Dua artikel Seword.com mengganggu nalar dan akal sehat saya.
Pagi itu saya sudah selesai memandikan anak serta minum kopi buatan sendiri karena istri saya bekerja. Ayam-ayam peliharaan keluarga saya juga mencari makan sendiri di halaman rumah.
Saya bahagia melihat ayam-ayam peliharan keluarga tersebut. Untuk sekadar makan, ayam-ayam itu tidak perlu mencari muka ke Istana Negara.
Namun, kebahagiaan saya terganggu dua artikel dari seword.com yang dibagikan beberapa teman di Facebook.
Artikel pertama berjudul “Superman Is Dead Tolak Pinangan Jokowi, Kaum Cabe-Cabean Tertawa, Sini Saya Skak Mat“. Tulisan itu katanya ingin meluruskan dan membantah pandangan maupun alasan Superman is Dead (SID) menolak tawaran istana yang ingin menggunakan lagunya sebagai soundtrack #JokowiMenjawab. Dari judulnya ada kecenderungan penulis ingin melawan logika pihak pihak yang mengapresiasi sikap SID dengan menggunakan istilah kaum cabe cabean dan skak mat.
Setelah membaca tulisan itu dan sejenak berpikir, saya nyaris tidak menemukan pijakan kuat tentang apa maksud dan interpretasi penulis pada istilah cabe-cabean tersebut.
Saya senantiasa dididik orang tua saya untuk berusaha mencari tahu pengetahuan sebagai pijakan berpikir sebelum berprasangka , ngebacot dan sok tahu. Karena itu saya memutuskan bertanya pada Google denga keyword Jokowi dan cabai.
Saya kemudian mendapatkan beberapa tulisan dan berita tentang fase di era Jokowi ketika pemerintah tidak mampu berbuat banyak untuk menekan harga cabai yang membumbung tinggi di berbagai daerah NKRI harga mati ini. Dari pijakan itu saya mengira kaum cabe-cabean yang dimaksud penulis Seword.com ialah kaum yang tidak sepeuhnya bisa ditekan oleh pemerintah. Kaum yang tidak selalu manut dan nrimo atas segala kebijakan pemerintah apalagi menjilat pemerintah.
Artikel kedua ditulis langsung oleh pimpinan Seword berjudul “Menjawab Tuduhan SID Seword Pro Reklamasi, dan Fitnah Peliharaan Istana“. Tulisan kedua muncul setelah I Gede Ary Astina alias JRX, penabuh drum SID, melalui akun media sosialnya menanggapi tulisan pertama.
Sok Tahu
Menurut saya, cara dan gaya JRX menanggapi tulisan pertama dari Seword.com terdengar senada dengan aliran musik SID. Dalam perkara ini, saya suka dengan pilihan kata JRX. Bagi saya memang tidak perlu tata krama atau sekadar basa-basi untuk menanggapi opini yang sok tahu tentang rencana reklamasi Teluk Benoa.
Mereka tanpa data dengan enteng mengatakan kalau reklamasi 700 hektar Teluk Benoa harus tetap dijalankan untuk menghindari Pulau Pudut dari kepunahan dan menaikkan ekonomi masyarakat sekitar. Padahal, masyarakat sekitar Teluk Benoa di pesisir Bali selatan melalui Pasubayan Desa Adat telah menyatakan sikap dan ikut dalam gerakan BALI TOLAK REKLAMASI.
Jika semua penulis Seword sejak dulu diimbau pimpinannya untuk tidak menjawab apapun tuduhan pada web ini, meminta mereka fokus pada isu-isu yang lebih fundamental dan penting dibahas, maka saya berbeda dari penulis Seword. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di Bali, saya sejak dulu selalu diimbau oleh nurani dan akal sehat untuk berusaha menjawab opini-opini tanpa dasar data atau pengetahuan.
Begitu pula terkait rencana reklamasi Teluk Benoa. Rencana rakus reklamasi Teluk Benoa ialah suatu hal yang begitu fundamental bagi saya. Bagi keberlangsungan hidup anak cucu saya dan bumi manusia di Bali.
Sebelum berpikir ikut menulis dalam perkara ini, sebenarnya saya sudah memiliki pemahaman yang mungkin sama dengan pemahaman banyak orang. Artikel-artikel semacam dua artikel Seword di atas tidak memiliki daya apapun dalam perjalanan gerakan Bali Tolak Reklamasi (BTR). Jika artikel itu dibuat untuk menggiring opini agar rencana reklamasi Teluk Benoa seakan terlihat sebagai rencana adi luhung dan diperlukan oleh Bali, maka artikel itu tidak lebih dari sekadar kerikil yang tercecer di jalanan dan kebetulan nempel di telapak sepatu gerakan BTR.
Namun, karena kebetulan saya memiliki cukup waktu luang, melalui tulisan ini saya hanya ingin mengajak saudara-saudari memberikan ruang untuk akal sehat guna mengolah dua artikel seword.com di atas menjadi hal yang lebih berguna. Anggap saja kita sedang memungut satu dua sampah yang tercecer ketika ratusan aksi kita menolak reklamasi Teluk Benoa.
Seperti bagaimana mengolah sampah, setelah dipungut, mari kita pilah dan urai dua artikel Seword tersebut.
Tak Usah Capek
Dalam artikel pertama, penulis mempermasalahkan dan membantah pendapat JRX kalau program #JokowiMenjawab bernuansa politik. Bagi penulis, program tersebut tidak ada muatan kompanye. Dia berdalih jika #JokowiMenjawab memang murni untuk kampanye. Untuk apa Jokowi capek-capek mengajak SID bekerja sama. Toh juga di sekeliling Jokowi berderet para musisi nasional yang mendukung beliau naik jadi Presiden.
Dengan gamblang penulis membandingkan SID dengan SLANK dan Iwan Fals, yang menurutnya memiliki fans lebih banyak dari SID. Si penulis seakan memposisikan diri sebagai juru bicara Jokowi. Seolah mengatakan kalau Jokowi kompanye tak usah capek-capek mencari SID. Toh Pak Jokowi sudah punya Slank dan Bang Iwan yang pasti siap kompanye untuk pak Jokowi.
Bisa saja program #JokowiMenjawab memang tidak murni kompanye, tapi bukan berarti tidak ada muatan politik dan kampanyenya bukan? Lagipula program Jokowi Menjawab akan menghubungkan Bapak Presiden dan rakyat yang memiliki kekuatan politik.
Bagaimanapun juga, Jokowi ialah seorang politisi aktif. Dia berpotensi maju di Pilpres 2019. Tentu apapun kegiatannya akan wajar dicurigai bermuatan politis. Sah-sah saja jika dalam membuat program apapun, Bapak Jokowi memiliki hitung-hitungan politik. Tentu sangat wajar di era kemenangan politik populis sekarang kampanye tidak selalu nampak murni kompanye.
Lalu bagaimana logikanya jika penulis bisa memastikan program Jokowi bukan kampanye atau tidak bermuatan politik sama sekali hanya karena pihak istana mengajak SID bukan Slank atau Iwan Fals yang menurut penulis memiliki kedekatan lebih dengan presiden dan jumlah fans lebih besar?
Dalam kasus ini apa gunanya membandingkan SID dengan Slank atau Iwan Fals? Apakah kampanye selalu tentang kedekatan dan kuantitas?
Ayam Kampung
Jika saya memperhatikan kenapa ketika ada acara adat di rumah, ibu saya sering memilih susah-susah menangkap dan memotong ayam kampung peliharaan kami daripada menyuruh saya membeli ayam broiler yang cenderung ayamnya lebih gemuk, lebih gampang dan banyak tersedia. Dari tindakan ibu saya itu, saya memahami politik ialah tentang kualitas dan nilai tawar. Dengan pijakan itu saya juga meyakini kemampuan politik Bapak Jokowi tidak semenyedihkan logika penulis Seword.com itu.
Selanjutnya penulis berdalih “Yang benarnya adalah, ajakan Jokowi menggandeng SID murni sebagai bentuk apresiasi terhadap karya anak muda”. Namun, saya rasa SID atau anak muda di Indonesia tidak memerlukan lagi apresiasi basa-basi semacam itu. Apresiasi yang dibutuhkan anak muda Indonesia ialah kebijakan yang berpihak. Bukan hanya pada manusia tapi juga pada alamnya.
Sebab, apa jadinya karya tanpa kedaulatan ruang? Apa gunanya apresiasi dilibatkan dalam program #JokowiMenjawab jika kemudian membiarkan laut kami diuruk dan ancaman ekologi di depan mata? Masalah karya, lihatlah empat tahun ini di Bali. Bagaimana anak muda melawan dengan ribuan karya dan seringkali dibungkam tapi terus berkarya dan tegak berdiri dengan satu pertanyaan yang sama, “Kapan Perpres no 51 tahun 2014 dicabut?”
Tentang rencana reklamasi Teluk Benoa, saya rasa jutaan orang akan sepakat jika opini penulis seword.com dalam tulisannya berbau pro reklamasi Teluk Benoa. Bagaimana tidak, tanpa data, si penulis bisa memberi kesimpulan kalau masalah reklamasi Teluk Benoa seharusnya sudah selesai jika semua duduk bersama. Tanpa dasar alasan logika apapun, mereka menyimpulkan reklamasi Teluk Benoa harus tetap dijalankan untuk menyelamatkan Pulau Pudut dan untuk menaikkan ekonomi masyarakat sekitar.
Jika penulis memiliki nalar dan mau menulis dengan dasar data dan pijakan realitas, sebenarnya tidak susah mencari informasi tentang kenapa gelombang penolakan reklamasi Teluk Benoa di Bali terus membesar dan meluas selama lebih dari empat tahun. Sungguh menggelikan penulis Seword.com ini mengatakan bahwa menyelesaikan permasalahan reklamasi Teluk Benoa harus dengan duduk bersama, sementara realitasnya, masyarakat Bali sudah ada pada tahap melawan dan siap puputan. Sikap itu menjadi pilihan terakhir setelah segala hal dan upaya sudah dilalui dalam perjuangan masyarakat adat di Bali untuk teluknya.
Entah bagaimana cara berpikirnya jika untuk menyelamatkan Pulau Pudut pemerintah harus mengubah kawasan konservasi agar bisa diuruk seluas 700 hektar untuk akomodasi industri pariwisata berbasis modal investor. Meskipun itu mempertaruhkan dampak ekologi, sosial dan kekacauan ekonomi berbasis masyarakat yang sedemikian mengerikan. Belum lagi Teluk Benoa sudah ditetapkan sebagai kawasan suci oleh umat Hindu di Bali.
Lalu apa dasar logika dari opini yang mengatakan reklamasi Teluk Benoa di Bali selatan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar sementara masyarakat sekitar Teluk Benoa melalui lembaga tertinggi adatnya yaitu Pasubayan Desa Adat telah menyatakan sikap dan ikut dalam gerakan BALI TOLAK REKLAMASI. Bahkan mereka rela mengorbankan waktu tenaga dan materi untuk memperpanjang dan menggelorakan napas perjuangan.
Geram
Dalam tulisannya yang juga berdalih ingin meluruskan pendapat SID ketika menolak dilibatkan dalam program JokowiMenjawab. Penulis seword.com juga menyinggung perjuangan masyrakat yang menolak perubahan/alih fungsi lahan pertanian subur di Rembang menjadi pabrik semen. Perjuangan itu dituding oleh penulis Seword.com sebagai hasil dari pembodohan dan konspirasi dari kompetitor PT. Semen Indonesia dan perusuh yang tidak setuju dengan kebijakan Jokowi.
Saya yang pernah melihat bagaimana subur dan eloknya pertanian di Rembang merasa geram dengan tudingan itu. Saya merasakan bagaimana kami yang ingin laut kami tetap laut. Seperti itu juga rakyat Rembang ingin hidup dengan lahan pertanian warisan leluhur titipan anak cucunya dan sumber napas dari kehidupan sosial mereka berasal.
Lagi pula tudingan adanya konspirasi kompetitor dalam perjuangan rakyat juga pernah digunakan oleh pihak pro reklamasi di Bali. Namun, tudingan itu menguap dan musnah tanpa pernah bisa dibuktikan.
Kemudian mengenai pertanyaan besar si penulis tentang Rembang, kenapa Ibu Patmi yang bukan warga Rembang ikut demo dan mau mati. Membaca pertanyaan ini saya malah ingin balik bertanya, lagi-lagi apa dasar logikanya penulis berani mengatakan kematian Ibu Patmi ialah kemauan beliau? Jika ancaman Rembang hanya boleh menjadi masalah orang Rembang, dan Teluk Benoa hanya masalah orang Benoa, maka apa artinya Jokowi menggemakan semangat Saya Pancasila dan Saya Indonesia? Apa itu kemudian bagi penulis Seword.com hanya basa basi.
Jika penulis Seword mempertanyakan kaitan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dengan Bapak Presiden Jokowi, saya rasa daftar pelanggaran HAM di Indonesia sebagai PR pemerintahan Jokowi untuk dituntaskan seperti apa yang pernah didengungkan ketika masa kompanye, jauh lebih panjang daripada nalar dan logika yang dimiliki penulis Seword.com dalam tulisannya “Superman Is Dead Tolak Pinangan Jokowi, Kaum Cabe-Cabean Tertawa, Sini Saya Skak Mat”
Dalam tulisan balasannya untuk tanggapan JRX, mungkin pimpinan Seword.com ada benarnya. Menulis opini memang dijamin oleh Undang-undang, seperti bagaimana memilih menjadi bodoh ialah hak asasi. Maka dari itu saya hanya bisa turut prihatin.
Walaupun saya suka dengan gaya JRX menyikapi artikel Seword.com, tapi tidak lantas saya setuju sepenuhnya dengan pendapat dia. Misalnya tentang tudingan Seword ialah media pro reklamasi, saya lebih setuju dengan pandanagn teman saya yang menekuni ilmu jurnalistik. Dia mengatakan tidak tertarik sama sekali dengan seword.com karena dalam pandangannya seword.com bahkan tidak layak disebut sebagai media.
Dan, bukan karena curhatan pimpinan Seword saya tidak sepenuhnya sepakat jika Seword.com ialah peliharaan istana. Curhatan beliau yang mengatakan “Asal kalian tahu, Seword didirikan oleh saya dengan dana pribadi. Sampai saat ini Seword hanya memiliki admin setengah relawan, karena mereka belum mendapat gaji dengan nominal yang sesuai. Kadang saya juga harus pinjam kanan kiri untuk membayar biaya server bulanan atau anti ddos. Saya juga masih memiliki hutang pada seorang teman yang meminjamkan dananya untuk keperluan pembuatan framework”, tapi saya menjadi ragu terhadap tudingan seword.com ialah peliharaan istana. Karena jika sekalipun saya ada di posisi presiden, mungkin saya lebih tertarik memelihara ayam daripada Seword.com.
Oh ya, tentang analogi skak mat di judul tulisannya dan setelah membaca tulisannya, saya kok malah ragu si Tiur Panondang itu bisa main catur. [b]
Kalau Slank jelas jelas Pro.
tapi sejak kapan Bang Iwan menyatakan dukungan pada presiden sekarang?
Seword memang beda. Hehe.
Super sekali tulisan nya.. ??
Super sekali tulisan nya..
tanpa minta izin ke sid pun sebenernya bisa saja lagu sid dipake untuk back ground jokowi menjawab,tp admin lebih memilih minta izin, kalo di ijinin sukur kaga ya udah jadi sid ga usah ke geeran
Hak cipta lagu sepenuhnya ditangan SID bukan sony music.. hanya meluruskan saja..
Hak cipta lagu sepenuhnya ditangan SID, bukan sony music.. hanya meluruskan saja
Terima kasih untuk infonya,sangat bermanfaat
Ini penulis bernas idola saya! Maknyosss.
Sepertinya penulis belum mengerti betul seperti apa sesungguhnya seword.com dan menghakimi tanpa mencari tahu seperti apa seword.com sebenarnya.
Seword.com mirip dengan Kompasiana dimana penulis artikel memiliki kebebasan untuk menulis sesuai dg sudut pandangnnya.
Tidaklah bijak menghakimi Seword.com secara keseluruhan sebagai pro reklamasi karena tidak semua penulis di seword.com berpandangan sama mengenai reklamasi teluk Benoa.
Baru baca nih. Sebelumnya saya sendiri adalah penulis Seword yang baru bergabung beberapa saat setelah bli Jrx mencak-mencak sama Seword. Saya juga merasa panas dengan Seword yang ketika itu menganalogikan SID dengan cabe-cabean. Bagaimana tidak, saya adalah penggemar SID sejak saya SD. Ketika SID dihina seperti itu, jiwa Outsiders saya langsung keluar
Soal reklamasi, meskipun hanya terkaan saja, saya yakin banyak penulis Seword yang menolak reklamasi di Teluk Benoa. Termasuk saya, saya adalah salah satu penulis di Seword yang menolak reklamasi di Bali. Mengapa? Karena saya berasumsi bahwa kita manusia harus hidup selaras dengan alam dan tidak boleh mengubah ataupun merusak alam dengan semena-mena. Apalagi seperti yang penulis katakan bahwa lokasi Teluk Benoa telah dijadikan tempat suci bagi umat Hindu di Bali. Saya pun menolak karena reklamasi itu saya yakini hanya akan menguntungkan para investor yang sifatnya sangat kapitalis itu.
Jadi yah betul seperti yang dikatakan agan Gandrix bahwa menghakimi Seword secara keseluruhan tidaklah benar. Seword ini seperti Kompasiana yang menampilkan opini dari para penulisnya. Setiap penulis tentu punya opini yang berbeda-beda dalam menanggapi sebuah isu. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Btw, tulisan yang sangat bagus dan semoga bisa menjadi evaluasi dan pelajaran bagi kita semua agar lebih memperhatikan dua sisi dalam menanggapi sebuah isu. Salam satu tanah air Indonesia!
sama
saya juga mantan penulis seaword
makin lama logikanya ngawur
saya berhenti jadi penulis seaword
Mantaps. Ibarat didunia persilatan, beginilah kalo para elit pendekar intelektual, pemikir, cendekia , termasuk juga para sok intelek pada rame2 terjun ke arena tanding untuk saling adu kebernasan logika berpikir, pemahaman, persepsi, kecerdasan, level wawasan, dan tentu saja kelihaian bermain kata/kalimat/frasa khas mereka. Saling counter dan saling lontar quip satu sama lain. Tudingan berbalas tudingan. Bantahan berbalas bantahan. Sarkasme berbalas sarkasme. Nyinyir berbalas nyinyir. Status medsos berbalas status medsos. Blog berbalas blog (asal jangan belog berbalas belog kalo kata orang Bali hehe).
Tinggalah masyarakat jelata awam nan bodoh tapi sok intelek macam gue ini cuma bisa terbengang bengong bingung sembari berujar “Ni yang bener yang mane sih?”, “Yang bisa dipercaya yang mane sih?”. Atau mungkin masyarakat jelata yang udah agak pinter akan memilih pertanyaan : “Ni yang murni tanpa KOMPLIK (maksudnya konflik) KEPENTINGAN yang mane sih?” Cieeeeeee, bahasanye coyy….. hehehe…
Jadi inget kalo lagi nonton acara2 macem Jakarta Lawyers Club, atau acara bincang2 para pendekar intelek lainnya. Disitu seringkali mereka saling babat adu argumencret. Kadang yang satu belum selesai bicara eh lawannya udah nyerocos maen potong dengan penuh emoshit sampai pemandu acara harus turun tangan melerai. Begitulah konon tingkah pendekar in(TELEK) hehe. Saking inteleknya beliau2 itu kadang sampe sulit membedakan mana yang betul2 mewakili nurani, dan mana yang mewakili nur aini.
Tapi biar gimanapun, semua itu konon kabarnya bagus untuk “pembelajaran masyarakat”, cieeee… (omong2, istilah inipun gue comot dari beliau2 para pendekar nan intelek tersebut).
Yahh, manusia memang bukan malaikat. Sekaligus juga bukan setan. Terkadang kita harus bersekongkol dengan salah satu atau kedua mahluk tersebut demi keberlangsungan kita. Semuanya menyimpan dua sisi tersebut dalam diri masing2. Kemungkinan ga ada pemimpin yang mampu bersekongkol dan bagi2 kue dengan malaikat seratus persen, pasti disekitar ada setan2nya juga. Kita lihat mana yang paling banyak sisi baiknya aje deh. Siapapun yang jadi pemimpin (selama bukan Clark Kent a.k.a Superman), percaya deh ga akan bisa memuaskan semua kalangan. Pasti ada aja kelompok yang ga puas. Ente milih Petruk, idungnya kepanjangan. Ente milih Gareng, perutnya kegendutan. Ente milih gue, wajah gue kegantengan hehe. Tinggal ditimbang2 dan bikin itung2an aja mana yg (sepertinya) paling banyak menjawab permasalahan2 substansial secara nyata, itu yg layak kita gadang2.
Kembali ke artikel diatas, gue harus ngacungin (dan ngacengin) jempol buat penulis, sama seperti gue ngacungin (dan ngacengin) jempol buat artikel2 di Seword. Paling tidak, artikel diatas (dan juga artikel2 di Seword)membantu gue lebih memahami celah2 logika berpikir yang ga pernah terpikir oleh gue sebelumnya. Sekaligus membantu gue belajar seni menulis sarkastik hehehe.