Ada yang berbeda dengan tradisi Mapeed sebelum dan setelah pandemi Covid-19 di Desa Guwang, Sukawati, Kabupaten Gianyar.
Tradisi Mepeed adalah sebuah tradisi yang telah berkembang luas pada masyarakat Bali. Walau namanya sama, bisa jadi prosesi dan pakaiannya berbeda. Hingga saat ini tradisi Mepeed masih terus dilaksanakan, salah satunya di Desa Guwang.
Tradisi Mepeed di Desa Guwang biasanya dilakukan di Pura Kahyangan Tiga tatkala ada kegiatan pujawali seperti hari raya Kuningan atau piodalan pura. Pengayah Bendesa Adat Guwang yang telah menjabat selama 5 tahun menyampaikan Peed sudah dilaksanakan di Guwang hampir lebih dari 50 tahun.
Tradisi Mepeed ini berkembang karena kebiasaan hingga menjadi sebuah tradisi yang awalnya timbul karena sebuah kesepakatan yang dilaksanakan awig-awig. Perkembangan globalisasi yang semakin cepat bisa membuat terjadinya asimilasi budaya yang mana merupakan pencampuran dua atau lebih kebudayaan yang berbeda yang saling mepengaruhi yang pada akhirnya akan menghilangkan ciri khas budaya aslinya dan menghasilkan kebudayaan baru. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan bagi kita semua.
Namun hal tersebut tak mempengaruhi tradisi yang satu ini, yaitu Mepeed. Meskipun arus globalisasi yang cepat tak membuat tradisi ini tergerus, justru sekarang ini tradisi Mepeed menjadi semakin maju dengan busana atau pakaian yang digunakan sedikit dimodifikasi tanpa menghilangkan maknanya.
Karena pandemi Covid-19 yang melanda 4 tahun lalu membuat penyelenggaraan tradisi Mepeed ditunda sehingga pada saat hari raya Kuningan maupun piodalan di pura-pura tidak diiringi dengan peed. Hingga pada bulan November 2021, Mepeed kembali dilangsungkan namun dengan tampilan atribut yang lebih sederhana.
Dikarenakan kondisi finansial/keuangan yang masih kurang membuat pelaksanaan tradisi Mepeed lebih disederhanakan, yaitu dengan mengenakan kebaya putih-kuning namun dengan gaya rambut seperti Mepeed pada umumnya. Pada saat itu, pengayah Bendesa Adat Guwang menyampaikan kepada banjar pengamong atau banjar yang mendapat giliran Mepeed. Jikalau ada peed barangkali bisa dibuat lebih sederhana, ini kan itu intinya jangan terlalu glamor, seperti misalnya dengan tetap mebebed putih-kuning. Demikian yang saya dengar di banjar.
Namun hal ini disalahartikan, hingga dipakailah kebaya. “Yang saya inginkan adalah peed tetap sederhana dengan tetap pakaian mebebed dan sedikit berhias. Saya tidak melarang mereka menggunakan payas agung atau sesuai kemampuan keuangan/finansial masing-masing keluarga,” Kata Bendesa Adat Guwang, I Ketut Karben Wardana pada Minggu, 26 Februari pada saat diwawancarai di Kantor Desa Adat Guwang.
Lain halnya jika seseorang memiliki sesangi maka diperkenankan untuk mengenakan busana seperti sebelumnya yaitu dengan mebebed (kain dililit sampai dada) namun tetap mengikuti aturan dengan warna putih-kuning. “Rencananya saya akan kembali kepada tradisi mepeed yang sebelumnya dengan busana kain mebebed dan memakai kancut.” tambahnya.
Lintasan Mepeed ini jika dilaksankan di Pura Dalem maka akan berjalan lurus ke arah barat kemudian belok kanan di patung Garuda menuju Pura Cengcengan. Begitu pula sebaliknya jika dilaksanakan di Pura Desa maka lintasannya pun sama karena lokasi pura yang berdampingan atau satu arah. Mepeed di Guwang bagian dari nuur tirta atau menyucikan sumber air.
“Sebuah tradisi sebetulnya tidak boleh membebankan kalau sebuah tradisi membebankan itu namanya bukan tradisi namun sebuah pemaksaan.” lanjut Bendesa.
Beliau berharap tradisi Mepeed ini agar bisa terus berkembang yang dimulai dari anak-anak hingga orang-orang dewasa agar tetap bisa lestari. Karena kondisi perekonomian sekarang ini sudah mulai membaik, unsur yang paling penting yaitu tulus ikhlas ngayah bukan hanya sekadar untuk gaya-gayaan.
Pakaian atau busana Mepeed yang sudah mulai mengarah ke fashion seperti sekarang ini, di samping mau bergaya juga harus tetap ingat untuk ngayah agar tradisi ini lestari sehingga peed yang ada di Desa Guwang tetap Lestari dan tidak tergerus oleh zaman yang terus berkembang.