Pemuda Batumulapan menggelar apel bendera dengan cara tidak biasa. Apa itu?
Pada saat peringatan hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Indonesia, sudah biasa kita melakukan apel bendera di tanah lapang atau tempat terbuka. Kalau Sekaha Teruna Eka Putra Desa Pakraman Batumulapan, Desa Batununggul, Kecamatan Nusa Penida punya cara berbeda.
Pada peringatan hari kemerdekaan yang ke-72 peserta yang merupakan sekaa teruna diajak apel bendera di pesisir pantai setempat. Kostum yang digunakan kamben dan udeng, bukan baju khusus untuk pria sementara perempuannya menggunakan adat madya.
Tatakala surut, garis pantai yang membentang cukup luas sekira pkl. 16.30 wita apel bendera pun dilangsungkan. Berpacu kondisi pasang surut menjadi alasan apel bendera digelar sehari sebelum hari H perayaan HUT RI ke-72.
Menurut Ketua Seka Teruna (ST) Eka Puta I Putu Agus Widiantara, apel bendera yang dilakukan di pantai merupakan salah bentuk bangga kita terhadap negara tercinta. Isu-isu pelemahan dan mencabik-cabik keutuhan Pancasila sering kita jumpai dan bersliweran terutama di sosial media.
“Miris melihat kondisi tersebut, kami sebagai anak bangsa melalui acara ini merawat kembali rasa cinta dan kebhinekaan mengairahkan tiap pemuda khusus yang ada di Batumulapan serta secara keseluruhan,” kata Agus.
“Acara seperti merupakan implementasi kita sebagai pemuda memberikan pesan melalui pertunjukan,” lanjutnya.
Selain apel bendera, ada juga pembacaan puisi tentang bagiamana air mata garuda menetas melihat kondisi seperti sekarang ini.
Apel bendera berjalan sedemikan rupa, pembukaan acara disajikan berupa kirab bendera. Petugas sebanyak tiga orang berlari dari arah barat menuju lokasi jalannya apel. Dengan air di bawah lutut, tegas kaki telanjang menapaknya. Deru ombak menyertai selayaknya sebagai alunan nada tempo jalanya apel.
“Sesuatu hal baru muat mereka dengan cara seperti ini pemahaman dan lebih mudah mengshare arti sebuah cinta tanah air. Berangkat dari kegelisahan melihat situasi yang terjadi pelemahan pancasila sebagai simbol negara tercabik. Diskusi dengan perupa serta insan seni lahirnya ide ini,” kata pengagas acara I Dewa Gede Sentana.
Ia menjelaskan puisi yang dibaca, pergolakan saat pergerakan para pejuang bertahan demi negara tercinta bahkan darah dan nyawa jadi taruhan demi tegaknya bendera merah putih diujung tiang menembus cakrawala.
“Kok sekarang kita meributkan hal-hal sepele yang menjadi runyam mungkin garuda gemetaran dan meneteskan air mata melihat kondisi yang terjadi sekarang,” tuturnya. [b]