Berkunjung menghormati keluarga dan leluhur.
Sejak kecil, ketika penampahan galungan, sehari sebelum Hari Raya Galungan, nenek saya (alm) meminta saya membawa sebuah banten kecil yang diletakkan di atas tamas ke beberapa rumah tertentu yang masih dalam satu desa. Nenek menyebutnya banten “punjungan” dan apa yang saya lakukan itu disebut memunjung. Ketika saya sudah beranjak agak remaja saya sempat menanyakan ke pada nenek, apa maksud dari memunjung dan mengapa hanya rumah-rumah tertentu saja yang dibawakan banten punjungan.
Nenek memberi penjelasan bahwa memunjung itu menghaturkan sesuatu kepada para leluhur. Semacam simbol pengingat seorang anak cucu kepada orang-orang tua yang telah meninggal (ndewata) yang telah menjadikan yang masih hidup itu ada. Itulah mengapa rumah yang dibawakan punjungan hanya rumah-rumah yang memiliki keterkaitan secara garis keturunan. Misalnya di rumah asal buyut atau rumah asal kakek.
Ketika saya sudah menikah, sesekali saya mengajak juga istri saya untuk memunjung. Itupun kalau saya sempat pulang kampung pas Hari Raya Galungan. Saat inilah istri saya memiliki kesempatan berkenalan lebih dekat dengan keluarga di rumah yang kami bawakan punjungan. Kami sekalian menjelaskan apa hubungan keluarga kami dengan keluarga yang dibawakan punjungan. Bahasanya, memunjung ini menjadi ajang silahturahmi, mengenal lebih dekat antar keluarga sehingga sejarah hubungan darah (keluarga) masih tetap bisa terjejak meski generasi terus berganti.
Saat merantau ke tanah Jawa, tepatnya di Semarang, saya mendengar kembali istilah “memunjung”. Melalui cerita sejumlah teman dan membaca tulisan di sebuah media lokal semarang, saya mengetahui ternyata tradisi memunjung di Bali juga ada di Tanah Jawa dan dilakukan saat hari Raya seperti Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Maknanya kurang lebih sama yakni sarana untuk memberi pengormatan kepada mereka yang lebih tua (orang tua). Tetapi jika di Bali memunjung hanya ditujukan kepada orang tua yang sudah meninggal, maka di Jawa selain kepada yang sudah meninggal juga kepada yang masih hidup.
Memunjung di Jawa dilakukan kepada orang tua terutama perempuan (ibu atau nenek) dan dilakukan oleh kaum perempuan. Saat menjelang lebaran, kaum perempuan yang lebih muda (biasanya yang sudah berkeluarga) akan menyiapkan sesuatu. Bisa berupa makanan atau pakaian yang kemudian diberikan kepada ibu mereka. Tujuannya nampaknya sebagai bagian dari menjalin tali silahturahmi dan penghormatan kepada para orang tua.
Dari beberapa informasi lainnya, saya juga mendapat penjelasan bahwa saat lebaran, biasanya di dalam rumah juga disediakan punjungan yang diletakkan di tempat di ruang tamu. Tetapi punjungan yang berupa makanan ini tidak ditujukan kepada tamu yang hadir dalam wujud fisik, melainkan disediakan untuk para arwah orang tua atau keluarga mereka yang diyakini mengunjungi mereka yang masih hidup saat hari hari raya tiba. Pada beberapa keluarga tradisi menyediakan punjungan ini nampaknya masih hidup, tetapi semakin hari mungkin jumlahnya semakin berkurang akibatnya derasnya penyebaran pemahaman keagamaan yang digerakkan kaum puritan di tanah Jawa.
Tradisi Peninggalan Zaman Hindu-Budha
Tradisi memunjung baik di Bali maupun di Jawa merupakan peninggalan zaman Hindu-Budha. Jika di Bali masih kuat tradisi memunjung karena memang agamanya masih Hindu, maka di Tanah Jawa masih hidupnya tradisi memunjung merupakan bentuk nyata dari akulturasi budaya Hindu-Budha dengan Islam.
Pak Mahsun, seorang tokoh NU yang sering saya temui di Cakra Semarang TV ketika menjadi narasumber dialog, pernah menyampaikan kepada saya tentang masih hidupnya beberapa tradisi Hindu Budha pada pemeluk Islam di Jawa. Misalnya tradisi Nyadran menjelang Bulan Puasa yakni menungungi dan membersihkan makam anggota keluarga mereka. Tradisi ini, kata Pak Mahsun lekat dengan nilai-nilai filosofi yang dibangun dari pemahaman tradisi Hindu Budha mengenai keberadaan leluhur. Bahwa pada menjelang Bulan Ramadhan atau Puasa, mereka yang masih hidup mendatangi makam untuk mengajak roh-roh leluhur menjagai mereka yang masih hidup dalam menjalankan ibadah puasanya agar berjalan dengan baik dan lancar.
Tradisi Nyadran ini di desa-desa yang masih kuat tradisinya tidak hanya sekadar datang, membersihkan makam, berdoa lalu pergi. Tradisi nyadran di desa yang masih kuat tradisinya juga diikuti dengan makan bersama di areal makam. Jadi seluruh keluarga, masing-masing membawa makanan ke areal makam, setelah berdoa bersama, semuanya membuka bekal makanan tersebut dan menikmatinya bersama-sama.
Melihat tradisi Nyadran ini saya jadi ingat dengan tradisi serupa di Buleleng Bali saat hari raya Pagerwesi. Biasanya keluarga yang masih hidup akan mendatangi setra (makam) dengan membawa sesaji yang agak lumayan besar. Kemudian seluruh keluarga yang ikut makan bersama-sama di areal makam.
Melihat pola dari tradisi Nyadran nampaknya tidak jauh berbeda dari tradisi memunjung. Keduanya sama-sama dilakukan dengan mempersembahkan atau menyajikan sesuatu dari mereka yang masih hidup kepada mereka yang sudah memasuki alam yang lain. Pengakuan akan masih eksisnya mereka yang telah tidak berwujud fisik (roh/arwah leluhur) masih tetap bertahan. Hubungan pun masih tetap dijalin agar baik yang masih hidup maupun yang sudah mati bisa saling menjaga dan mendoakan satu dengan lainnya.
Lebih jauh, tradisi nyadran atau memunjung mungkin bisa dimaknai sebagai bentuk upaya menjalin tali silahturahmi agar jejak-jejak garis keturunan, kekerabatan dan persaudaraan masih tetap bisa terjalin. Sebagai ritual-ritual yang lekat dengan tradisi, memunjung juga ditujukan pada hasil akhir berupa kepentingan-kepentingan sosial. Dalam tradisi Nyadran, mereka-mereka yang hidup dari berbagai keluarga dalam satu desa mengunjungi yang telah mati. Semuanya bertemu di makam, saling bertegur sapa, bahkan bisa saja saling bertukar makanan yang mereka bawa.
Dalam tradisi memunjung di Bali, yang masih hidup membawa banten punjung ke rumah di mana asal muasal leluhurnya, bertemu dengan keturunan yang masih hidup untuk sekadar saling mengingatkan, bahwa mereka masih bersaudara.
Karena itu Hari Raya sebenarnya mungkin bukan hanya persoalan bagaimana mengingat yang tidak nampak (arwah leluhur, dewa-dewa atau Tuhan), tetapi jauh dari itu adalah mengingat dan menjalin hubungan dengan sesama yang masih hidup. Justru inilah sebenarnya titik penting pemaknaan hari raya, di mana bukan hanya mengejar hal yang bersifat ritual tetapi juga nilai-nilai sosial kemanusiaan.
Selamat Hari Raya Idul Fitri dan Selamat Hari Raya Galungan dan Kuningan. [b]
Hi bli, ternyata akulturasi budaya di tanah jawa dan bali begitu kental yah,tnx kolom untuk komentnya
“Tetapi jika di Bali memunjung hanya ditujukan kepada orang tua yang sudah meninggal, maka di Jawa selain kepada yang sudah meninggal juga kepada yang masih hidup.”
Sekedar tambahan, tradisi membawa “punjung” atau memunjung di Bali bukan untuk orang tua yang sudah meninggal, tetapi juga untuk yang masih ada. Biasanya “punjung” dibuat oleh anak dan dibawa untuk orang tuanya yang sudah tidak serumah lagi. Misalnya perempuan yang sudah menikah keluar.
Punjung ini dibuat terus menerus setiap Galungan semampu mungkin, bahkan sampai si anak dan orang tuanya sudah tidak ada. Contohnya, keluarga saya tetap membuat Punjung ke rumah asli nenek saya. Padahal nenek saya sudah lama meninggal, apalagi orang tua nenek saya.
“Sesajen” untuk yang sudah meninggal, biasanya hanya untuk yang meninggal dan belum Ngaben. Ibaratnya, arwah yang meninggal masih di kuburan. Jika sudah Ngaben dan Memukur, tidak perlu dibawakan “sesajen” ke Kuburan lagi, karena “arwah” leluhur sudah menyatu dengan-Nya di sanggah/merajan (tempat suci di rumah).
Demikian tambahan menurut apa yang saya ketahui.
@imadewira : yap…. intinya adalah penghormatan dan penghargaan kepada sumber darimana yang ada itu berasal. Sehingga tidak lupa siapa dan darimana kita berasal. Memunjung adalah Tradisi tua yang bahkan mungkin asli khas nusantara, bukan budaya Hindu Budha yang berasal dari India.
tradisi memunjung itu sangat kental sampai sekarang jangan sampai tradisi itu sampai hilang dimakan zaman