Oleh I Nyoman Winata
Membaca berita Bali Post (Senin, 10 Maret 2008) tentang Mangku Pastika Rangkul Bebotoh, saya langsung bergumam, “Maka kini… Tibalah Masa Keemasan Para Bebotoh Bali!,”. Ada cahaya terang di depan mata bebotoh tentang aktivitas adu ayam yang menjadi hobi mereka. Setidak-tidaknya keberadaan mereka benar-benar dianggap ada dan apa yang menjadi “bidang pekerjaan” mereka diakui dan akan dilindungi. Para bebotoh layak bersorak gembira dan bersuka ria. Tidak diragukan lagi, para bebotoh pasti akan memberi dukungan kepada Mangku Pastika-Puspayoga untuk jadi Gubernur Bali. Sebuah langkah yang sangat strategis, populis dan paling pragmatis untuk memenangkan pertarungan.
Namun bagi saya ini sekaligus juga sebuah langkah yang sangat ironis dan menunjukkan kualitas seorang Mangku Pastika sebagai seorang pemimpin. Sedemikian ber-kilau-nya-kah kursi Gubernur itu sehingga tindakan yang menunjukkan rendahnya ketangguhnya jiwa sosok Mangku Pastika ini harus dilakukan? Adakah Kursi Gubernur adalah segala-galanya, sehingga hal-hal paling prinsipil mengenai masa depan moralitas manusia Bali harus dikorbankan?
Benar, Tajen adalah sebuah tradisi yang ada sejak dulu. Tepat, jika tajen harusnya tidak begitu saja dilarang. Tajen sebagai sebuah aktivitas tradisi, mengambil contoh di negeri Thailand diberikan wilayah untuk bisa tetap hidup. Di Bali Tajen juga memiliki dimensi magis yang wajib ada karena jika tidak, berdasarkan mitos akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Bahkan diarena tajen mungkin juga ada dewa nya. Tetapi, realitasnya tajen juga tidak terbantahkan adalah aktivitas yang banyak mengandung unsur melanggar aturan-aturan dasar moralitas.
Berapa luas tanah warisan leluhur manusia Bali yang sudah ludes diarena tajen? Ada berapa bebotoh yang “otak” nya memang benar-benar waras? Berapa ibu-ibu yang menjadi korban kekerasan para bebotoh yang malas bekerja tetapi selalu menggunakan uang yang dikumpulkan dari keringat bekerja istrinya untuk me-tajen? Berapa orang yang sudah jatuh miskin karena Tajen? Lantas apa yang menguntungkan dari keberadaan tajen? Saya tidak bisa memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Mungkin Mangku Pastika dan tim suksesnya bisa ditanyakan jawaban pastinya mengenai hal ini.
Mari simak tindakan mengundang para bebotoh kemudian menyatakan didepan mereka bahwa tajen merupakan hal yang layak dipertahankan. Adakah arti lain di balik sikap dari Mangku Pastika ini? Saya melihatnya hanya ada satu yakni niatan untuk menang Pilkada. Hanya saja, langkah ini adalah jalan menang dengan menghalalkan segala cara. Maka, bersorak sorailah para bebotoh di Bali, karena masa keemasan para bebotoh sudah menghampar di depan mata. Selamat kepada Mangku Pastika yang sudah bertindak “cerdas” menggunakan salah satu kekuatan “politik” paling efektif saat ini yang ada di Bali.
Well, Pak Mangku, bermesraanlah dengan para bebotoh dan bersiaplah mereguk nikmatnya kursi gubernur jika nanti Anda terpilih. Ketakutan akan kekalahan sepertinya membuat banyak dari kita termasuk Anda mengambil langkah-langkah yang rada-rada kurang sehat akal dalam konteks nilai moral etika universal. Tidak banyak dari kita yang berani bertarung diarena dengan mengedepankan keteguhan hati berdiri diatas moral etika, tanpa rasa takut sedikitpun untuk menerima kekalahan. Mungkin menurut Pak Mangku, hasil adalah segala-galanya, sementara proses diabaikan meski itu berarti harus melegalkan sesuatu yang bisa merugikan masa depan Manusia-manusia Bali.
saya jadi ingat perkataan orang tua : “sayang2 kendang”, digebuk juga disayang.
syukurlah para bebotoh itu ada yang memperhatikan, kadang kala saya juga itu main di arena tajen, jumlah bebotoh tajen itu perkiraan saya ribuan jumlahnya di Bali, dan estimasi 50% nya adalah pengangguran yang tak kentara, tetapi ada juga yang menjadi bos hotel, pedagang, sopir taxi, petani, calo tanah, bahkan pemangku pura, biasanya saya datang bilamana tidak ada pekerjaan. uang memang cepat beredar di sana dan simpan pinjampun jalan.
kalau seandainya ada lapangan kerja di bali yang mengharuskan 8 jam kerja kemungkingan bebotoh ini pilih pekerjaan itu, tetapi pernahkan ada penataran bebotoh untuk memberikan peluang dan kesempatan kerja ???, saya yakin tidak.
maka dari itu saya harapkan disini, orang2 tidak tutup mata dengan bebotoh, ini merupakan hal serius harus diperhatikan di Bali, masih banyak yang belum memiliki pekerjaan yang pasti, kalau dilarang total yakinkah kantibmas di Bali akan aman, sementara banyak orang yang perlu pekerjaan ???
bebotoh/judi saya sangat setuju harus dilarang karena agama hindu pun melarang itu, tapi untuk itu perlu proses, mengingat besarnya jumlah bebotoh yang ada. tetapi sebagai catatan, : Negara majupun seperti amerika, jepang, inggris, belum mampu melarang judi/bebotoh, padahal peradabannya jauh lebih dulu dari Bali.
kalau tentang Tajen/tabuh rah untuk kepentingan upacara agama saya setuju untuk di lestarikan.
jadi dalam hal ini siapapun yang akan maju jadi pemimpin bali harus tau permasalahan masyarakatnya…sebelum dia akan memimpin karena pemimpin itu sangat berbeda dengan menjadi seorang petugas…..
thanks.
Pak Nuarta
Banyak realita yang tidak bisa diabaikan. Namun dalam konteks tulisan saya tersebut terletak pada momentum yang sangat tidak tepat telah dilakukan Pak Mangku Pastika. Ada banyak cara lain yang bisa ditempuh agar bisa menjaring suara dalam Pilgub Bali yang bisa menghindari Pak Mangku dari wacana kontroversial.
Merangkul bebotoh adalah cara yang sangat tidak elegan dan terkesan hanya memudahkan persoalan. Disamping itu, saya membaca ada ketakutan entah tim sukses atau Pak Mangku sendiri bahwa beliau akan kalah dalam pilgub karena ada ancaman para bebotoh dan keluarganya tidak akan memilih pasangan Mangku-puspayoga.
Saya tidak tau bagaimana tanggapan atas statement Pak Mangku dalam pertemuan dari para bebotoh sendiri. Sangat mungkin para bebotoh salah tanggap dengan mengira keberadaan mereka tidak akan diobok-obok dimasa datang. Bahasa gaulnya para bebotoh akan ke-GR-an dan sikap mereka akan sangat demonstratif. Kalau ini yang terjadi, siapa yang harus menanggung akibatnya? Para ibu-ibu dan istri-istri serta anak-anak par bebotohlah yang akan jadi korban.
Pak Mangku telah menaikkan “kasta” para bebotoh dan ini sama sekali bukan langkah bijak. Seperti yang saya tulis, ini menunjukkan betapa rendahnya keteguhan hati Pak Mangku untuk berdiri tegak diatas nilai moral etika, kejujuran dan kedisplinan. Padahal seorang pemimpin sangat penting memiliki hal ini.
Lain lagi ceritanya, kalau Pak Mangku melakukan langkah “mengakui” bebotoh setelah beliau benar-benar menjadi gubernur. Inipun harus dilakukan dengan diam-diam, bukan diekspose di media. Pak Mangku tidak punya hutang apapun dengan bebotoh, karena kemenangannya dalam Pilgub Bali sama sekali tidak berkait dengan bebotoh, sehingga pengaturan tajen jauh lebih obyektif.
Pak Nyoman,
Saya sedikit berbeda dengan pandangan Bapak tentang elegan dan kontroversial,bagi setiap calon bali 1, apalagi kalau menurut Bapak bilamana mendukung harus diam-diam dan tidak dipublikasi….
Bagi saya sendiri setiap calon bali 1 harus berani berbicara yang kontroversial selama kontroversial tersebut merupakan realita kehidupan. apalagi sembunyi-sembunyi dan menghindar dari persoalan masyarakat yang sering disebut penyakit masyarakat.
saya mengerti pemikiran Pak Nyoman yang dipermasalahkan adalah Judi. tapi kalau mau kita jujur lebih dari 50% masyarakat kita berjudi, biasanya ini dilakukan pada saat “magebagan” pada saat upacara manusia, pitra, dan dewa yadnya. baik itu me “ceki” spirit, sanghong, remi, biard, dan Tajen. bahkan penggalian dana pun untuk kepentingan pembangunan bale banjar dan untuk dewa yadnya dilaksanakan dengan Judi, termasuk para pemangku pun ikut. siapakah yang salah ??? sistem adat/pakramankah yang salah ??? akankah kita tutup mata tentang hal itu, apakah calon pemimpin harus menghindari realita yang ada di masyarakatnya ???
hukum yang digunakan sebagai solusi, tentunya diperlukan juga pendekatan-pendekatan, mengingat pemimpin itu harus menganyomi seluruh masyarakatnya supaya tidak salah jalan dan menjadi sengsara, bukti pengayoman ini biasanya dilaksanakan melalui pemberian remisi kepada Narapidana.
untuk proses mencari dukungan dalam pilgub, itu adalah hal yang wajar, semasih yang dimintai dukungan adalah calon pemilih yang terdaftar. jangankan bebotoh, WTS pun bisa dimintai dukungan. jangan sampai menyumbat aspirasi dari strata sosial masyarakat yang ada, semasih itu merupakan realita.
thanks
Untuk Pak Nuartha
Saya maksudkan pendekatan diam-diam adalah pada saat sudah terpilih jadi gubernur. Inipun jika Pak Mangku benar-benar memang mau menyelamatkan para bebotoh agar mulai meninggalkan Judi dalam tajen. Bukan semata-mata untuk mendapat dukungan politik. Ingat Pak, Politik adalah transaksi. Seorang politisi menjanjikan sesuatu agar dia dipilih berarti dia harus bayar janjinya seteleh terpilih. Kalau berjanji dengan bebotoh berarti jika menang, tidak ada kata lain, bebotoh akan menuntut diperhatikan.
Memang banyak judi dilakukan. Sebagian besar dari kita adalah penjudi. Dipura orang maceki, matajen, bahkan pemangku juga ikut. Tetapi tidak kemudian semua realitas ini ini berarti menjadikan judi itu benar kan pak? Ia harus tetap diperangi, dilawan. Disingkirkan jauh-jauh dari hidup kita dan lingkungan kita.
Saya tidak meminta melawan dengan frontal, tetapi mulai dari diri sendiri kemudian orang-orang terdekat disekitar kita. Jangan pernah kunjungi tajen, jangan mau ikut main ceki. Lakukan saja dengan diam-diam, tidak usah tempat tajen digrebek, tidak usah bebotoh di rangkul. Tetapi selamatkan diri kita, dengan berani berkata tidak untuk Judi atau apapun yang bisa mengarah kepada Judi. Ini yang harusnya dilakukan Pak Mangku Pastika. Cukup abaikan keberadaanya. Jika semua dari kita mau melakukannya, judi tajen atau apapun namanya akan hilang dengan sendirinya.
Nah kalau calon pemimpinnya saja mengakui para bebotoh dan menganggap penting eksistensinya, ini sudah masalah gawat pak. Apalagi calon pemimpin ini, berani bertransaksi dengan mereka, ini lebih gawat lagi.
pak Nyoman,
saya tidak melihat hal yang gawat di sana, semasih itu merupakan realita kehidupan, dan memang harus diperangi baik melalui hukum maupun komunikasi, tidak mungkin kita mangkir dari masalah itu, ini menjadi bom waktu saja, kalau tidak sekarang jadi perhatian mungkin di masa yang akan datang.
setiap calon bali 1 berhak mendekati calon pemilihnya, kebetulan di dalam calon pemilihnya itu ada penjudi, tidak mungkin akan dihindari. saya setuju penyakit masyarakat itu di tekan jumlahnya, dan dapat diarahkan kejalan yang lebih baik, tergantung nanti pimpinan dan lingkungannya, memang untuk memulai sesuatu yang baik harus mulai dari diri sendiri, itu sudah teori sosiologi.
ia, sebaiknya jangan frontal, penjudipun perlu hidup, bahkan ada juga yang penghasilan tetap nya disana, hal ini terjadi karena perputaran kas di arena judi sudah seperti mata rantai, dan mata rantai itu belum ada yang putus.
nah, dengan wacana ini di angkat, minimal kita tau apa permasalahan yang sudah meradang di Bali, sampai-sampai prosesi yadnya pun merupakan tempat yang subur bagi masyarakat untuk melakukan itu. tidak hanya di yadnya, bahkan pada saat saya KKN, pada Dosen dan mahasiswapun asik melakukannya, berarti sudah masuk juga ke akademisi.
thanks.
Saya tumben membuka blog ini dan sangat geli membaca tanggapan Nyoman Nuarta (?). Ini adalah cerminan betapa tidak mendasarnya pengetahuan banyak kalangan di Bali. Walaupun itu politik yang di Indonsia dan negara-negara super underdog legalisir sebagai cara syah untuk mendapatkan dukungan, tidakkah dilihat bahwa negara ini hampir bangkrut karena pendapat tersebut? berapa miliar seorang calon harus nyetor ke kas PDI agar dipilih untuk menjadi calon? —- sayang!!!
Pantas saja negara ini terus disikut oleh bahkan negara tetangga seperti Malaysia, apalagi Australia, Inggris, dan Amerika. Mereka memandang Bali atau Indonesia itu sebuah titik debu yang begitu gampang dilindas. Ingat siapa yang ngirim teroris ke Bali?
Semua malapetaka ini karena orang Bali tidak paham, bagaimana seharusnya menjadi masyarakat dan bagaimana harus menjadi pemimpin. Namun pemimpin adalah yang pertama harus menunjukkan dan mencontohkan bagaimana caranya untuk menjadi negara bermartabat. Kalau pemimpin merasa dihalangi untuk mencapai negara yang bermartabat maka pemimpin berhak menghukum masyarakatnya yang tidak sejalur dengan jalan menuju tujuan. Ingatlah kemunduran budaya Indonesia itu telah disebabkan oleh 50% pemimpin dan 50% masyarakat. Dari berbagai pengamatan masyarakat Bali sangat bodoh. Bayangkan 30 tahun sudah sejahtra oleh pariwisata, pernahkan mereka menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli buku tentang analis budaya, sejarah purbakala dan sebgainya yang menunjang rasionalisasi budaya untuk bisa mengembangkan pengetahuan dan menata kehidupan budayanya? — NOL BESAR. Terlebih-lebih lagi Bali hampir 20 tahun ini sama sekali belum mempunyai pemimpin yang pengetahuannya cukup alias buta bagaimana agar orang Bali tetap memegang tanah Bali. Sadarilah bahwa bebotoh itu untuk kepentingan setrategi politik ataupun apa sudah seharusnya tidak dimasukkan dalam kerangka plan. Jika berpikir bahwa secara pelan-pelan akan bisa memperbaiki jiwa bebotoh jangan mimpi. Ini ada kaitan dengan spirit yang seperti genetik, tak akan bisa sadar. Lihatlah penjahat-penjahat yang sudah keluar masuk penjara, apa mereka kurang? di penjara mereka dibina, diberikan bekal keterampilan dan bahkan sampai marketing. Tetap saja mereka keluar membunuh, bahkan membunuh orang asing. Oleh karena itu jangan terkejut mendengar cerita ini karena ini hasil pengamatan antropoligis yang selama ini disembunyikan oleh peneliti-peneliti Barat.
Hanya masalah yg berkaitan dengan keamanan dan hukum, Mangku Pastika bisa bicara. Sayang wacana perda tajen dan tajen atraksi mendapat cemoohan banyak pihak. Beberapa pengurus PAC PDIP merasa dilecehkan, kenapa yg pertama digarap adalah bebotoh? bukannya mesin partai yang mengusungnya?
Pan Lesog
Syukurlah anda merasa geli apa yang saya utarakan, karena itu merupakan sebuah realita yang ada di bali, dalam masa pemilihan gubernur ini, lebih baik di angkat hal negatifnya bali, kalau hal positifnya sudah banyak, saat ini yang baru mencuat kepermukaan baru masalah bebotoh/judi, kemungkinan juga akan ada aspirasi PSK, pedagang kaki lima, pengusaha, petani, pelajar dan lain sebagainya. dan jangan sampai aspirasi itu terbendung, kalau terbendung akan lebih berbahaya. karena baru saat ini pemilihan gubernur secara langsung, dan wajar akan ramai aspirasi, karena pada prinsipnya setiap orang ingin di perhatikan.
kalau anda bandingkan dengan negara-negara maju jelas jauh akan berbeda, karena kita merupakan negara berkembang dan baru belajar berdemokrasi. Negara majupun pernah mengalami seperti di Indonesia. tetapi kalau tentang malaysia saya kurang sepaham, karena kondisi malaysia saat ini seperti masa pemerintahan orde baru, pers di sana masih tersumbat, kemungkinan dia akan melakukan reformasi ciri-cirinya sudah kelihatan.
Kalau setoran ke Kas PDI (maksudnya mungkin ke PDI-P), saya tidak berani menyatakan itu, karena saya tidak ada bukti untuk itu.
Kalau kemunduran budaya indonesia, penilaiannya tergantung alat ukur penilaiannya, kalau di bali saya tidak ada melihat kemunduran kebudayaan, bahkan tetap eksis (ini hal positifnya bali) karena kebudayaan di bali dilaksanakan secara sistematis, prosentase pengaruh dari pimpinan dan masyarakat menurut saya adalah 30% oleh pemimpin dan 70% oleh masyarakat, ini mengacu pada kedaulatan ada di tangan rakyat. kalau rakyat ini melakukan perubahan turun ke jalan pemimpinpun tidak akan banyak bisa berbuat.
Buku tentang analisa budaya di Bali sudah banyak ada, coba berkunjung ke Perpustakaan umum Daerah bali, peningalan sejarah, berupa lontar dan pusaka di dipelihara dan dijaga dengan baik di masyarakat. kerukunan antar umat beragama sangat bagus, tidak pernah ada konplik-konflik antar agama sepanjang sejarah bali. tetapi kalau konflik horisontal pernah ada, dan dapat diselesaikan dengan baik.
Jadi saya tidak sependapat dengan anda yang mengatakan “mengembangkan pengetahuan dan menata kehidupan budayanya? — NOL BESAR” untuk urusan ini di bali jauh lebih baik dari pada di negara Maju, Karena Konsep Tri Hita Karana, Tri Angga, Tri Mandala, dan Tri Rna, sangat kental di bali, dimana konsep tersebut mencerminkan keseimbangan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan manusia dengan manusia dan keseimbangan manusia dengan tuhan.
Hujum memang dipergunakan sebagai alat untuk meminimalisasi penyakit masyarakat, yang didalamnya terdiri dari bebotoh/judi, penjahat, dan lain sebagainya, tetapi komunikasi itu saya pandang tetap diperlukan, karena pengaruhnya terhadap psikologi seseorang. orang yang sering masuk penjara banyak juga yang memulai hidup baru, tetapi yang tidak bisa berubah ada juga, cuman jumlahnya lebih kecil. proses pembinaa di penjara juga mempengaruhi hasilnya, selain faktor psikologis seseorang.
Saya tidak pernah terkejut dengan penelitian sosiologi dan antropoligi dunia barat, penyakit masyarakat di Dunia barat pun jauh lebih gila dari kita, untuk memeranginya dia sudah menggunakan militer, sedangkan kita masih mampu ditangani sipil. tingkat kejahatannya pun di negara maju sangat tinggi, dia dari dulu mengenal dan memerangi teroris dan kita baru mengenal teroris. Negara maju melawan teroris dengan “antem kromo” sedangkan kita masih bisa berkomonikasi.
thanks.
Dear Pan Lesog
Saya tidak melihat ada negara hampir bangkrut yang disebabkan oleh realita yang di sampaikan oleh Pak Nuarta, Negara maju yang Anda agungkan bahkan hidup dari judi, contohnya amerika dengan lasvegas dan kasinonya, Ingris dengan Lotrenya, Indonesia pun minta bantuan dari amerika dari hasil judi.
Kalau penyebab negara hampir bangkrut ?? (mungkin maksudnya resesi atau krisis ekonomi)adalah ditentukan oleh PDB, (produk domestik brutonya) dengan produktivitas masyarakatnya.
monto malu
diskusi yang bagus sekali. horee…
fenomena gras root http://pastika.wordpress.com
Pendekatan Pak Mangku melakukan transaksi politik dgn bebotoh menurut saya langkah blunder dari team suksesnya. Siapa yg akan menjamin para bebotoh bisa berubah? Yang ada hanyalah bebotoh akan semakin berkibar karena merasa mendapat sokongan dari orang yg dulunya sangat getol memberantas tajen. Bagi saya bebotoh adalah manusia yg sulit utk berubah, tapi saya juga yakin kalau hakikat sejati manusia sebenarnya tidak ingin berjudi, mereka berjudi karena memang lapangan pekerjaan yg kurang. Jadi kalau orang pada sibuk bekerja, pasti dapat meminimalisir tajen dan mabuk2an di pinggir jalan. Walau tanpa survey pun, saya yakin jumlah pekerja yg metajen karena hobi pastilah jumlahnya sangat sedikit, krena pekerja telah sibuk dan capek bekerja seharian. Utk Nang leong, USA tidak hidup dari judi, ekonominya digerakkan oleh sumber daya yg lain, judi pernah saya baca hanya sekitar 5% dari seluruh omset perputaran uang di amerika, jadi sangat kecil. Balik lagi ke persiapan cagub, harusnya pemimpin tetap mengedepankan keteguhan hati berdiri diatas moral etika utk dapat memajukan bali. Menurut saya dampak transaksi politik ini adalah mundurnya orang2 yg anti tajen memilih Pak Mangku, sebagian bebotoh “mungkin” akan memilih Pak Mangku yg merasa akan yakin Pak Mangku akan mendukung beboboh nantinya dikemudian hari, sedangkan sebagian bebotoh yg lain tetap tidak memilih karena saking bencinya akibat pada kondisi masa lalu dimana Pak Mangku sewaktu menjabat Kapolda sering menggerebek tajen dan perjudian. Suksma.
TERIMA KASIH ATAS DUKUNGAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT BALI UNTUK MEMILIH DAN MEMENANGKAN MANGKU PASTIKA DAN PUSPAYOGA SEBAGAI GUBERNUR dan WAKIL GUBERNUR BALI 2008 – 2013