Desa kecil di pinggir danau ini menyimpan banyak keunikan budaya Bali Mula.
Desa Terunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Kurang lebih 2 jam perjalanan darat dari Sanur, Denpasar.
Desa ini merupakan sebuah desa Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik. Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Terunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.
Mendengar kata Terunyan pasti kita terbayang dengan tradisi mengebumikan orang yang meninggal dengan cara yang unik, yaitu hanya dengan ditaruh di atas tanah dan dipagari ancak atau anyaman bambu berbentuk prisma segitiga.
Uniknya bukan itu saja, mayat tersebut ketika proses menjadi tulang belungan (busuk) tidak ada bau busuk sedikit pun malah tercium bau wangi. Konon bau wangi ini berasal dari pohon Menyan yang berada tepat dikuburan tersebut.
Pohon Menyan ini juga merupakan asal mula nama Desa Terunyan, yaitu Taru Menyan. “Taru artinya pohon, dan menyan artinya wangi sehingga desa ini dinamai Terunyan,” tutur I Ketut Sarjana warga Desa Terunyan yang menjabat sebagai Sekdes Terunyan.
Ada tiga kuburan di Desa Terunyan ini, yaitu Sema Wayah untuk yang meninggal secara wajar dan pemakamannya dengan cara mepasah (diletakkan di atas cekungan batu). Di Sema Wayah inilah yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk mengunjungi Desa Terunyan ini. Selanjutnya ada Sema Batas untuk yang meninggalnya ulah pati atau salah pati (meninggal tidak wajar) dan mayatnya dikubur didalam tanah.
Satu lagi Sema Nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah maupun penguburan dengan persyaratan yang dikubur belum mencapai akhir balik atau belum beranjak dewasa.
Barong Brutuk
Terlepas dari cerita cara mengubur yang unik dan mayat berbau harum, ternyata Terunyan mempunyai tradisi unik lain yaitu tarian bernama Barong Brutuk. Tarian ini dipentaskan 2 tahun sekali yaitu ketika piodalan di Pura Pancering Jagat.
Barong Brutuk ini mengisahkan bagaimana susahnya proses mencari wanita yang akan dijadikan calon istri di Terunyan ini sehingga sampai memamaksa bahkan sampai menculik seorang wanita untuk dinikahi. Uniknya Barong Brutuk ini tidak seperti barong pada umumnya yang menyerupai macan atau bangkung. Barong Brutuk ini menyerupai rangda namun bulunya terbuat dari kraras (daun pisang yang sudah kering). Kraras ini di dapat dari desa tetangga yaitu di Desa Balingkang sebulan sebelum upacara digelar.
Para penari Barong Brutuk adalah para pemuda Desa Terunyan yang belum menikah. Mereka dikarantina selama 42 hari tidak boleh berhubungan dengan wanita. Namun seiring perubahan zaman karena tidak memungkinkan untuk mengarantina para pemuda yang sedang bersekolah atau bekerja selama 42 hari, maka dibuatlah proses karantina selama 24 jam di Pura Pusering Jagat.
Selama proses karantina para pemuda ini disucikan, dilukat dengan air suci yang bersumber dari mata air di bukit belakang pura.
Pada hari H, para penari akan dipakaikan kostum yang terbuat dari kraras tersebut. Bagian dalamnya juga terbuat dari pelepah pisang kering. Untuk melindungi bagian selangkangan, para penari menggunakan kain kamen. Pemakaiannya menyerupai celana pada pertandingan sumo.
Bersyukur bagi para fotografer yang berhasil mengabadikan moment Barong brutuk ini dari mepayasnya sampai pementasannya. Memasuki tempat mepayas penari hanya khusus untuk orang-orang tertentu saja yang diperbolehkan. Bahkan untuk memasuki arena menari butuh perjuangan ekstra. Para Barong Brutuk akan memecut atau mencambuk para penonton.
Cambuk terbuat dari anyaman serat bambu. Panjangnya rata-rata 10 meter. Diameter 10 cm pada batang dan 1 cm pada ujung pecut.
Pengunjung yang terkena pecut secara tidak sengaja jika sedang sakit akan mendapat kesembuhan atau berkah. Namun, jika kena pecut secara sengaja bahkan sampai luka berarti korban telah melakukan kesalahan atau melanggar pantangan memasuki arena menari Barong Brutuk.
Bahkan terkadang si penari terkena pecutnya sendiri karena melanggar pantangan. Kemungkinan besar berhubungan dengan wanita baik sekadar mengobrol atau duduk bersebelahan dengan wanita.
Pementasan tarian Barong akan ditutup dengan prosesi metandak. Dua penari Barong Brutuk berperan sebagai Ida Ratu Ayu Dalem Pingit dan Ratu Sakti Pancering Jagat menari berdua saling berhadapan. Ketika Ratu Ayu Dalem Pingit mau ditangkap oleh Ratu Sakti Pancering Jagat maka sebagai Ida Ratu Ayu Dalem Pingit akan menghindar. Prosesi metandak ini akan berakhir apabila Ratu Sakti Pancering Jagat berhasil menangkap atau merangkul Ida Ratu Ayu Dalem Pingit.
Metandak ini menggambarkan susahnya para lelaki di Desa Terunyan zaman dulu mendapatkan wanita untuk dinikahi. Akibatnya mereka harus memaksa bahkan menculiknya dari desa tetangga. Setelah diculik wanita ini disebunyikan di sebuah tempat aman sampai statusnya dianggap sah sebagai istri dari penculik oleh keluarga wanita.
Syukurnya di zaman sekarang tidak ada lagi penculikan seperti itu. “Kami berharap lewat pementasan Barong Brutuk ini para pemuda desa Terunyan tidak susah mencari calon istri,” kata I Ketut Yasa seorang penari Barong Brutuk.
Ketika prosesi metandak ini berakhir di hari kedua para penari akan berlari ke arah Danau Batur untuk mandi. Namun, sebelumnya semua kostum yang terbuat dari kraras dan pelepah pisang dilepas karena akan diupacarai dan di-banten-i kemudian dihanyutkan ke pantai.
Lelah mengikuti prosesi upacara adat khas Desa Terunyan karena berlarian menghidari pecut dari Barong Brutuk akan hilang. Sebab, ketika prosesi para penari mandi di danau, Anda akan disuguhi fenomena alam yang sangat indah, matahari terbenam di antara Gunung Batur. [b]