Oleh Luh De Suriyani
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Temesi Gianyar kini menarik banyak penduduk lokal untuk menjadi pemulung. Suatu pekerjaan yang masih didominasi pendatang di Bali. Warga lokal, khususnya di Desa Temesi, Gianyar kini tak lagi malu bekerja di TPA untuk memilah sampah dan mengumpulkan botol atau barang non organik untuk dijual.
Hingga kini, tercatat 40 orang warga lokal bekerja sebagai pemulung di tempat pengolahan sampah warga Gianyar ini. Mereka bekerja selama sekitar tujuh jam sehari untuk memilah sebanyaknya sampah organik karena diupah borongan, tergantung jumlah sampah organik yang berhasil dipilah.
“Saya mulai menyukai pekerjaan ini bersama teman lain karena tempatnya tidak terlalu bau, walau hasil sampah organik saya masih sedikit,” ujar Ni Made Sariningsih, perempuan 41 tahun ini, ketika dijumpai Jumat (24/10) lalu.
Sariningsih bersama sekitar sepuluh perempuan pemulung lainnya terlihat mengelilingi gundukan sampah setinggi sekitar 2 meter. Tapi ia tidak kepanasan, seperti halnya pemulung di TPA Suwung, tempat pembuangan sampah terbesar di Bali berlokasi di Jalan Bypass Ngurah Rai, Denpasar itu. Para pemulung dan pekerja pembuat kompos bekerja dinaungi atap gedung di atas tanah seluas 24 are.
Ia juga dapat duduk sambil memilah sampah organik dan non organik. Ia dan temannya memakai masker dan selop tangan ketika bekerja. Dua keranjang besar sampah kertas, plastik, dan anorganik lainnya telah berhasil dikumpulkannya siang itu.
“Dari memilah sampah organik seperti daun-daunan ini saya cuma dapat rata-rata Rp 10 ribu per hari dari sekitar 250 kilogram sampah yang dipilah. Ini terbilang sedikit karena saya baru bekerja lima bulan. Tapi saya dapat lebih banyak dari menjual sampah non organik di luar TPA ini,” ia menjelaskan sambil tetap bekerja memilah sampah di depannya.
Di sebelah rombongan pemilah sampah, ada kelompok pekerja yang mengoperasikan mesin pencacah sampah. Sampah organik yang telah dipilah pemulung ditimbang kemudian dihancurkan di mesin pencacah untuk memudahkan proses komposting.
Gundukan besar sampah organik yang telah dicacah dan berumur sekitar dua bulan tidak menghasilkan bau menyengat, seperti timbunan sampah di Suwung.
“Ini karena proses komposting dengan proses aerobik, menyalurkan oksigen yang dipompa lewat blower ke dalam tumpukan sampah sehingga mencegah adanya gas methane yang sangat berbahaya,” urai Nyoman Budi Wiradnyana, leader implementasi proyek TPA Temesi.
Budi mengatakan dari buangan sampah sekitar 100 ton per hari di TPA Temesi, baru sekitar 50 ton yang bisa diolah jadi kompos. Produksi kompos per hari sekitar 15 ton.
TPA tak berbau menyengat dan tata letak yang baik membuat Temesi tak ubahnya taman bermain. Ini salah satu daya tarik warga lokal mau bekerja sebagai pemulung disini.
Kondisi ini kebalikan dari bentuk awal TPA Temesi sekitar tahun 90-an. Saat itu, hanya ada gundukan sampah yang tak terolah. Bahkan penduduk setempat pernah protes karena sampah meluber ke jalan setapak yang dilalui warga.
“Kini di desa kami seperti punya taman bermain. Siapa menyangka area ini adalah tempat pembuangan sampah?” I Wayan Cakra, salah seorang tokoh masyarakat setempat, anggota Badan Pemusyawarahan Desa Temesi ini.
Cakra yang kini menjadi Manajer Fasilitas TPA Temesi ini punya harapan besar Temesi tak hanya menjadi sentra pengolahan sampah tapi juga tempat wisata pendidikan lingkungan.
Prasarana yang mendukung keinginan itu sudah terlihat. Pertama tentu saja kebersihan dan kenyamanan tempat dengan adanya bamboo haouse, balai peristirahatan. Lalu sarana pendidikan lingkungan seperti kompleks enviromental education and research.
Dalam bangunan semi terbuka ini ada diorama-diorama pendidikan lingkungan seperti cara pencegahan nyamuk, dan solar water disinfection (Sodis). Sodis adalah cara sederhana dalam pengolahan air minum dengan memanaskannya secara alami di atas atap rumah.
Diorama ini ditata menarik dengan warna cerah dan gambar-gambar kartun yang menarik anak-anak untuk mempelajari teknologi lingkungan secara sederhana.
Selain itu ada demonstrasi pembuatan energi-energi alternatif seperti windmill, photovoltaic, dan biomassa. Pelatihan pembuatan komposting secara sederhana juga tersedia dalam skala prosuksi rumah tangga.
Kunjungan kelompok sekolah dan kelompok kecil wisatawan sudah kerap berlangsung. Kini, menurut Cakra adalah memberikan sebanyaknya bukti bagi masyarakat lokal bahwa sampah juga adalah berkah.
Apalagi warga desa kini makin bersemangat setelah PBB TPA Temesi teregistrasi sebagai proyek Clean Development Mechanism (CDM), dengan hibah dana 10 milyar untuk 10 tahun. Desa mengelolanya sebagai Badan Usaha Milik Desa. [b]
Versi bahasa Inggris tulisan ini sudah dimuat The Jakarta Post