Teks dan Foto Bentara Budaya Bali
Mengapa setelah era represif Orde Baru tidak bermunculan karya-karya fiksi realis yang dengan tersurat menyuarakan isu-isu sosial di masyarakat?
Namun, sastra di setiap zaman, termasuk saat ini, tetap lahir dari kompleksitas situasi yang terus menerus berkembang secara dinamis dan tentu saja tak tertolak bagi kehidupan kita. Dr Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, mengungkapkan hal itu pada Diskusi Buku ‘Awas Kucing Hilang. Buku karya Rayni Massardi ini didiskusikan di Bentara Budaya Bali, Senin lalu.
Sebelum dialog, penyair Bali Eka Pranita Dewi membacakan salah satu cerpen dalam buku ini sebagai pembuka.
Menurut Rayni, semua tulisan dalam buku ini bolehlah dianggap merupakan cerminan kejadian yang dilihatnya sehari-hari. Bagaimana hewan-hewan dalam tiap kisahan tersebut sesungguhnya menjalin hubungan sedemikian rupa dengan manusia. Timbal balik yang tak putus-putus, di satu segi menunjukkan sisi humanis kita, tapi di sisi lain bisa juga menyiratkan ketakacuhan yang berbahaya pada lingkungan sekitar.
“Saya memilih kucing sebagai dedikasi atas kesetiaan mereka menemani keseharian manusia,” kata lulusan Universitas Paris III Sorbonne ini.
Menurut Darma Putra, yang juga esais, meski semua cerita menampilkan tokoh binatang, sebagian besar sebenarnya berkisah tentang perilaku manusia era kini. Kisah itu berangkat dari peristiwa-peristiwa sederhana yang dialami manusia dan hewan tersebut. Darma menuturkan, beberapa cerpen menampilkan banjir sebagai latar belakang. Misal, ‘Kutu Siap’ yang menurutnya dapat menggiring asosiasi pembaca pada musibah alam.
“Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika dikatakan bahwa buku ini adalah kumpulan cerita metafora mengenai bangsa yang acap kali dihantam bencana,” ujarnya.
Teknik berbahasa dalam buku ini memang sekilas terkesan sangat ringan, seakan ditulis tanpa sarat beban. Bahkan boleh dikata jauh dari kata-kata njelimet yang perlu upaya sungguh-sungguh untuk mencerna maknanya. Di sisi lain, masyarakat telanjur mengamini bahwa sastra adalah karya-karya dengan bahasa yang sukar dipahami alih-alih kontemplatif.
Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah model fiksi macam ini tidak dapat dimasukkan dalam kategori sastra seperti yang kita kenal. Padahal esensi di dalamnya mengandung keluasan makna yang mesti dicermati bersama sebagai upaya pembelajaran dalam perkembangan dunia tulis menulis di Nusantara.
Diskusi diikuti sekitar 162 peserta dari kalangan akademisi, pelajar, mahasiswa dan penggiat budaya ini membahas juga persoalan sastra dan bahasa yang tidak tumbuh subur di generasi muda. Hadir pula Noorca Massardi, dramawan Abu Bakar, cerpenis Gde Aryantha Sutama, novelis Oka Rusmini, Iwan Darmawan, penyair Wayan ‘Jengki’ Sunarta serta penggiat budaya lainnya. Tidak salah kiranya, remaja tidak akrab sama sekali dengan karya-karya sastra.
“Padahal apresiasi yang semarak membuka peluang lebih banyak untuk menumbuhkan sikap kritis memandang segala soal kekinian,” tambahnya.
Pendidikan mesti mengakomodasi kebutuhan pelajar terhadap karya sastra. Kesulitan-kesulitan saat ini terutama dalam pembelajaran bahasa adalah salah asuh yang mengakibatkan pelajaran ini tidak disukai bahkan cenderung dianaktirikan oleh pelajar. Oleh karena itu, upaya memasyarakatkan sastra lewat kegiatan-kegiatan seni budaya sangat diperlukan.
“Bentara Budaya Bali akan terus berupaya menghadirkan agenda-agenda sastra, seni dan budaya untuk masyarakat khususnya Bali. Tentunya tujuan kami adalah membuka wawasan publik terhadap kesenian dan kebudayaan sehingga terbuka pemikiran lebih kreatif. Apalagi dengan kehadiran anak-anak muda yang dengan aktif urun partisipasi,” ujar Juwita Lasut, staf Bentara Budaya Bali.
Ketika media massa dianggap berpihak terhadap kepentingan politik tertentu, sudah seharusnya sastrawan menjadi penyambung suara rakyat yang sebenar-benarnya lewat inovasi kreatif macam apapun. [b]