Klungkung tak hanya punya lukisan Kamasan.
Salah satu kearifan yang dirawat adalah menenun. Salah satunya kain Songket. Ada tiga usia generasi penenun yang masih tiap hari bekerja di Desa Gelgel, Klungkung salah satu sentra kerajinan tenun dengan alat tenun bukan mesin di Bali.
Generasi termuda adalah Ni Wayan Sekarini, 25 tahun. Perempuan ini selalu mengajak anak laki-laki 3 tahunnya ikut bekerja di sebuh workshop tenun milik I Ketut Mustika, salah satu pengusaha kain tenun.
Sekarini mengaku senang menenun walau tak terlalu banyak memberikan penghasilan tapi menyenangkan. “Saya senang nenun, sekarang lebih senang kain Endek karena lebih ringan dan sedang tren dibanding Songket,” katanya.
Seperti warga Hindu di Bali pada umumnya, Songket memang jarang dipakai, hanya saat upacara tertentu seperti Pernikahan atau Metatah. Selain lebih berat, juga karena harganya mahal, dan perlu perawatan khusus.
Untuk selembar selendang Songket ukuran panjang 1,75 cm dan lebar 50 cm, ia mengaku baru menyelesaikan satu bulan. “Upahnya sekitar Rp 500 ribu, karena saya belum bisa cepat menenun,” ujarnya. Hari itu dia membuat selembar Songket warna pink.
Sebelum kerja di workshop, Sekarini berjualan canang di pasar sampai pukul 8 pagi. Kemudian usai memasak baru dia bergabung dengan temannya yang lain menenun sampai sore.
Modifikasi
Generasi lebih tua adalah Ni Wayan Sumarni, 43 tahun. Perempuan murah senyum ini mengaku sudah menenun lebih dari 30 tahun. “Sejak saya SD, saya sudah bisa nenun,” katanya.
Ia makin senang melihat kain tenun tak hanya dililitkan jadi kain. Tenun juga dimodifikasi menjadi tas, sepatu, sarang bantal, dan lainnya.
Penenun paling uzur di gelgel, salah satunya Gusti Made. Perempuan berusia hamper 70 tahun ini juga bekerja di Rumah Songket dan Endek Dian’s milik Mustika di Gelgel.
Gusti Made melakukan tahapan yang dinilai paling butuh kesabaran, yakni menyusun benang-benang di beberapa bilah kayu yang akan ditaruh di alat tenun Songket. Dengan cekatan ia mengurai gulungan benang agar nanti mudah dijalin dan diurai menjadi motif-motif tertentu.
Pengerajin tua lain melakukan kerja penuh detail dan terlihat membosankan lainnya, “nulak” atau mengurai benang-benang yang kusut dengan alat tradisional seperti kincir angin kecil untuk siap disusun oleh Gusti Made.
Kerajinan tenun dari Bali dinilai makin cerah di masa depan karena pasar domestik makin meningkat. Namun, industri tenun dari alat tenun bukan mesin di Klungkung mengaku belum banyak dukungan dari pemerintah kabupaten.
“Belum pernah ada pameran khusus kerajinan tenun di Klungkung. Padahal sentra kerajinan tenunnya banyak,” kata I Ketut Mustika, salah satu pengusaha tenun popular di Klungkung. Ia membesarkan usaha tenun yang berawal dari satu dua karya ibunya yang pekerja tenun rumahan.
Tanpa Jejaring
Mustika mengatakan, Gelgel mestinya bisa didesain seperti desa-desa khas kerajinan kain lainnya yang masyhur di Jawa agar mudah ditemukan oleh pengunjung. Misalnya dengan membuatkan map-map wisata tenun, atau pusat informasi lainnya.
Pria yang dulu bekerja di Nusa Dua ini menyatakan karena tak diorganisir dengan baik, usaha tenun harus membesarkan usahanya sendiri-sendiri, tanpa berjejaring. Demikian juga pengerajinnya.
“Makanya saya harus rajin memasarkan dan mengenalkan produk sendiri agar wisatawan tahu di Gelgel ada sentra kerajinan tenun,” tambah Mustika.
Pihak swasta yang menurutnya banyak memberi dukungan antara lain adalah Garuda Indonesia. Perusahaan penerbangan negara ini memberi dana dan pelatihan pengembangan desain produk dan pemasaran.
Saat APEC lalu di Bali, usahanya dikunjungi sejumlah delegasi perempuan sebagai model pengembangan ekonomi perempuan di pedesaan.
Mustika menyebut usaha kerajinan tenun Bali sangat berpotensi dikembangkan untuk membangunkan penenun tradisional di desa-desa. “Pasar domestik makin ramai, kami kadang kewalahan karena terbatasnya tukang tenun atau saat cuaca hujan sulit mengolah bahan baku,” katanya.
Selain Gelgel, sentra kerajinan tenun lainnya di Bali adalah Sidemen, Karangasem dan Nusa Penida. [b]