Teluk Benoa menjadi perhatian berbagai kalangan di Bali.
Kelompok Agama Hindu seperti Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) pun ikut berbicara. Pengurus PHDI ikut berbicara dalam diskusi “Telaah Sosial Budaya Kawasan Suci Teluk Benoa”.
Narasumber dalam diskusi publik tersebut di antaranya dari Putu Wirata Dwikora (Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat), Sugi Lanus (Peneliti Independen), dan Kadek Suardana yang menegaskan Teluk Benoa merupakan kawasan Suci. Diskusi diadakan di Rumah Budaya, Penggak Men Mersi, Denpasar.
Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat, Putu Wirata Dwikora yang menjelaskan Teluk Benoa berdasarkan keputusan Parisada Hindu Dharma Indonesia pusat, Nomor: 11/Kep/I/PHDI/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura yang jelas menyebutkan Gunung, Danau, Campuan, Pantai, Laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai-nilai kesucian.
“Tidak bisa dibantah lagi, kalau Teluk Benoa adalah kawasan suci,” tegas Dwikora saat memaparkan materinya.
Penegasan yang disampaikan Ketua Sabha Walaka diperkuat dengan hasil penelitian secara independen yang dilakukan oleh Sugi Lanus. Dalam penelitian yang dilakukannya di Teluk Benoa mulai dari 1 Mei 2015 tersebut ditemukan 60 titik suci di kawasan Teluk Benoa dengan pembagian 24 Pura, 19 Loloan dan 17 Muntig.
Dalam penjelasan Sugi, Teluk Benoa merupakan Campuhan Agung (Pertemuan sungai-sungai dengan laut yang disucikan), tempat pertemuan-pertemuan energi niskala dan diyakini sebagai tempat berkumpulnya ruh suci dan para Hyang/Bhatara/Dewa.
“Di sekitar areal Teluk Benoa dikelilingi berbagai parahyangan (tempat suci,Red) baik kasat dan tidak kasat mata, serta memiliki kekayaan hayati dan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya,” ungkapnya.
Sugi menambahkan titik-titik di pesisir dan daratan yang sangat angker dan disucikan. Secara keseluruhan pesisir dan daratan di sekitar Teluk Benoa berhubungan secara niskala dan terikat dengan kehidupan keagaamaan dan keyakinan masyarakat sekitarnya.
“Sebagai campuhan Agung, masyarakat menyucikan kawasan Teluk Benoa, dengan fungsinya yang sangat luar biasa,” ujarnya.
Di samping untuk pelaksanaan upacara agama, sebagai tempat memohon berkah, keselamatan, juga sebagai tempat mata pencaharian/penghidupan turun menurun ribuan tahun dari penduduk dan nelayan sekitar, seperti kelompok nelayan Tanjung Sari Kelan.
Ke depan, Sugi berharap kebijakan pemerintah dan posisi dari warga krama penyungsung Bali penting berpijak dari pemahaman yang sama tentang sebuah kawasan suci. “Pemerintah seharusnya bersumber dari peraturan perundang-undangan dan pertimbangan kearifan lokal serta menjungjung setinggi-tinggi kita suci acuan yang menjadikan Bali kukuh secara religi, ekologi dan kultural,” terangnya.
Sementara itu, Wayan “Gendo” Suardana selaku Koordinator ForBALI mengapresiasi atas kajian penelitian yang dilakuka oleh Sugi Lanus bersama Tim Mahasiswa ForBALI. “Ini sebagai bukti bahwa kami tidak hanya demo. Kami juga melakukan kajian secara keilmuan yang dibantu oleh para pengkaji secara independen dan tentu ini sebagai alat advokasi kami ke depan,” pungkasnya. [b]