Teks Eka Juni Artawan, Foto Anton Muhajir
Aroma harum tercium seakan menyapa tatkala langkah kaki saya memasuki areal perkuburan (Sema) Trunyan.
Persis di hadapan saya tumbuh sebuah pohon besar yang dinamakan pohon Taru Menyan. Diyakini pohon itulah memberi keharuman di sekitar wilayah perkuburan di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli ini.
Di perkuburan seluasnya sekitar setengah are itu nampak seorang pria bediri mengenakan topi di antara kerumuman pengunjung.
Dia Wayan Cipta, 35 tahun. Siang itu dia sedang bercakap-cakap menjawab pertanyaan dari teman-teman Bali Blogger Community dan Balebengong yang lebih dulu tiba di lokasi.
Di hadapan barisan jenazah yang sudah mulai terurai, ia menjelaskan apa adanya perihal keberadaan serta adat pemakanan yang berlaku di desa tersebut.
Wayan bekerja sebagai pemandu wisata Trunyan semenjak ia masih bujang. Selama ia memandu tentunya pengalaman suka lebih banyak ia dapatkan dibanding dukanya.
Ia menyambut gembira kedatangan wisata yang berkunjung, baik itu asing maupun lokal. Baginya, kedatangan wisatawan merupakan sebuah berkah. Lebih-lebih jika tamunya sedang baik atau puas dari pelayanannnya. Uang tip tentu bisa ia kantongi.
“Uang tip merupakan pemberian secara pribadi menurut keikhlasan pengunjung terutama bagi wisatawan asing. Kadang Rp 50.000 bahkan Rp 100.000 bisa masuk ke kantong,” tutur bapak dua anak ini.
Selain Wayan, ada 55 pemandu lain di Trunyan. Mereka bekerja secara bergantian. Dalam seminggu, satu pemandu mendapat giliran dua kali.
Selain uang TIP tadi ia juga memperoleh pendapatan dari kelompok pemandu. Tentu di saat ia sedang bertugas. Besarnya Rp. 20.000 perhari. Kadang juga lebih. “Tergantung situasi jumlah kunjungan wisatawan yang datang,” imbuhnya.
Selain bekerja sebagai seorang pemandu wisata, di hari yang lain ia juga bekerja mencari serta mengumpulkan ikan di sekitar Danau Batur. Danau terluas di Bali ini memang pusat pembibitan ikan. Ikan tersebut untuk dijualnya.
Istri Wayan ibu rumah tangga, mengasuh kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Wayan tinggal tidak jauh dari lokasi pemakaman berada. “Hanya beberapa menit,” ujarnya
Banjar Madya adalah banjar tempat tingalnya, sementara Kuburan Trunyan termasuk di wilayah Banjar Trunyan.
Sebagai seorang warga asli Trunyan, Wayan sudah banyak menyaksikan langsung prosesi kematian yang unik tersebut. Bahkan semasa muda ia menyaksikan sendiri jasad kakek serta neneknya yang telah tiada digeletakan berpagarkan bambu anyam secukupnya.
Bagi Wayan, semua cerita itu tak hanya disimpannya sendiri tapi untuk diceritakan pada tiap orang yang dipandunya. [b]
wow, pak wayan. kasi tau dong, pas ada yg mau dikubur di terunyan. pasti elok banged. karena katanya harus malam dan pake perahu ke kuburan..
mai buin #melali
Tumben pas kita kesana cuma ada pak wayan cipta saja. Biasanya banyak. Bergerombol bisa 5 – 10 orang.
Benar yg Luhde sarankan ke warga Trunyan, agar mereka mempunyai papan penunjuk harga. Biar jelas dan transparan tarif menyeberang ke kuburannya. Bila perlu, yg jaga memandu dan bagian tiketing menggunakan busana Bali.
itu udah di laksanakan ko