benar juga hidup dijaman Majapahit. Lalu kita pun meyakini Majapahit itu seperti meyakini keberadaan Tuhan. Yang Hindu menyebutnya Ida SAnghyang Widhi, yang lain menyebut Allah, dll. Apakah salah satu diantaranya adalah kebohongan?
Pak Panji Astika adalah orang yang tak percaya soal AW. Tidak ada siapapun yang bisa memaksa anda untuk percaya. Tetapi jangan menyalahkan apalagi khawatir ketika ada orang lain yang mempercayainya. Hak untuk tidak percaya dan percaya atas simbol-simbol kultural adalah hak masing-masing. Tetapi diantara yang percaya dan tidak percaya berada pada posisi yang sama. Sama-sama meyakini kebenaranya masing-masing. Jadi… mari kita saling menghargai.
Salam Rahayu
Waktu akan menjawab semuanya
Nuwun
Rahayu
Upaya memecah belah umat Hindu Bali dengan Islam sudah ada sejak jaman penjajahan dulu dan diteruskan oleh berbagai pihak sampai sekarrang. Yang cukup spektakuler tentu saja saat Bom Bali 1&2 mengakibatkan bisnis pariwisata di Bali mati suri, namun puji Tuhan tidak menyebabkan perpecahan umat Hindu Bali dan Islam.
Apa yang dilakukan oleh AW harus diwaspadai karena sadar atau tidak sadar pernyataan-pernyataan dia mengandung “bahan bakar” perpecahan umat Hindu Bali dengan umat Islam (contohnya : Penyebaran HIV/AIDS di Bali adalah agenda Islam, Warung pecel lele dsb merugikan perekonomian orang Bali; Himbauan untuk tidak memotong sapi saat Idul Adha; dan kemungkinan akan ada lagi pernyataan senada yang akan dikeluarkannya), apalagi jika dikaitkan dengan konflik di Lampung dan tempat lain di Indonesia yang bertema “penindasan mayoritas terhadap minoritas” (padahal konflik-konflik tersebut tidak berlatar belakang agama) maka lengkaplah sudah “bahan bakar” yang jika diledakkan akan berakibat lebih dahsyat dari Bom Bali 1&2.
Sebaiknya kita mewaspadai agenda terselubung dari sponsor-sponsor AW (menurutnya dia mengelola uang orang lain untuk membiayai kegiatannya, dan untuk membayar berita/iklan tentang dirinya saja butuh 1 milyar perbulannya), yang kalau dirunut dari pernyataan-pernyataannya bermuatan usaha memecah belah umat beragama, dengan adat Bali dan gelar2nya sebagai “sugar coated”nya.
Apakah kita rela terpecah belah oleh pernyataan-pernyataan anak muda narsis yang disponsori oleh pihak-pihak tertentu ini?
Kita sudah capek dan bosan dengan berita penegakan hukum yang amburadul di negeri ini yang mengakibatkan korupsi dan kriminalitas merajalela, janganlah lagi ditambah dengan berita perpecahan umat Hindu Bali dengan umat Islam gara-gara ambisi “Raja Majapahit Bali” dengan agenda “devide et impera” nya ini.
Salam
Om swastiastu,
Perdebatan yg sangat bagus, ada netral, ada kontra, dan ada yg pro…..
Yang di perdebtkan ini adalh wawancara antara AW dgn Anton M. Cuma yg menjadi pertanyaan saya, apakah yg di tulis ini benar2 pernyataan dari AW ? Karna saya melihat dari kacamata saya bahwa Pak Anton M ini salah satu dari orang yg Kontra dengan AW. Begitu kira2…..
Om santih, santih, santih, Om………..
Bli Wayan yth,
Saya sepakat bahwa diskusi ini memang menarik. Ada pro kontra. Semua saling melengkapi sehingga kita bisa mengambil keputusan sendiri-sendiri.
Sejak awal saya sudah jujur mengakui bahwa saya pada posisi mengkritik AW. Saya sudah jelaskan di depan agar orang lebih berimbang menilai pendapat dan kritik saya terhadap AW. Daripada saya bilang pro dan setuju tapi malah mengkritik.
Namun, meskipun saya mengkritik AW, saya tidak pernah menambah apa pun terhadap hasil wawancara seperti yang saya tulis. Sebaliknya, saya malah menghilangkan beberapa bagian yang menurut saya terlalu sensitif jika saya masukkan di sini karena menyinggung etnis dan agama lain yang menurut saya tidak perlu dimasukkan. Semua tulisan ini sesuai hasil wawancara. Bagi saya sebagai jurnalis, menebar kebohongan itu dosa besar.
Salam.
Bagus sekali Pak Anton.. saya sangat salut dengan wartawan yang tidak perlu “DIBAYAR” untuk menulis berita..dan sangat OBJEKTIF menilai sesuatu..banyak sekali media dan wartawan yg bersedia dibayar untuk membodohi masyarakat dengan cara menulis berita bohong dan menerbitkannya di media massa…begitu banyak masyarakat yg membaca berita mereka..dan jika yang mereka tulis adalah kebohongan, bisa dibayangkan seberapa besar kesalahan yang telah mereka lakukan hanya demi uang..sangat tidak pantas disebut sebagai seorang jurnalis.
maaf, jujur saya bingung,
bukan masalah apa, tapimemang ada kata2 dia yang agak menyinggung kalau saya ada di pihak non Hindu…
nah, ada saran ngga sih untuk menanggulangi itu?
Komentar saya yang mengacu pada posting Nicky PS :
Pernyataan anda yang singkat ini mewakili “orang awam politik” (termasuk saya juga) yang bingung, ada perasaan ketersinggungan dan kekuatiran akan dampak dari pernyataan-pernyataan AW ini.
Bisa saja perasaan tersinggung ini dialami oleh sangat banyak orang (yang juga awam politik) yang terkaburkan pandangannya dengan klaim status AW sebagai “perwakilan” umat Hindu Indonesia (termasuk didalamnya umat Hindu Bali) dan sebagai “Raja Majapahit Bali” yang dia klaim bahkan sampai forum internasional (diberitakan di koran lokal Bali terkemuka dalam kolom yang besar dilengkapi dengan foto yang sangat meyakinkan, meskipun untuk itu AW mengeluarkan banyak uang).
Dampak yang saya maksud adalah bisa saja terjadi situasi dimana pihak yang tertarik dengan agenda AW akan siap tempur (secara fisik) dengan pihak yang kontra dengan agendanya, dan tinggal menunggu pemicu sederhana saja untuk meledakkannya.
Bisa kita bayangkan hasilnya akan dahsyat, Bali akan terobek-robek seperti halnya Ambon dan Poso di awal tahun 2000 !!!!
Hancur lebur berantakan secara fisik, dan secara psikis akan menyisakan perasaan dendam kelompok yang tidak jelas juntrungannya.
Saran saya untuk menanggulangi ini hanya WASPADALAH..WASPADALAH…!!
(saran ini berlaku untuk pihak yang saat ini pro maupun yang kontra dengan agenda AW)
Untuk para ahli sosial dan politik dimanapun anda berada dan bertugas,
dengan hormat saya sampaikan saran untuk dapatnya tidak melupakan Teori Konspirasi di pola pikir anda dalam menyikapi agenda AW ini. Mohon maaf, ini saran dari orang awam politik, tidak usah dibahas panjang lebar yang ujung-ujungnya akan berisi pembenaran atau penyangkalan teoritis. Mohon segera ambil tindakan praktis untuk mencegah kebingungan masyarakat dan ketersinggungan sosial yang berpotensi akan meluas ini.
Pihak sponsor (pihak misterius di belakang layar) beserta tim sukses AW sudah masuk dalam ranah sensitif (dalam hal ini bidang Suku dan Agama) dan sangat berpotensi untuk mengadu domba masyarakat, yang seolah-olah (tanpa rasa berdosa) agendanya hanya untuk mendongkrak popularitas murahan pemuda narsis ini saja.
Sekali lagi : WAPADALAH…WASPADALAH dengan agenda AW dan sponsornya ini !
Salam
saya mendukung anda menjadi raja selanjutnya lanjutkan perjuanganmu paduka !!!
sya dah banyak sekali baca apa g sudah dilakukan oleh AW. bahkan saya juga membandingkan antara media AW dgn media yg netral. ternyata apa yg sdah dilakukan AW sungguh luar biasa trutama tu kemajuan Hindu kedepan, Majulah trus AW lakukan yg terbaik untuk Hindu dan Bali agar makin dihormati baik di Indonesia bahjan Dunia.
Heran….. justru umat hindu dan BALI harus berbangga memiliki figur yg sangat peka dan totalitas akan RAJA nya….. kunjungan nya ke sumatra barat menunjukan betapa besarnya sejarah dan hindu……. apalagi..????? Arya wedakarna is a KING…… Long live the KIng……..
wedakarna itu politisi ,,,bukan raja bali , di bai sudah tidak ada raja yg berkuasa secara administrasi . masak raja gak ada yg kenal ,,,,,kalau dia mau jadi politisi jadi politisi aja jangan bawa bawa nama raja bali , kami gak punya raja , gubernur baru ada , tuuh gubernur bali yg sekarang .
mengambil tanggungjawab sebagai raja adat majapahit itu sangat berat,ada nilai magis dan khas,jadi wajar kalau ada yang belum “sempurna”.Gusti Dalem rasanya harus menggenapi apa yang kurang itu sebelum sewindu penobatan abhisekha raja majapahit
ya kita lihat perkembangannya ke depan seperti apa. jika ada pihak – pihak yang merasa dirugikan silakan ajukan tuntutan secara hukum dan membuat laporan resmi ke pihak berwajib.jangan hanya sebatas wacana. jika merasa diri ANDA lebih hebat dari AW , BUKTIKAN .
AW sudah berjuang demi hindu. ya kita dukung usahanya. siapa lagi yang mau berjuang demi hindu. PHDI ?? Apakah phdi sekarang cukup kuat untuk mengatasi masalah umat hindu ???
kita sesama umat hindu harus saling mendukung jangan ribut. kalau ada orang hindu sukses mari kita dukung. walau dia narsis. heheee
tiap orang ada kurang lebihnya. apalagi public figure yang banyak disorot media massa.
sudah minoritas, modal terbatas, sering ribut dengan sesama. bagaimana hindu bisa maju ???
jangan hanya mengandalkan phdi saja !
pda dasarx qt hrus bersatu…
klo qt mncari kekurangan ato keburukan org pasti akan slalu ada
begitu jga kelebihan ato kebaikannya…
mngkin qt smua perlu mengingat pesan dr sebuah pupuh ginada
“eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin, geginane buka nyampat, anak sai tumbuh luu, ilang luu, buke katah, yadin ririh, enu liu paplajahan”
commentnya lumayan banyak yaah.. begini bapak”yg budiman, saya dulu sempet mnjadi mahasiswa beasiswanya,bulan desember saya keluar dr kampus itu.. saya mengalami sendiri dan menghadapi langsung bapak yg katanya raja ini,, awalnya saya kagum.. tpi setelah melihat langsung, ternyata sangat kasar,suka menghina org, staf yg anda lia, semuanya mahasiswa beasiswa.. ada yg jdi cleaning service.. saya jga sempat jaga di kmpus dr pukul 9 pagi sampai 9 malam hanya dpt 10 rbu per hari jaga.. dan yg katanya beasiswa, ternyata bohong saya harus membayar 161 rbu terhitung dr awalospek dr bulan juni
commentnya lumayan banyak yaah.. begini bapak”yg budiman, saya dulu sempet mnjadi mahasiswa beasiswanya,bulan desember saya keluar dr kampus itu.. saya mengalami sendiri dan menghadapi langsung bapak yg katanya raja ini,, awalnya saya kagum.. tpi setelah melihat langsung, ternyata sangat kasar,suka menghina org, staf yg anda lia, semuanya mahasiswa beasiswa.. ada yg jdi cleaning service.. saya jga sempat jaga di kmpus dr pukul 9 pagi sampai 9 malam hanya dpt 10 rbu per hari jaga.. dan yg katanya beasiswa, ternyata bohong saya harus membayar 161 rbu terhitung dr awalospek dr bulan juni. kemudian kami mahasiswa beasiswa pernah jga disuruh utk terlibat dalam acara upacara pernikahan adiknya, kami disuruh mengecet rumahnya yg berlokasi di jln plawa denpasar.. hal ini yg membuat saya sangat tidak terima.. dy mengatakan kami ngayah di puri,kalu dya mengagungkan trahnya, saya jga dr trah yg sama yg membuat saya tidak terima sya dikatakan ngayah disana,, ogah banget!! dya blng 500 mahasiswa, BOHONG besar, wong hampir semua mahasiswanya keluar.. saya ketawa kalo baca dikoran yg super duper lebay memberitakan dya.. gara”dya saya meti nunggu 1 thn buat ngulang kuliah.. ini yg bener” merugika saya.. terima kasih pak raja atas wkt yg terbuang sia”!!
Ohh yah bli saya bole tnya ..?
kalo kluar bener masuk penjara apa ngak yah???
commentnya lumayan banyak yaah.. begini bapak”yg budiman, saya dulu sempet mnjadi mahasiswa beasiswanya,bulan desember saya keluar dr kampus itu.. saya mengalami sendiri dan menghadapi langsung bapak yg katanya raja ini,, awalnya saya kagum.. tpi setelah melihat langsung, ternyata sangat kasar,suka menghina org, staf yg anda lia, semuanya mahasiswa beasiswa.. ada yg jdi cleaning service.. saya jga sempat jaga di kmpus dr pukul 9 pagi sampai 9 malam hanya dpt 10 rbu per hari jaga.. dan yg katanya beasiswa, ternyata bohong saya harus membayar 161 rbu terhitung dr awalospek dr bulan juni. kemudian kami mahasiswa beasiswa pernah jga disuruh utk terlibat dalam acara upacara pernikahan adiknya, kami disuruh mengecet rumahnya yg berlokasi di jln plawa denpasar.. hal ini yg membuat saya sangat tidak terima.. dy mengatakan kami ngayah di puri,kalu dya mengagungkan trahnya, saya jga dr trah yg sama yg membuat saya tidak terima sya dikatakan ngayah disana,, ogah banget!! dya blng 500 0mahasiswa, BOHONG besar, wong hampir semua mahasiswanya keluar.. saya ketawa kalo baca dikoran yg super duper lebay memberitakan dya.. gara”dya saya meti nunggu 1 thn buat ngulang kuliah.. ini yg bener” merugika saya.. terima kasih pak raja atas wkt yg terbuang sia”!!
pikiran saya simple.
orang besar itu ndak perlu promo apalagi self-titled model AW ini. saya jadi teringat “manusia2 bersinar hitam yang mengaku dirinya tuhan,”pedanda baka yg di luar kelihatan banyak memberikan sumbangsih bagi masyarakat luas, tapi ujung – ujungnya satu – persatu dicaplok juga.
sepanjang sejarah dunia, banyak sudah “nabi2” palsu yg mengaku mendapatkan wahyu, toh seiring waktu kedoknya terungkap juga. dgn semangatnya proaktif menggalang massa, sementara nabi yg sejati malah diam; massa yg mendatanginya. indonesia tercinta bagi saya tetap stagnan tanpa perubahan yg berarti bila setiap pemilihan pemimpin malah calonnya yg menggebu- gebu mendatangi KPU buat ndaftar. apalagi fenomena artis2 yg mulai redup sinarnya mencari peruntungan di DPR. walah. yg asik itu, pas pemilihan, massa yg mendatangi sosok yg mau dijadikan pemimpin. kalau perlu ancam tuh orang kalau gak mau mimpin! hehe..
democrazy jaman sekarang itu ambigu. ngandelin voting dan suara terbanyak. kalau yg banyak bilang bumi itu bentuknya trapesium, sementara yg minor bilang bunder, yg menang ya yg trapesium. hhehe..
jadi ngelantur gwe. intinya: drop dead-lah buat wedakarna, eks boyband gak mutu; nabi palsu bersinar hitam. mengaku dirinya tuhan. layaknya binatang mirip burung koak dan tokek yg “ngadanin dewek pedidi”.
we don’t need another “hero.”
@ gung cahya : pengalaman yang anda alami adalah sebuah realita. Mungkin ada banyak orang yang merasa tertipu oleh si AW. Saya pribadi tidak akan meragukan kebenaran cerita anda, tetapi mungkin juga tidak sepenuhnya mempercainya. Saya hanya akan mengatakan bahwa ada banyak kebohongan disekitar kita. Sekolah, agama, desa adat, bahkan negara ini juga bisa jadi adalah kumpulan dari banyak sekali kebohongan-kebohongan. Dan kita semua ini sangat mungkin adalah korban dari kebohongan-kebohongan tersebut. Namun tidak banyak kebohongan yang kita sadari sebagai sebuah kebohongan. Hanya sedikit kebohongan yang dengan cepat kita sadari. Tidak jarang juga, kebohongan bagi kita, adalah kebenaran bagi orang lain, begitu juga sebaliknya, kebenaran bagi kita adalah kebohongan bagi orang lain. Demikianlah sesungguhnya kita ini hidup, berada dalam banyak kebohongan yang kita yakini sebagai kebenaran dan kebenaran yang kita yakini sebagai kebohongan.
Adalah hak kita untuk bercerita dan menceritakan soal mana yang bohong dan mana yang benar menurut versi kita. Si AW sedang menceritakan kebenaran yang dia yakini dan anda juga telah menceritakan soal kebohongannya si AW. Lalu kita semua akan menilai, mana yang menurut kita kebenaran mana yang kebohongan. Adalah hak kita juga untuk meyakini mana yang benar dan mana yang bohong. Dan adalah hak kita pula untuk mengambil sikap atas penilaian tersebut. Tetapi akan jauh lebih bijak jika kita tidak melakukan justifikasi dengan mengeneralisasi dengan mengatakan bahwa semua adalah kebohongan, atau semuanya adalah kebenaran.
APa itu kebenaran selain dari kebohongan-kebohongan yang sering diucapkan??
well,winata..seems that you are his supporter..i can see how arrogant AW is..he is a big liar..setiap orang pernah berbohong dan pasti selalu ada kebohongan dalam hidup ini..tapi bayangkan jika AW membohongi 200juta orang dan diulang setiap harinya di media, berapa kali lipat karma/azab buruk yang akan dia dapat krn telah melakukan itu dan menyakiti banyak orang (walaupun ada juga yang merasa diuntungkan olehnya-yaitu: orang picik). hiduplah sebagai orang yang jujur dan bantulah orang dengan ikhlas (jika benar mau membantu), jangan berharap atau ada maksud terselubung di dalamnya. soon or later he and all of his supporters will get the karma..or you may say, if the people who comment here are liars, they will get the karma..but it’s seems unlikely..karena mereka adalah orang2 kecil yang jujur, yang hidup dengan lurus dan berusaha menjalani hidup yang singkat ini dengan sebaik-baiknya dengan bersekolah dan menimba ilmu.
pemikir-pemikiran yg maju patut kita contoh seperti saudara kita AW, jadilah AW yg berikutnya yg lebih maju dan brani membawa nama Bangsa dan khususnya Hindusm yg menjujung nilai nilai kebenaran Weda itu sendiri….semoga kita smua mempunyai pemikiran yg positif dan tidak mencemoh orang lain…damai slalu….berjuanglah saudaraku….
comentator yg terhormat…dari apa yg saya baca dari awal, sangat menggelitik buat saya terutama pemahaman anda tentang wawancara diatas ” sangat dangkal dan sempit ”
ada yg bilang meresahkan akan terjadi gesekan itu semua sangat dangkal, dimana tidak tersirat usaha untuk membenci kolompok lain, melainkan AW hanya ingin memperjuangkan keberadaan Hindu yg faktanya adalah minoritas di nusantara. tentu dalam perjuanganya itu harus ada media untuk itu baik dgn pendekatan politik, sosial,dan budaya. saran sy ga usah khawatir tentang itu selama kita tidak takut akan hadirnya kebesaran hindu yg kalau menurut sy akan pasti terjadi krn itu menyangkut keyakinan seseorang yg bebas untuk memilih.
dan buat yg merasa sakit hati karena di suruh cet rumah, itu terlalu bersifat pribadi yg melibatkan sentimentil semata dan itu hanya menyangkut hal negatif menurut dia, dan seketika melupakan hal positif yg di perjuangkan AW.
salam…..damai nusatara jaya.
aduh kasian ya nich orang @AW
kayanya sampai sebegitunya narsis banget sama dirinya…
padahal di Bali ga semua orang yang sepaham sama dia.
bukan nya dia dulu sempet buat boys band ama Indra Bekti & Roy Jordy.
mungkin ini raja , cocoknya jadi raja singa atau raja gila.
terlalu membual , gila hormat.
kayanya dia frustasi ga lolos seleksi jadi Gubernur Bali 2013.
ha…ha…ha
apalagi waktu baca thread diatas semua staffnya si raja Gila pakai name tag bertuliskan Istana Kepresidenan Republik Indonesia. wkakakak…wkwkakak
ngakak Lol!!! sambil guling-guling. memang dunia ini milik Arya Weda, semua sah jika dia berkehendak. Arya Weda memang “sesuatu” yah sesuatu banget “Gilanya”
Hormat saudara AW dan rekan2 pembaca.sebagai anak muda hindu bali khususny, saya bangga dengan apa yang dilakukan oleh saudara AW.tidak semua orang bs melakukan spt apa yang dilakukan oleh AW,melejitkan hindu,membangkitkan hindu dinusantara dan dunia. itu salah satu dharma sane mautama. kalau urusan AW berpolitik itu hak semua orang.kita sebagai hindu dharma hrs menghargai itu semua.asal AW tidak membawa hindu kepanggung politik untuk mencari keuntungan itu tidak masalah.
Hormat saya kepada Paduka Yang Mulia Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Semoga perjuangan-Mu membawa kejayaan nusantara !
Sebenarnya AW terlalu pintar, shg banyak orang terbuai mendengarkan khotbahnya, program Hindu center, program partai, program Sukarno center semua kelihatan berjalan mulus, apalagi ditambah pengakuannya menjadi raja Majapahitnya Bali,Doktor termuda di Indonesia, cuma saya heran kenapa Abiseke Ratu mau diterima dari seseorang yang belum dikenal masyarakat, kalaumemang seseorang intelektual mestinya sebelum Abiseke Ratu mempersiapkan diri dengan pembuktian bahwa dia trah raja Majapahit dengan melakukan tes DNA kalau memang hasilnya positif, baru dia melakukan dialog dengan eks Raja2 di Bali untuk mendapatkan pengakuan,apapun namanya terlalu…..ujung2nya abnormal, terlalu kenyang muntah, terlalu pintar bisa jadi gila……
saya adalah salah satu Rakyat Bali….to de poin…saya tidak setuju ada orang yang ngaku2 raja Majapahit…aneh…jaman sekarang ngajuman dewek pedidi…normal ape sing waras jeleme ne???…saya lihat orang ini cerdik dan ambisius…hati2 dgn sepak terjangnya….hati2…
BALI ITU BUKAN MAJAPAHIT… INGAT ADA ORANG2 BALI AGA YANG MENDIAMI PULAU BALI,,,,MEJAPAHIT ITU TIDAK LEBIH DARI PENJAJAH !!!!
majapahit harus bangkit, bangkitkan hindu di Indonesia.
leluhur kita semua dari majapahit aslinya..
maju terus majapahit..
majapahit harus bangkit, bangkitkan hindu di Indonesia.
leluhur kita semua dari majapahit aslinya..
Bung Karno bilang Kalau kamu pingn liat majapahit pergilah ke bali..
Mimih dewaratu betara… orang yg pro sama aw berati pikirannya didengkul, baca yg benar kalo kalian dipimpin sama yg begini seperti apa kedepannya think smart yah diolas
pro kontra hal yang biasa.. yg pnting kita lihat konsistensinya dlm menjaga Bali dan Hindu.. ada sgelintir yg memang sya tdk suka, namun bnyak hal juga yg perlu sya cntoh dr beliau.. intinya yg jlek2 dibuang yg positif2 diambil.. suksma
Ijin Share gan, Apik 😀
Dari kata dan kalimat yg disampaikan , Sy melihat begitu besar Ego diri dan kesombongan yg ditunjukkan, jauh dari kesan insan yg memahami spiritualitas Hindu .
saya setuju dengan anda Made Duarsa.
Dari kalimat yang disampaikan oleh Wedakarna seperti pada kalimat dibawah ini, ini sangat merendahkan orang bali dan pulau bali yang dia anggap jika dia di bali pemikiran jadi sempit dan rekan2 aktivis tidak banyak yg nyambung, yang seharusnya tidak diucapkan oleh seorang raja ( Raja tidak pernah menjelekkan Rakyatnya sendiri ) atau seorang rektor ( yg tugasnya mencerahkan pemikiran dan meluaskan pemikiran generasi muda ) seseorang yang berjuang atas nama masyarakat BALI malah menjelekkan BALI.
Berikut kalimatnya :
“Justru kalau saya, otak saya bukan buat Bali sebenarnya. Saya justru meyasar, kalau bisa saya ke pusat. Mungkin ke menteri dulu. Saya hanya perlu dekat dengan presiden saja. Saya perlu dekat orang pusat. Karena saya 11 tahun tinggal di Jakarta. Masuk ke Bali otak saya langsung drop. Pemikiran jadi sempit, seperti katak balik lagi kembali ke asal.
Saya nggak kuat terhadap orang-orang yang saya ajak diskusi. Terhadap teman-teman seperjuangan aktivis. Nggak nyambung semua.”
Rame-rame berantas koruptor. Baca di sini https://adherba-radices.blogspot.co.id/2017/10/rame-rame-berantas-koruptor_25.html
25 menit membaca artikel ini, sungguh ruuaarr biasaaaa luucuuuuu TERTAWA SAMBIL MENGERNYITKAN DAHI tdk konsistem dan terlalu sombong, raja itu seharunys seperti padi dong, bukan tengadah begitu pak senator !!! Hadehhhh
Kita perlu tokoh yang benar-benar serius dalam mempertahankan keberlangsungan agama hindu di bali. Saat kita mulai terkikis oleh faktor eksternal, beliau dapat mengingatkan kita tentang pentingnya keberlangsungan agama hindu lewat media. Pencitraan itu penting, tanpa itu kita akan terus terkikis oleh pencitraan lain dari faktor eksternal. Walaupun, beliau tidaklah sempurna untuk semua orang. Esensi utama adalah keberlangsungan hindu. Dengan adanya beliau di pemerintahan, tentunya umat hindu punya kekuatan lebih untuk mempertahankan hak-haknya di negeri ini.