Saya menulis ini bukan karena saya anggota PKI.
Bukan pula punya hubungan keluarga dengan DN Aidit. Saya hanya seorang ayah biasa dari seorang balita. Saya belum siap dihajar di trotoar, dibakar di jalanan, atau diracun di udara. Terlebih lagi saya tak siap dipenjara bersama ikan lohan.
Sekali lagi saya bukan anggota PKI dan tidak akan mungkin menjadi anggota partai itu karena sudah dibubarkan. Ingin menjadi anggota PKI hari ini, Tuan, seperti orang jago main bola dan bermimpi bisa bermain di tim Gelora Dewata, tim bola yang sudah lama bubar.
Tentang pemikiran kebangkitan PKI, saya juga bukan teman saya, anggap saja namanya KOMAR, yang masih bermimpi Manchester City bisa juara Liga Champion. Tentu itu sangat jauh dan nyaris tidak mungkin, Jenderal.
Akhir-akhir ini di media sosial cukup riuh oleh berita. Negara yang dulu sering dikritik tidak pernah hadir dan berpihak kepada rakyatnya kini telah hadir. Tapi, sayang hanya hadir. Seperti mahasiswa yang setor wajah tapi belum berani berpihak dan ikut belajar untuk menjadi berguna bagi kemanusiaan atau minimal bagi dirinya sendiri dan keluarga.
Melalui aparatnya, negara tidak cuma ada tapi hadir dengan keriuhan. Riuh dan lebay seperti geng anak perempuan kelas tiga SMA yang datang ke kantin sekolah dan sok berkuasa. Bagaimana tidak lebay. Hadir menangkap rakyatnya yang bernyanyi tentang sayuran khas rakyat indonesia kelas bawah. Saat di mana bisnis properti berkembang pesat tumbuhan asli tanah Indonesia itu telah menjadi barang langka.
Negara hadir untuk membubarkan acara menonton film tentang usaha pengungkapan kebenaran sejarah. Hadir menjemput paksa buku yang berbau kiri atau Marxisme. Bahkan hadir ke kampus bersama sahabat karibnya untuk membubarkan para mahasiswa yang belajar filsafat kiri.
Filsafat yang setahu saya dipelajari juga oleh para pendiri bangsa ini. Filsafat yang menjadi acuan ilmu pengetahuan sosial. Filsafat yang sering kita dengar dengan lantang nilai-nilainya dikutip oleh para pejabat menjelang hari buruh. Filsafat yang sekiranya mengajarkan Soekarno dan kawan-kawannya tentang bagaimana masyarakat tanpa kelas, yang kemudian menjadi dasar cita-cita mendirikan Indonesia dengan keadilan sosial.
Akhir-akhir ini melihat kegaduhan yang diciptakan aparat negara tentang segala sesuatu yang dikait-kaitkan dengan PKI atau palu arit, saya menilai, negara melalui aparatnya hadir menyikapi PKI seperti orang linglung dan takut. Entah benar takut dan linglung atau memang senggaja dibuat nampak seperti itu untuk memacu suasana gaduh. Kegaduhan di permukaan sehingga menyamarkan teriakan-teriakan tuntutan masyarakat yang begitu prinsip.
Tuntutan masyarakat yang menyentuh kedalaaman hidupnya dan generasinya. Tuntutan tentang sawah agar tetap sawah bukan pabrik semen. Tuntutan rakyat agar lautnya tetap laut bukan pulau buatan. Hutan tetap hutan. Atau tuntutan-tuntutan sejenis yang seharusnya di mana negara berpihak pada rakyat di tengah serbuan modal.
Karena itulah, kegaduhan ini memang perlu dicurigai. Karena gaduh sering kali membuat suasana nampak wajar ketika manusia atau negara yang kewajibannya mendengar mendadak tidak bisa mendengar.
Agar tidak dituduh PKI, mari kita coba berpikir adil tentang kegaduhan-kegaduhan tersebut. Apa negara semacam contoh bagaimana sesuatu yang baru belajar akan selalu gaduh. Agar tidak gaduh perlu diawasi dan didikte. Seperti anak Taman Kanak-kanak atau Pendidikan Usia Dini (PAUD) yang baru mengawali proses belajar di kelas tanpa pengawasan orang tua.
Mungkin karena dipicu suasana baru dan antusias, maka mereka sering gaduh. Seperti anak TK itu, negara indonesia ini juga baru saja belajar tentang demokrasi setelah lepas dari ayah Soeharto dengan segala kekuasaan militer. Akibatnya, untuk memahami demokrasi dan kebebasan berekspresi selalu nampak takut dan gaduh.
Masih dalam perkara sama. Sering juga kita melihat orang tua anak TK sering dibuat keluar dari kapasitasnya karena kegaduhan anak-anaknya di kelas. Mereka masuk kelas ketika jam pelajaran. Merapikan dan menasehati anaknya. Kadang juga membohongi dengan iming-iming hal indah agar si anak diam dan tenang di kelas.
Seperti itu juga tentara sering memperlakukan pimpinan negara yang baru belajar demokrasi ini. Tentara sering keluar dari kapasitasnya untuk meredam kegaduhan yang mungkin muncul. Misalnya satu contoh paling nyata baru-baru ini terjadi lagi di Bali. Ketika Presiden Jokowi menghadiri Kongres Partai Golkar dengan segala haha hihi-nya yang tidak begitu penting untuk rakyat Bali itu, tentara turun tangan menurunkan baliho-baliho penolakan reklamasi.
Baliho-baliho yang mewakili keriuhan hati nurani rakyat Bali saat kedaulatan bumi manusianya diancam oleh aturan negara yang begitu mesra dengan kepentingan investor rakus. Di sisi lain, baliho-baliho para calon atau partisipan Partai Golkar yang mengandung banyak kata iming-iming surga tetap dibiarkan berdiri dengan semrawut. Persis pedagang mainan yang parkir semrawut di depan sekolah TK di kampung-kampung.
Kembali kepada perkara kelinglungan dan ketakutan negara pada segala sesuatu berbau kiri. Jika ini bukan sebuah situasi yang sengaja dirancang untuk kepentingan politik atau tuan modal, ketakutan-ketakutan dan rasa anti-kiri ini bisa saja karena kekuasaan negara hari ini diisi oleh mereka yang tumbuh dan berkembang di era wajib menonton film G30SPKI. Pemahaman nilai sejarah mereka berserah mentok di sana. Atau, situasi dari kementokan itu sudah menguntungkan para elitenya sehingga wajib mereka pertahankan sebagai ilmu pasti tanpa boleh ada lagi dialektika.
Ketakutan negara pada komunisme yang sudah dihancurleburkan di Indonesia pasca 1965 adalah sebuah ketakutan absurd. Hal yang menurut Pramoedya Ananta Toer, “Pasca-keruntuhan Lenin, komunisme hanya sisa lok tanpa gerbong”. Ketika banyak hal nyata yang lebih mengancam kesejahteraan dan rasa keadilan rakyat, pemerintah dengan segenap aparatnya malah mengakomodasi ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas bentuknya.
Menurut saya, daripada memelihara ketakutan pada kebangkitan komunisme, lebih baik perspektif takut kepada komunisme dibawa kepada hal lebih nyata. Misalnya takut kepada kelalaian terhadap kebenaran sejarah akan berpotensi menerima kutukan untuk mengulangi sejarah yang sama. Karena sulit untuk diingkari, komunisme di Indonesia telah menjadi salah satu daya dorong munculnya nilai kritis untuk melawan dan keluar dari penjajahan kolonial Belanda pada masanya.
Selebihnya, sejarah komunisme adalah sejarah pembantaian manusia. Bukan hanya pembantaian fisik tapi juga mental, pikiran, karya dan cita-cita akan bangsa yang berdikari. Pembantaian yang belum mampu diungkap kebenaranya sampai sekarang oleh negara. Pembantaian yang warisan korbannya masih tersebar di tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Pembantaian yang semestinya tidak berhenti pada sejarah pembantaiannya saja, tapi diikuti dengan pertanyaan kenapa pembantaian itu ada, oleh apa itu ada, dan apa yang terjadi setelah itu ada.
Negara dengan label komunisme sangat kuat yaitu China telah mengikuti pasar bebas. Negara adi jaya komunis seperti Uni Soviet tinggal sejarah. Sementara Indonesia, negara yang sering membanggakan demokrasi sebagai acuan, malah sibuk membunuh akal sehat atas esensi negara demokrasi itu sendiri. Akal sehat atas pemahaman demokrasi seperti ditikam oleh tindakan konyol berdasarkan ketakutan akan kebangkitan komunisme.
Segala hal berbau kiri dijadikan alasan penahanan. Palu dan arit yang begitu dekat dengan hidup dan keseharian rakyat dipaksa berperan menjadi iblis yang mengerikan. Film sejarah yang berusaha mengungkap kebenaran sejarah seenaknya dianggap sesat. Buku dibakar dan dihilangkan paksa dari mata generasi muda yang seharusnya diajak belajar agar tidak mati gaya.
Dan, Tuan, jika di negara demokrasi ini buku-buku yang boleh dibaca ditentukan oleh pemerintah, apa saya berlebihan jika negara demokrasi ini terdengar sama ketika kita mengeja kepanjangan kata KORUT.
Ketakutan absurd negara pada komunisme itu membuat saya ingat pada pengalaman masa kecil. Ketika kelas 3 SD, pada hari Sabtu dua hari sebelum ulangan umum, saya kebelet kencing saat pulang sekolah. Tanpa berpikir panjang, saya kencing di balik pohon jambu tua di halaman sekolah.
Di perjalanan pulang, saya berjalan bersama teman saya. Saya menceritakan kejadian saya kencing di balik pohon jambu itu. Mendengar cerita itu, wajah teman saya langsung seketika berubah tegang. Dia kemudian mengatakan kalau pohon itu angker dan ada setannya. Menurut dia saya dalam keadaan bahaya. Sebab, setan di pohon itu (setan yang saya yakin dia pun tak paham bentuknya) akan mencari dan menghantui saya karena saya melakukan kesalahan besar telah kencing di pohon jambu setan itu.
Pada malam yang sama, keesokan hari, bahkan ketika ulangan umum sedang berlangsung, saya terus dihantui ketakutan oleh setan pohon jambu tua itu. Setan yang sebenarnya tidak pernah saya pahami bentuknya. Saya nyaris tidak bisa tidur. Saya tidak konsen belajar dan mengerjakan soal ulangan umum. Saya tidak berani lewat di depan atau sekadar memandang pohon jambu tua di sekolah saya itu.
Ketakutan berlebihan kepada setan pohon tua membuat nilai ulangan umum saya kacau. Ranking saya turun 6 angka dari rangking saya di semester sebelumnya. Ketakutan pada sesuatu yang samapai saat ini tidak pernah saya lihat itu nyata.
Belajar dari pengalaman masa kecil saya tersebut, saya khawatir NKRI yang memelihara ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas bentuknya, akan bernasib seperti saya. Merosot dalam prestasi dan tidak pernah tercipta kedamaian karena dihantui ketakutan yang absurd.
Jika pemahaman tentang prestasi bangsa oleh negara ini sama dengan pemahaman saya, yaitu terciptantya keadilan sosial, kedaulatan dan kesejahteraan, maka saya mulai melihat kemerosotan demi kemerosotan prestasi negara ini. Ketika Menteri Pertahanan di Amerika Serikat menetapkan perubahan iklim sebagai ancaman nasional, di negara ini segala celah legalitas yang dibuat negara justru menjadi dasar kebenaran segelintir orang dan para rakus untuk merusak lingkungan. Suara-suara rakyat yang menuntut agar legalitas itu segera dicabut tidak pernah tidak didengar oleh para pejabat mengambil kebijakan. Malah cenderung para pejabat pemerintah terkesan menjadi makelar atas terbelinya kedaulatanm lingkungan rakyat oleh investor.
Ketakutan saya masa kecil kepada setan pohon jambu tua akhirnya sirna ketika saya meminta saran kepada kakek saya yang menurut saya maha bijaksana. Dia menyuruh saya berani menemui dan minta maaf kepada pohon itu. Saya juga menyiramkan seember air bersih ke bagiah pohon yang pernah saya kencingi. Setelah minta maaf dan menyiram pohon jambu tua yang pernah saya kencingi itu, ketakutan yang berhari-hari menghantui saya seketika hilang.
Jadi menurut saya, mungkin negara sebaiknya mencoba saran kakek saya. Daripada sibuk menikam akal sehat karena ketakutan pada sesuatu yang belum jelas bentuknya, lebih baik negara melakukan hal lebih nyata: meminta maaf pada korban tragedi 1965-1966 yang dihukum tanpa proses peradilan dan menyiramkan air bersih ke kelamnya propaganda orde baru.
Dari situ baru bisa kemudian mengungkap kebenaran sejarah dari sudut pandang lebih adil, memberikan kesegaran seperti air bersih kepada segala bentuk ketidakadilan yang terjadi selama puluhan tahun di negara ini kepada mereka dan generasinya yang dicap komunis dan penjahat. [b]