Film Under The Tree yang mengambil seeting Bali serta beberapa pemain utamanya dari Bali akan segera diputar di Bali. Sebelumnya akan diawali dengan special screening untuk undangan pada Sabtu, 10 Januari 2009 bertempat di Bali Galeria 21 yang diawali dengan resepsi dan ramah tamah bersama produser, director dan beberapa pemain utama Under The Tree.
Film Under The Tree karya sutradara Garin Nugroho sudah mengikuti beberapa festival film baik nasional maupun internasional dengan beberapa penghargaan yang membanggakan. Film ini dibintangi oleh Marcella Zalianty, Nadia Saphira, Ayu Laksmi, Ikranegara, I Ketut Rina, dr. Bulantrisna Djelantik, dll. Pemirsa di Bali dan kota-kota lain akan segera menikmati film ini di layar lebar setelahnya acara ini.
Film ini mengisahkan tiga sosok wanita bermasalah yakni Maharani, Tian dan Dewi yang harus menentramkan dirinya tinggal di Pantai Kuta Bali. Maharani (Marcella Zalianty) pergi ke Bali. Setelah mengetahui dirinya adalah anak angkat dari ibunya yang berasal dari seorang penari Bali. Di tengah kebencian pada ibunya, ia justru bertemu dengan peristiwa yang menyeretnya berupa praktek penjualan anak.
Lain lagi yang dialami Tian (Nadira Saphira) yang berasal dari keluarga kaya raya. Ia lari ke Bali, karena malu saat ayahnya seorang pejabat tinggi Teguh ditangkap KPK karena terlibat skandal korupsi triliunan rupiah
Sedangkan Dewi (Ayu Laksmi) seorang penyiar radio menghadapi konflik batin antara mengaborsi janin anaknya ataukah melahirkan bayinya. Meski si bayi menderita otaknya mengecil dan akan mampu hidup sebentar setelah kelahiran.
Namun sesungguhnya film Under The Tree adalah penggambaran problematika sosial dan lingkungan, Pulau Dewata adalah setting yang tepat untuk mewakili symbol tersebut. Bukan hanya alamnya, namun juga budaya dan manusianya. Adegan calonarang dan setting lainnya termasuk kiprah Ayu Laksmi dan artis lainnya dalam film ini adalah rangkaian perhitungan seorang Garin untuk membuat filmnya mampu “berkata-kata”. Tony Rayns seorang kritikus film yang memiliki minat terhadap film di Asia menulis buat film ini sebagai “Social realism meets mysticism, topical commentary meets poetry.” [b]
Sumber http://komunitaskreatifbali.wordpress.com/2009/01/08/under-the-tree-back-to-bali/
salam, mas kalau nyelonong kesitu bakalan diusir ndak ya?
sayang ya, saya ndak lolos sensor unt dapet tiketnya. hik..hik…. trus, kenken pilemne to dibi??
Nonton “Under The Tree” asyik juga. Ngga tau ya, apa karena pemainnya terutama yang orang Bali seperti Ketut Rina dan Aryani berakting alami banget… dialognya juga kebanyakan bahasa Bali sehari-hari, serasa nonton pertunjukan kesenian Bali dengan sentuhan modern dari tangan seorang Garin Nugroho. Adegan yang saya suka karena berhasil mencuri perhatian dan membuat penonton tertawa atau paling tidak senyum spontan, ketika tokoh Soka mencegat Kaler di ujung gang hanya karena iri, ingin dibonceng seperti saat Kaler mengantar jemput penari-penari cantik, juga ketika Soka diinterogasi polisi karena disangka terlibat kasus perdagangan bayi dan Kaler membela seraya menyebut Soka sebagai calon istri. Wajah Soka yang awalnya sedih dan gelisah karena dituduh macam-macam mendadak dihiasi senyum yang membuncah. Padahal sebelumnya digambarkan Soka dan Kaler bagaikan kucing dan tikus.
Di atas semua itu, meski masih terkesan sedikit abstrak bagi penonton awam, “Under The Tree” bolehlah jadi tontonan alternatif dari kancah film nasional yang belakangan dominan dengan horor dan komedi yang sayangnya jadi epigon “American Pie”. Bukan hanya karena film ini berlatar belakang Bali, menceritakan tentang orang-orang dan budaya Bali dan saya merasa sebagai orang Bali yang “perlu” nonton film ini, namun karena “Under The Tree” memang layak untuk disimak.
“Under the tree” nie film asik juga oii. Beda dengan film2 skrang yang mengesankan glamour and hepi-hepi. Nie film menyedot perhatian dan konsentrasi saat kita nonton. kita serasa masuk dan mengikuti alur ceritanya. Film ini mengambil garis besar cerita kisah cinta seorang ibu yang ada di ajaran, budaya, tarian dan realita sosial. Ada Tari tentang Gendari, ibu 100 kurawa. Ada Calon Arang. Ada juga nyanyian tentang kisah ibu. Dengan mengambil nilai2 filosofis itu, film ini serasa kaya sekali dan memberikan perspektif yang lain terhadap kesenian bali. Dibalut mistis, pesona keindahan bali serta pengambilan gambar yang menangkap ekspresi pemainnya membuat film ini layak dianugrahi “The Must Watched Film on Bali 2009” (hehehe… emang ada yah?). Maharani berkonflik dengan ibu angkatnya. Dewi mengalami dilema saat harus mengandung bayi yang mengalami kelainan otak dan tulang. Kedua-duanya sangat dekat sekali dengan konsep film ini. Tian yang diperankan oleh Nadia Saphira agak jauh dari konsep besar film ini. Ia tidak pernah digambarkan melakukan komunikasi dengan atau sebagai ibu. Trus berarti ga matching dunk? hoho .. ngga juga. Ia digambarkan sebagai perempuan yang jauh dari kasih ibu, sedang mengalami masa transisi dan mempunyai obsesi menemukan lelaki yang bisa “meniup hatinya menjadi bunga” (tahapan panjang jadi calon ibu oiii). selamat nonton!
halo ..
saya belum menonton film ini karena di Surabaya tidak tayang. Kalau mau cari formatnya dalam bentuk lain ada tidak yaa ??
trimss ..