
“Ada petuah leluhur, tidak dikasih mengontrakkan. Kalau dijual tidak baik secara niskala,” tutur Wayan Suja pelan. Lahan sawahnya di antara berbagai sarana wisata seperti restoran dengan kolam renang, cafe, dan lainnya.
Tegallalang dengan wisata Ceking, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan. Mereka terlihat berbaris rapi menyusuri rute trekking di sawah Tegallalang. Para pedagang sibuk menawarkan dagangannya, seperti pakaian maupun kerajinan tangan. Pramusaji restoran ikut ambil bagian, sinar mentari nan terik tak menghalangi mereka membawa buku menu sembari bertanya ramah, “Lunch Sir?”

Hiruk pikuk itu tak lantas membuat Wayan Suja (66) jadi fomo. Ini sebutan gaul di internet untuk mereka yang takut ketinggalan hal baru. Alih-alih menawarkan dagangan Suja tampak menyiapkan banten saiban (sesajen yang dihaturkan setelah memasak nasi). Tangan keriputnya perlahan menyusun daun pisang dan meletakkan nasi sesuai jumlah daun yang dipotong. Toko seni Suja bernama Kapu-Kapu Legendary, seingatnya toko kecil itu telah dibukanya sejak 15 tahun lalu.
Banten saiban yang siap dihaturkan itu, harus diletakkan kembali karena ada tamu yang datang. Mengira akan membeli, Suja dengan perlahan mengambil photo card berbagai pemandangan alam di Bali dan menawarkannya pada kedua wisatawan itu. Meskipun tak membeli, Suja tetap mengizinkan para wisatawan berfoto di areal toko seninya. Suja tampak santai, bagi Suja ketika pembeli menolak, itu sudah biasa.

Toko seni Suja tak luas, hanya ada dua bangunan kecil beratapkan seng, bangunnnya pun semi permanen. Bukan tanpa alasan Suja membangun seperti itu, baginya jika lahan turun-temurun dari leluhurnya itu dibeton, akan berdampak pada sawah dan keluarganya. Sehari-hari, Suja bertani di lahan sawah miliknya. Lahan itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan uapacara keagamaan saja.
Ketika Ia sibuk bertani, istri Suja yaitu Made Lari (55) bertugas menjaga toko mereka. Lari menjelaskan sudah beberapa kali ada yang menawarkan agar tanahnya dikontrakkan atau dijual saja, tetapi Lari kukuh menolak. “Wenten yang dot meli (Ada yang ingin beli) tanah ini, ditanya saya, bisa nggak dijual, kalau saya nggak mau jual,” tegas Lari.
Satu-satunya anak Suja dan Lari tak bisa membantu di sawah maupun di toko lantaran menderita polio, sehari-hari menggunakan kursi roda. Harapan pasangan suami istri ini hanyalah pada sang cucu yang masih kelas dua sekolah dasar untuk melanjutkan toko seni, tanpa mengontrakkan, menjual, apalagi membeton lahan sawah. “Orang dekat sini mau beli tapi saya nggak jual, saya ingin bertahan dan anak lingsir (leluhur) jangan dikontrakkan, tanahnya ada Bhisama, kata tetua dikontrak tidak bisa, apalagi dijual,” terang Suja.

Bhisama tergolong sebagai norma agama. Sanksi norma agama bagi pelanggar-pelanggarnya tergantung dari keyakinan umat pada ajaran agamanya. Kepercayaan inilah yang dipegang kukuh Suja dan Lari, alhasil hanya toko seni mereka yang masih hijau itu terhimpit oleh resto dan toko seni dengan bangunan permanen.
Sebelum beratapkan seng, toko seni Suja beratapkan klangsah (anyaman dari daun kelapa). Pada masa itu keduanya menjual berbagai jenis minuman, salah satunya kelapa muda. Kerajinan tangan yang dijual hanyalah topi bertani. Kini Suja dan Lari menjual pakaian, kain, kerajinan tangan, dan photocard.

Pasangan asli Dusun Pakudui, Desa Kedisan, Kecamatan Tegallalang ini masih menggarap lahan persawahan hingga kini. Alasannya, karena keduanya khawatir apabila pariwisata kembali lesu, pertanian yang seharusnya menjadi garapan utama akan menghilang. “Nanti kalau macet tamunya, susah buat sawah lagi karena sudah dibeton, membuang beton dipakai sawah itu sudah nggak bisa,” jelas Suja.
Keyakinan secara niskala yang dipegang teguh Suja dan Lari adalah salah satu upaya pelestarian ekologi melalui kearifan lokal. Bali membutuhkan sosok seperti Suja dan Lari lainnya. Masih adakah?