Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017 berjalan sukses.
Program tahunan ini kembali menjadi kancah pertukaran ide, inspirasi, dan pembelajaran antara penulis dan pembaca dari Indonesia dan negara-negara lain pada 25-29 Oktober lalu. Mengusung tema Origins atau Asal Muasal dalam bahasa Indonesia, program selama lima hari tersebut diisi ratusan program yang disusun berdasarkan sesuai tema.
UWRF tahun 2017 ini membawa 160 lebih figur-figur mengagumkan dari 30 negara di seluruh dunia untuk tampil di atas satu panggung. Mereka berkolaborasi atas nama sastra dan seni.
Nama-nama besar dunia sastra nasional maupun internasional seperti NH. Dini, Sutardji Calzoum Bachri, Seno Gumira Ajidarma, Leila S. Chudori, Joko Pinurbo, Intan Paramaditha, Trinity, Jung Chang, Ian Rankin, Simon Winchester, Madeleine Thien, Han Yujoo, dan masih banyak lagi, tampil berdampingan dengan seniman, desainer, sutradara, penari, musisi, dan aktor seperti Pierre Coffin, Djenar Maesa Ayu, Chicco Jericho, Voice of Baceprot, Kan Lumé, Lulu Lutfi Labibi, dan Sakdiyah Ma’ruf.
UWRF juga dengan bangga mempersembahkan sebuah penghargaan Lifetime Achievement Award kepada legenda hidup sastra Indonesia, NH. Dini, pada malam Gala Opening (25/10/2017) di Puri Saren Ubud.
Highlight lain dari UWRF 2017 adalah hadirnya 16 penulis emerging yang dipilih dari Seleksi Penulis Emerging Indonesia. Mereka yang datang dari beberapa tempat di seluruh pelosok Indonesia, tampil dalam sesi-sesi diskusi bersama pembicara-pembicara terkenal dunia dan meluncurkan buku Antologi 2017.
Sebanyak 72 diskusi atau Main Program di tiga venue utama UWRF, yaitu NEKA Museum, Indus Restaurant, dan Taman Baca selalu ramai dihadiri pengunjung. Mereka antusias mendengar diskusi-diskusi mendalam seperti di sesi Beyond the Front Page yang menghadirkan jurnalis-jurnalis top Asia untuk mendiskusikan isu-isu global terkini.
Di sesi Moving Images bersama beberapa pembuat film, penggalian kisah di balik layar dimulai dengan bahasan mengenai pesan yang ingin disampaikan kepada penonton. Serta masih banyak lagi sesi menginspirasi lainnya.
Setiap hari para pencinta sastra dan seni tersebut terus memenuhi lokasi-lokasi tempat 200 program UWRF yang terdiri dari sesi-sesi diskusi, workshop, Special Event, pemutaran film, panggung musik, pembacaan puisi, dan program pengembangan karier Emerging Voices yang tersebar di beberapa tempat di Ubud.
Tak ada satupun dari mereka yang terlihat mengkhawatirkan status Gunung Agung yang sedang Awas. Festival tetap berjalan lancar dan berhasil mengundang 25.000 lebih pengunjung. Banyak dari mereka adalah turis yang untuk pertama kalinya mengunjungi Bali.
Dari data yang dikumpulkan tim UWRF, saat penyelenggaraan festival, termasuk kehadiran penulis mancanegara dan pencinta sastra dalam dan luar negeri, telah berkontribusi lebih dari Rp 10 miliar. Perputaran tersebut dari para pengunjung selama enam hari untuk biaya akomodasi di banyak penginapan, transportasi, restauran, spa, yoga, souvenir, museum, galeri, dan acara budaya di sekitar Ubud dan Bali.
Ini adalah sebuah kontribusi dalam menggerakan ekonomi lokal, terutama di bidang pariwisata.
Jumlah tersebut tentunya sangat membanggakan dan sesuai dengan misi organisasi nirlaba yang menaungi UWRF, Yayasan Mudra Swari Saraswati, yaitu untuk memperkaya kehidupan masyarakat lokal melalui program-program seni dan budaya. Dari data tersebut juga tercatat bahwa 96% pengunjung yang hadir akan datang kembali untuk UWRF 2018.
Di acara penggalangan dana di Museum Blanco pada tanggal 26 Oktober lalu, berhasil terkumpul dana sebesar Rp 15 juta. Dana itu selanjutnya akan diserahkan kepada Kopernik, organisasi nirlaba di Ubud, yang akan diteruskan kepada masyarakat di daerah-daerah sekitar Gunung Agung yang terkena dampak aktifitas vulkanik. Malam penggalangan dana ini menghadirkan grup Papermoon Puppet Theater dan grup tari yang diketuai Eko Supriyanto, koreografer asal Indonesia yang berkiprah di panggung internasional. Setiap pengunjung yang hadir dikenakan biaya sebesar Rp 100 ribu sebagai bentuk donasi.
“Kendati persiapan UWRF dibayangi oleh ketakutan akan aktifitas vulkanik Gunung Agung, kami tetap bertekad untuk terus mendukung masyarakat Bali, yang mana adalah asal muasal terselenggaranya festival ini sendiri,” ujar Janet DeNeefe.
“UWRF lahir sebagai bentuk pemulihan dari sebuah tragedi, dan UWRF tahun ini adalah bukti bahwa selama 14 tahun penyelenggaraannya, UWRF terus bertahan dan berkembang dari tahun ke tahunnya,” lanjutnya.
“Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua penulis dan pembaca yang telah membantu keberhasilan UWRF tahun ini, baik di komunitas sastra dan seni maupun industri pariwisata Pulau Bali. Dari data yang tercatat tahun ini, hampir semua pengunjung ingin kembali lagi tahun depan dan kami juga sudah tidak sabar untuk kembali membawakan sebuah perhelatan sastra dan seni yang selalu ditunggu-tunggu ini pada tahun 2018.” ujar Founder & Director UWRF, Janet DeNeefe.
Ubud Writers & Readers Festival dijadwalkan untuk kembali lagi di tahun 2018 pada tanggal 24 hingga 28 Oktober. Tema UWRF 2017 akan diumumkan di website UWRF awal tahun depan. [b]