Lahir dari keluarga kaya, Viebeke justru memilih turun ke desa-desa membantu kaum papa.
Melalui komunitas filantropi I’m an Angel (IAA), Asana Viebeke Lengkong terus menjangkau berbagai komunitas marginal di Bali. Pemilik PT Asana Santi, di bidang properti, ini menelisik hingga desa-desa di pedalaman Bali.
Viebeke, begitu dia biasa dipanggil, adalah anak dari bintang film tahun 1940-an, Nila Djuwita. Ayahnya salah satu pendiri perusahaan perkapalan PT Samudera Indonesia. Karena itu, Viebeke lahir dan besar di tengah keluarga elite Indonesia.
Rumahnya di Jakarta berada di dekat Lapangan Banteng sehingga dekat dengan Kantor Berita Antara. Baginya, ini memudahkan interaksi dengan banyak tokoh penting Indonesia saat itu. Apalagi, ayahnya termasuk salah satu pendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Namun, sejak kecil pula, Viebeke dipaksa oleh ayahnya untuk menghabiskan waktu di desa-desa. Meski lahir dan tinggal di Jakarta, sejak umur sekitar 6 tahun, Viebeke sudah sering dititipkan oleh ayahnya di desa-desa di Gombong (Jawa Tengah) dan Malang (Jawa Timur). “Ditinggal begitu saja di desa biar saya bisa tinggal dan belajar di sana,” ujarnya.
Ibu dua anak ini bercerita, ketika masih SD, dia sudah biasa main di sawah, digigit lintah, dan semacamnya meskipun orang tuanya dari keluarga kaya. “Bapak saya suka petualangan. Dia mengajarkan hal itu sejak saya masih SD,” Viebeke bercerita di rumahnya di kawasan Canggu, Kuta Utara, Bali akhir Januari lalu.
Pengalaman tinggal dan bergaul dengan orang-orang desa, meskipun lahir dari keluarga kaya, membekas di pikiran Viebeke. Meskipun pernah kuliah dan tinggal di New York dan London, dia kemudian memilih tinggal di Bali dan mengabdi untuk kelompok-kelompok terpinggirkan.
Viebeke menjangkau anak-anak dan warga yang selama ini tidak terjangkau program pemerintah.
Terpencil
Hingga saat ini, hampir tiap minggu dia ke desa-desa di pedalaman Bali yang tak pernah masuk dalam brosur pariwisata Bali. Sekadar contoh adalah Dusun Paleg di mana Viebeke dan teman-teman mendukung pembangunan jalan bagi warga setempat. Mereka membantu biaya pembangunan satu-satunya jalan yang menghubungkan desa terpencil ini dengan desa-desa lain di sekitarnya.
Dusun Paleg masuk Desa Tianyar Timur, Kecamatan Kubu, Karangasem, Bali. Jarak dari Denpasar sekitar 200 km dengan medan yang tidak gampang. Jalan naik turun berkelok dan rusak di sana sini. Buruknya infrastruktur di dusun ini sejalan dengan kurangnya akses warga pada kesehatan dan pelayanan publik.
Bersama teman-temannya, ke tempat-tempat yang tersembunyi di antara gemerlap Bali tersebut, perempuan kelahiran Jakarta 7 Mei ini mengabdi.
Selain Dusun Paleg, desa lain yang kerap dia kunjungi adalah Desa Ban, Desa Pedahan, Dusun Butiyang, dan tempat-tempat lain yang identik dengan keterbelakangan di Bali. Semuanya jauh dari pusat kota dengan infrastruktur yang termasuk hancur. Wilayah kerja IAA lebih banyak di dua kabupaten di Bali dengan angka kemiskinan tertinggi, Karangasem dan Buleleng.
Keseharian Viebeke akrab dengan warga desa yang biasanya kumuh, atau anak-anak ingusan dan korengan. Dalam bahasa Bali yang lancar, meskipun tidak ada darah Bali dalam tubuhnya, Viebeke bisa lebih dekat dengan mereka untuk tahu apa yang mereka hadapi dan membantunya.
Menurut Viebeke, IAA menerapkan mekanisme pemberdayaan yang diharapkan terjadinya perubahan kualitas hidup secara permanen. “Menjadi dermawan itu mulia. Tapi, lebih mulia apabila kita bisa meletakkan sesama manusia dalam level yang berdaya,” ujarnya.
“Berdaya dalam hal memilih. Bukan hanya sekadar hidup, tetapi juga mempunyai mimpi dan harapan,” Viebek melanjutkan.
Tak hanya memperbaiki infrastruktur, bersama teman-temannya di IAA, Viebeke yang juga Presiden PT Inti Tata Asana Kharisma ini juga memberikan dukungan dalam bentuk lain pada warga-warga desa yang termarginalkan ini. Misalnya, bantuan pendidikan, penyediaan gizi tambahan, layanan kesehatan, pelestarian lingkungan, bantuan pascabencana, dan lain-lain.
Di lapangan, kegiatan itu misalnya berupa pemberian susu tambahan bagi anak-anak SD, bantuan untuk anak-anak pengidap kanker, pemeriksaan kesehatan bagi ibu-ibu, dan seterusnya. “Kami tidak memberi. Kami berbagi. Dan, dengan strategi ini, kami ingin memberdayakan warga agar mereka berpikir dan bisa menolong diri sendiri,” kata Viebeke.
Meloncat
Menurut saya, berbicara dengan Viebeke bukan perkara mudah. Tiap kali ngobrol dengannya, tema obrolan sering meloncat-loncat berganti tema pembicaraannya ketika diajak ngobrol. Sekali waktu dia berbicara tentang keluarganya, mendadak meloncat jauh hingga pedalaman Bali. Sekali waktu berbicara tentang pengalaman dia kuliah dan bekerja di Amerika, lalu tiba-tiba berpindah tentang kian turunnya kualitas lingkungan di Bali.
Tema obrolan yang meloncat-loncat menggambarkan, begitulah pula kegiatan dan kepedulian Viebeke. Dari bantuan untuk kelompok terpinggirkan hingga penyelamatan lingkungan.
Secara personal, Viebeke terlibat dalam beberapa gerakan kemanusiaan di Bali. Ketika terjadi bom Bali pada tahun 2012, Viebeke termasuk salah satu tokoh yang menggerakkan dukungan internasional kepada para korban. Viebeke juga pernah menjadi anggota Parum Samigita, kelompok warga lintas-aktor di Kuta yang memberikan perhatian pada wilayah Kuta dan sekitarnya.
Kedekatan Viebeke dengan Kuta bermula sejak remaja. Dia mengaku saat masih umur belasan sudah sering berkunjung dan kemudian tinggal di Bali. Karena itu pula dia akrab dengan warga Kuta dan bahkan menjadi warga di sana. Viebeke dekat dengan warga adat dan sering terlibat dengan kegiatan-kegiatan mereka, termasuk tokoh-tokoh Kuta.
Rumah Viebeke yang luas di daerah Kerobokan, Kuta Utara tak hanya jadi tempat tinggal. Di rumah serupa vila ini, Viebeke juga sering menggelar pertemuan dengan kelompok-kelompok warga yang kritis terhadap pembangunan di Bali. Salah satu yang ramai adalah ketika ada gerakan warga menolak pembangunan hotel di Loloan Yeh Poh Pantai Berawa, Kerobokan, Kuta Utara pada tahun 2008.
Saat itu warga lokal menolak pembangunan hotel tersebut karena dianggap akan merusak lingkungan dan kawasan suci. Viebeke salah satu tokoh di belakang gerakan penolakan yang berhasil menggagalkan rencana pembangunan tersebut.
Kepedulian Viebeke berlanjut hingga saat ini termasuk dalam gerakan Bali Tolak Reklamasi yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa di Kuta Selatan. “Jika tidak ada yang mengingatkan rakusnya pariwisata, maka warga Bali sendiri yang akan menjadi korban. Oleh karena itu, kita semua harus terus mengingatkan agar pariwisata tidak mengorbankan lingkungan,” katanya. [b]
Foto-foto Wayan Angga.
Comments 1