Teks Ni Komang Erviani, Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Lalu lalang masyarakat membawa nampan berisi makanan terlihat ramai di Kampung Islam Kepaon Denpasar menjelang matahari tenggelam pada Kamis pekan lalu. Masyarakat Kepaon yang mayoritas beragama Islam itu menuju satu titik yang sama, yakni Masjid Al Muhajirin yang berdiri megah di bagian tengah kampung.
Nuansa Ramadhan di Kampung Islam Kepaon pada hari keduapuluh itu terasa berbeda. Acara buka puasa bersama yang rutin dilaksanakan setiap hari di masjid itu, menjadi spesial karena digelarnya tradisi megibung, sebuah tradisi umat Hindu Bali berupa makan bersama dengan satu nampan.
“Megibung juga menjadi bagian dari tradisi kampung Islam Kepaon sejak terbentuk ratusan tahun lalu,” kata Abdul Gani, pengurus Masjid Al Muhajirin. Tradisi megibung di Kepaon dilaksanakan setiap sepuluh hari selama bulan Ramadhan, masing-masing di hari kesepuluh, hari keduapuluh, dan hari ketigapuluh.
Megibung dilaksanakan setelah umat muslim dan pengurus masjid Al Muhajirin melakukan khataman (selesai membaca kitab suci Al Quran sampai tamat) setiap sepuluh hari. “Selama sepuluh hari kami melakukan pembacaan alquran secara bergantian dengan umat di sini. Setelah khatam, kami rayakan dengan megibung,” jelas Abdul.
Megibung merupakan tradisi Bali yang mengandung makna kebersamaan. Makan bersama dengan beberapa orang dengan satu nampan yang sama diharapkan dapat meningkatkan tali persaudaraan antar umat. “Makna megibung di masjid ini juga tidak berbeda dengan makna megibung pada umumnya. Ini hanya untuk mempererat tali persaudaraan antar umat muslim di Kepaon,” ujar Abdul Gani.
Makanan yang tersaji saat megibung di masjid sangat bervariasi, namun masih dalam cita rasa masakan khas Bali. Masakan dengan base genep (bumbu lengkap) mendominasi makanan-makanan yang tersaji. Seperti masakan ayam base genep, plecing, samba matah, dan lainnya. Ada juga menu bubur bali dan lotong kuah. Minumannya juga beragam, mulai dari kolak, es blewah, minuman teh dalam kemasan, air mineral, dan brongko (minuman khas buka puasa di Kepaon yang terbuat dari tepung kanji, gula dan santan).
“Semua makanan ini merupakan sumbangan warga. Jadi jenisnya sangat tergantung pada keinginan penyumbang,” tandasnya.
Megibung dilakukan dengan makan nasi dan lauknya dalam beberapa nampan. Satu nampan makanan biasanya dihabiskan oleh lima sampai enam umat. Mereka terlihat sangat lahap ketika memakan makanan tersebut. Tak hanya orang dewasa, anak-anakpun mengikuti tradisi turun temurun tersebut. “Soalnya makanannya enak. Gratis lagi,” ujar Aziz, 11 tahun, beralasan.
Siswa kelas lima sekolah dasar tersebut menegaskan, makan bersama membuat rasa makanan menjadi lebih enak. “kalau makannya ramai-ramai, rasa makanannya jadi lebih enak. Nggak terasa habis banyak,” tambah Aziz.
Tak hanya megibung, sejumlah tradisi Bali juga sangat lekat dengan aktivitas umat muslim di Kampung Islam Kepaon. Lihat saja interaksi masyarakat Kepaon yang menggunakan bahasa Bali dalam kesehariannya. Nama masyarakat Bali seperti Putu, Kadek, Komang, dan Ketut, juga dipakai masyarakat Kepaon sebagai julukan. Bedanya, nama-nama khas Bali yang menunjukkan urutan kelahiran dalam keluarga itu tidak diformalkan secara administratif, melainkan hanya sebuah nama panggilan sehari-hari.
Masyarakat Kepaon juga mempunyai tradisi Ngejot, sebuah tradisi saling mengirimkan makanan antar umat. Tradisi ngejot ini biasanya dilaksanakan beberapa hari menjelang Lebaran. Makna ngejot tidak jauh beda dengan megibung, yakni mempererat tali kekerabatan antar umat.
Abdul Gani menyebut, banyaknya tradisi Bali yang melekat pada keseharian masyarakat Kampung Islam Kepaon tak lepas dari sejarah kampung yang berstatus sebagai banjar (kelompok masyararakat tradisional Bali) di Desa Pemogan Kecamatan Denpasar Selatan itu.
Ada banyak versi cerita sejarah dari kampung islam Kepaon. Ada versi yang menyebutkan masyarakat kampung ini berasal dari Bugis, namun ada juga yang menyebut Palembang dan Madura. “Versi yang benar adalah dari Palembang. Ini terbukti dari sisa sejarah berupa kuburan yang berciri khas Palembang,” kata Abdul Gani.
Dijelaskan, kisah kampung Islam Kepaon bermula ketika seorang pengembara dari Palembang bernama Raden Suryodiningrat datang ke Bali bersama puluhan orang pengikutnya. Ketika itu, konon Raden Suryodiningrat dan pengikutnya membantu Kerajaan Badung meraih kemenangan dalam perang melawan Kerajaan Mengwi. Pemegang kekuasaan Kerajaan Badung ketika itu adalah Puri Pemecutan.
Dari kemenangan itulah, Suryodiningrat kemudian dinikahkan dengan salah seorang putri raja yang kemudian menjadi mualaf dan berganti nama menjadi Siti Kodijah. Suryodiningrat dan pengikutnya juga diberikan lahan perkebunan milik kerajaan untuk dijadikan tempat tinggal. Kawasan perkebunan kerajaan itulah yang kini berkembang menjadi Kampung Islam Kepaon.
Nama Kepaon sendiri berasal asal kata ke-paon. Paon dalam bahasa Bali berarti dapur. Disebut kepaon karena masyarakat kampung kepaon dulunya membangun dapur di pinggiran desa sehingga seluruh desa dekelilingi dapur. “Setiap orang mau ke kampung ini sealu menyebut ke paon. Makanya namanya jadi kepaon sampai sekarang,” ujarnya
Hingga kini kampung islam Kepaon makin berkembang dan ditempati 700 keluarga dengan total 1.350 jiwa. Meski telah mengalami perkembangan yang pesat, namun masyarakat kampung islam kepaon tetap menjaga nilai-nilai tradisi Bali yang melekat pada diri mereka. “Kami tetap menjaga nilai-nilai Bali karena memang kami orang Bali. Kami bersyukur hingga kini bisa tetap hidup berdampingan dengan masyarakat Bali yang sebagian besar beragama Hindu,” tegas Abdul Gani. [b]
sungguh damai rasanya melihat masyarakat berbeda agama bisa hidup berdampingan dengan damai 🙂
Tulisan diatas menjadi cermin kebodohan orang Bali selama beratus-ratus tahun.
Kondisi ideal tersebut hanya ada di Bali. Diluar Bali? Lihat saja sendiri.
Sejak kapan tradisi megibung menjadi “Tradisi Umat Hindu Bali”? Saya rasa megibung hanya ada di daerah tertentu saja di Bali.