Ribuan pohon salak adalah rumah bagi penduduk Banjar Dukuh, Desa Sibetan, Karangasem.
Wilayah seluas kira-kira 150 hektar itu ditanami pohon salak hampir 90 persen. Tak ada blok-blok perumahan karena sistem tempat tinggalnya ngubu atau di dalam kebun masing-masing.
Masyarakat Dukuh Sibetan hidup menyebar di antara lahan kebun salak. Tiap satu rumah menempati sebagian kecil dari luasan kebun yang dimilikinya. Jadi, secara khusus tidak ditemukan kawasan pemukiman di wilayah banjar Dukuh Sibetan, kecuali beberapa rumah dan warung di sekitar balai banjar. Walaupun tersebar, sebagian besar rumah yang ada sudah mendapat layanan listrik PLN, namun baru sebagian kecil yang mendapat layanan air PDAM.
Bulan Agustus-September ini adalah masa panen gaduh atau panen kali pertama, ketika pohon-pohon salak mulai berbuah dan berjatuhan ke tanah. Buah salak akan lebih lebat dan berjatuhan seperti musim gugur saat musim panen raya pada Januari-Februari nanti.
Namun, saat ini warga mulai khawatir dengan kemungkinan munculnya villa atau bujuk rayu invenstor yang membuat warga menjual lahannya. Mereka sedang menyempurnakan rencana tata ruang yang akan diusulkan ke pemerintah Kabupaten Karangasem.
“Saat ini pemerintah kabupaten sedang membuat detail tata ruang dan kami ingin menawarkan versi kami sendiri. Kami khawatir dengan kelestarian hutan salak,” ujar I Nyoman Sujana, Kepala Koperasi Banjar Dukuh, Sibetan, akhir Agustus lalu di Karangasem.
Kekhawatirannya dilatarbelakangi munculnya sejumlah penginapan dan rencana pengembangan wisata di sejumlah tempat di desa itu. “Penghasilan dari salak sulit diprediksi. Ini mudah dimanfaatkan orang,” tambah Sujana yang memulai pengorganisasian warga di banjarnya sejak awal tahun 2000 bersama Jaringan Ekowisata Desa (JED) dan Yayasan Wisnu ini.
I Nyoman Sadra, anggota DPRD Kabupaten Karangasem mengatakan kegelisahan warga Sibetan masuk akal karena saat ini sedang terjadi lobi-lobi investor ketika peraturan tata ruang daerah sedang disusun. “Keruwetan dan kegelisahan yang saat ini dihadapi menjadi semakin gamblang. Pergulatan kita adalah merebut ruang,” ujarnya.
Karangasem, menurutnya sudah mengalami penjualan tanah besar-besaran termasuk tanah adat. “Karena musuh kita sangat besar, maka harus menggunakan peluru yang besar, jangan sampai kekecilan bedil,” demikian Ia menganalogikan.
Sejumlah kabupeten memang sedang membuat rencana detail tata ruang untuk mengimplementasikan Perda No. 26 tahun 2009 tentang Tata Ruang Bali. Dalam Perda ini, diatur kawasan ruang terbuka hijau, perhutanan, dan lainnya untuk menghindari alih fungsi lahan. Setelah diputuskan, di tingkat kabupaten, sejumlah bupati malah minta revisi karena dinilai menghambat upaya kabupaten menarik investor wisata. Misalnya dari Bupati Karangasem, Gianyar, dan Tabanan.
“Ambisi investasi pariwisata yang mengorbankan lingkungan ini hanya bisa dihambat oleh warga desa sendiri. Karena biasanya warga hanya jadi penonton dan tidak terlibat dalam pengelolaan wisata,” ujar I Made Suarnatha, aktivis lingkungan dari Jaringan Ekowisata Desa.
Kini, warga Banjar Dukuh, salah satu dari 4 banjar di Sibetan telah memiliki peta desa sendiri dan rencana pemanfaatan ruang. Di bale banjarnya terlihat peta tiga dimensi yang memperlihatkan 90% lahan sebagai kebun, sisanya untuk perumahan, pura, dan tempat umum lainnya.
Selain itu ada rencana konservasi atau perlindungan wilayah-wilayah tertentu yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan budaya. Misalnya peraturan adat untuk menjual tanah pada warga di luar Desa Sibetan dan kesepakatan pertanian satu jenis, yaitu salak. “Bisa tanam lain seperti tumpang sari tapi tidak mendominasi tanaman aslinya,” ujar Sujana.
Kesepekatan ini berdasar pada keyakinan mereka pada cerita soal orang suci yang “menjaga” desa. Warga Dukuh Sibetan percaya bahwa keberadaan mereka ‘diawali’ oleh Jero Dukuh Sakti yang dikenal dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya sebagai seorang dukun. Selain membuat pesraman, Jero Dukuh Sakti juga menanam salak satu yang kemudian dianggap sebagai pohon salak pertama di Dukuh, bahkan di Desa Sibetan.
Ada juga pemanfaatan terbatas atas sumber daya seperti air sungai, tebing, dan tempat publik lainnya. “Kami akan mengusulkan rencana tata ruang sendiri ke pemerintah karena kami yang memahami desa sendiri,” ujar Sujana. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini dimuat di The Jakarta Post.