Sikap bersama Walhi Bali, Frontier, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali
Pendahuluan
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, tanah secara tegas mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Demikian pula dalam hal negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Tindakan-tindakan Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. (vide penjelasan PP 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi terbit PP no 11 Tahun 2010 adalah untuk mewujudkan keadilan agraria dengan menolak adanya monopoli hak penguasaan tanah yang menyebabkan tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat atas tanah.
Karena itu Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya dan apabila tanah ditelantarkan maka Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Oleh sebab itu, penelantaran tanah harus dicegah dan ditertibkan untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Dengan demikian pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Tanah HGB atas nama PT. Citratama Selaras (PT. CTS)
Bahwa peraturan mengenai pemberian hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak sebagaimana yang diatur dalam UUPA serta dalam peraturan pemerintah yang mengenai penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar juga mengikat terhadap penguasaan tanah HGB yang dipegang PT Citratama Selaras (PT. CTS) di Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung dengan izin luas lokasi 280 ha dengan luas tanah yang dikuasai 174.0020 Ha.
Berdasarkan informasi dari Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bali dalam rapat koordinasi masalah pembangunan BIP, 27 Juni 2011 di DPRD Bali lalu, tanah tersebut telah dikuasai PT. CTS sejak tahun 1994. Penguasaan ini merupakan hasil proses pengalihan dan pelepasan hak dimulai prosesnya sejak tahun 1992. Apabila dihitung sejak tahun tersebut sampai saat ini, tanah tersebut dikuasai oleh PT. CTS kurang lebih selama 17 tahun.
Bahwa berdasarkan pengamatan Walhi Bali serta memperhatikan dokumen-dokumen, terutama surat menyurat antara Kanwil BPN Propinsi Bali dengan Kelompok Petani Dompa Jimbaran, tanah tersebut terindikasi telantar karena sejak dikuasainya tanah tidak dipergunakan, dikelola dan diusahakan sesuai izin prinsip. Ini bisa dilihat dari Surat Gubernur Bali nomor 556.2/11308/Bina Ek, tentang Persetujuan Prinsip Membangun Usaha Kawasan Pariwisata tanggal 28 Agustus 1999. Hal mana di kawasan tanah tersebut sama sekali tidak terdapat pembangunan apapun yang menunjukan bahwa tanah tersebut dipergunakan sesuai izin prinsipnya.
Selanjutnya, tanah yang selama kurun waktu 17 tahun tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, sampai tidak mendapatkan sanksi apapun sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA berserta peraturan di bawahnya, malah tanah tersebut berencana dialihkan haknya kepada PT. Jimbaran Hijau yang akan dipergunakan untuk pembangunan Bali International Park (BIP) yang diklaim untuk mensukseskan KTT. APEC XXI/2013.
Fakta lainnya, bahwa di atas tanah HGB tersebut masih bermukin ratusan petani penggarap yang tergabung dalam Kelompok Tani Dompa Jimbaran. Meraka adalah para petani penggarap yang telah sejak lama bermukim di kawasan tersebut secara turun temurun, jauh sebelum PT. CTS menguasai tanah tersebut. Bahkan terindikasi bahwa proses pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. CTS diduga penuh dengan paksaan kepada petani dengan memanfaatkan aktor-aktor negara.
Pandangan dan Sikap Pegiat lingkungan dan Kemanusiaan (Walhi Bali, Frontier Bali, KPA Bali)
Bahwa persoalan sengketa tanah seharusnya diletakan dalam kerangka roh dari reforma agrarian sejati di mana tidak ada penguasaan tanah yang berlebihan dalam bentuk apapun karena tanah berfungsi sosial dan harus berkeadilan. Pandangan ini sejalan dengan semangat dari UUPA sebagai pedoman pokok agrarian di Indonesia.
Selanjutnya terhadap perkembangan dalam proses sengketa agrarian dengan obyek tanah yang diklaim dikuasai oleh PT. CTS (di mana di kawasan tersebut terdapat juga ratusan petani penggarap), di mana telah ada beberapa tindakan-tindakan baik dari pihak BPN RI, DPRD Provnsi Bali serta Gubernur Bali maka dapat disampaikan pendapat sebagai berikut:
1.Terhadap surat Gubernur Bali Nomor: 188.341/2493/Bappeda terutama rekomendasi Gubernur Bali tentang persetujuan pengalihan hak atas tanah PT. Citratama Selaras kepada PT. Jimbaran Hijau yang dikeluarkan pada 24 Juni 2011, maka kami menyatakan ketidaksetujuan kami atas isi surat tersebut. Adapun alasannya adalah karena:
a) Bahwa persetujuan tersebut tidak memperhatikan status tanah PT. CTS yang sudah ditelantarkan selama 17 tahun (sejak memperoleh HGB pada tahun 1994). Selain itu pemberian rekomendasi ini sama sekali tidak memperhatikan keberadaan petani yang telah mengelola lahan tersebut sejak tahun setidaknya tahun 70an (dengan bukti : kartu penyakap Tanah sementara – tahun 1977).
b) Bahwa pemberian rekomendasi tersebut bersifat prematur karena persetujuan tersebut dikeluarkan sebelum ada kepastian status tanah HGB atas nama PT. Citratama Selaras dari BPN RI yang terindikasi terlantar.
Dengan demikian patut dipertanyaakan apa motif dari Gubernur bali mengeluakan rekomendasi tersebut tanpa menunggu kepastian status tanah yang dikuasai PT. CTS mengingat tanah tersebut sedang terindikasi tanah terlantar?
2. Terhadap Tindakan BPN RI c.q. BPN Propinsi Bali dalam menjalankan kewenangannya terhadap tanah yang dikuasai oleh PT. CTS
Sebagaimana telah dijelaskan, tanah tersebut secara faktual adalah tanah ditelantarkan karena tidak ada pembangunan apapun yang sesuai dengan izin prinsip bagi penguasaan tanah tersebut.
Bahwa terhadap tanah-tanah yang secara faktual telah dilantarkan oleh pemegang hak, maka akan menimbulkan akibat hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUPA yang selanjutnya secara tegas diatur dalam PP 36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dan selanjutnya PP 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
Terhadap tanah yang ditelantarkan PT Citratama Selaras (PT. CTS) seharusnya dilakukan 3 Tahun setelah PT. CTS memperoleh HGB pada tahun 1994. Diterbitkannya PP sebelumnya yakni PP 36 tahun 1998 seharusnya juga telah mendorong BPN untuk melakukan penetapan status tahah terlantar HGB PT. CTS. Tercatat beberapa kali petani Dompa Jimbaran mengajukan penetapan tanah terlantar kepada BPN Wilayah Bali, namun tidak pernah ada tindakan dari institusi terkait.
Terbitnya PP, 11 tahun 2010 pada tanggal 22 Januari 2010, telah mengamanatkan BPN Wilayah, termasuk BPN Wilayah Bali untuk melakukan identifikasi tanah terlantar di daerahnya termasuk Lahan Terlantar yang selama ini dikuasai oleh PT. CTS. Namun, Hal tersebut baru dilakukan BPN Bali 15 bulan sejak terbitnya PP 11/2010. Setidak-tidaknya paling lambat pada April 2011, BPN Wilayah Bali baru melakukan identifikasi terhadap lahan PT. CTS yang diindikasikan terlantar. Jelas hal ini merupakan pengabaian PP 11/2010.
Pada Kesempatan lain, BPN Wilayah Provinsi Bali dalam surat jawabannya kepada I Nengah Netra sebagai Kuasa Kelompok Tani Dompa Jimbaran pada 11 April 2011 menyatakan bahwa telah dilakukan inventarisasi, identifikasi dan penelitian lapangan pada lahan yang diindikasikan terlantar atas nama PT. Citra Taman Selaras. Namun tidak pernah ada tindak lanjutan sebagaimana diatur dalam PP 11/2010 pasal 7 yakni sidang Panitia dan membuat berita acara. Yang selanjutnya dalam ayat 2 berita acara tersebut diserahkan kepada kepala kantor BPN. Dan setelah diindikasikan terlantar, menurut Pasal 8, Kepala Kantor BPN Wilayah seharusnya memberikan surat peringatan tertulis pertama paling lambat bulan April 2011.
Namun, hal tersebut juga tidak dilakukan. Ketua BPN malah mengirim surat mohon petunjuk kepastian status tanah atas nama PT. Citratama Selaras kepada Deputi Bidang pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat BPN RI.
Berbagai hal tersebut menunjukkan bahwa BPN propinsi Bali tidak menindaklanjuti secara tepat PP 11/2010 yang menyebabkan PT. CTS masih menguasai ratusan hektar lahan yang ditelantarnya selama 17 Tahun sampai sekarang. Terdapat dugaan dan indikasi telah terjadi malpraktek oleh BPN Wilayah Bali yang kemudian diikuti tindakan dari institusi lainnya dalam pelaksanaan amanat PP 10/2010.
Dengan pengabaian amanat pelaksanaan PP 11/2010 ini maka penetapan status tanah terlantar pada lahan yang dikuasai dan ditelantarkan oleh PT. CTS selama 19 (Sembilan belas) tahun sejak tahun 1992 tidak dapat dilakukan. Karena tidak ada penetapan status tanah terlantar, PT. CTS dapat mengalihkan HGB-nya pada PT Jimbaran Hijau yang seharusnya tanah tersebut telah dikuasai negara. Hal ini terdindikasi telah menyebabkan kerugian pada Negara dan harus diusut tuntas oleh Instansi yang berwenang.
Terhadap kegiatan peninjauan lapangan oleh DPRD Propinsi Bali pada Senin, 11 Juli 2011 di lokasi proyek BIP, Jimbaran.
Bahwa DPRD Bali atas desakan WALHI Bali pada 27 juni 2011 menyatakan akan turun ke lokasi tanah yang dikuasai oleh PT. CTS. Peninjauan tersebut untuk memverifikasi keberadaan petani penggarap yang telah diadukan WALHI Bali ke DPRD Bali.
Pada Senin 11 Juli 2011, rombongan DPRD Bali melakukan peninjauan secara mendadak dan sama sekali tidak memberitahukan WALHI Bali sebagai pihak pengadu. Secara etika politik sepatutnya DPRD Bali mengajak turut serta WALHI Bali dalam kegiatan tersebut.
Selanjutnya dalam kegiatan tersebut ternyata rombongan dewan yang dipimpin Made Arjaya hanya bersedia meninjau 1 titik lokasi (padahal lokasi tersebut seluas 280 Ha). Parahnya saat anggota dewan ditemui Koordinator Kelompok Tani Dompa Jimbaran, Anggota Dewan menolak diajak menengok pemukiman petani yang tersebar di kawasan tersebut dan hanya menyatakan bahwa mereka percaya petani itu ada di sana. Bahkan terkesan anggota dewan melakukan koor untuk mendukung BIP.
Tindakan tersebut berbanding terbalik dengan dengan pernyataan awal bahwa kegiatan penijauan guna mengecek kebenaran laporan WALHI Bali bahwa terdapat petani penggarap di sana.
Atas seluruh paparan pandangan tersebut diatas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Bahwa tanah yang dikuasai oleh PT. CTS (yang terindikasi terlantar) harus ditindaklanjuti sebagaimana yang diamanatkan oleh UUPA serta PP 11/2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar oleh pihak yang berwenang dalam hal ini BPN RI dan jajarannya.
2. Meminta kepada Gubernur Bali untuk memeriksa kembali surat rekomendasinya mengingat tanah yang dikuasai oleh PT. CTS adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang haknya dan terindikasi sebagai tanah terlantar. Seyogyanya BPN RI dalam mellaksanakan kewenangannya berpedoman kepada UUPA dan peraturan turunannya termasuk PP 11/2010 penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.
3. Meminta dilakukan peninjauan ulang lahan lokasi BIP dengan a. Melibatkan elemen WALHI Bali sebagai pengusul, b. Meninjau pemukiman petani penggarap yang berada di kawasan tersebut.
4. Seluruh pihak pengambil keputusan agar berhati-hati dan mengikuti berbagai ketentuan yang berlaku dengan memerhatikan hak-hak warga petani penggarap yang bermukim secara turun tenurun di lahan tersebut.
Humas
A. Haris & Wayan Gendo Suardana