Oleh Luh De Suriyani
Kepala Dinas Peternakan Bali, Ida Bagus Ketut Alit meminta peternak dan masyarakat yang memelihara unggas sebagai backyard farming semakin meningkatkan kewaspadaannya mencegah infeksi flu burung jelang musim hujan akhir tahun ini.
“Situasi afian influenza (AI) saat ini di Bali sangat terkendali. Namun kita mengharap kewaspadan dini menuju musim hujan yang rentan penularan influenza,” kata Alit, beberapa waktu lalu kantornya.
Kondisi terkendali ini dijelaskannya merujuk data temuan kasus AI pada unggas yang baru satu kejadian sepanjang tahun hingga akhir Oktober ini. Kasus infeksi terakhir pada unggas ditemukan pada Maret lalu pada lima ekor ayam kampung di Kabupaten Karangasem.
“Temuan ini pun atas kesigapan warga setempat melaporkan unggasnya yang mati mendadak. Laporan cepat seperti ini sangat mendukung upaya kita membebaskan Bali dari AI di tahun mendatang,” lanjut Alit.
Temuan kasus AI pada unggas tahun ini memang sangat turun drastis dari tahun 2007 yakni 188 kejadian dengan tingkat kematian kurang dari 15 ribu unggas. Sementara tahun ini baru 5 unggas yang ditemukan meninggal karena positif AI.
Bali sempat melakukan depopulasi unggas atau pemusnahan massal pada 2004, ketika Indonesia tengah dilanda epidemi AI. Saat itu lebih dari 722 ribu unggas dimusnahkan untuk menutup penyebaran AI.
Setelah itu dilakukan respon cepat dengan menyetop distribusi unggas dari luar Bali hingga kini dengan terbitnya Peraturan Gubernur Bali No 44/2005 tentang Penutupan Sementara Pemasukan dan Transit Unggas dari Luar Pulau Bali.
“Langkah penutupan memberi hasil yang signifikan dalam mengontrol virus AI ini karena kami yakini AI dibawa oleh unggas luar Bali,” kata Alit.
Penghentian pemasukan unggas dari luar Bali memberi angin segar untuk peternak lokal. Seperti dirasakan I Wayan Darma, 44 tahun, pedagang unggas hidup di Pasar Galiran Klungkung, pasar unggas hidup terbesar di Bali ini.
Pendapatan dari penjualan ternak meningkat dua kali lipat, terutama saat musim banyaknya upacara adat di Bali. “Harga ayam kampung juga kini sangat mahal, hingga pembeli banyak beralih menggunakan ayam broiler untuk sajian upacara adat,” tutur Darma.
Seiring mahalnya harga unggas, membuat banyak warga bersemangat memelihara unggas di halaman rumahnya. Selain untuk konsumsi sendiri, juga untuk keperluan upacara adat yang biasanya dialakukan warga Bali beberapa kali dalam setahun. Misalnya Hari Raya Galungan dan Kuningan yang datang tiap enam bulan sekali.
Kondisi ini membuat koordinator tim Partisipatory Disease Searching and Response (PDSR) Bali, drh. Ni Wayan Sukanadi makin waspada. Menurutnya, pemeliharaan ayam tanpa dikandangkan yang banyak dilakukan warga di pedesaan bahkan kini perkotaan berisiko tinggi pada penularan AI.
“Kebanyakan kasus AI di Bali terjadi pada ayam kampung yang dipelihara di halaman rumah. Mereka berkeliaran dan agak sulit mengontrolnya. Misalnya ketika melakukan vaksinisasi AI. Karena itu kami makin mengintensifkan kunjungan ke lapangan untuk meminta warga segera melaporkan unggasnya yang mati karena sebab apapun,” papar Sukanadi yang memimpin 72 orang PDSR di seluruh Bali.
Tim ini bertugas di garda depan dalam mengidentifikasi dan melakukan rapid test pada unggas-unggas yang mati. Selain itu mereka juga bertugas memberikan advokasi secara luas dalam melakukan penanggulangan AI.
“Saya baru lima bulan lalu mulai memelihara ayam kampung lagi di rumah. Semoga tidak ada lagi ayam saya mati kena AI. Ayam sangat penting untuk kami karena banyaknya upacara adat yang memerlukan unggas,” harap Komang Warsana, 45 tahun, Kepala Dusun Kayehan, Kecamatan Dawan, Klungkung yang pada 2007 harus memusnahkan 30 ayam kampungnya akibat AI. [b]
Versi Bahasa Inggris artikel ini bisa dibaca di The Jakarta Post