Kami ujicoba menggunakan Bus Trans Metro Dewata ke Ubud, sekalian melihat Ubud kala pandemi ini pada 27 Agustus 2021. Kami memilih berhenti di titik Monkey Forest setelah start di lapangan Lumintang, Denpasar. Sekitar satu jam perjalanan, dengan belasan titik pemberhentian atau bus stop.
Tiba di areal jalan raya Monkey Forest, disambut deretan monyet ekor panjang yang menyejahterakan warga Desa Padang Tegal ini. Dua di antara mereka langsung merangsek kami, menunggangi tas gendong dan dengan cekatan mengambil beberapa barang dari kantong tas. Biarlah, mungkin mereka kesepian karena terbiasa hidup dengan ribuan turis di hutan monyet.
Ubud, salah satu destinasi pariwisata yang kini muram. Toko dan artshop berderet sama rata memberi kesan kawasan yang intim. Dagangan yang dijajakan mulai dari pernak pernik klasik hingga fashion. Jenis barang dalam ruko itu berorientasi pada kebutuhan tamu mancanegara. Namun, menjadi asing untuk kebutuhan masyarakat lokal, selain jenis barangnya, juga harga yang dipasang berstandar mata uang asing.
Seperti yang terjadi di beberapa daerah pariwisata, Ubud pun kini terbengkalai. Tak pelak, produk yang pernah dipasarkan ketika pariwisata menggeliat turut kena imbas. Beberapa produk klasik hingga glamor itu masih tertata di dalam ruko yang mulai berdebu. Tak laku. Beberapa diisi tulisan “for sale”. Rumput liar merayapi dinding bangunan yang lama tak tersentuh. Mungkin umurnya hampir sama dengan usia pandemi Covid19 yang hidup berdampingan hampir dua tahun ini.
Beberapa pemilik toko mempertahankan nafas tokonya dengan tetap buka, meski situasi lengang. Bergantung pada orang-orang yang sekadar lewat di daerah konservasi monyet itu. Beberapa pedagang memasang keterangan diskon. Ada pula yang mendiamkan bangunannya hingga terlihat tak terurus. Di tengah bangunan tak terurus, terselip kontak pemilik jasa yang pernah dijajakkan di toko itu. Tidak sedikit pula memilih untuk memasang keterangan “dikontrakkan”.
Kondisi bangunan-bangunan ini ibarat menampakkan bagaimana kerentanan pariwisata di tengah pandemi. Ia berjaya di tengah gemerlap turis-turis dengan mata uang asing. Namun, bergeming ketika bencana kesehatan menghampiri. Tak juga menunjukkan kehidupan meski properti diobral.
Foto dan Teks: Juniantari dan Bayu Saputra