Bencana bertubi-tubi muncul sepanjang tahun 2021. Banjir bandang dan tanah longsor terjadi di Indonesia, tepatnya Nusa Tenggara Timur yang telah menelan ratusan korban dan kerugian lebih dari Rp. 24.409.100.000. Di belahan bumi lainnya, bencana yang tak terduga terjadi. Hujan ekstrim dan badai telah menyebabkan banjir bandang di Jerman dan Belgia. Kemudian gelombang panas telah menghasilkan kebakaran hutan di Yunani, Amerika Serikat, Canada, dan Australia.
Para ilmuwan telah memberikan peringatan tentang kemunculan bencana akibat perubahan iklim. Laporan pertama dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 1990 telah menyebutkan konsekuensi-konsekuensi yang terjadi akibat dari emisi gas rumah kaca. Fenomena ini akan menyebabkan cuaca ekstrim dengan laut dan atmosfer yang semakin panas dan mengancam sebagian besar wilayah di bumi. Bahkan para ilmuwan iklim telah memprediksi emisi ini akan menyebabkan bencana seperti kekeringan, gelombang panas, banjir, hingga badai. Namun bencana yang terjadi dari tahun 2020-2021 telah melampaui ramalan para ilmuwan, sebab hadir sebanyak dan secepat di luar perkiraan. “Kami tidak menyangka dampaknya akan seluas dan secepat ini berkembang,” ungkap Dieter Gerten, Profesor Klimatologi dan Hidrologi Perubahan Iklim di Institut Postdam.
Ketika Laut dan Atmosfer Semakin Panas
Pemanasan Global juga berarti laut yang semakin hangat. Hangatnya laut akan memberikan energi lebih besar dalam pembentukan badai, seperti siklon tropis di Nusa Tenggara Timur pada April kemarin. Ketika air hangat dan menguap akan menciptakan sel memutar dari udara yang lembab. Kemudian menghasilkan hujan dengan angin kencang. Semakin hangat air, maka semakin kuat badai yang dihasilkan. Kemudian ada atmosfer yang semakin hangat akan membuatnya semakin ‘haus’. Atmosfer yang lebih hangat akan menyedot lebih banyak uap air dari vegetasi dan tanah. Membuat kekeringan yang dapat berakibat kebakaran hutan.
Penelitian terbaru (26 Juli 2021), Erich Fischer bersama koleganya menemukan gelombang panas yang terjadi tahun ini telah memecahkan rekor dengan margin yang sangat besar. Mereka menganalisis ribuan tahun simulasi iklim untuk mengidentifikasi peristiwa panas yang pernah terjadi sebelumnya. Kemudian menemukan pemanasan global yang terjadi saat ini sebagian besar disebabkan oleh batubara, minyak, dan gas. Melansir The Conversation, penggunaan batubara, minyak, dan gas pembakaran telah membuat bumi semakin panas dan menyebabkan semakin besar lokasi yang akan mengalami gelombang panas dan jauh di luar apa yang pernah manusia alami.
Perubahan iklim telah menciptakan tantangan baru, yakni bencana di luar apa yang kita pernah alami. “Orang-orang memiliki ekspektasi berdasarkan pengalaman mereka sebelumnya, namun ini [bencana akibat krisis iklim] diluar pengalaman mereka,” kata Ann Bostrom, Peneliti Komunikasi Risiko di University of Washington kepada WIRED.
Ketersediaan Pangan di Tengah Krisis Iklim
Bencana dari krisis iklim datang sangat cepat hingga mengejutkan ilmuwan, menarik perhatian dunia, dan mengancam makhluk hidup. Dalam pertemuan Global Center on Adaptation (GCA), dinyatakan bahwa perubahan iklim telah menekan produksi pangan global hingga 30%.
Tantangan terhadap sistem produksi pangan hanyalah salah satu dampaknya. Menurut laporan IPCC, perubahan pola curah hujan akan membuat banyak daerah rentan kekeringan, sementara cuaca ekstrem akan mempersulit sistem pertanian dan merusak tanaman. “Peningkatan panas dan kelembaban akan membahayakan tanaman dan ternak, dengan kekeringan dan banjir akan menyebabkan gagal panen. Perlu adanya perubahan dalam sistem pertanian kita,” ungkap Ilan Kelman, profesor Bencana dan Kesehatan dari University College London.
Krisis iklim juga akan meningkatkan kemiskinan, kekurangan air, krisis pangan dan melonjaknya tingkat migrasi. Ketua GCA dan mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-Moon mengatakan kepada Aljazeera, “Ini [perubahan iklim] terjadi jauh, jauh lebih cepat dari yang kita kira, menyebabkan risiko dan dampak yang berjenjang. Maka membangun ketangguhan terhadap perubahan iklim tidak hanya baik untuk dimiliki, tapi harus dimiliki.”
Menghadapi Bencana Akibat Perubahan Iklim
Perlu adanya langkap cepat dan tepat dalam menanggapi cuaca ekstrim yang diakibatkan perubahan iklim. “Adaptasi terhadap krisis iklim bukan lagi dilihat sebagai masalah jangka panjang, tapi sesuatu yang perlu diinvestasikan saat ini,” kata Mami Mizutori, Sekretaris-Umum PBB yang secara khusus membahas Penanggulangan Bencana.
Namun bagaimana kesiapan negara-negara di dunia? Enam tahun sudah Paris Agreement berlaku, namun bencana yang terjadi sepanjang 2021 telah mengejutkan masyarakat atas ketidaksiapan mereka menghadapi dampak dari perubahan iklim yang begitu cepat. Seperti kebakaran hutan, banjir bandang, dan tanah longsor yang terjadi di sebagian besar wilayah dunia.
Di Indonesia Siklon Tropis Seroja merupakan salah satu bencana terbesar yang melanda Indonesia, tepatnya Nusa Tenggara Timur (NTT) di tahun 2021. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bencana ini merupakan dampak dari perubahan iklim yang tengah terjadi. “Ini adalah sesuatu yang perlu kita sadari bersama; bahwa global warming harus segera dimitigasi. Siklon Tropis bisa saja menjadi fenomena rutin tiap tahun dan akan semakin berbahaya,” ungkap Dwikorita Karnawati, Direktur BMKG.
Distribusi bantuan kepada pengunsi di Lembata dan Adonara (Foto: BARAKAT)
Berbagai elemen masyarakat pun melakukan respon tanggap darurat untuk menanggulangi dampak yang lebih buruk dari bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di NTT. Termasuk IDEP Foundation yang sehari setelah bencana langsung membuka donasi untuk membantu ketersediaan perlengkapan pengusian dan pangan bagi para pengungsi.
Distribusi bantuan pun dilakukan IDEP bersama mitra lokal YPPS pada 24 April 2021. Terdapat 32 bantuan yang terdiri dari bahan makanan, perlengkapan makan dan dapur, sanitasi, dan masker. Mereka yang menerima bantuan merupakan para pengungsi mandiri yang menempati ruang-ruang kelas SDN Nelemandike, Desa Nelelamawangi, Adonara.
IDEP juga melakukan distribusi bantuan dan pendampingan kepada warga di Lembata. Pasca bencana, warga mengungsi di pondok-pondok kayu yang sebelumnya dimanfaatkan untuk menyimpan hasil panen. Beruntung, kebun-kebun tempat mereka mengungsi telah memasuki masa panen, sehingga pengungsi masih bisa memanfaatkan pangan jagung yang tersedia. Namun, areal sanitasi dan toilet darurat masih belum tersedia. Maka dari itu, IDEP bersama mitra lokal Barakat membangun composting toilet di beberapa titik. Selain itu, ada juga pendistribusian makanan, peralatan makan dan masak, sanitasi, matras, dan air minum.
Salah satu sumber air para pengungsi di Lembata (Foto: Edward Angimoy)
Para ahli mengungkapkan banjir bandang dan tanah longsor di NTT terjadi karena deforestasi yang menyebabkan menurunya kapasitas tanah. Aktivitas ini terus dilakukan, meskipun Indonesia telah masuk dalam lima besar penyumbang gas emisi rumah kaca. Menurut laporan Climate Action Tracker, deforestasi untuk industri kelapa sawit dan kayu serta pemanfaatan energi fosil batubara menjadi kontributor terbesar dari pemanasan global.
Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
Sangat disayangkan deforestasi masih berlangsung di Indonesia, padahal hutan memiliki peran penting dalam menyerap karbon dan menjaga kestabilan ekosistem. Ketika hutan hilang, bahkan dibakar, dampak sebaliknya akan muncul bahkan lebih parah. Tidak hanya karbon dioksida, kebakaran hutan akan melepaskan metana dan memperparah emisi gas rumah kaca.
Selain menyerap karbon dioksida, hutan juga berfungsi sebagai daerah resapan air, sehingga meminimalisir terjadinya bencana kekeringan, banjir bandang, dan tanah longsor. Untuk itu, IDEP melakukan beberapa upaya perlindungan hutan sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim. Salah satunya, peresmian Hutan Belajar di Hutan Bali Barat. Kehadiran Hutan Belajar tidak hanya sebagai media pembelajar, melainkan juga areal konservasi yang mencerminkan hubungan yang selaras antara lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya.
Peresmian Hutan Belajar di Hutan Bali Barat, Desa Yehembang Kauh, 20 Maret 2021. (Foto: Utama Wira)
Terbentuknya Hutan Belajar tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat lokal yang turut menjaga ekosistem hutan itu sendiri. Masyarakat sekitar juga menerima pendampingan, terkait upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka diajak perlahan menjadi masyarakat yang tangguh, baik itu secara pangan maupun sumber daya manusia-nya. Dimulai dari pendampingan pembuatan kebun pekarangan keluarga, produksi produk pasca-panen, serta langkah-langkah mitigasi bencana.
Pendampingan terhadap masyarakat lokal juga menjadi upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Mereka mulai mandiri dengan memperoleh kebutuhan dapur melalui kebun, mengolah hasil panen yang berlebih, memanfaatkan benih organik yang lebih tanah terhadap perubahan iklim, dan melakukan seed saving.
Membuat Virgin Coconut Oil (VOC) (Foto: Wahyu Permana)
Seed Saving memberikan peluang bagi semua orang untuk terlibat dalam sistem pangan; berdaulat pangan. Di Bali, IDEP juga mengupayakan ketangguhan masyarakat yang adaptif terhadap perubahan iklim melalui seed saving. Sejak 2016 IDEP mendukung petani di Bali dalam memproduksi benih organik mereka sendiri. Salah satunya, kerja sama dengan petani dari Pedawa, Buleleng. Petani pun dilibatkan dalam beberapa pelatihan dan memperoleh pendampingan, hingga mampu menghasilkan benih organik. Mereka dapat memproduksi benih kacang panjang, terong, kemangi, belayan, buncis, hingga labu. Beberapa benih yang berlebih pun dapat didistribusikan oleh IDEP. “Biasanya petani disini hanya menunggu hasil tahunan dari berkebun, namun saat ini bisa memperoleh tambahan dengan menjual benih,” kata Kadek Asteya, petani dari Pedawa.
Melihat kondisi bibit petani di Pedawa, 4 Mei 2021 (Foto: Gusti Diah)
Ketika petani mampu melakukan seed saving, berarti mereka mampu berdaulat benih dan dapat mewujudkan kedaulatan pangan bersama. “Benih adalah sumber kehidupan. Benih adalah sumber pangan. Untuk melindungi kebebasan pangan, kita harus melindungi kebebasan benih,” ungkap Vandana Shiva dalam wawancaranya bersama BBC.
Mewujudkan kedaulatan pangan juga menjadi salah satu upaya IDEP bersama masyarakat di Desa Sumberklampok dengan membangun food forest. Konsep wanatani ini diproyeksikan menjadi contoh pengelolaan lahan berbasis keadilan iklim yang memasukan hak, kebutuhan, partisipasi masyarakat, dan keberlanjutan ekosistem sebagai pertimbangan utama. Untuk menerapkan konsep ini, IDEP akan mendukung masyarakat lokal dalam mengidentifikasi potensi dan zona yang ada. Pendampingan juga dilakukan untuk mengembangkan tempat pembenihan, pembibitan, kebun pekarangan, pengomposan, pengelolaan sampah, penyaringan air, dan produksi pasca panen.
Food Forest menjadi konsep yang ideal dalam upayanya mewujudkan keadilan iklim dan keberlanjutan alam. Selain kedaulatan pangan, masyarakat juga turut menjaga ekosistem di dalamnya. Krisis iklim memaksa kita untuk mengambil langkah cepat dalam melakukan mitigasi dan adaptasi, maka “perlu adanya pembangunan kedaulatan pangan yang berarti menjaga kesehatan tanah dan keanekaragaman hayati, melihat kembali pengetahuan tradisional yang mengarah pada keberlanjutan pertanian, dan mendukung pengembangan benih lokal yang mampu beradaptasi dengan perubahan iklim,” ungkap Shefali Sharma dari Institute Kebijakan Pertanian dan Perdagangan.