Gambarlah tubuh manusia. Kelompokkan jadi tiga bagian, otak, alat kelamin, dan hati.
Dari sini kita bisa mengidentifikasi diri secara seksual dan reproduksi. Misalnya, alat kelamin saya penis, tetapi otak mendorong berperilaku sebagai perempuan. Namun, di sisi lain, hati saya terhubung secara emosional, kadang menikmati hubungan dengan laki dan juga perempuan.
Inilah saya seorang transgender perempuan atau transpuan (awam disebut waria) dengan orientasi seksual biseksual, walaupun sejak lahir saya memiliki penis layaknya laki-laki.
Ada juga sebaliknya, terlahir dengan vagina tetapi otaknya memilih transgender laki-laki atau transmen. Ada juga yang secara biologis termasuk interseks. Memiliki dua alat kelamin, tetapi tidak memiliki keinginan untuk sebuah hubungan seksual atau aseksual.
Jelaslah sekarang terlihat bedanya. Menyangkut otak adalah identitas gender: cis (cisgender laki, cisgender perempuan), transgender perempuan/transpuan dan transgender laki/transmen. Menyangkut alat kelamin adalah karakteristik seksual seperti biologis penis, vagina, dan interseksual. Menyangkut hati adalah orientasi seksual: homoseksual, hetero, aseksual, biseks, dan panseks. Sementara di luar tiga kelompok ini adalah eksperesi gender: feminin, maskulin, androgini, dan lainnya.
Inilah keberagaman identitas gender, karakteristik biologis, orientasi seksual, dan ekspresi gender. Para akademisi menyingkatnya jadi Sexual Orientation, Gender Identification, Expression-Sexual Character (SOGIE-SC). Ketika memahami pilihan-pilihan atas keberagaman yang ada, diyakini kita memiliki akses pada kesehatan seksual dan reproduksi. Juga mengurangi ancaman kekerasan dari hubungan seksual dan kehidupan sosial.
Yayasan Gaya Dewata, sebuah organisasi non-pemerintah di bidang penanggulangan HIV/AIDS ini membagi alasannya pada sejumlah media di Denpasar pada pelatihan Sexual Health and Sexual Reproductive (SHSR), akhir Juni lalu.
Gusti Ngurah Surya Anaya yang akrab dipanggil Dogi memulainya dengan mengenalkan kampanye pemerintah yang mendorong pengurangan kasus HIV lebih komprehensif. Misalnya jalur cepat S-TOP menuju 90-90-90. Suluh-Temukan-Obati-Pertahankan.
Diawali dengan Suluh, temukan kasusnya. Kemudian 90 persen orang dengan HIV dan AIDS (Odha) mengatahui statusnya langsung dirujuk, obati 90 persen mendapat terapi ARV, dan pertahankan 90 persen ODHA tak terdeteksi virusnya. “Treat all, siapa pun berapa pun CD4-nya harus segera diobati,” papar pria yang cukup lama bekerja di program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.
CD4 menunjukkan tingkat pertahanan tubuh. Makin tinggi makin bagus dan sebaliknya.
Kasus HIV dan AIDS turun sejak 2016. Namun, menurutnya, belum bisa diyakini karena ada kemungkinan akibat lembaga donor jauh berkurang sehingga temuan kasus turun.
Selanjutnya ada kampanye 3 Zero 2030, yakni nol kasus baru, kematian, dan diskriminasi pada tahun 2030. Jika 90 persen ODHA mengetahui statusnya, tahu status dan dapat ARV, selanjutnya sampai viral load HIV tak terdeteksi. “Tak ada lagi diskriminasi jika ODHA tak boleh hamil, punya anak, waria tak boleh akses layanan kesehatan, dan lainnya,” jelas Dogi.
Saat ini dari data Kemenkes sampai 2017, perawatan atau terapi ARV (ART) hanya 50 persen, pasien yang pernah dapat ART 158 ribu, tapi sedang dalam perawatan 79 ribuan. Kemungkinan karena enggan ke Puskesmas, stigma karena pekerja seksatau waria. Juga bisa jadi karena pindah dan sulit akses ARV di tempat baru, atau tidak disiplin karena pasrah.
Sampai kini, pengidap HIV dan AIDS adalah mereka dengan orientasi seksual heteroseksual. Lucunya, stigma lebih diarahkan ke non heteroseksual.
Identifikasi Orientasi
Asti Widihastuti seorang dokter dan konsultan independen mengingatkan seksualitas sangat luas menyangkut sosial, biologi, sejarah, politik, dan lainnya. Para peserta pelatihan diajak berlatih mengelompokkan mana yang masuk identitas gender/otak: cisgender adalah orang yang identifikasi sesuai jenis kelaminnya (laki atau perempuan), transgender orang yg identifikasi gendernya beda dengan kelaminnya (puan atau man).
Orientasi seksual/hati: kepada siapa kita mengasihi: homo, hetero, biseks, panseks, aseksual. Ada juga transeksual, kalau sudah mengubah misal operasi kelamin atau terapi hormon.
Karakteristik seksual adalah identitas biologis seperti laki/penis (kromosom XY), perempuan/vagina (kromosom XX), dan interseksual (mix kromosom). Asti menyebut satu dari 1000 bayi dilahirkan interseksual, bukan cacat tapi variasi. “Punya vagina tapi klentitnya panjang, tak berkembang sempurna. Punya liang vagina tapi tak punya rahim. Bisa operasi dengan terapi hormon, biasanya sulit dibuahi atau membuahi,” urainya.
Hambatan lain adalah sulit mendapat hak seperti identitas penduduk karena tak bisa memilih identitas gender. Bukan hemaprodit seperti binatang.
Ekspresi gender adalah apa yang mau ditampilkan: feminin, maskulin, androgin. Ini di luar tiga identifikasi tersebut. DSM atau panduan induk sejak tahun 97 sudah menghapus homoseksual dan transgender dari penyimpangan seksual.
“Hasil penelitian konsisten menyebut pendidikan seks lebih membuat bertanggungjawab, menunda hubungan seksual, dan jika sudah melakukannya membuat lebih setia,” papar Asti.
Selain itu perlu kritis pada istilah sumber penularan HIV agar tak melanggengkan stigma. Lebih baik menggunakan istilah menyangkut perilaku bukan identitas gender atau orientasi seksualnya. Misal risiko penularan adalah transmisi seksual, transmisi jarum, kelahiran, dan lainnya.
Risiko tinggi adalah penerima (resepient) seperti vagina perempuan karena vagina penampung air mani berisi sperma. Anus yang dianal karena selaput lendir juga lebih mudah luka. Sementara laki-laki disunat bisa berkurang risikonya sampai 70%. Tapi ini tetap berisiko. Sunat perempuan malah merugikan karena mengakibatkan infeksi, pendarahan, dan mengurangi sensasi seksual karena yang dipotong ujung klitoris. “Jaringan parut tak bisa elastis, mengembang. Hasrat seksual pusatnya hormon dan otak,” tuturnya.
Kampanye di masa lalu
Berikut rangkuman oleh Gaya Dewata dalam kerangka acuan program pelatihan SHSR ini.
Di Indonesia, strategi program pencegahan pada tahun 1990-an adalah berupa “program KIE” dengan kemasan informasi tentang “penyakit AIDS yang mematikan” disebabkan oleh HIV yang bisa dicegah dengan konsep ABC dengan kecenderungan memiliki kemasan pesan menekankan pencegahan yang normatif. Kemudian berkembang dengan pengembangan program Harm Reduction yang berbasis pada kebutuhan penasun untuk menurunkan resiko penularan lewat jarum suntik dengan needle exchange program melengkapi DIK (Diskusi Interaktif Kelompok).
Masalah kesehatan seksual dan reproduksi melibatkan dua pihak, dalam konteks kelompok populasi yang beseriko dengan pihak lain yang terlibat adalah pasangannya. Survey Kekerasan pada Perempuan Terinfeksi HIV di 8 provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Ikatan Perempuan Positif Indonesia tahun 2012, menggambarkan kondisi belum terpenuhinya hak kesehatan seksual dan reproduksi.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani hak-hak, kebutuhan serta perlindungan bagi perempuan melalui kebijakan- kebijakan yang telah dikeluarkan. Indonesia telah meratifikasi CEDAW ke dalam UU No.7 tahun 1984, UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdangangan Orang, dan UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Menurut studi ini disampaikan upaya pemerintah terkait pengintegrasian permasalahan kekerasan pada perempuan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi epidemi AIDS belum dianggap sebagai sebuah faktor yang perlu diperhatikan dan diatasi. Di kalangan pemerintah dan bahkan LSM yang bergerak di layanan AIDS, isu kekerasan masih dilihat terpisah.
Di tataran kebijakan program penanggulangan AIDS sendiri, yaitu Strategi Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan AIDS 2010-2014, permasalahan perempuan, remaja perempuan dan anak belum mendapatkan perhatian khusus sehingga ketika SRAN ini diturunkan dalam tataran implementasi, ditemukan kesenjangan yang besar dalam mengatasi isu perempuan termasuk kekerasan pada perempuan dan juga pada populasi lainnya.
Beberapa temuan lapangan bahwa perempuan dengan HIV dan yang terdampak mengaku memiliki pengalaman terkait kekerasan. Jenis-jenis kekerasan yang telah teridentifikasi dalam studi ini yaitu Kekerasan fisik, seksual, psikis, dan ekonomi. Perempuan dengan HIV dalam studi ini juga ditemukan mengalami perlakuan tidak adil saat mengakses layanan kesehatan, dikucilkan dalam lingkungan sosial dikarenakan status HIV-nya.
Pada dasarnya pelatihan kesehatan seksual ini mengajarkan kepada semua lapisan masyarakat menjadi individu yang memahami hak seksualnya dan hak reproduksinya yang sehat (secara mental, fisik dan seksual). Yang terpenting juga paham dan mengetahui cara menghindari IMS dan HIV sehingga bisa bertanggungjawab terhadap dirinya dan pasangan seksualnya. [b]