Oleh Anton Muhajir
Elit politik di Bali, atau bahkan Indonesia, mungkin bisa belajar ke Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar tentang cara berkampanye tanpa harus merusak wajah kota atau desanya. Warga desa ini membuat aturan agar pemasangan atribut kampanye seperti baliho dan bendera parpol hanya dilakukan di tempat tertentu. Jadi, rapi dan tertib wajah desa masih terjaga.
Masuk kawasan desa ini, perbedaan itu langsung terasa dibanding desa-desa sekitarnya. Di desa lain, sepanjang jalan dipenuhi wajah para calon anggota legislatif (caleg) dalam baliho atau spanduk dan bendera partai yang berlomba paling tinggi dan paling besar. Begitu pula di tempat lain. Di Denpasar misalnya, baliho, bendera, dan spanduk nyaris memenuhi semua ruas jalan kota. Bukannya membuat orang tertarik, pemasangan atribut kampanye yang di sembarang tempat malah merusak wajah kota.
Tapi di jalan-jalan desa Lodtunduh justru nyaris tidak ada atribut kampanye sama sekali. Bendera parpol dan spanduk caleg itu hanya ada di tempat tertentu seperti di depan bale banjar dan kantor kepala desa.
Menurut Kepala Desa Lodtunduh, Wayan Sudarta, warga setempat membuat kesepakatan tentang pemasangan atribut kampanye untuk mengantisipasi maraknya pemasangan atribut kampanye di sembarang tempat. “Kami tidak ingin ada perang bendera di desa kami gara-gara kampanye,” katanya.
Sudarta menyatakan bahwa kesepakatan dibuat setelah ada pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Gianyar Oktober lalu. Aparat desa melibatkan semua calon anggota legisltaif (Caleg) dari Desa Lodtunduh untuk menyusun kesepakatan tersebut. Sembilan caleg dari Lodtunduh yang merebutkan kursi untuk DPR Kabupaten, DPR Provinsi, dan DPR RI itu membuat kesepakatan bersama Kelian Banjar, Kepala Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ada dua hal utama yang diatur dalam kesepakatan tertulis tersebut yaitu pemasangan baliho dan bendera. Untuk baliho, pemasangannya hanya boleh dilakukan di tiga titik yaitu lapangan desa, perempatan desa, dan perbatasan desa. Sementara untuk bendera boleh juga dipasang di dua titik lain yaitu bale banjar dan kantor desa.
“Kantor desa dan bale banjar kan tempat kegiatan masyarakat. Jadi atribut itu akan mudah dilihat oleh warga,” tambah Sudarta.
Tidak ada aturan untuk besarnya ukuran baliho. Namun untuk bendera diatur tinggi tiangnya tidak boleh lebih dari empat meter dengan ukuran bendera maksimal 1 x 1,5 meter persegi.
Made Karang, salah satu warga Lodtunduh mendukung adanya kesepakatan pemasangan atribut kampanye di desanya. Menurut bapak dua anak itu, kesepakatan tersebut akan bisa menjaga keindahan wajah desa. “Sebab, desa kami juga mewakili Kecamatan Ubud dalam lomba desa di tingkat kabupaten,” ujar Ketua BPD tersebut.
Dalam kesepakatan yang dibuat tertulis itu disebutkan bahwa para caleg dan parpol tidak akan memasang atribut kampanye di sembarang tempat seperti jalan raya, pohon, dan tiang listrik.
Menurut Karang, awalnya sebagian caleg dari Desa Lodtunduh sempat keberatan dengan adanya aturan tersebut. Namun demi ketertiban dan keindahan desa, para caleg tersebut akhirnya bisa menerima. “Kami kan tidak melarang pemasangan, tapi hanya membatasi,” tambah Karang.
Bukan hanya caleg dari desa setempat yang patuh pada kesepakatan itu, caleg dari daerah lain pun melakukan hal yang sama di Desa Lodtunduh.
Setelah ada kesepakatan tersebut, atribut kampanye yang sudah terpasang di sepanjang jalan pun segera ditertibkan. Atribut kampanye itu kemudian terkonsentrasi di beberapa titik antara lain di lapangan desa, perempatan desa, perbatasan desa, sebelas bale banjar, dan di depan kantor kepala desa setempat.
Di depan kantor kepala desa misalnya ada empat bender partai yaitu PDI Perjuangan, Partai Karya Persatuan Bangsa (PKPB), Partai PIB, dan Partai Demokrat. “Kami memberikan kesempatan pada semua partai untuk memasang atributnya. Tapi hanya empat itu yang memasang,” kata Karang.
Meski demikian, kesepakatan itu tidak memiliki sanksi. “Hanya bersifat moral,” ujar Sudarta. Ketika ada yang melanggar kesepakatan, kelian dinas akan memperingatkan pada caleg yang memasang agar melepas atribut tersebut. “Kalau yang bersangkutan tidak mau melepasnya, maka petugas dari desa yang akan melakukan,” katanya.
Sejauh ini, tambah Sudarta, tidak ada caleg atau parpol yang melanggar kesepakatan. “Kalau ada yang melanggar biasanya caleg dari luar desa. Itu pun karena yang bersangkutan belum tahu adanya aturan di desa kami. Setelah dikasih tahu ya mereka bersedia melepasnya,” tambahnya.
Di Desa Londtunduh sendiri ada sembilan caleg dari partai kecil. Para caleg itu ada yang untuk DPRD Kabupaten, DPRD Bali, maupun DPR RI. Jumlah warga yang punya hak pilih sekitar 5000 orang. Meski banyak caleg, toh, desa itu tidak harus dipenuhi wajah para caleg tersebut maupun parpol yang mengusungnya.
Karena itu, Sudarta berusaha agar kesepakatan tersebut juga dilakukan lima tahun lagi. “Tahun ini bisa tertib, maka lima tahun lagi juga harus bisa,” katanya.
Kalau di Desa Lodtunduh bisa begitu tertib soal kampanye, seharusnya daerah lain pun bisa. Kemeriahan menyambut Pemilu tidak harus dilakukan dengan merusak wajah kota atau desa kan? [b]
lodtunduh pancen oye…
kalo ada fotonya mungkin akan lebih menarik… just my opinion…
Plus pajakin semua yang pasang atribut partai, beriklan kok gratis.
P.S. biar tambah stres tanggal 11 April nanti
lodtunduh bersatu…….by vitri (warga lodtunduh)