Oleh Darma Putra
Titi Mas adalah nama warung modern tempo doeloe yang terletak persis di ujung jembatan Tukad Badung, sisi utara jalan Gajah Mada Denpasar. Lokasinya mepet dengan batas barat Pura Desa Denpasar. Warung ini populer akhir 1960-an hingga 1970-an dan banyak disinggahi turis manca negara yang melakukan city tour di Denpasar.
Warung modern itu menjual aneka kue (basah), es buah, juice, minuman botol, dan aneka hidangan lainnya. Di sinilah tempat wisatawan asing bisa mencicipi kue-kue yang tidak ada di negerinya. Turis yang berbelanja disediakan tempat duduk dan meja bundar yang berisi payung peneduh. Dari penampilannya, warung ini tampak elit dan menargetkan pangsa pasar kelas atas, khususnya turis asing.
Lokasinya yang tepat di jantung keramaian kota membuat warung Titi Mas kerap ramai. Sebagai outlet tempat rileksnya turis asing, Titi Mas benar-benar merupakan salah satu sudut modern kota Denpasar dekade awal 1970-an.
Titi Mas adalah nama yang pas untuk sebutan warung yang letaknya dekat jembatan. Dalam bahasa Bali ‘titi’ artinya ‘jembatan’, sedangkan ‘mas’ dari kata ‘emas’ atau ‘gold’. Seperti kebanyakan nama toko waktu itu, Titi Mas adalah nama yang berkesan mulia. Kalau turis asing bertanya di mana tempat minum di Denpasar, pemandu wisata akan menjawab di Titi Mas alias ‘Golden Bridge Cafe’.
Titi Mas juga menjadi nama yang gampang diingat untuk wisatawan domestik karena ‘Mas’ bisa berarti panggilan untuk ‘Pak’ dalam bahasa Jawa. Wisatawan yang berkunjung ke Denpasar tahun 1960-an dan 1970-an, tak hanya dari manca negara, tetapi juga banyak juga wisatawan dalam negeri. Dengan memilih nama Titi Mas, warung ini juga membuat dirinya ‘welcome’ bagi turis domestik.
Tak lengkaplah bagi wisatawan asing atau domestik yang melancong ke Bali tanpa melenggang ke kota Denpasar. Ketika itu, suasana Denpasar masih lengang, termasuk jalan utama Gajah Mada. Mobil sedikit, motor belum banyak. Yang dominan lalu-lalang adalah sepeda. Traffic light belum ada, Denpasar relatif bebas dari polusi, sehingga duduk di warung Titi Mas, di atas trotoar, masih terasa enak.
Selain Titi Mas, di jantung kota Denpasar sudah ada beberapa toko dan usaha yang mencoba memenuhi kebutuhan wisatawan. Ada Restaurant Hong Kong (barat Tukad Badung), ada rumah makan Puri Selera (lokasinya berseberangan dengan Gedung BRI sekarang). Di Jalan Gajah Mada juga mulai ada art shop Mega. Jasa money changer juga ada satu-dua. Suasana Peken Payuk (Pasar Kumbasari) memberikan panorama ‘kehidupan pedesaan’ yang memikat wisatawan waktu itu.
Wisatawan yang berkunjung ke Denpasar waktu itu ada yang datang dari Sanur, Kuta, atau banyak juga yang memang menginap di hotel-hotel yang ada di sekitar Denpasar, seperti Bali Hotel (Jl Veteran), Hotel Adi Yasa (Jl Nakula), Wisma Pulau Bali dan Hotel Sari (Jl Gunung Agung). Dulu jumlah hotel di Depasar relatif banyak, namun kini berkurang karena kalah bersaing sejalan dengan pertumbuhan bisnis hotel di Sanur dan Kuta.
Karena udara Denpasar panas maka seringlah tampak wisatawan asing yang melenggang di Jalan Gajah Mada tanpa mengenakan baju. Mereka hanya mengenakan sarung, seperti umumnya warga di pedesaan. Bagi sebagian warga kota, perilaku turis itu masih dianggap aneh.
Anggapan turis aneh itu misalnya diwakili oleh puisi berjudul ‘denpasar sanè mangkin’ (Denpasar Dewasa Ini) yang ditulis awal 1970-an oleh penyair Made Sanggra (1926-2007). Petikan puisi pendek ini adalah:
denpasar sanè mangkin// pasliwer wong sunantara, solahnyanè solèh- solèh/ mlalung makamben lambih/ macukur mabok dawa/ luh matingkah muani/ muani maambek…. Artinya: denpasar dewasa ini/ lalu-lalang orang asing/ perilakunya aneh-aneh/ telanjang berkain panjang/ bercukur berambut gondrong/ perempuan bergaya laki/ laki bergaya…
Potret yang disajikan penyair Made Sanggra mendekati ciri-ciri wisatawan yang dikenal dengan julukan ‘hippies’. Tahun 1970-an, gejala hippies memang sempat mengkhawatirkan pemerintah dan kalangan intelektual karena dianggap memberikan pengaruh negatif kepada pemuda-pemudi Bali, walau tidak persis seperti itu adanya, karena banyak turis yang dianggap hippies itu memiliki apresiasi tinggi terhadap kebudayaan lokal.
Yang jelas, Denpasar tetap menyambut kedatangan wisatawan. Warung Titi Mas telah tampil sebagai fasilitas buat wisatawan untuk menghilangkan rasa haus dari hawa panas kota. Dengan rileks di Titi Mas, wisatawan bisa menatap geliat Jl Gajah Mada, panorama pasar di sekitarnya, dan juga pesona Tukad Badung.
Tukad Badung relatif masih asri awal dekade 1960-an, tetapi bagi orang asing sungai itu tetap saja tergolong kotor. Jijiklah turis melihat orang-orang mandi di Tukad Badung, heranlah mereka melihat ada warga yang mencuci pakaian dan alat rumah tangga juga di sana yang tercemar. Kepada pemandu wisata, turis biasanya bertanya: Mengapa orang-orang berendam di sungai yang kotor?
Seorang pemandu turis Jepang senior yang kerap mendapat pertanyaan seperti itu di tahun 1970-an, berusaha mengaku bersilat lidah, berusaha memuaskan keingintahuan tamunya dengan mengatakan bahwa mereka yang berendam di sungai itu adalah warga yang sedang mendulang emas. Tentu saja ini lelucon saja karena gumpalan kekuning-kuningan yang hanyut di Tukad Badung itu jelas-jelas bukan emas. Titi Mas hanyalah sebatas nama, tidak ada kaitannya dengan tambang emas sesungguhnya karena di sekitar Tukad Badung tidak ada emas.
Sudah sejak lama Titi Mas tidak ada lagi di ujung timur jembatan Tukad Badung. Lokasinya kini menjadi bagian dari bangunan Pura Desa Denpasar. Tanah di sekitar pura, baik di utara jalan maupun di selatan jalan, merupakan tanah negara, yang menurut adat merupakan wilayah desa adat. Secara hukum nasional, hal itu merupakan tanah negara. Namun, kepentingan ekonomi dan pembangunan untuk mempermodern kota membuat tanah-tanah itu diisi toko dan sebagian sempat berpindah tangan ke perorangan.
Pemilik toko di atas tanah negara dibenarkan mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk memiliki lahan itu, dari hak guna pakai menjadi hak milik. Semestinya, pemerintah tidak memenuhi permintaan hak milik kecuali kalau pejabat berwenang memang bermaksud kong-kali-kong. Memang, beberapa tanah negara di kawasan jalan utama akhirnya jatuh kepada perorangan karena permohonan mereka dipenuhi.
Untunglah belakangan pemerintah cepat sadar untuk menarik kembali tanah-tanah negara di jalan utama, terutama yang berada di sekitar Pura Desa Denpasar dan yang ada di depannya, seberang jalan, alias sisi utara Pasar Badung. Toko-toko yang sudah lama bercokol diratakan dibongkar untuk menciptakan ruang terbuka lebih luas untuk kepentingan publik, mulai dari ritual dan pasar, sebagai penunjang pembangunan Denpasar menjadi kota budaya.
Dulu kota Denpasar bertransformasi dari kota lama menjadi kota modern antara lain ditandai dengan kehadiran warung Titi Mas tempat wisatawan melepas lelah saat menikmati wisata kota, kini wajah kota ditata ke arah kota budaya. Apa pun, yang penting wisatawan—yang di Bali disebut dengan ‘tamu’—bisa terpuaskan saat melakukan city tour ke Denpasar. [b]
aku kangen denpasar saat di masa-masa 1980-an. sebenarnya kota ini begitu cantik. hanya saja terlalu banyak polesan sehingga mirip cewek menor yang murahan…
saya anak denpasar yang dilahirkan 60 tahun silam. depot es titi mas dahulu terkenal sebagai penjual es campur ( es serut ), lacurnya aku cuma pernah makan disana dua kali, sewaktu kanak2 aku hanya kadang2 mampu membeli es lilin yang warnanya merah diwarnai sumba yang merugikan kesehatan atau paling luxus membeli es sabun.
tukad badung tahun 50-an sudah sering disalah gunakan sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah makan, walaupun jaman itu sampahnya masih biologis.
dahulu kalau mandi harus ditukad krecek atau banjarubung. itupun jika anda tidak jijik terhadap emas kambang yang asalnya dari kampoeng jawa. kita anak bali buang hajat di-tebe setelah itu mencari pohon waru untuk mekilat.
sebagai anak bali yang paling kutakuti adalah betara kala, semuanya bakal rusak tertelan kala. demikian pula pulau baliku telah rusak oleh kala yang di-synonim-kan dengan modernisasi dan pembangunan.
sekarang tukad banjarubung sudah rusak menjadi got yang kotor. baliku lambat laun bakal punah.