Tempat ini mengingatkan kita, bahwa semua dari kita akan mati karenanya. Jangan sombong, jangan dengki, jangan tamak. Perlu dilihat oleh mereka yang masih hidup, yang sadar akan kematian.
Kata-kata itu termuat dalam prasasti yang menyambut pengunjung tiap kali datang ke Setra Wayah, kuburan masyarakat Trunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli. Nama itu dikenal lantaran tradisi pemakaman masyarakatnya tidak biasa.
Jenazah diletakkan di atas tanah, tidak dikubur ataupun dibakar. Tak ada bau busuk menyengat. Lalu tulang tengkorak dijajarkan di satu tempat mirip undakan batu agak lebar.
Berjalan sedikit ke barat, dua gapura yang menandakan gerbang masuk berdiri bersisian. Ke tengah sebuah pohon menyan (taru menyan) berdiri kokoh dengan sulur-sulurnya yang berkelindan. Dari pohon inilah bebauan wangi yang meredam bau jenazah menguar.
Di sisi kiri pohon ada sepuluh jenazah terbaring. Masing-masing jenazah dipagari dengan rakitan-rakitan bambu. “Sesuai tradisi, hanya boleh paling banyak ada 11 jenazah diletakkan di sini,” terang Wayan Cipta, pemandu yang juga warga Trunyan. Tambahnya, bila ada satu jenazah baru, jenazah-jenazah lainnya akan digeser.
Setra Wayah, merupakan salah satu dari tiga kuburan warga Trunyan. Dua lainnya, yaitu setra nguda untuk para bayi yang belum meketus, tanggal giginya dan setra biasa bagi mereka yang salah pati, meninggal karena tidak wajar; jenazah dikubur biasa.
Kematian pun mempunyai nilai prestisus. Menurut Wayan Cipta, masyarakat lebih ingin bila meninggal kelak ditempatkan di Setra Wayah. Yang diizinkan hanyalah mereka yang tidak dianggap “cacat” ketika meninggalnya.
“Kalau ada orang tua saat meninggal perutnya masih buncit, tenggelam dan yang tidak wajar, maka tidak boleh dikubur di sini,” terangnya.
Lazimnya dalam tradisi kematian Hindu Bali, baik yang sudah dikubur atau tidak, jenazah seyogyanya dibakar dan abunya dihanyutkan ke air. Ngaben begitu istilahnya. Di Trunyan ini juga dikenal Ngaben, namun dengan cara berbeda. “Dibuatkan seperti sawa, patung-patung dari kayu itu lalu diletakkan juga di sini,” ujarnya. Ngaben di sini tidak dilakukan dengan pembakaran.
Percaya adanya hidup setelah mati, mereka yang telah meninggal ini dibekali dengan beberapa alat-alat. Kain, sisir, kaca, rokok, uang kepeng ataupun uang biasa, sandal, botol minuman pun ada, dan sebagainya. Mereka dibiarkan berserak apa adanya tanpa ada yang berani memungut.
“Dulu pernah ada yang ngambil, apa gitu, baru sampai di Jawa sakit katanya. Akhirnya ingin kembali lagi ke sini,” cerita Wayan Cipta.
Tak hanya museum yang mengenalkan kita pada peninggalan peradaban purba, tradisi pun mengajarkan tentang kearifan peninggalan peradaban purba. Seperti tradisi di setra wayah ini yang mengenalkan kepada khayalak tentang kebiasaan turun temurun leluhur masyarakat asli Trunyan.
“Ini sudah dari dulu, sudah ada dari zamannya leluhur dulu,” kata Wayan Cipta ketika ditanya tentang cikal bakal tradisi ini.
Ada satu referesi yang memuat perihal sejarah tradisi di Trunyan ini. Bukunya berjudul Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali karangan James Danandjaja. Informasi di sini juga diperoleh dari mitos dan legenda yan didapatkan dari masyarakat setempat.
Diceritakan, bau harum pohon menyan menguar hingga ke tanah Jawa. Adalah 4 anak putra raja Keraton Dalem Solo yang mengembara mencari sumber bau harum, hingga mereka tiba di Batur.
Singkatnya, putra tertua bertemu dengan seorang dewi di bawah pohon Taru Menyan, sumber dari bau harum yang dicarinya. Di luar kuasanya, sang dewi ini disenggamainya. Lalu ia meminta izin kakak sang dewi untuk menikahinya. Kakaknya setuju asal ia bersedia dijadikan sebagai pancer (pasak) dari jagat (dunia) mereka, sederhananya menjadi pemimpin Desa Trunyan.
Hingga tempat yang mereka diami berkembang menjadi satu kerajaan kecil. Kemudian karena kuatir diserbu kerajaan lain yang terpesona bau harum itu, maka Ratu Sakti Pancering Jagat memerintahkan untuk menghilangkan bau harum tersebut.
Masyarakat tidak diperkenankan mengebumikan jenazah-jenazah orang Trunyan. Justru dibiarkan di atas tanah di udara terbuka, hingga menjadi tulang. Konon, itulah sebabnya Desa Trunyan tidak lagi menguarkan bau harum yang memikat. Sebaliknya jenazah-jeanzah yang dibiarkan di sana tidak menguarkan aroma busuk.
Begitulah cara mereka menghargai kematian, menghormati yang mati. Sebab, tempat ini mengingatkan kita, bahwa semua dari kita akan mati. Karenanya, jangan sombong, jangan dengki, jangan tamak. Perlu dilihat oleh mereka yang masih hidup, yang sadar akan kematian. [b]
tolong donk…fotonya itu yg lebih keren…tungguin je biar saya noleh dulu.. 😐
iya, itu captionnya juga nyaplir. senyaplir orang2 yg ada dalam poto 🙂
itu tengkorak yg dijejerin krn “permintaan” turis biar oke dipoto. sementara pohon taru menyannya di samping kanan bawah 🙂 tak terlihat, plis digeser ke kanan. haha