Masyarakat terlalu sering dininabobokkan dengan iming-iming.
Masyarakat ‘disuap’ sejumlah peraturan pemerintah dengan iming-iming dapat memberikan sensasi suatu relaksasi hingga ekstase. Seolah-olah, negara telah memenuhi kebutuhan masyarakat atas jaminan hukum.
Apalagi perempuan, pasti langsung setuju jika nasib anak mereka dilindungi undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya. Belum lagi ketika disodori naskah akademik yang dibuat dengan membawa gengsi dari universitas terkemuka. Bisa jadi kaum ibu-ibu langsung mendukung dengan penuh keyakinan nasib mereka dijamin negara.
Begitu tinggi kepercayaan masyarakat terhadap berbagai regulasi dan dengan mudah digiring seperti kerbau dicocok hidungnya. Masyarakat menjadi masyarakat bisu, menerima sakralisasi wacana-wacana hukum yang kesannya luar biasa. Padahal kemudian berakhir menjadi piagam tanpa guna.
But not this time, tidak kali ini!
Naskah akademik dan Rancangan Perda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak PERLU DITOLAK SEKALIGUS DIBATALKAN demi tegaknya hukum dan keadilan bagi anak. Naskah ini disusun tim peneliti pusat perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana dan iajukan Pansus Komisi IV DPRD Provinsi Bali.
Penolakan ini bukan karena naskah akademik dan ranperda yang mengikutinya tidak penting bagi nasib anak Bali. Sama sekali tidak!
Penolakan ini dengan terpaksa perlu dilakukan karena naskah ini jauh dari kata layak disebut sebagai ‘naskah akademik’ apalagi kelak dijadikan acuan bagi anggota Parlemen Provinsi Bali untuk menerbitkan suatu Peraturan Daerah (Perda). Terlebih lagi, naskah ini dijadikan acuan penting perlindungan nasib masa depan anak.
Begitu pentingnya bahkan, ada indikasi produk hukum ini ‘dipaksakan’ menjadi Perda sebelum Pemilu. Ini merupakan praktik kekerasan simbolik, pemaksaan kehendak demi pencitraan.
Apa jadinya jika naskah ini beredar di masyarakat dan dibaca oleh akademisi lainnya? Sungguh hal yang memprihatinkan kalau tidak ingin disebut memalukan.
Berikut sejumlah argumentasi sebelum ‘menggugat’ kompetensi para ahli perancangan FH Unud.
Gegabah
Naskah Akademik Ranperda Provinsi Bali tentang Perlindungan Anak jelas-jelas dibuat secara gegabah dan amatiran. Naskah akademik ini kurang memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, tanpa dasar kajian akademis tentang anak-anak Bali. Pada bagian latar belakang penyusunan naskah akademik ini di antaranya adanya pernyataan:
“Tingginya permasalahan yang berkaitan tentang anak sangat memerlukan adanya penegakan hukum (terketik: hokum) yang optimal”.
Apa dasarnya? Memang pada naskah akademik ini menggunakan data kekerasan kasus anak dari Yayasan Lembaga Perlindungan Anak Bali. Data LPA menunjukkan angka kekerasan anak ‘hanya’ mencapai 150 kasus sejak tahun 2011-2013. Pernyataan yang menyatakan tingginya permasalahan anak di Bali ini tentu tidak berdasar, mengingat tidak ada indikator pendamping yang dapat dijadikan pembanding agar informasi yang disampaikan mendekati akurat.
Misalnya, berapa jumlah anak di Bali? Berapa angka kematian bayi di Bali? berapa anak Bali yang tidak bersekolah? berapa yang bekerja? Berapa anak yang dibuang dan ditelantarkan? Berapa anak yang dipenjara? berapa anak yang disabilitas? Berapa anak yang berhadapan dengan hukum? Berapa anak yang menggepeng? Berapa yang diperkosa? Berapa anak yang dipasung? Berapa anak jenius Bali, berapa anak berprestasi di Bali?
Ini baru merupakan sebagian kecil pertanyaan mendasar yang harus diketahui peneliti sebelum menyusun naskah akademik apalagi menjadikannya sebagai peraturan daerah.
Sayang sekali, data dalam naskah akademik begitu kecil dibandingkan jumlah anak di Bali (sangat tidak mungkin jumlah anak Bali ‘hanya’ 150?). Jika data ini digunakan sebagai dasar pembuatan Perda Perlindungan Anak tentu argumentasinya sangat lemah dan gegabah.
Padahal, stakeholder yang bergerak dalam bidang pemerhati anak itu banyak sekali. Misalnya lembaga pendidikan (sekolah dari Paud, SD- SMA). Lembaga pelayanan kesehatan, kepolisian, Bapas, pengadilan, masyarakat adat, keluarga, forum anak, P2TP2 dan sebagainya yang tentunya memiliki data yang lebih akurat.
Selain itu mereka tentu lebih mengetahui masalah penanganan anak di lapangan, dan mendekati realitas sosial anak Bali. Jangan salahkan jika membaca naskah akademik ini memunculkan sejumlah asumsi: peneliti meremehkan data lapangan, kemalasan melakukan penelitian lapangan atau karena isolasi yang memerangkap diri dalam teks-teks hukum tanpa memahami realitas nasib anak-anak Bali.
Tapi haruskah masa depan anak Bali menjadi wacana basi-basi alakadarnya seperti ini? Kemudian memaksa masyarakat untuk menerima gagasan seperti ini dalam bentuk Perda? Begitukah?
Jika ini benar, tentunya mentalitas seperti ini benar-benar menyedihkan. Penyederhanaan masalah semacam ini tentu merupakan bentuk pembodohan masyarakat yang ‘dipaksa’ menerima studi tidak berbobot seperti ini. Maka, koreksi terhadap naskah ini menjadi penting untuk mengawasi kinerja-kinerja yang menggunakan dana dari masyarakat.
Amatiran
Selain itu, naskah akademik ini menjadi tampak ‘amatiran’ ketika rumusan masalah dengan hasil analisis disandingkan. Jawabannya ibarat pepatah: jauh panggang dari api.
Pada rumusan masalah pertama berbunyi: permasalahan hukum apakah yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Ranperda Perlindungan Anak? Logika dari pertanyaan ini tentu merujuk pada sejumlah produk hukum bermasalah jika diterapkan dalam upaya perlindungan anak.
Tetapi, pada hasil analisisnya justru disajikan tampilan produk hukum yang digunakan sebagai dasar dalam Ranperda yaitu: UU 12/2011 pasal 5 dan 6, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (tapi, tampak peneliti tidak konsisen karena, di halaman lain disebut, UU No 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak), PP No 38 tahun 2007 tentang pembagian Urusan, Peraturan Daerah Provinsi Bali No 1 tahun 2008. Itu pun tidak mengikutsertakan produk hukum yang lebih baru seperti UU SPPA tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Pada rumusan masalah kedua berbunyi: Apakah yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Bali tentang Perlindungan anak? Hasil analisisnya: tidak ada! Terlalu banyak ‘bunyi-bunyian’ yang dikutip menurut beberapa ahli hukum, tapi tidak menjawab pertanyaan yang diajukannya sendiri.
Pada rumusan masalah ketiga berbunyi: Apakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan dan jangkauan, dan arah pengaturan dalam Ranperda tentang perlindungan anak? Jawaban yang diberikan penuh kegalauan dan kegamangan seperti terkena sindrom ‘schizophrenia’: yang penting menabur sejumlah kalimat, tak penting bermakna atau tidak.
Sasaran yang diwujudkan pastinya untuk perlindungan anak, namun anak seperti apa yang akan disasar dalam naskah dan ranperda itu? Tidak jelas.
Perda tentunya tidak sama dengan UU meskipun produk ini harus mengacu pada produk perundang-undangan di atasnya. Gejala ‘copy-paste’ bunyi-bunyian dalam produk hukum dan kemudian mencantelkannya dalam peraturan daerah tanpa kajian serius dan ilmiah tentu merupakan tindakan gegabah.
Tak Paham
Konsep anak yang diajukan dalam naskah akademik ini masih “standar” kutipan pasal 1 Konvensi Hak Anak, bahwa anak adalah:
“…setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia anak dicapai lebih awal”.
Definisi anak berdasarkan diskusi terfokus yang diselenggarakan LBH Bali dalam menganalisa Ranperda perlindungan anak, begitu banyak menyajikan realitas sosial anak-anak Bali. Padahal nyatanya, berbagai produk hukum mendefinisikan anak dengan umur beragam. Bicara anak tentu tidak melulu bicara soal umur, tetap lebih luas dari itu tentang bagaimana anak itu hidup, bertumbuh secara riang.
Anak merupakan suatu definisi yang bersifat kompleks secara kultural dan sosial. Dalam institusi pendidikan dikenal istilah “anak berkebutuhan khusus”, “anak dengan layanan khusus”. Selain itu ada istilah “anak Negara”,” anak disabilitas”, “anak dari penyandang disabilitas”.
Perkembangan terbaru sebagai praktisi hukum peneliti mestinya sudah tahu ada istilah “Anak Berhadapan” dengan Hukum dan “Anak Berkonflik” dengan hukum. Belum lagi anak-anak “berdarah campuran” berdwikenegaraan” di mana posisi mereka dalam peraturan perlindungan ini?
Dalam dunia kesehatan dikenal istilah, janin, bayi, balita, masa pubertas dan sebagainya. Mereka semua ini berhak mendapatkan jaminan perlindungan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Jadi ‘realitas’ sosial wajah anak-anak Indonesia termasuk di Bali tidaklah sama dan perlakuan yang dibutuhkan pun tidak dapat diseragamkan.
Definisi anak yang kompleks ini mencerminkan realitas kehidupan anak tidak sesederhana definisi yang diajukan. Terlebih lagi di Bali masalah seksualitas anak menentukan perlakuan yang menjadi pemicu sejumlah diskriminasi dan kekerasan terhadap anak. Misalnya konsep purusa dan pradana yang masih bersifat politis, memengaruhi posisi dan disposisi sosial termasuk masa depan anak.
Semestinya kompleksitas kebutuhan anak inilah dijadikan dasar-dasar argumentatif bagi penyusunan latar belakang akademik dan data-data yang akurat. Sayangnya hal-hal urgensi berkaitan dengan kebutuhan anak, tidak sampai dalam Naskah Akademik dan juga Ranperda Perlindungan Anak.
Tidak Memenuhi
Pada halaman 21 naskah akademik ini disampaikan bahwa validitas hukum atau keabsahan suatu hukum sebagai peraturan perundang-undangan di Indonesia harus sesuai dengan: 1) landasan filosofis, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut suatu negara; 2) sosiologis, mencerminkan tuntutan dan kenyataan yang hidup dalam masyarakat; 3) yuridis, sebagai norma hukum, adanya kesesuaian hubungan kondisi dengan akibatnya, adanya lembaga yang berwenang) dan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi; 4) politis, sesuai dengan cita-cita dan konstitusi.
Naskah Akademik ini jelas tidak memenuhi aspek sosiologis dan telah mengabaikan realitas sosial tentang anak-anak Bali: bagaimana anak hidup, tumbuh dan berkembang anak di tanah Bali. Ranperda Perlindungan Anak setidaknya secara ideal melibatkan landasan filosofis kearifan Sosial Budaya Bali dalam menata dan mengatasi masalah sosial termasuk dalam perlindungan anak, termasuk melibatkan masyarakat adat Bali.
Namun, ini pun tak tampak dalam naskah akademik ini.
Tidak Jelas
Naskah akademik dan Ranperda Perlindungan Anak yang hendak dipaksakan ‘sukses’ ketok palu menjadi Perda sebelum pemilu 2014. Ini menyisakan banyak problematik yang dirasakan beberapa stakeholder dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (aparat terkait) yang terlibat di dalamnya.
Dalam diskusi membahas Ranperda Perlindungan Anak, perdebatan koordinasi para pihak dalam ruang lingkup pemerintahan masih tidak jelas, tumpang tindih. Bidang pemberdayaan perlindungan perempuan dan anak melalui P2TP2A mengeluhkan dana terbatas tidak sebanding dengan dengan ribuan kasus-kasus yang dihadapi. Pihak kepolisian membutuhkan shelter bagi anak yang berhadapan dengan hukum, selisih paham tentang “Rumah Sosial Perlindungan Anak” yang menurut Dinas sosial itu hanyalah sebagai tempat konsultasi bukan untuk shelter.
Ini baru sebagian kecil dari kekacauan jalur komunikasi dan koordinasi yang harus dihadapi dalam internal pemerintahan. Sejumlah aktivis perempuan dan stake holder lainnya termasuk dari dinas pendidikan, pengadilan juga mengharapkan “Anak Berkonflik” dengan hukum tidak dipenjarakan di lapas orang dewasa, selain faktor Lapas Anak Gianyar yang berlokasi di Karangasem dirasakan terlalu jauh sehingga ada desakan untuk menyiapkan tempat yang lebih dekat dan representatif untuk anak-anak yang berhadapan hukum.
Penyusunan naskah akademik ini tampaknya belum sampai pada bagian ‘membaca realitas’ atau melakukan kajian kontekstual yang serius dalam penyusunan rancangan perlindungan anak ini. Apa yang dipaparkan dalam naskah akademik ini baru terbatas menyajikan pengetahuan hukum secara umum.
Proyek
Naskah akademik dan Ranperda Perlindungan Anak perlu ditolak!
Naskah akademik ini argumentasinya sangat lemah, prematur dan baru sebatas memamerkan pengetahuan tekstual tentang hukum yang sebenarnya juga bisa diakses masyarakat melalui internet. Kajian ‘kontekstual’ berbasis realitas sosial dan kajian budaya dengan melibatkan stakeholder belum disentuh dalam kajian akademis ini.
Semestinya dalam naskah akademik dan juga Ranperda Perlindungan Anak ini, UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ini perlu dijadikan salah satu dasar bagi terbentuknya Perda Perlindungan Anak.
UU No 11 tahun 2012, SPPA telah disahkan sejak 2012 dan baru akan diberlakukan Agustus 2014, inipun beberapa bagian pasalnya tengah di-uji material-kan oleh Ikatan Hakim Indonesia dan disetujui MK. Sayangnya kehadiran UU SPPA tampaknya alpa dicantumkan, entah karena peneliti tidak ‘update’ informasi, ataukah karena “lupa” memang menjadi penyakit kronis yang harus dilawan oleh bangsa ini.
Padahal UU SPPA ini relevan dengan topik perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum, baik yang menjadi korban maupun pelaku.
Naskah akademik dan Ranperda Perlindungan Anak harus berani untuk ditolak. Karena tiada gunanya menciptakan produk hukum tak berguna dalam kenyataan, hanya dipaksakan untuk pencitraan aktor-aktor politik dengan kinerja yang tidak maksimal dengan mengorbankan nasib anak-anak Bali.
Setidaknya naskah akademik ini memberikan gambaran tentang realitas betapa tidak seriusnya penanganan nasib anak Bali. Anak masih dianggap sekadar ‘proyek’ wacana, tanpa keseriusan untuk benar-benar memikirkan bagaimana naskah akademik ini layak menjadi dasar bagi terbentuknya Ranperda Perlindungan Anak dan dapat diimplementasikan. Sudah saatnya masyarakat juga mesti ‘melek hukum’ dengan membaca secara hati-hati berbagai produk hukum yang dibuat kaum intelektual, untuk menghindari manipulasi dan pembodohan masyarakat. [b]