Benarkah tremor menandakan erupsi segera terjadi?
Devy Kamil Syahbana, Kepala Divisi Mitigasi Indonesia Bagian Timur di Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada 15 Oktober memberikan penjelasan terkait tremor non-harmonik yang muncul kali pertama dari Gunung Agung.
Berikut percakapannya.
Rio Helmi (RH): Katanya kemarin ada tremor non-harmonik untuk pertama kalinya semenjak status Awas. Kan dulu adanya tremor non-harmonik menjadi sebab bahwa status dinaikan dari Waspada ke Awas?
Devy Kamil Syahabana (DKS): Ya, waktu itu pernah satu kali. Lalu termasuk kemarin sudah ada total 9 kali. Dari dua hari terakhir ada delapan kali.
(Ketika wawancara ini dilakukan sudah terjadi 3 kali lagi).
RH: Itu kira-kira tanda ada peningkatan atau bagaimana?
DKS: Tremor non-harmonik itu gempa vulkanik yang muncul berurutan. Jadi satu gempa muncul, sebelum gempa ini hilang muncul sudah muncul gempa lain. Secara fisik dia adalah proses aliran-aliran fluida yang mendobrak celah-celah, yang suaranya seperti “dek-dek-dek-dek”. Kalau satu gempa itu suaranya “dek” gitu.
Kemarin sebelum itu muncul kita rekam 900 gempa vulkanik yang artinya ada penambahan tekanan yang signifikan.
Karena tekanan berlebihan itu, dia harus dialirkan, dan ketika dialirkan ya muncul tremor seperti itu. Tapi manifestasi di permukaan belum tentu dalam bentuk letusan. Memang di dunia ada contoh di mana “spasmodic burst” (itu nama lainnya) muncul sebelum letusan, tapi ada juga di mana setelah spasmodic burst manifestasi di permukaan bukan letusan.
Misalnya ada asap lebih tebal. Kemarin misalnya setelah spasmodic burst manifestasi di permukaan baru berupa asap lebih tebal saja.
RH: Jadi ada yang bilang pertanda akan meletus itu adalah spasmodic burst yg tidak ada henti-hentinya?
DKS: Oh tidak. Yang namanya tremor di gunung api ada tiga. Pertama tremor yang masih dalam dan konten frekuensinya tinggi, dia masih dalam tahap-tahap penghancuran celah-celah untuk naik ke permukaan. Setelah itu biasanya muncul yang disebut tremor harmonik.
Nah, ketika tremor harmonik muncul itu berarti magma sudah ratusan meter, sudah mendekati permukaan. Tapi ini gak selalu muncul, tergantung dari sifat gunungnya. Setelah tremor harmonik ini muncul baru termor menerus. Saat tremor menerus ini muncul dia proses pendobrakan sumbat lava (lava plug).
Setelah letusan 1963, sisa-sisanya membentuk lava plug, itu magma yang dalam rentang waktu lama terjadi kristalisasi, yang berfungsi sebagai sumbat. Ini seperti botol coca-cola kalau dikocok kan naik gasnya. Jadi gas ini panas, dan karena itu dia mampu muncuk ke kawah. Saat kondisi normal gak keluar asap.
Pada Juli – Agustus kemarin dia (Gunung Agung) gak keluar asap, beda dengan gunung lain yang ‘open system’ di mana dia sudah terbuka jadi asapnya keluar. Gunung Agung ini ‘closed system’ tertutup jadi kemarin keluar asap ini karena manifestasi peningkatan dari tekanan di dalam.
RH: Oh jadi asap itu bukan lagi sekadar air yang mengena kawah yang panas?
DKS: Kalau sekadar uap air itu tidak akan ada asap. Kalau ada asap berarti uap dari magma, seperti yang 7 Oktober setinggi 1.500 meter itu. Itu ‘magma heating’ betul-betul. Itu high pressure (tekanan tinggi) itu disebut ‘volcanic puff’. ‘Puff’ itu terjadi kalau tekanannya sebagian sudah keluar tapi belum keluar materialnya, baru gas organic.
RH: Nah kalau tremor yang terus-menerus itu dibilang gejala akan segera meletus, apa ada gejala lain yang bisa sosialisasi ke masyarakat?
DKS: Kalau di monitor alat tremornya terus menerus dan juga kekuatanya meningkat terus sampai akhirnya ‘overscale’ (melebihi kapasitas alat rekam).
RH: Kalau manifestasi di luar?
DKS: Bisa jadi enggak kelihatan dulu. Kalau terasa bisa jadi itu kalau sudah betul-betul energinya kuat sekali. Tapi kalau energinya gak kuat kita gak bisa tahu manisfestasinya. Kan banyak sekali gunung api yang kelihatan tenang tiba-tiba erupsi.
Gak harus asap itu keluar dulu sebelum meletus.
RH: Bagi orang awam, di kawasan rawan bencana (KRB) umpamanya, pertanda apa yang harus mereka perhatikan?
DKS: Ya biasanya yang di KRB itu akan dengar suara dulu. Kalau ada suara itu sudah mulai erupsi. Kalau mungkin harus lari sejauh mungkin. Karena bisa di awal erupsi lebih kecil, itu baru membuka, lalu bisa disusul dengan erupsi lebih besar yang tinggi.
Kalau dulu Gunung Agung seperti itu, tapi kita ga bisa prediksi apakah akan persis seperti itu. Tapi kita gak bisa prediksi persis seperti dulu, seperti di Amerika (Gunung St Helens) sudah diprediksi seperti (letusan sebelumnya) ternyata lain. Jadi kita lebih baik hati-hati memprediksi jangan sampai ada yang merasa di daerah aman tahu-tahu kena bencana.
Kalau tanda-tanda, saya pernah alami berada di Krakatau saat meletus. Pas sebelumnya ada suara seperti batu-batu diadu-adu ‘krak-krak’ gitu dan kalau kita di atas gunung maka akan goyang. Ya kalau masih sempat lari. Batu itu akan terlempar ke mana-mana dan jatuh dengan kecepatan tinggi, ratusan meter per detik. Kalau untung (sekali) bisa selamat. [b]