Teks dan Foto Luh De Suriyani
Suasana pemukiman di sekitar Jalan Sedap Malam, Denpasar Timur terlihat tenang, Senin pagi. Dua warga banjar yang terlibat konflik soal wilayah bersepakat menyelesaikan masalah secara damai setelah peristiwa pengerusakan yang terjadi di Banjar Buana Anyar, Sabtu (12/3) malam lalu.
Selain masalah territorial dan wewenang, kasus kekerasan oleh sejumlah pemuda Banjar Kebon Kuri Kelod, banjar tetangganya ini juga dipicu status yang dibuat salah seorang warga Buana Anyar di akun facebooknya. Dalam akun salah satu pemuda Buana Anyar, terekam status yang dinilai melecehkan Kebon Kuri. Ada kutipan kalimat berisi kata “kebon binatang”
Sebelum itu, konflik juga hampir terjadi saat malam pawai ogoh-ogoh, sehari sebelum Nyepi kemarin. Ogoh-ogoh Banjar Anyar disebut dihadang oleh Banjar Kebon Kuri Kelod. Untungnya tidak timbul perkelahian.
“Semua sudah diselesaikan secara musyawarah. Kami sepakat damai dan menarik laporan ke polisi,” ujar I NYoman Masdiana, Kelihan Adat Banjar Buana Anyar. Rumah dan mobilnya rusak parah akibat lemparan sejumlah orang pada Sabtu malam.
Sedikitnya lima rumah warga Buana Anyar yang lokasinya di gang-gang terpisah juga dilempar batu dan menimbulkan kerusakan. Lima motor dan satu mobil yang diparkir dalam rumah juga rusak.
Jejak kekerasan masih terlihat di balai banjar Buana Anyar, tempat pertemuan banjar yang menaungi sekitar 114 KK ini. Balai banjar Buana Anyar rusak dan masih dipasang police line. Pagar besi tumbang, pot bunga dari batu pecah, dan sejumlah sudut terlihat penuh pecahan batu
Pemimpin adat dan administratif kedua banjar telah bertemu dua kali sejak peristiwa yang meneror warga itu. Pertemuan terakhir bertempat di kantor Camat Denpasar Timur pada Minggu hingga tengah malam.
Dalam kesepakatan tertulis disebutkan peristiwa pengerusakan diselesaikan secara damai dengan minta maaf. Demikian juga dari pembuat akun facebook itu. Status ini dinilai penghinaan bagi warga Kebon Kuri yang masuk Lingkungan Kebon Kuri. Lingkungan Kebon Kuri ini terdiri dari empat banjar, kecuali Buana Anyar yang membuat banjar sejak 1988 ini.
Selain itu, Banjar Kebon Anyar diharap masuk ke lingkungan Kebon Kuri secara administrative dan mengikuti ritual pecaruan yang akan digelar. “Yang belum selesai hanya masalah batas wilayah yang akan diselesaikan nanti,” ujar Camat Dentim IB Alit. Sebagai sebuah banjar baru, Buana Anyar akan tetap ada, tapi secara administrative semua penduduk akan masuk Lingkungan Kebon Kuri.
Kebon Kori dalah sebuah desa wed di Kesiman yang sebagian warganya asal Denpasar. Sementara Buana Anyar adalah banjar hasil pemekaran yang sebagian besar warganya perantauan dari beberapa kabupaten lain di Bali. Selain itu juga mulai ada perantauan dari luar Bali dan beberapa warga asing yang bertempat tinggal di kawasan yang masih mempunyai sawah ini.
Menurut Masdiana, banjar Buana Anyar dibuat karena semakin banyak penduduk baru yang tinggal di kawasan Jalan Sedap Malam ini dan bersepakat membuat banjar baru.
“Kami menahan diri. Kami sadar sebagai warga perantauan dan tidak mau ada konflik lanjutan,” kata Masdiana yang berasal dari Buleleng ini. Segala kerusakan yang timbul akan ditanggung warganya, sementara pihak Camat akan membantu perbaikan banjar.
Ida Bagus Alit, warga Buana Anyar yang rumahnya juga dirusak mengatakan tak ingin ada kekerasan lain. “Saya lebih senang mengalah. Jangan sampai ada korban lagi,” katanya.
Masdiana dan Ida Bagus Alit warga dan IB Alit Camat tidak bisa memetakan dengan detail apa sebenarnya akar persoalan hingga meletupnya anrkisme. Hasil kesepatan mediasi juga mencampur-campurkan soal kewilayahan, status facebook, dan masalah ritual upakara.
I Ketut Sumarta, Sekretaris Majelis Ulama Desa Pekraman (MUDP) Bali mengatakan pejabat dan media harus memetakan masalah dengan tepat. “Jangan semua masalah dikaitkan dengan konflik adat. Jika kasus criminal harus diselesaikan secara hukum,” ujarnya.
Selama ini menurut Sumarta, kerancuan media dan pejabat terjadi ketika membicarakan soal konflik yang terjadi di Bali. Misalnya soal batas desa, perkelahian, dan lainnya. “Ini yang membuat masalah seperti ini laten, mudah merebak lagi walau sudah dibuat kesepakatan,” ujarnya.
Menurutnya persoalan yang muncul di desa jangan langsung dilabeli konflik adat. Bisa jadi itu hanya masalah kriminalitas biasa, hegemoni kelompok, atau penyalahgunaan wewenang. “Bali penuh dengan kerumunan simbol kolektif, jadi sangat mudah antar kelompok dibentrokkan karena masalah personal. Ini berbahaya,” jelas Sumarta.