Sebuah lukisan bergambar Tan Malaka terpampang di tepi Jalan Gunung Salak Utara, No. 16, Denpasar Barat. Tepat di bawah lukisan tersebut tertera sebuah pesan “Jangan Buang Sampah Sembarangan”.
Lukisan tersebut dibuat oleh pemilik Bengkel Kehidupan Tosa, I Nyoman Gede Krisna Aditama. Pria berusia 23 tahun ini merupakan lulusan Diploma 3 Ilmu Hukum, Universitas Picardie Jules Verne, Prancis.
Krisna mengatakan tujuannya membuat Bengkel Kehidupan Tosa, selain memanfaatkan sampah menjadi sebuah karya tertentu (mencintai lingkungan) juga sebagai simbol perlawanan kritik terhadap industri kapitalisme. “Tosa merupakan singkatan dari tong sampah,” katanya.
Bengkel Kehidupan Tosa yang berdiri sejak Januari 2014 ini menyimpan berbagai karya berbahan dasar sampah seperti barong yang tubuhnya terbuat dari botol-botol plastik, lukisan negara Indonesia, Pulau Bali, dan Garuda Pancasila yang disusun dari puntung-puntung rokok.
Berbagai kata-kata yang mengandung unsur kritik juga banyak menghiasi Bengkel Kehidupan Tosa. Selain itu juga ada buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer, serta buku-buku beraliran ‘kiri’. Krisna juga mengkoleksi buku-buku dalam bahasa Prancis, Inggris, dan Italia.
Di bengkel seluas 5×4 meter ini juga terdapat lukisan-lukisan karya Krisna dan para teman-temannya yang menghuni Bengkel Kehidupan Tosa. Krisna juga memiliki beberapa televisi dan radio lawas.
“Televisi dan radio lawas ini sebagai bentuk kritik perlawanan terhadap arus modernisme atau industri kapitalis,” kata pria asal Desa Bongan, Tabanan ini.
Di TV lawas tersebut Krisna menempelkan sebuah tulisan dalam bahasa Prancis “La télé poubelle” yang berarti “televisi sampah”. “Ini sebagai bentuk kritik terhadap isi siaran televisi yang kebanyakan tayangannya kayak ‘sampah’. Lebih pantas disebut tayangan televishit,” kata alumni SMAN 2 Denpasar itu.
Di Bengkel Kehidupan Tosa juga terdapat sebuah boneka Jelangkung yang dia buat ketika tetangganya membuang ranting-ranting pohon. “Ranting-ranting itu saya kumpulkan, kebetulan ada batok kelapa, jadi saya buat saja boneka Jelangkung,” jelasnya.
Menurut Krisna tidak ada tujuan khusus ketika membuat boneka Jelangkung, itu semata-mata hanya keisengannya. “Salah satu teman saya yang pernah datang kesini yang memberi makna pada boneka Jelangkung itu. Itu simbol kalau bengkel ini bebas dikunjungi siapapun untuk berkarya atau sekedar mampir ‘datang tak dijemput, pulang tak diantar,” ucapnya sambil tersenyum.
Krisna menuturkan sejak usia 11 tahun ia bercita-cita ingin jadi presiden, karena kagum saat melihat pidato Soekarno di televisi ketika peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. “Selain itu sejak kecil saya punya hasrat untuk menjadi seorang pemimpin,” katanya.
Ketika masih anak-anak Krisna hobi bermain basket dan sepak bola. Saat memasuki jenjang pendidikan SMA, ia berganti hobi ke arah seni, khususnya seni musik. Bahkan saat itu Krisna sempat membentuk sebuah band beraliran reggae beranggotakan 4 orang personil yang diberi nama Rasist (Rada Narsist).
“Sebenarnya kata narsis tidak menggunakan huruf T diakhir kata. Tapi sengaja ditambahkan T supaya keren, selain itu saya juga browsing di internet kalau kata rasis saja tanpa T maksudnya tidak baik, jadi lebih baik ditambahkan huruf T di belakangnya,” katanya.
Kendati ia kuliah di bidang ilmu hukum, namun sehari-harinya Krisna bekerja sebagai front office di salah satu hotel di kawasan Sanur. “Sejujurnya pekerjaan itu bertentangan dengan idealisme saya. Pekerjaan ini saya lakukan karena dikuasai orang tua,” katanya.
“Kalau saya justru ingin setelah pulang dari Prancis menjadi petani agar bisa hidup dari alam,” tambahnya.
Menurut Krisna ketertarikannya kuliah ilmu hukum, bukan semata-mata untuk bekerja menjadi pengacara atau notaris. Semua itu dia jalani untuk memahami dasar-dasar hukum dan hak azasi manusia.
Kuliah di Prancis merupakan keinginannya, bahkan orang tuanya pun mendukung ia kuliah di luar negeri. “Semua biaya kuliah ditanggung oleh orang tua, setelah lulus oleh orang tua, saya dikejar-kejar untuk pekerjaan. Beda pengertian antara saya dan orang tua mengenai kuliah dan bekerja,” ucapnya.
Kini di Bengkel Kehidupan Tosa, Krisna ditemani 3 orang anak-anak muda asal Jakarta, Banyuwangi, dan Makassar yang selalu aktif berkarya. Untuk rencana dalam waktu dekat, ia bersama ketiga orang temannya berencana backpacker keliling Indonesia.
“Dalam perjalanan tersebut kami ingin mengajak masyarakat dan anak-anak untuk lebih aktif peduli dengan lingkungan terutama masalah sampah plastik, karena sampah bisa dimanfaatkan jika kreatif,” ucapnya. [b]