Dari Siaran Pers JOTHI
Departemen Agama di Bengkulu mengeluarkan wacana perlunya tes HIV bagi pasangan yang ingin menikah. Wacana ini kemudian di ikuti dengan dukungan dari Majelis Ulama Indonesia(MUI). Hal ini dilontarkan karena memandang bahwa epidemi AIDS di Indonesia tidak bisa dibendung lagi sehingga terlontarlah wacana ini.
Angka kasus yang terlaporkan sendiri menurut Depkes telah mencapai lebih dari 16.000 orang terinfeksi HIV di Indonesia. Menurut data estimasi dari UNAIDS, orang yang terinfeksi HIV di Indonesia mencapai lebih dari 280.000 jiwa.
Tes HIV sebelum menikah akan membawa sebuah bencana baru bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Seolah tidak cukup telah terampas hak-haknya sebagai manusia utuh. Misalnya terkait dengan hak pendidikan, masih ada orang terinfeksi HIV yang dikeluarkan dari sekolah karena terinfeksi HIV. Terkait dengan hak mendapat pekerjaan, banyak perusahaan dan departemen yang mewajibkan bebas HIV bagi pekerjanya.
Terkait hak kesehatan, masih ditemukan beredarnya ARV (obat terapi HIV) kadaluarsa, terkait budaya; masih banyak peristiwa pengucilan dan pengusiran yang dilakukan oleh masyarakat terhadap orang terinfeksi HIV dari rumahnya. Ssekarang haruskah dirampas haknya untuk menikah? Hak ini secara jelas tertera dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia dan kemudian diratifikasi dalam UU no 39/2009 tentang Hak Asasi Manusia.
Apabila wacana ini kemudian dikembangkan dalam bentuk kebijakan publik, selain pemerintah telah terlalu jauh masuk kedalam ranah privat warga negaranya, hal ini juga akan menghancurkan fondasi program penanggulangan AIDS yang telah lama dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Program penanggulangan AIDS dengan mengedepankan prinsip Hak Asasi Manusia.
Pemerintah mulai menyadari bahwa respon penanggulangan AIDS tidak bisa meninggalkan keterlibatan populasi kunci seperti pekerja seks, pengguna napza suntik, gay, waria dan orang yang sudah terinfeksi HIV. Pendekatan berbasis kekerasan dan pelanggaran HAM bagi populasi ini harus ditinggalkan bila kita ingin mengendalikan epidemi AIDS di Indonesia.
Ditinjau dari sisi kesiapan support system bagi orang terinfeksi HIV, dengan dipaksakannya upaya mandatory test (test wajib) HIV akan membawa kehancuran yang besar dan merupakan upaya pembunuhan pelan-pelan bagi orang terinfeksi HIV. Dengan jumlah kasus yang terlaporkan hanya 16.000 lebih saja, pemerintah sudah kewalahan dalam menyediakan akses kesehatan bagi orang terinfeksi HIV di Indonesia. Tidak tersedianya ARV (terapi HIV), kualitas dokter yang lemah, jumlah RS layanan HIV yang kurang dan masih banyak lagi kelemahan lain masih menjadi problem utama di dalam respon penanggulangan AIDS di Indonesia.
Ketika kebijakan wajib tes HIV ini diterapkan maka kita harus siap menerima lonjakan pasien yang terinfeksi HIV dan mencari layanan kesehatan bagi mereka. Bisa dibayangkan jika dengan angka 16.000 saja pemerintah kewalahan maka bagaimana jika angkanya mencapai 280.000 seperti diperkirakan.
Mewajibkan tes HIV tanpa membenahi layanan kesehatan bagi orang terinfeksi HIV dan bagi masyarakat umum lainnya sama saja merupakan upaya sistematis untuk menghilangkan keberadaan orang terinfeksi HIV di Indonesia.
Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia (JOTHI) mempertanyakan sejauh mana komitmen para capres dan cawapres di Pemilu kali ini. Keliatannya tidak ada perhatian khusus dari mereka terkait dengan permasalahan AIDS di Indonesia.
*dikirim Aditya Wardhana.
ya jelas perampasan hak lah…..
ada2 aja……
salam kenal 🙂
Aku belum begitu paham dengan artikel ini. Terus calon pasangan (yang seumpama masih sehat) gak punya hak dong untuk mendapat perlindungan dari penularan HIV?
Maaf, mungkin saya yang kurang mengerti. Ada yang bisa menjelasakan?
Menularkan HIV/AIDS pada istri/suami setelah menikah ? adalah sebuah kekejian !!!, adalah manuasia terkutuk dengan hati setan atau iblis!!!
Menurut saya hal itu dapat menjadi sebuah anjuran (bukan kewajiban) yang tentu saja harus dengan konseling dan pendampingan dalam mencapai informasi mengenai HIV. Sudah selayaknya pemerintah memberi perhatian lebih disini. Mungkin perlu meniru temen-temen yang beragama katolik, dimana ada kursus pernikahan untuk sedikit tambahan pengetahuan untuk persiapan babak baru dalam kehidupan termasuk didalamnya pendidikan kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, dan wirausahaan. Keluarga sehat bangsa kuat.. 😀
Tanggapan dari JOTHI (red):
Menurut saya yang harus dilakukan oleh pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab terhadap program penanggulangan AIDS adalah memberikan informasi yang benar, bukan dengan mengharuskan, terkait dengan HIV dan AIDS sehingga ketika orang-orang itu tes benar-benar atas kemauan sendiri dan setelah itu pun dia siap dan tahu apa yang harus dilakukan apabila hasilnya nanti positif maupun negatif.
Pemerintah juga harus segera mengejar ketertinggalan dalam mencapai target mereka yang dibuat pada tahun 2000, “2010 = Universal Access.”
Di tahun 2010 pemerintah harusnya sudah menghilangkan hambatan sehingga semua warga negaranya sudah mendapatkan akses informasi yang akurat terkait HIV dan AIDS dan perbaikan layanan kesehatan bagi mereka yang terinfeksi HIV.
Konseling HIV bisa saja dimasukkan dalam konseling pra-nikah namun selamanya jangan bersifat mandatory.
Pengemasan masalah HIV dan AIDS sehingga bisa dipahami oleh masyarakat luas dan kemudian mendorong mereka untuk melakukan tes akan berbeda hasilnya dibandingkan jika mereka dipaksa harus tes hanya untuk memenuhi syarat administratif.
Kewajiban pemerintah untuk mencerdaskan setiap warga negaranya yang diamanatkan dalam UUD, termasuk memberikan pengetahuan tentang HIV dan AIDS sehingga membangkitkan kemauan dan kesadaran untuk VCT, sangat tidak adil jika diturunkan dalam bentuk kebijakan yang memaksa orang untuk tes HIV yang pada akhirnya akan membuat stigma dan diskriminasi pada orang terinfeksi HIV tumbuh lebih subur.
Kita bisa liat contoh mandatory tes HIV pada TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri.
Pembungkusan wajib tes HIV dengan bahasa general check up akhirnya membuat mereka yang terdiagnosa terinfeksi HIV akhirnya dipulangkan tanpa diberi penjelasan yang memadai tentang status mereka dan bagaimana cara mereka menghadapi penyakitnya. Kalau pun ada yang diberangkatkan, demi mengejar komisi dari setiap kepala TKI yang diberangkatkan (PJTKI), akhirnya setelah di negara tujuan mereka kemudian dideportasi kembali kesini. Lagi-lagi tanpa penjelasan yang memadai.
Ini sama saja pembunuhan secara pelan-pelan.
Sangat tidak relevan jika kita mengatakan bahwa negara lain juga mempunyai kebijakan seperti ini.
Kita harus liat kembali kondisi sarana dan prasarana layanan kesehatan dulu terkait HIV dan AIDS, apakah sudah sama dengan negara kita atau mereka sudah jauh lebih maju?
Mungkin bila kita lihat sekilas mengenai bahasa ”wajib dan sukarela” itu akan banyak pihak yang menganggap enteng namun nanti dalam pelaksanaannya akan sangat berbeda sekali dan hasilnya pun akan sangat bertolak belakang.
Negara bagian illinois, AS pernah menerapkan kebijakan seperti ini dan hasilnya adalah angka orang menikah menjadi turun drastis di negara bagian itu (entah karena mereka menikah di tempat lain atau malah menyuburkan budaya hidup bersama tanpa nikah). Akhirnya keijakan ini pun di cabut.
Apakah kita ingin berjudi dengan nyawa orang terinfeksi HIV hanya demi menerapkan kebijakan adopsi dari negara lain?
Salam hangat,
UNGASS AIDS Forum Indonesia
Aditya Wardhana (edo) – Coordinator.
0 888 0274 1588 , 021 – 4652 4351
ungass.indonesia@gmail.com , pd@jothi.or.id