Untuk kali pertama, tur kuliner UFF ke Pejeng. Mencecap tahu dari ratu dapur Dadong Songkeg dan bubuh Pejeng yang diserbu jelang malam.
Sore pukul 14.30, saya melaju dari Denpasar ke arah Ubud untuk mengikuti Food Tour UFF 2018 hari pertama. Jelang pusat Puri Ubud mulai macet, sangat parah karena pesepeda motor saja nyaris diam. Hanya bergerak satu meter dalam beberapa menit sampai pertigaan Jalan Raya Sanggingan, lokasi Festival Hub Ubud Food Fest.
Pukul 4.15, telat 15 menit dan benar saja sudah ditinggal rombongan food tour yang mengarah ke Pejeng, Gianyar. Saya mengutuk diri karena harus kembali menemui kemacetan parah itu. Tantangan lain, menemukan rombongan yang menuju salah satu dapur rumah warga di Pejeng.
Singkat cerita, satu jam kemudian (setelah bolak balik nelp tour guide yang pastinya sedang sibuk memandu) sampailah ke rumah lokasi pembuatan tahu. Aroma ternak dan menyambut depan rumah. Melewati pintu gerbang dan mendapati dapur setengah terbuka yang super sibuk. Sedikitnya 4 perempuan sibuk di posisinya masing-masing dan seorang nenek bertelanjang dada, rambut gimbal menyentuh lantai, dan berdiri mengiris tahu. Dialah Ni Wayan Songkeg, pemilik sekaligus perintis usaha tahu rumahan di Pejeng ini.
Wajahnya terlihat tenang, tangannya terampil mengiris tahu menjadi kotak-kotak kecil untuk digoreng. Jelang petang, langganannya akan mengambil pesanan rutin tahu goreng ini. Sesekali ia melirik turis-turis yang mengamatinya dan melihat dapurnya dengan seksama ini.
Pemandu tur, Komang Puriana menunjukkan proses pembuatan tahu mulai dari perendaman biji kedelai, dilumatkan dengan mesin, lanjut dimasak di Jambangan, kompor batu besar berbahan kayu bakar. Dua perempuan paruh baya gantian mengaduk bubur kedelai selama 1-2 jam tergantung besarnya api tungku batu ini. Para pekerja Dadong Songkeg ini mengaku sudah bekerja mulai pukul 12 siang, dan berlanjut sampai dini hari nanti.
Pusat perhatian saya bukan tahu dan dapur yang membuat mudah berkeringat ini, tapi sosok dadong. Dengan pelan saya bertanya pada Nyoman Wati, salah satu pekerja apakah dadong bisa diajak ngobrol? “Ya, silakan. Dadong masih mengontrol semuanya di sini,” katanya. Diiyakan Ketut Taweng, anak laki-laki dadong yang juga diperlakukan sebagai pekerja.
Betul saja, ia masih mengecek berapa yang dibeli para pelanggan yang langsung datang ke dapurnya membeli sekotak atau lebih tahu-tahu yang teksturnya lebih padat dibanding tahu-tahu di pasar ini. Satu kotak yang sudah padat dijual Rp20 ribu. Memberikan susuk (kembalian) dan menyimpan uang penjualan. Sambil memotong tahu, ia beberapa kali terlihat mengecek kondisi dapur dan pekerjanya hanya dengan menoleh sebentar.
Ia ratu dapur. Dadong tak banyak bicara, bahasa tubuh dan kedisplinannya turut bekerja sampai usia senja menjelaskan kepemimpinannya.
“Saya dulu belajar di Tohpati waktu remaja saat bekerja dengan orang,” ia berbisik dalam bahasa Bali. Bisa saja ngobrol lebih panjang, tapi saya tidak tega. Ia sedang sangat serius bekerja, termasuk walau sedang dikunjungi rombongan food tour. Nanti lah datang lagi sambil bawa sambel cocolan tahu ke dapur dadong.
Sampai rumah, Tahu Pedadapan (nama banjar lokasi rumah) Pejeng ini langsung dimasak. Lebih cepat matang dibanding tahu yang biasa saya beli. Bisa jadi karena lebih padat, kandungan airnya lebih sedikit. Kedelainya lebih banyak, dan akhirnya setengah kotak tahu dimasak dalam dua hari, disimpan di kulkas tak basi. Cocol sambel kecap dengan potongan cabe.
Dari rumah dadong, rombongan ke arah selatan kurang dari satu kilometer saja ke pasar Pejeng. Jelang petang, kios-kios sudah buka, pedagang pakaian bekas pun ramai. Makan bubur beras khas di sini. Ada dua dagang bubuh, buka sore sampai malam.
Kami ke warung pertama milik Nyoman Wardani. Para pembeli terlihat kompak menabur mamie (snack) ke atas bubur yang terlihat sama dengan bubur khas Bali biasanya ini. Bungkus mamie berserakan di kaki-kaki pembeli. Hampir semua rombongan memesan, tak sedikit yang memilih pedas dengan tambahan sambel matah. Kalau makan sebagai sarapan barangkali terasa lebih nikmat.
Sesendok bubur beras putih kental ditata di piring lalu ditabur base manis, sebutan untuk campuran santan kelapa, bumbu base genep, dan tepung beras. Lalu ditabur saur (serundeng) kering dari parutan kelapa digongseng, saur basah, sayur urab, dan kuah ayam. Sederhana. Satu porsi Rp8000. Jika ingin pedas, ditambah sambel.
Ternyata bubur yang biasanya dijual pagi, diserbu juga oleh warga Pejeng pada malam hari.