Oleh Luh De Suriyani
Penyandang tuna netra merasa KPU belum mengakomodasi haknya untuk terlibat dalam Pemilu. Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Cabang Denpasar I Gusti Ngurah Komang Aryana meminta KPU melakukan simulasi pemungutan suara di kalangan tuna netra untuk memastikan mereka dapat menggunakan hak pilihnya dengan tepat.
Aryana mengatakan dibandingkan Pemilu tahun 1999, sosialisasi Pemilu di kalangan tuna netra sangat minim. “KPU Denpasar hanya memberikan penyuluhan secara teoritis tanpa menunjukkan bentuk surat suara dan bagaimana cara kita melakukan pemungutan suara secara teknisnya,” ujarnya di Sekolah Luar Biasa Dria Raba, Denpasar. Karena itu, ia mengharapkan KPU membuat simulasi Pemilu di kalangan penyandang cacat dan tuna netra yang mengalami kesulitan menggunakan hak pilih.
Sementara pada Pemilu 1999, ia menambahkan, penyandang tuna netra dilibatkan dalam sosialisasi ke kantong-kantong komunitas mereka. “Sampai kini kami tidak tahu bentuk kertas suaranya dan apakah kami bisa memilih secara independen,” kata Aryana yang bekerja jadi tukang pijat panggilan ini.
Hak memilih secara independen menjadi persoalan serius, karena menurutnya saat ini jumlah calon legislatif sangat banyak dan tidak ada alat bantu teknis seperti cetakan dalam huruf braille. “KPU wajib memberikan kami hak untuk menentukan pendamping yang ditunjuk sendiri untuk mencontreng nanti,” katanya.
Karena biasanya, jika tanpa pendamping, panitia pemgutan suara di TPS yang mengambil alih pendampingan saat di bilik suara. “Bisa jadi pilihan kami ditafsirkan berbeda. Ini yang membuat rekan-rekan kami lebih memilih golput saja.”
Menurutnya, ada ribuan penyandang tuna netra di Bali. Namun yang terdaftar sebagai anggota Pertuni di Bali sekitar 300 orang.
Menurut Aryana, ia mencari tahu sendiri mekanisme Pemilu kali ini dari media massa. “Sekarang pemerintah sendiri belum selesai memutuskan teknis pemungutan suara, apalagi melakukan sosialisasi ke kelompok difabel,” tambahnya.
Keresahan yang sama disampaikan Willy Praja Lesmana, 24, pria muda penyandang tuna netra yang kini kuliah di Institut Hindu Darma Negeri Denpasar. “Kami membutuhkan sosialisasi program calon legislatif dan presiden nanti. Saya sangat antusias ikut Pemilu jika tahu siapa yang akan dipilih,” katanya.
Hingga kini ia mengaku buta sekali siapa saja yang menjadi caleg dan apakah punya perhatian pada pemberdayaan kelompok penyandang cacat. “Jika pemerintah tidak memberi perhatian pada kami tentang program calon legislatif dan presiden, hak penyandang cacat untuk bekerja dan mendapat pendidikan akan makin sulit,” keluh Willy.
Udi Prayudi, anggota KPU Provinsi Bali bidang sosialisasi pemilih yang dikonfirmasi mengakui belum mengagendakan sosialisasi dan simulasi Pemilu di kalangan penyandang cacat. “Kalau tidak dilakukan KPU daerah baru kami yang mengerjakan,” kilahnya.
Perubahan sistem Pemilu saat ini menurutnya sangat menguras tenaga dan waktu sehingga sosialisasi menjadi tidak maksimal. “Selain penyandang cacat, yang harus diperhatikan juga lansia,” kata Udi.
Ia mengatakan tidak ada anggaran khusus untuk sosialisasi kaum difabel dan lansia yang cenderung kesulitan menggunakan hak pilih. Total anggaran KPU Bali sosialisasi Pemilu untuk pemilih sebanyak Rp 94.450.000.
Kepala Dinas Sosial Bali Nyoman Puasa Aryana juga mengatakan belum melakukan pembinaan bagi penyandang cacat perihal mekanisme Pemilu. “Harus koordinasi dulu dengan KPU,” katanya. Data Dinas Sosial Bali menyebutkan jumlah penyandang cacat di Bali 29.210 orang. Tidak diketahui, berapa persen yang akan sudah memiliki hak pilih di Pemilu yang dimulai April 2009 ini. [b]
Versi Inggris tulisan ini dimuat di http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/07/blind-group-demands-education.html-0